Categories
101 La Galigo Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #1

Team Lontara Project bersama Prof. Nurhayati di depan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur

Jumat, 25 Mei 2012 tim Lontara Project menyambangi negeri Jiran Malaysia. Terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana, Fitria Sudirman, Muhammad Ulil Ahsan dan Rahmat Dwi Putranto. Misi kali ini ialah mempromosikan Lontara Project di hadapan civitas akademika University of Malaya, Kuala Lumpur. Selama di Malaysia, tim Lontara Project dijamu oleh Prof. Nurhayati Rahman. Sosok yang satu ini pasti sudah tidak asing lagi di antara pengkaji La Galigo. Ya, beliau adalah satu-satunya wanita yang diakui sebagai penerjemah sekaligus pakar dalam pengkajian naskah-naskah La Galigo. Kami yang menyapanya dengan sebutan akrab “Bunda” selama 4 hari di Malaysia mendapatkan banyak sekali pengarahan-pengarahan berguna dari beliau.

Esok harinya, tepatnya Sabtu, 26 Mei 2012 tim Lontara Project menuju ke Selangor untuk mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah. Kami ditemani oleh mahasiswa didikan Prof. Nurhayati di University of Malaya yang bernama Mohamed Zahamri Nizar. Pria yang aslinya berasal dari Perak ini kami sapa dengan sebutan Abang. Uniknya, ternyata Abang pun masih terhitung sebagai keturunan Bugis! Saat ini Abang sedang menempuh program Master dan meneliti tentang simbol-simbol dalam manuskrip-manuskrip maupun panji-panji kerajaan di Alam Melayu. Ketertarikannya terhadap budaya Bugis dan nusantara secara umum membuat kami jadi cepat akrab dengan pria pendiam dan baik hati ini. Kami diajak berpusing-pusing (baca: berkeliling) di Selangor dengan mobil pribadinya.

Pukul 09.30 waktu lokal, kami memulai misi kebudayaan ini dengan mengamati dan mempelajari jejak kebudayaan Bugis di Malaysia. Tempat pertama yang kami datangi adalah Mesjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Mesjid ini dikenal dengan nama Mesjid Biru. Mesjid ini dibangun atas perintah Sultan Selangor saat ditetapkannya Shah Alam sebagai Ibu Negara yang baru pada 14 Februari 1974. Menara yang dimiliki mesjid ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara bahkan di dunia dengan tinggi mencapai 460 kaki. Dengan diameter 170 kaki, kubahnya menobatkan Mesjid Biru sebagai mesjid dengan kubah terbesar di Asia Tenggara. Mesjid Biru memuat hingga 24.000 jamaah, permadaninya terbuat dari wol berkualitas tinggi, serta tulisan kaligrafi di mesjid ini dibuat oleh ahli kaligrafi terkenal dari Mesir; Syekh Abdol Moneim Mohamed Ali Sharkawi, dibantu kaligrafer Malaysia.

Bersama Abang Zamhari (paling kiri) di depan Masjid Sultan Shalahuddin, Shah Alam

Setelah melihat kemegahan Mesjid Biru, selanjutnya tim Lontara Project mengunjungi Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz. Galeri ini berisi barang-barang pribadi milik Sultan Abdul Aziz, Sultan Selangor. Sayangnya, kami tidak diperkenankan mengambil gambar di dalam Galeri. Terdapat beberapa ruangan yang berisi benda-benda peninggalan serta beragam dokumentasi kegiatan Sultan Abdul Aziz. Benda koleksi yang paling menarik antara lain replika Mahkota Sultan dan permaisuri yang berhiaskan permata dan berlian yang sangat indah dan berkilau, nggak kebayang deh aslinya gimana. Pakaian dan aksesoris kebesaran serta hadiah yang pernah diterima Sultan Abdul Aziz juga dipajang di galeri tersebut.

Benda menarik lain di museum ini adalah hadiah dari Inggris berupa mangkuk perak besar berukirkan ucapan dari Ratu Elizabeth II terhadap Sultan Abdul Aziz. Pengaruh Inggris di Malaysia (Selangor) tidak dapat dipungkiri. Kolonialisasi di tanah Melayu zaman dahulu membawa dampak perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya Selangor. Foto-foto Sultan Abdul Aziz saat berada di Armada Angkatan Laut, pelantikan putranya menjadi penerus sebagai Sultan Selangor, dan lukisan-lukisan lainnya banyak terpajang di setiap dinding ruangan.

Galeri Diraja Sultan Shalahuddin bin Abdul Aziz

Yang tak kalah menarik, terkait dengan misi kami yaitu mengamati jejak Bugis di Selangor ini, ialah peninggalan Sultan Abdul Aziz berupa senjata dan pakaian khas Bugisnya. Di suatu sudut ruangan di lantai 2 Galeri ini terdapat sebuah lemari yang memajang pakaian khas Bugis yang biasa dipakai Sultan Abdul Aziz. Pakaian tersebut berwarna hijau tua dan bermotif belah ketupat (sulappaq eppaq) dengan garis berwarna emas. Pakaian ini dibuat dengan teknik cap Bugis. Cara pengecapannya yaitu dengan membuat campuran bahan cap di suatu wadah dan diberi serbuk emas asli, kemudian menggunakan alat cap khusus yang telah bermotif, dicelup lalu dicapkan ke pakaian tersebut. Saat ini sudah tidak ada lagi ahli pembuat pakaian khususnya ahli cara cap tersebut. Pernah dicoba melalui sistem komputerisasi dan cara canggih lainnya namun tidak berhasil dan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh ahlinya.

Selain pakaian, hal-hal yang berbau Bugis dalam kehidupan Sultan Abdul Aziz sejak menjadi Sultan Selangor adalah senjata. Sultan Abdul Aziz memiliki beragam koleksi senjata khususnya keris sebagai simbol kekuatan. Keris Bugis yang dimilikinya tidak luput dari pengamatan kami. Pamor yang khas seperti urat yang menjulur dari pangkal hingga ujung keris, bentuknya yang lurus (tepinya yang tidak tampak bergelombang) dibanding keris lainnya merupakan salah satu senjata Bugis yang dimiliki oleh Sultan Abdul Aziz. Adanya pakaian dan senjata khas Bugis menandakan bahwa Sultan Selangor memang memiliki darah Bugis. Klaim ini diabsahkan pula oleh silsilah keluarganya yang terpajang di dinding galeri.

Beranjak dari Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz, kami dibawa oleh abang untuk makan siang di suatu tempat. Namun, di tengah perjalanan kami mampir ke sebuah daerah yang rindang, asri dan jalan yang sepi serta berbukit. Tampak sebuah bangunan megah dari kejauhan. Kami mulai mendekat dan ternyata bangunan megah itu adalah Istana Alam Shah. Takjub kami melihat kubah berwarna emas, model bangunan megah serta pekarangan yang sangat luas tertata rapi. Dari jauh juga tampak helikopter yang sedang parkir di pekarangan istana itu. Kami mulai mendekat mengambil gambar sembari menikmati kemegahannya. Istana Alam Shah merupakan istana Sultan Selangor. Sayangnya kami tidak dapat masuk ke istana dan hanya melihatnya dari depan. Depan pintu gerbang Istana terpajang meriam dan tempat jaga prajurit. Tampak juga lambang Negeri Selangor di dinding depan Istana.

Tiba saatnya makan siang. Kami beranjak dari Istana Alam Shah menuju tempat makan yang katanya murah. Dalam perjalanan ke sana terlihat papan penunjuk jalan yang bertuliskan Kampong Jawa. Tak sabar kami menyambangi tempat itu. Abng Zahamri memang tahu apa yang kami inginkan. Abang membawa kami makan siang di sebuah warung makan sederhana di daerah Klang, tepatnya Kampong Jawa. Letaknya di depan taman kanak-kanak dan di seberang jalan Madrasah terkenal di daerah Selangor. Setibanya di sana, kami langsung menuju ke meja makan dan mengambil makanan yang diinginkan. Tersedia berbagai lauk pauk yang menggugah selera. Satu hal yang membuat kai terkesan adalah harganya yang sangat murah. Rahmat Si Tukang Makan terheran-heran, memakan lauk yang bergitu banyak dan bervariasi, setelah disuguhi bill, ternyata harganya sangat murah. Setiap orang dikenakan biaya rata-rata 3-4 RM. Itu setara dengan Rp 12.000,-. Tidak sebanding dengan makanan yang kami santap ditambah minumannya. Makanan yang jika di Indonesia kalkulasinya bisa mencapai rata-rata Rp 20.000,- per orangnya. Setelah selesai makan, Rahmat berbicara dengan salah satu pekerja di sana yang ternyata berasal dari Indonesia, tepatnya Jawa Timur. Sungguh makan siang yang berkesan dan menyenangkan mulai dari nama tempat, makanan, hingga orang satu negara yang ditemui.

Kampung Jawa di Selangor

Setelah mengisi kampung tengah (baca: perut), kami memutuskan untuk shalat dzuhur sebelum mengunjungi museum berikutnya. Abang Zahamri membawa kami di sebuah mesjid bernama Mesjid Sultan Sulaiman. Mesjid ini memiliki bentuk bangunan yang unik, dibangun pada tahun 1932. Pernah dijadikan sebagai mesjid negara dimana saat khutbah Jumat di Mesjid ini selalu disiarkan di televisi. Setelah dibangun Mesjid Biru, identitas mesjid negara dialihkan ke Mesjid Biru. Mesjid Sultan Sulaiman merupakan mesjid Diraja Klang. Menurut Informasi Abang Zahamri, Mesjid Diraja berarti mesjid yang sering ditempati oleh raja untuk beribadah sedangkan mesjid yang digunakan oleh masyarakat lainnya disebut Mesjid Jami. Seusai shalat berjamaah, saat itu mesjid sedang ramai oleh acara akad nikah, kami mengamati sebentar jalannya acara dan langsung menuju keluar mesjid. Di sisi barat mesji terdapat makam Diraja Klang dan istri-istri serta keluarganya. Kemegahan makam tampak dari depan. Kebersihan di dalam makam dirawat baik-baik serta aturan. Satu hal yang dilarang keras dilakukan oleh peziarah di sana adalah, membawa sesajen dan menyembah atau meminta sesuatu di makam. Jika hal itu dilakukan, hukuman berat akan diberikan bagi pelakunya.

                 “Di Selat Malaka, di ujung Sumatera, dua hati kita kan bersatu”. Lagu yang hits tahun 90an ini terus terngiang saat mengunjungi pesisir Selat Malaka di daerah Selatan. Siapa yang tidak kenal dengan Selat Malaka. Jalur dan pusat perdagangan yang tersohor di suluruh dunia. Namun saat ini hanya menyisakan puing-puing ketenarannya. Setibanya di pinggiran pantai Malaka, kami disambut dengan jajanan khas pantai Malaka.

Kami berjalan di pesisir pantai berbatu itu. Terlintas imagi tentang keadaan di masa lampau saat ramainya laut ini dipenuhi pedagang-pedagang dan pelaut dari berbagai pelosok dunia seperti cina, Arab, India, Portugis, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Sebelum meninggalkan tempat itu, sejenak Ulil dan Ahlul berkeliling di pasar kecil di pesisir dan mengamati hasil-hasil laut yang ada. Hasil-hasil laut dan buah yang dijajakan mengingatkan pada hasil bumi dan makanan yang sering disantap di daerah Bugis. Ada otti onynyi’-onynyi’ yang merupakan sebutan pisang kecil berwarna kuning terang sering disantap oleh masyarakat Bugis sehabis makan. Peppi’ (Bahasa Bugis) atau yang yang berupa udang-udang kecil biasanya sebagai cocolan mangga muda sebagai cemilan di masyarakat Bugis. Ikan asin, kerang dan lain-lain sebagai hasil laut daerah tersebut juga digelar di pasar itu. Di pesisir pantai Malaka itu memang dikenal sebagai salah satu kampung yang banyak orang Bugis bermukim. Hal itu sifatnya wajar mengingat orang Bugis memiliki jiwa maritim yang kuat.

Selat Malaka yang berperan penting dalam sejarah peradaban nusantara

Setelah terpapar angin laut di pesisir pantai Selat Malaka, saatnya tim Lontara Project beranjak menuju ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya Bukit Malawati. Perjalanan ke Bukit Malawati memakan waktu sekitar 45 menit dengan mobil. Bukit ini menyimpan memori perjuangan Kesultanan Selangor di Melayu. Tiba di kaki Bukit Malawati, kami berjalan menuju halte kereta. Untuk menuju puncak bukitnya, lebih nyaman jika menggunakan kereta wisata sambil berkeliling melihat rindang dan indahnya setiap sisi bukit Malawati. Untuk naik kereta menuju puncak bukit dikenakan biaya tiket sebesar 4 RM per orang. Pengunjung tempat ini lumayan ramai berasal dari lokal maupun mancanegara.

Sesampainya di atas bukit, kami disambut oleh sekumpulan kera dan senjata meriam yang berjejer rapi di tepi bukit. Dari puncak bukit Malawati ini tampak dengan jelas hamparan Selat Malaka yang indah. Dari bukit inilah prajurit mengawasi kapal-kapal yang berlayar memasuki wilayah Selangor melalui Selat Malaka di masa lampau. Wisata Bukit Malawati ini menyajikan museum Sejarah Daerah Kuala Selangor. Museum ini berisi cerita dan beberapa peninggalan sejarah berdirinya Selangor. Satu hal yang membuat kami tertarik menelusuri lebih dalam dari Museum ini adalah komponen sejarahnya sangat lekat dengan Bugis. Mulai dari sejarah masuknya Bugis di Sealangor, senjata dan pakaian perang khas Bugis, kerajinan tangan dan silsilah raja Selangor yang berasal dari Bugis terpampang besar di dalam. Sungguh membuat kami merasa haru mengunjungi museum ini. Cerita tentang Museum ini akan dikupas dalam satu bahasan khusus tentang Bugis di Selangor pada kesempatan yang lain.

Setelah naik Bukit Malawati, selanjutnya Tim Lontara Project turun bukit. Menuju ke tempat wisata penghujung hari pertama. Tempat yang kami kunjungi ini sangat unik. Nama tempat wisatanya adalah Pelancongan Kelap-kelip, terletak di Kampong Kuantan. Kami tiba di tempat ini sekitar pukul 5 sore waktu Malaysia. Artinya kami harus menunggu sekitar 2 jam lagi agar bisa menikmati wisata Kelap-kelip ini. Wisata ini Cuma bisa dinikmati di malam hari karena inti dari wisata ini adalah menikmati indahnya kelap-kelip (nama hewan sejenis kunang-kunang tapi agak kecil) yang melimpah di pepohonan sepanjang sungai Kuantan. Dalam wisata ini, kami menaiki sampan ditemani oleh pengayuh sampan. Kelap-kelip hewan yang memenuhi pepohonan sepanjang sungai Kuantan bagaikan kelap-kelip bintang saat memenuhi langit di malam hari. Sungguh pemandangan yang indah, kegembiraan bertambah di atas sampan saat Si Pengayuh membawa sampan menuju ke pepohonan dan kami meletakkan hewan kelap-kelip itu di telapak tangan. Perjalanan menikmati kelap kelip di atas sampan tak terasa sudah 20 menit. Perjalanan singkat nan indah itu mampu membayar kegundahan kami menunggu selama 2 jam untuk menikmati wisata ini.

Wisata “Kelip-Kelip” di Kampung Kuantan

Akhirnya kami beranjak dari Kampong Kuantan menuju ke rumah untuk melepas lelah seharian melancong di Selangor. Perjalanan di hari pertama ini sungguh sangat berkesan. Lelah dibayar dengan hal-hal yang menarik. Khasanah pengetahuan kami sedikit bertambah tentang apa yang kami kunjungi. Tak hanya saat mengamati hal-hal baru di museum, tapi saat berdiskusi di perjalanan mengunjungi setiap tempat adalah momen yang menjadi bagian penting memperoleh informasi dan pengetahuan terkait misi dari tim Lontara Project. Berkat bantuan dari Abang Zahamri di hari pertama, kami bisa menikmati perjalanan pengetahuan tentang negeri ini. Kesan hari pertama sangat indah dan menyenangkan. Seindah cinta di selat Malaka, seharu kasih kepada Shah Alam dan Semegah paras Mesjid Biru.

 

Muhammad Ulil Ahsan Arif, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang masih duduk di semester enam Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

When the Ocean Met with Mountain: Srawung Seni Borobudur

Pagi itu saya hampir saja saya tidak jadi berangkat ke Muntilan. Pasalnya, teman yang kemarin telah berjanji untuk mengantar ke Borobudur dengan kendaraannya bangun kesiangan. Saya sudah cemas ketika sepuluh panggilan ke telepon genggamnya tak kunjung dijawab. Di detik-detik terakhir Ia datang juga. Tanpa buang-buang waktu lagi gas segera ditancap memburu jarak Yogyakarta-Muntilan yang kami tempuh selama 45 menit.

Meski terlambat hampir dua jam dari waktu yang direncanakan, rasa kesal mendadak sirna setibanya di seminar terbuka Srawung Seni. Srawung Seni ialah sebuah pesta budaya. Perayaan kesenian yang tidak saja digelar oleh kalangan budayawan dan seniman, namun juga oleh para Indonesianis. Acara-acara yang digelar berupa seminar, lokakarya dan pertunjukan-pertunjukan yang mengawinkan seni dengan arkeologi, ketuhanan, dan mitos. Singkatnya, di acara ini semua kalangan bebas untuk menikmati hiburan kebudayaan langsung di situs bersejarah, Candi Borobudur. Acara ini juga sekaligus meresmikan Taman Srawung Seni.

Perhelatan akbar yang diprakarsai oleh Padepokan Lemah Putih dari Jawa Tengah ini mengangkat tema “Segara-Gunung”. Perkawinan kedua unsur tersebut, lautan dan gunung, hidup tidak hanya dalam kebudayaan Jawa, namun terdapat pula pada unsur-unsur kebudayaan nusantara lainnya. Sengaja memilih Candi Borobudur sebagai venue-nya, karena candi adalah bangunan yang tak lekang oleh waktu. Candi menyimpan seni, kosmologi, tata ruang dan mitos sebagai hasil dari tradisi-tradisi panjang yang melibatkan pelbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat. Di panggung Aksobhya yang berlatarkan bangunan berusia seribu duaratus tahun ini, sekitar 150 seniman atau kelompok kesenian, budayawan dan cendekiawan dari Indonesia, Asia, Europa, Australia, Amerika Selatan serta Utara membagikan masing-masing pusaka budayanya melalui seminar dan pertunjukan.

Seminar di bawah naungan kapal Samuderaraksa

Selain di atas panggung, kegiatan berlangsung di Candi Pawon, di Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga Candi Borobudur sejak tanggal 20 hingga 29 April 2012. Karena masih berstatus sebagai mahasiswa (jelang) semester akhir, saya baru dapat menikmati pesta seni ini di hari penutupannya. Saya sedikit kecewa karena ketika tiba di Museum Samuderaraksa, presentasi mengenai La Galigo yang dibawakan oleh Bapak Andi Anton seorang budayawan Luwu telah usai. Ya, La Galigo yang merupakan karya sastra terbesar di dunia ini mendapat tempat di ruang seni dan mitos dalam Srawung Seni. Keindahan bahasa serta kekayaan makna yang dikandung La Galigo begitu memukau, epos besar ini tidak hanya berisi kisah namun juga berisi pelajaran-pelajaran tentang filosofi kehidupan. Keunikan cerita serta tradisi pendokumentasian naskah membuat peninggalan budaya dari Sulawesi Selatan ini menarik. Bapak Anton menguraikan banyak hal baru bagi para peserta diskusi (yang kebanyakan berasal dari luar Sulawesi dan luar negri) seperti konsep tomanurung, asal-muasal suku Bajo dalam versi La Galigo, tiga tingkatan dunia, serta sisi religiusitas naskah ini.

Setelah pembicaraan mengenai La Galigo usai, seminar dilanjutkan dengan bahasan tentang situs Muarajambi. Diskusi yang dimoderatori oleh Nina Pramono (Executive Director Pertamina Foundation) ini menghadirkan narasumber dari SvarnaDvipa Institute. Sebagai oknum-oknum yang terjun langsung ke lapangan, dengan gamblang narasumber-narasumber tersebut memaparkan apa itu situs Muarajambi dan isu seperti apa yang tengah berkembang. Muarajambi ialah nama dari sebuah kawasan yang kaya dengan tinggalan purbakala di Daeras Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Jambi. Sekurang-kurangnya terdapat 82 peninggalan berupa candi, menapo (reruntuhan bangunan kuno), kolam beserta kanal purba.

Situs yang diduga menyimpan kompleks percandian dengan luas tiga kali dari Borobudur ini merupakan anak kunci untuk mengungkap misteri Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya. Sayangnya, situs monumental ini terancam bahaya. Perusahaan tambang batubara serta perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Muarajambi berpotensi merusak kawasan cagar budaya ini. Contohnya, parit Candi Playangan yang 1,5 meter dari pabrik batubara tertutup limbah dan menghitam. Miris memang mengetahui situs Muarajambi yang kaya akan temuan arkeologi ini belum terdaftar sebagai kawasan cagar budaya. Usaha-usaha penyelamatan dengan peran dari masyarakat mulai dilakukan, salah satunya melalui petisi #SaveMuaraJambi lewat twitter. Penduduk sekitar situs juga telah membentuk sebuah aliansi dengan SvarnaDvipa institut yang disebut Dwarapala-Muja, Penjaga Muarajambi.

Tarian Dayak Kontemporer karya Deddy Luthan

Dari pulau Sumatera, bahasan beralih ke Kalimantan. Kisah tentang budaya dan sejarah ternyata tak kalah tragis di sana. Bapak Deddy Luthan, seorang koreografer yang juga pecinta budaya Dayak menyajikan potret kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, Modang dan Benuak. Asal-usul suku Dayak di pulau berjuluk Baruna ini masih simpangsiur. Secara umum suku Dayak diduga berasal dari Yunnan Selatan yang bermigrasi ke Borneo secara bertahap. Meskipun bukan bangsa pelaut, dengan perahu-perahu kecil mereka menuju Asia Tenggara karena pada masa itu luasnya lautan masih terjangkau oleh teknologi sederhana. Masyarakat Dayak yang kehidupannya berorientasi pada hutan belakangan berpindah habitasi. Pembalakan hutan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab menghancurkan sendi-sendi kebudayaan serta lingkungan tradisional mereka. Hati saya terenyuh ketika disuguhkan gambar beberapa anggota keluarga Dayak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil, sementara siluet di belakang mereka nampakkan pabrik-pabrik perusak hutan.

Selain materi di atas, masih banyak lagi bahasan-bahasan spektakuler di Srawung Seni Segara Gunung ini. Yang paling menarik ialah pengalaman spiritual Elisabeth Inandiak yang menghubungkannya dengan garis emosional masa lalu antara Sumatera, India, dan Tibet. Elisabeth Inandiak dikenal sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Perancis dan usahanya menerjemahkan Serat Centhini dari Bahasa Jawa Klasik ke dalam Bahasa Indonesia.

Elisabeth yang fasih berbahasa Indonesia mendapat semacam ilham saat berkunjung ke Tibet dan dihantui inspirasi untuk menemukan keterkaitan antara kedamaian yang Ia rasakan saat berada di Jawa (Indonesia) dan Tibet. Ia mendapatkan jawaban setelah menemukan referensi mengenai Atisha, seorang misionaris Buddha asal India yang pernah belajar agama di Sumatera lalu menyebarkan ajarannya di Tibet. Petualangan spiritual Elisabeth memburu Atisha mengantarkannya kepada usaha pengembalian abu sang mahaguru dari pemerintah Republik Rakyat Cina ke tangan masyarakat Tibet pada tahun 1978 dan rahasia di balik lirik lagu Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan.

Seminar hari itu ditutup dengan tampilan Seni Pitutur, kelompok seni masyarakat sekitar Candi Borobudur yang melibatkan partisipasi para Indonesianis. Malamnya panggung Aksobhya dimeriahkan oleh Anak-Anak Borobudur dan Oppie Andaresta; tari klasik Bharatanatyam dari India, seni gerak oleh Jessica Gamez dari Mexico, dan masih banyak lagi. Walau tidak dapat mengikuti jalannya penutupan Taman Srawung Seni Segara Gunung hingga akhir, saya cukup senang. Transfer ilmu dan informasi di bawah naungan kapal Samuderaraksa yang “dihidupkan” kembali dari sebuah relief abad ke-8 Masehi melahirkan banyak inspirasi buat saya. Terlebih lagi pada kesempatan ini saya juga dapat berkenalan dengan banyak budayawan, para Indonesianis serta mempromosikan La Galigo for Nusantara Project lewat flyer sederhana.

Tahun depan, pesta seni ini akan digelar di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Penyerahan api abadi dari Bupati Magelang kepada Bupati Sigi menandai estafet Srawung Seni Segara Gunung 2012 ke Srawung Seni Megalitik 2013. Semoga acara ini dapat lebih meriah, lebih terbuka kepada masyarakat umum, serta lebih sensasional lagi. Sampai jumpa tahun depan!

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan Lontara Project

Ketika Musik Daerah Bergema di Model United Nations

Kamis, 3 Mei 2012. Di Borobudur Hall Hotel Inna Garuda Yogyakarta, La Galigo Music Project beraksi. Acara Jogja International Model United Nation (JOINMUN) yang diselenggarakan oleh UGM ini merupakan kali pertama tim musik yang berada di bawah naungan LONTARA PROJECT tampil perdana di muka publik. Acara ini dihadiri oleh delegasi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri. Penampilan La Galigo Music Project yang menyuguhkan perkawinan antara musik kontemporer dengan irama etnik dari berbagai daerah berhasil menyihir peserta JOINMUN.

Sebagai penampil pertama di acara malam itu, tiga buah lagu dari  La Galigo Music Project seakan membangkitkan semangat dan antusiasme para delegasi. Suasana Borobudur Hall mendadak sunyi ketika lampu tiba-tiba mati. Gelapnya ruangan diisi oleh lantunan sinden dari para penyanyi. Beberapa saat kemudian lampu nyala redup dan dimulailah gemuruh musik yang indah sebagai bagian dari alur lagu Ininnawata. Lagu pertama yang dibawakan ialah Ininnawata, sebuah lagu pengantar tidur dari suku Bugis yang dipadu dengan Are You Sleeping Brother John versi blues.

Team La Galigo Music Project setelah tampil di JOINMUN

Lagu kedua yang baru diciptakan merupakan senjata pamungkas untuk membawa para peserta tenggelam dalam suasana musiknya. Lagu ini berjudul Mantra, dimana di dalamnya dilantunkan lirik mantra dari beberapa daerah dan dikolaborasikan dengan syair musik nan indah. Kembali cahaya ruangan yang redup mengantarkan suasana mistis dari lagu Mantra. Alhasil, lagu ini menyihir para peserta JOINMUN yang hadir dan memberikan tepuk tangan yang meriah seusai bait terakhir dilantunkan.

Lagu ketiga sekaligus lagu penutup ialah Kelong Sulawesi (Nyanyian Sulawesi). Nyanyian yang didominasi lagu daerah dari pulau Sulawesi ini berhasil membuat para peserta terhanyut, menikmati indahnya musik pengiring lagu. Nyanyian ini tidak biasa terdengar di telinga para delegasi asing khususnya. Namun dengan polesan kreasi musik kontemporer anak-anak La Galigo Music Project membuat lagu ini nyaman di telinga para delegasi yang hadir.

aksi panggung La Galigo Music Project

Penampilan La Galigo Music Project pada acara JOINMUN kali ini memberikan kesan tersendiri bagi para delegasi maupun panitianya. Berdasarkan testimoni delegasi dari Rusia yang diterima oleh pembawa acara pada malam itu, dia amat terkesan dengan penampilan La Galigo Music Project. Antusisme para delegasi malam itu menunjukkan kesan puas terhadap apa yang telah La Galigo Music Project sajikan. Hal ini merupakan suntikan semangat bagi La Galigo Music Project untuk terus berkreasi melestarikan budaya lewat kampanye I Speak La Galigo.

Lagu-lagu La Galigo Music Project dapat didownload melalui link-link di bawah ini:

Download Ininnawata

Download Kelong Sulawesi

 


Muhammad Ulil Ahsan Arif, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang masih duduk di semester enam Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/