Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya
Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.
Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.
Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT
Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.
Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.
Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.
Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]
Membina persahabatan serumpun…
Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.
Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.
Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.
Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh.
Minggu, 27 Mei 2012. Hari ketiga tim Lontara Project berada di Malaysia. Cuaca pagi itu sangat cerah secerah hati kami yang sudah tidak sabar memulai petualangan mengunjungi tempat-tempat baru di Malaysia. Hari itu, Prof. Nurhayati yang akrab kami panggil Bunda bersama Mutia, putrinya, mengajak kami untuk mengunjungi Putrajaya, ibukota administratif Malaysia. Sobat Lontara, mungkin berpikir mengapa ada lagi ibukota selain Kuala Lumpur yang kita kenal selama ini. Kuala Lumpur masih menjadi ibukota, kok, hanya sekarang Kuala Lumpur berstatus ibukota legislatif. Sejak tahun 2001, pusat administrasi pemerintahan Malaysia dipindahkan ke Putrajaya, namun tempat kedudukan parlemen sekaligus pusat perdagangan dan keuangan masih berada di Kuala Lumpur. Masih bingung? Hehe, yuk langsung baca kisah kami!
Pukul 09.00 pagi waktu Malaysia, kami sudah berpakaian rapih dan bersiap untuk ke Putrajaya. Dengan menumpangi bus, kami pun berangkat. Kami harus menggunakan dua bus untuk sampai ke kota yang satu ini. Pertama, kami menumpang bus tujuan Pasar Seni, lalu kami menyambung bus dengan tujuan Putrajaya. Tarif bus sendiri bervariasi tergantung jarak tujuan. Untuk bus pertama, karena jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kami menginap, kami hanya membayar RM 1.90. Namun, untuk bus kedua, kami harus membayar RM 3.80. Sistem transportasi umum Malaysia merupakan salah satu hal yang saya sukai. Bus-bus beroperasi dengan sangat teratur dan tidak ada penumpang yang berdesak-desakan di dalam bus. Sebelum duduk, penumpang harus terlebih dulu membayar sesuai tarif pada mesin yang terletak di samping pengemudi bus. Mesin tersebut kemudian akan mencetak tiket yang menjadi pertanda bahwa kita sudah membayar. Penumpang yang ingin menggunakan bus sebaiknya telah menyiapkan uang kecil dulu. Jika tidak, pengemudi bus-nya tanpa segan dapat dengan segera menolak anda untuk menumpangi bus-nya. Satu hal lagi, di dalam setiap bus terdapat beberapa tombol stop yang diletakkan secara strategis agar para penumpang dapat dengan mudah menggunakannya. Penumpang yang ingin turun dapat menekan tombol stop tersebut untuk memberi tanda kepada pengemudi bus untuk berhenti. Jadi, ga usah repot-repot teriak “Kiri, Bang!” atau ngetok-ngetok langit-langit bus 😀
Perjalanan ke Putrajaya tidak memakan waktu yang lama. Tanpa kemacetan yang berarti, dalam waktu kurang lebih 45 menit, kami sampai ke Putrajaya Central. Arsitektur Melayu nan modern sudah mulai terasa disini. Di tempat ini, kami dialihkan lagi ke bus yang memang khusus beroperasi dalam lingkungan Putrajaya. Hari itu, terlihat banyak sekali pengunjung. Saya pikir, karena hari itu adalah hari minggu, jadi banyak keluarga yang datang ke tempat ini untuk mengisi waktu liburnya. Rupanya, tidak hanya itu yang membuat tempat ini ramai. Pengunjung berdatangan untuk melihat bazaar, stand, dan pertunjukan musik dalam rangka perayaan hari pemuda Malaysia. Dekorasi warna-warni dan khas anak muda mewarnai tempat ini, membuat suasana begitu meriah dan hidup. Sayup-sayup suara musik Melayu dan musik modern berlomba untuk didengarkan. Sepanjang jalan kami melihat stand makanan, pakaian, aksesoris, dan suvenir. Panggung pertunjukan musik pun juga didirikan di beberapa titik.
Masjid PutraDinding dan Langit-Langit Masjid Putra
Berhubung jalanannya sangat ramai, akhirnya kami turun dari bus dan memilih untuk berjalan kaki menuju Masjid Putra. Yup, tempat pertama di Putrajaya yang kami tuju adalah masjid megah berarsitektur modern bergaya Islam yang dibangun pada tahun 1997. Masjid yang didominasi oleh warna merah muda dan krem ini langsung menghadap ke Putrajaya Lake, sebuah danau buatan yang cukup besar dan berfungsi tidak hanya sebagai penyejuk, tetapi juga sebagai penyeimbang di antara gedung-gedung tinggi. Bagi pengunjung yang tertarik mengitari Putrajaya ala Venesia di Itali, di danau ini disewakan perahu cantik bergaya tradisional yang dapat digunakan untuk melihat Putrajaya dalam sudut yang berbeda. Dari Masjid Putra, kita dapat melihat pemandangan kota Putrajaya yang didominasi oleh gedung-gedung tinggi dan jembatan-jembatan yang menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya. Di Masjid Putra ini, setiap pengunjung harus menutupi aurat, baik itu perempuan maupun laki-laki. Jadi, bagi yang memakai baju lengan pendek/tidak berlengan, celana pendek, atau tidak berkerudung (bagi perempuan) harus menggunakan jubah kebiruan yang telah disediakan oleh pihak pengelola masjid. Hal ini dilakukan untuk menghormati tradisi dan budaya setempat.
Cukup lama kami berada di masjid ini. Selain untuk shalat Dhuhur, kami menyempatkan diri untuk melihat pemandangan sembari mengumpulkan tenaga untuk berjalan mengitari Putrajaya lagi. Setelah energi terkumpul, kami menuju Perdana Putra, yaitu kantor perdana menteri Malaysia. Perdana Putra terletak di samping Masjid Putra. Menurut keterangan dari Bunda, penempatan ini merupakan impian dari Mahathir yang menginginkan kantor perdana menteri terletak bersampingan dengan masjid. Bangunan ini juga sarat akan gaya Melayu, Islam, dan Eropa. Berkubah hijau dengan dominasi warna coklat pada dindingnya, Perdana Putra menjadi salah satu landmark dari Putrajaya. Kami sangat ingin memasuki bangunan ini dan melihat arsitektur bangunan dengan lebih dekat. Namun, ternyata bangunan ini tidak dibuka untuk umum pada hari Minggu. Jadi, Sobat Lontara yang ingin melihat-lihat ke dalam tempat ini, pastikan datang pada saat hari kerja, yaitu Senin-Jumat atau pada hari Sabtu pagi pada minggu kedua dan keempat. Pastikan juga kalian membawa paspor karena akan dicek.
Tim Lontara Project di depan Perdana Putra
Setelah beberapa lama mengitari Putrajaya, kami pun akhirnya beranjak dari ibukota baru Malaysia ini. Dalam perjalanan pulang, di bus kami melihat jejak Bugis lainnya. Di kaca bus terdapat kertas bertuliskan “Pasompa” dan “Pada Idi Tu”. Dalam bahasa Bugis, “Pasompa” berarti perantau, sedangkan “Pada Idi Tu” berarti kita berasal dari kampung atau daerah yang sama. Wah, diaspora Bugis memang sangat terasa di Malaysia.
Jejak Perantau Bugis di Bus Kota
Sekilas tentang Putrajaya Sebagai Ibukota Administratif
Putrajaya sendiri didirikan pada Oktober 1995 atas inisiatif Tun Dr. Mahathir bin Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia yang memiliki periode jabatan paling lama. Kota ini resmi menjadi wilayah federal ketiga setelah Kuala Lumpur dan Labuan pada Februari 2001. Wilayah yang ditempati oleh Putrajaya sekarang merupakan hadiah dari pemerintahan Selangor. Terletak 25 km dari selatan Kuala Lumpur, Putrajaya menjalankan fungsinya sebagai pusat administrasi pemerintahan, menggantikan Kuala Lumpur yang dinilai telah begitu ramai dan tidak lagi kondusif untuk dijadikan pusat pemerintahan.
Keberadaaan suatu kota yang khusus dijadikan sebagai pusat administrasi pemerintahan sebenanya bukanlah suatu hal yang baru. Beberapa negara di dunia sudah mempunyai sistem kota semacam ini sejak bertahun-tahun lalu, sebut saja Belanda dan Afrika Selatan. Di Belanda, ibukota nasionalnya adalah Amsterdam, sedangkan pusat administrasinya berada di Den Haag. Afrika Selatan bahkan memiliki tiga ibukota. Cape Town sebagai ibukota legislatif, Pretoria sebagai ibukota administratif, sedangkan Bloemfountein sebagai ibukota yudikatif. Ketiga ibukota ini menjalankan fungsi yang berbeda, namun saling mendukung. Ibukota legislatif merupakan kota dimana pejabat legislatif, seperti pejabat kongres atau parlemen, bekerja. Ibukota administratif merupakan pusat pemerintahan yang memiliki fungsi yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh pihak legislatif. Ibukota yudikatif merupakan kota dimana peradilan tinggi yang berfungsi untuk menjalankan aspek-aspek hukum terletak.
Team Lontara Project bersama Prof. Nurhayati di depan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur
Jumat, 25 Mei 2012 tim Lontara Project menyambangi negeri Jiran Malaysia. Terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana, Fitria Sudirman, Muhammad Ulil Ahsan dan Rahmat Dwi Putranto. Misi kali ini ialah mempromosikan Lontara Project di hadapan civitas akademika University of Malaya, Kuala Lumpur. Selama di Malaysia, tim Lontara Project dijamu oleh Prof. Nurhayati Rahman. Sosok yang satu ini pasti sudah tidak asing lagi di antara pengkaji La Galigo. Ya, beliau adalah satu-satunya wanita yang diakui sebagai penerjemah sekaligus pakar dalam pengkajian naskah-naskah La Galigo. Kami yang menyapanya dengan sebutan akrab “Bunda” selama 4 hari di Malaysia mendapatkan banyak sekali pengarahan-pengarahan berguna dari beliau.
Esok harinya, tepatnya Sabtu, 26 Mei 2012 tim Lontara Project menuju ke Selangor untuk mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah. Kami ditemani oleh mahasiswa didikan Prof. Nurhayati di University of Malaya yang bernama Mohamed Zahamri Nizar. Pria yang aslinya berasal dari Perak ini kami sapa dengan sebutan Abang. Uniknya, ternyata Abang pun masih terhitung sebagai keturunan Bugis! Saat ini Abang sedang menempuh program Master dan meneliti tentang simbol-simbol dalam manuskrip-manuskrip maupun panji-panji kerajaan di Alam Melayu. Ketertarikannya terhadap budaya Bugis dan nusantara secara umum membuat kami jadi cepat akrab dengan pria pendiam dan baik hati ini. Kami diajak berpusing-pusing (baca: berkeliling) di Selangor dengan mobil pribadinya.
Pukul 09.30 waktu lokal, kami memulai misi kebudayaan ini dengan mengamati dan mempelajari jejak kebudayaan Bugis di Malaysia. Tempat pertama yang kami datangi adalah Mesjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Mesjid ini dikenal dengan nama Mesjid Biru. Mesjid ini dibangun atas perintah Sultan Selangor saat ditetapkannya Shah Alam sebagai Ibu Negara yang baru pada 14 Februari 1974. Menara yang dimiliki mesjid ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara bahkan di dunia dengan tinggi mencapai 460 kaki. Dengan diameter 170 kaki, kubahnya menobatkan Mesjid Biru sebagai mesjid dengan kubah terbesar di Asia Tenggara. Mesjid Biru memuat hingga 24.000 jamaah, permadaninya terbuat dari wol berkualitas tinggi, serta tulisan kaligrafi di mesjid ini dibuat oleh ahli kaligrafi terkenal dari Mesir; Syekh Abdol Moneim Mohamed Ali Sharkawi, dibantu kaligrafer Malaysia.
Bersama Abang Zamhari (paling kiri) di depan Masjid Sultan Shalahuddin, Shah Alam
Setelah melihat kemegahan Mesjid Biru, selanjutnya tim Lontara Project mengunjungi Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz. Galeri ini berisi barang-barang pribadi milik Sultan Abdul Aziz, Sultan Selangor. Sayangnya, kami tidak diperkenankan mengambil gambar di dalam Galeri. Terdapat beberapa ruangan yang berisi benda-benda peninggalan serta beragam dokumentasi kegiatan Sultan Abdul Aziz. Benda koleksi yang paling menarik antara lain replika Mahkota Sultan dan permaisuri yang berhiaskan permata dan berlian yang sangat indah dan berkilau, nggak kebayang deh aslinya gimana. Pakaian dan aksesoris kebesaran serta hadiah yang pernah diterima Sultan Abdul Aziz juga dipajang di galeri tersebut.
Benda menarik lain di museum ini adalah hadiah dari Inggris berupa mangkuk perak besar berukirkan ucapan dari Ratu Elizabeth II terhadap Sultan Abdul Aziz. Pengaruh Inggris di Malaysia (Selangor) tidak dapat dipungkiri. Kolonialisasi di tanah Melayu zaman dahulu membawa dampak perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya Selangor. Foto-foto Sultan Abdul Aziz saat berada di Armada Angkatan Laut, pelantikan putranya menjadi penerus sebagai Sultan Selangor, dan lukisan-lukisan lainnya banyak terpajang di setiap dinding ruangan.
Galeri Diraja Sultan Shalahuddin bin Abdul Aziz
Yang tak kalah menarik, terkait dengan misi kami yaitu mengamati jejak Bugis di Selangor ini, ialah peninggalan Sultan Abdul Aziz berupa senjata dan pakaian khas Bugisnya. Di suatu sudut ruangan di lantai 2 Galeri ini terdapat sebuah lemari yang memajang pakaian khas Bugis yang biasa dipakai Sultan Abdul Aziz. Pakaian tersebut berwarna hijau tua dan bermotif belah ketupat (sulappaq eppaq) dengan garis berwarna emas. Pakaian ini dibuat dengan teknik cap Bugis. Cara pengecapannya yaitu dengan membuat campuran bahan cap di suatu wadah dan diberi serbuk emas asli, kemudian menggunakan alat cap khusus yang telah bermotif, dicelup lalu dicapkan ke pakaian tersebut. Saat ini sudah tidak ada lagi ahli pembuat pakaian khususnya ahli cara cap tersebut. Pernah dicoba melalui sistem komputerisasi dan cara canggih lainnya namun tidak berhasil dan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh ahlinya.
Selain pakaian, hal-hal yang berbau Bugis dalam kehidupan Sultan Abdul Aziz sejak menjadi Sultan Selangor adalah senjata. Sultan Abdul Aziz memiliki beragam koleksi senjata khususnya keris sebagai simbol kekuatan. Keris Bugis yang dimilikinya tidak luput dari pengamatan kami. Pamor yang khas seperti urat yang menjulur dari pangkal hingga ujung keris, bentuknya yang lurus (tepinya yang tidak tampak bergelombang) dibanding keris lainnya merupakan salah satu senjata Bugis yang dimiliki oleh Sultan Abdul Aziz. Adanya pakaian dan senjata khas Bugis menandakan bahwa Sultan Selangor memang memiliki darah Bugis. Klaim ini diabsahkan pula oleh silsilah keluarganya yang terpajang di dinding galeri.
Beranjak dari Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz, kami dibawa oleh abang untuk makan siang di suatu tempat. Namun, di tengah perjalanan kami mampir ke sebuah daerah yang rindang, asri dan jalan yang sepi serta berbukit. Tampak sebuah bangunan megah dari kejauhan. Kami mulai mendekat dan ternyata bangunan megah itu adalah Istana Alam Shah. Takjub kami melihat kubah berwarna emas, model bangunan megah serta pekarangan yang sangat luas tertata rapi. Dari jauh juga tampak helikopter yang sedang parkir di pekarangan istana itu. Kami mulai mendekat mengambil gambar sembari menikmati kemegahannya. Istana Alam Shah merupakan istana Sultan Selangor. Sayangnya kami tidak dapat masuk ke istana dan hanya melihatnya dari depan. Depan pintu gerbang Istana terpajang meriam dan tempat jaga prajurit. Tampak juga lambang Negeri Selangor di dinding depan Istana.
Tiba saatnya makan siang. Kami beranjak dari Istana Alam Shah menuju tempat makan yang katanya murah. Dalam perjalanan ke sana terlihat papan penunjuk jalan yang bertuliskan Kampong Jawa. Tak sabar kami menyambangi tempat itu. Abng Zahamri memang tahu apa yang kami inginkan. Abang membawa kami makan siang di sebuah warung makan sederhana di daerah Klang, tepatnya Kampong Jawa. Letaknya di depan taman kanak-kanak dan di seberang jalan Madrasah terkenal di daerah Selangor. Setibanya di sana, kami langsung menuju ke meja makan dan mengambil makanan yang diinginkan. Tersedia berbagai lauk pauk yang menggugah selera. Satu hal yang membuat kai terkesan adalah harganya yang sangat murah. Rahmat Si Tukang Makan terheran-heran, memakan lauk yang bergitu banyak dan bervariasi, setelah disuguhi bill, ternyata harganya sangat murah. Setiap orang dikenakan biaya rata-rata 3-4 RM. Itu setara dengan Rp 12.000,-. Tidak sebanding dengan makanan yang kami santap ditambah minumannya. Makanan yang jika di Indonesia kalkulasinya bisa mencapai rata-rata Rp 20.000,- per orangnya. Setelah selesai makan, Rahmat berbicara dengan salah satu pekerja di sana yang ternyata berasal dari Indonesia, tepatnya Jawa Timur. Sungguh makan siang yang berkesan dan menyenangkan mulai dari nama tempat, makanan, hingga orang satu negara yang ditemui.
Kampung Jawa di Selangor
Setelah mengisi kampung tengah (baca: perut), kami memutuskan untuk shalat dzuhur sebelum mengunjungi museum berikutnya. Abang Zahamri membawa kami di sebuah mesjid bernama Mesjid Sultan Sulaiman. Mesjid ini memiliki bentuk bangunan yang unik, dibangun pada tahun 1932. Pernah dijadikan sebagai mesjid negara dimana saat khutbah Jumat di Mesjid ini selalu disiarkan di televisi. Setelah dibangun Mesjid Biru, identitas mesjid negara dialihkan ke Mesjid Biru. Mesjid Sultan Sulaiman merupakan mesjid Diraja Klang. Menurut Informasi Abang Zahamri, Mesjid Diraja berarti mesjid yang sering ditempati oleh raja untuk beribadah sedangkan mesjid yang digunakan oleh masyarakat lainnya disebut Mesjid Jami. Seusai shalat berjamaah, saat itu mesjid sedang ramai oleh acara akad nikah, kami mengamati sebentar jalannya acara dan langsung menuju keluar mesjid. Di sisi barat mesji terdapat makam Diraja Klang dan istri-istri serta keluarganya. Kemegahan makam tampak dari depan. Kebersihan di dalam makam dirawat baik-baik serta aturan. Satu hal yang dilarang keras dilakukan oleh peziarah di sana adalah, membawa sesajen dan menyembah atau meminta sesuatu di makam. Jika hal itu dilakukan, hukuman berat akan diberikan bagi pelakunya.
“Di Selat Malaka, di ujung Sumatera, dua hati kita kan bersatu”. Lagu yang hits tahun 90an ini terus terngiang saat mengunjungi pesisir Selat Malaka di daerah Selatan. Siapa yang tidak kenal dengan Selat Malaka. Jalur dan pusat perdagangan yang tersohor di suluruh dunia. Namun saat ini hanya menyisakan puing-puing ketenarannya. Setibanya di pinggiran pantai Malaka, kami disambut dengan jajanan khas pantai Malaka.
Kami berjalan di pesisir pantai berbatu itu. Terlintas imagi tentang keadaan di masa lampau saat ramainya laut ini dipenuhi pedagang-pedagang dan pelaut dari berbagai pelosok dunia seperti cina, Arab, India, Portugis, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Sebelum meninggalkan tempat itu, sejenak Ulil dan Ahlul berkeliling di pasar kecil di pesisir dan mengamati hasil-hasil laut yang ada. Hasil-hasil laut dan buah yang dijajakan mengingatkan pada hasil bumi dan makanan yang sering disantap di daerah Bugis. Ada otti onynyi’-onynyi’ yang merupakan sebutan pisang kecil berwarna kuning terang sering disantap oleh masyarakat Bugis sehabis makan. Peppi’ (Bahasa Bugis) atau yang yang berupa udang-udang kecil biasanya sebagai cocolan mangga muda sebagai cemilan di masyarakat Bugis. Ikan asin, kerang dan lain-lain sebagai hasil laut daerah tersebut juga digelar di pasar itu. Di pesisir pantai Malaka itu memang dikenal sebagai salah satu kampung yang banyak orang Bugis bermukim. Hal itu sifatnya wajar mengingat orang Bugis memiliki jiwa maritim yang kuat.
Selat Malaka yang berperan penting dalam sejarah peradaban nusantara
Setelah terpapar angin laut di pesisir pantai Selat Malaka, saatnya tim Lontara Project beranjak menuju ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya Bukit Malawati. Perjalanan ke Bukit Malawati memakan waktu sekitar 45 menit dengan mobil. Bukit ini menyimpan memori perjuangan Kesultanan Selangor di Melayu. Tiba di kaki Bukit Malawati, kami berjalan menuju halte kereta. Untuk menuju puncak bukitnya, lebih nyaman jika menggunakan kereta wisata sambil berkeliling melihat rindang dan indahnya setiap sisi bukit Malawati. Untuk naik kereta menuju puncak bukit dikenakan biaya tiket sebesar 4 RM per orang. Pengunjung tempat ini lumayan ramai berasal dari lokal maupun mancanegara.
Sesampainya di atas bukit, kami disambut oleh sekumpulan kera dan senjata meriam yang berjejer rapi di tepi bukit. Dari puncak bukit Malawati ini tampak dengan jelas hamparan Selat Malaka yang indah. Dari bukit inilah prajurit mengawasi kapal-kapal yang berlayar memasuki wilayah Selangor melalui Selat Malaka di masa lampau. Wisata Bukit Malawati ini menyajikan museum Sejarah Daerah Kuala Selangor. Museum ini berisi cerita dan beberapa peninggalan sejarah berdirinya Selangor. Satu hal yang membuat kami tertarik menelusuri lebih dalam dari Museum ini adalah komponen sejarahnya sangat lekat dengan Bugis. Mulai dari sejarah masuknya Bugis di Sealangor, senjata dan pakaian perang khas Bugis, kerajinan tangan dan silsilah raja Selangor yang berasal dari Bugis terpampang besar di dalam. Sungguh membuat kami merasa haru mengunjungi museum ini. Cerita tentang Museum ini akan dikupas dalam satu bahasan khusus tentang Bugis di Selangor pada kesempatan yang lain.
Setelah naik Bukit Malawati, selanjutnya Tim Lontara Project turun bukit. Menuju ke tempat wisata penghujung hari pertama. Tempat yang kami kunjungi ini sangat unik. Nama tempat wisatanya adalah Pelancongan Kelap-kelip, terletak di Kampong Kuantan. Kami tiba di tempat ini sekitar pukul 5 sore waktu Malaysia. Artinya kami harus menunggu sekitar 2 jam lagi agar bisa menikmati wisata Kelap-kelip ini. Wisata ini Cuma bisa dinikmati di malam hari karena inti dari wisata ini adalah menikmati indahnya kelap-kelip (nama hewan sejenis kunang-kunang tapi agak kecil) yang melimpah di pepohonan sepanjang sungai Kuantan. Dalam wisata ini, kami menaiki sampan ditemani oleh pengayuh sampan. Kelap-kelip hewan yang memenuhi pepohonan sepanjang sungai Kuantan bagaikan kelap-kelip bintang saat memenuhi langit di malam hari. Sungguh pemandangan yang indah, kegembiraan bertambah di atas sampan saat Si Pengayuh membawa sampan menuju ke pepohonan dan kami meletakkan hewan kelap-kelip itu di telapak tangan. Perjalanan menikmati kelap kelip di atas sampan tak terasa sudah 20 menit. Perjalanan singkat nan indah itu mampu membayar kegundahan kami menunggu selama 2 jam untuk menikmati wisata ini.
Wisata “Kelip-Kelip” di Kampung Kuantan
Akhirnya kami beranjak dari Kampong Kuantan menuju ke rumah untuk melepas lelah seharian melancong di Selangor. Perjalanan di hari pertama ini sungguh sangat berkesan. Lelah dibayar dengan hal-hal yang menarik. Khasanah pengetahuan kami sedikit bertambah tentang apa yang kami kunjungi. Tak hanya saat mengamati hal-hal baru di museum, tapi saat berdiskusi di perjalanan mengunjungi setiap tempat adalah momen yang menjadi bagian penting memperoleh informasi dan pengetahuan terkait misi dari tim Lontara Project. Berkat bantuan dari Abang Zahamri di hari pertama, kami bisa menikmati perjalanan pengetahuan tentang negeri ini. Kesan hari pertama sangat indah dan menyenangkan. Seindah cinta di selat Malaka, seharu kasih kepada Shah Alam dan Semegah paras Mesjid Biru.
Muhammad Ulil Ahsan Arif, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang masih duduk di semester enam Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya dihttp://ulilahsan.wordpress.com/