Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Mata Jawaku Menatap Songkabala di Lae-Lae

Sobat Lontara, pada tanggal 15 September 2023 yang lalu, Makassar Biennale bekerjasama dengan Gymnastik Emporium, Indonesian Dance Festival dan masyarakat di Pulau Lae-Lae mengadakan sebuah perhelatan berjudul “Songkabala Lae-Lae”. Songkabala yang merupakan tradisi tahunan masyarakat Pulau Lae-Lae ini adalah salah satu bentuk penolakan warga atas rencana reklamasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pada liputan kali ini, Gladhys Elliona, seorang penulis dan peneliti seni dari Jakarta/Yogyakarta yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Makassar, ingin berbagi tentang pengalamannya berada di Pulau Lae-Lae selama Songkabala berlangsung. Selamat membaca.

Siang itu matahari cukup terik, namun puluhan orang mengantre di Dermaga Kayu Bangkoa, kebanyakan dari mereka bagian dari kelompok seni atau perwakilan mahasiswa. Saat itu sekitar jam 14.00 WITA di hari Jumat 15 September 2023, waktu berkumpul peserta yang diminta oleh panitia. Menyeberang dengan kapal, membayar jasa penyeberangan sebesar Rp 25.000 dan berkumpul menunggu acara sengaja menjadi bagian dari dramaturgi Songkabala Lae-Lae. Menurut penuturan panitia, ada 37 orang yang mendaftar secara resmi di Google Form, tetapi kenyataannya lain. Dalam jendela waktu kedatangan peserta dan persiapan rangkaian dari jam 14.00-16.00, semakin banyak orang dari kota Makassar datang ke Pulau Lae-Lae ditambah dengan keterlibatan warga setempat. Diperkirakan lebih dari 130 orang berkumpul untuk menyusuri langkah songkabala yang telah dirancang oleh warga Lae-Lae bersama Gymnastik Emporium.

Songkabala yang merupakan bahasa Makassar dari upacara tolak bala sebenarnya adalah salah satu komponen budaya yang familiar di Sulawesi Selatan. Dengan adanya diskriminasi terhadap kepercayaan asli, kini songkabala jarang dilakukan. Seperti banyak bentuk tolak bala lain, songkabala merupakan sebuah ritual dengan doa-doa agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi serta melindungi masyarakat dari efek buruk berbagai hal. Dalam konteks Songkabala
Lae-Lae
, masyarakat Lae-Lae dan Gymnastik Emporium berupaya untuk menolak reklamasi dengan bentuk seni gerakan bersama-sama.

Songkabala dibuka pada jam 16.00 dengan tarian Pakarena sebagai simbolisme selamat datang, ditarikan oleh remaja perempuan Lae-Lae. Acara kemudian diikuti dengan iringan musik folk oleh Has dan joget bersama peserta dan warga. Joget bersama ini bahkan diinisiasi oleh pendiri Indonesian Dance Festival: Nungki Kusumastuti dan Maria Darmaningsih yang pada saat itu ikut hadir dan melebur bersama para peserta. Pembukaan diakhiri dengan teater boneka
tentang kelautan. Rangkaian awal ini terlihat mencampurkan berbagai jenis kesenian dalam bentuk perayaan kolektif, namun tetap mengutamakan esensi gerak bersama.

Peserta kemudian diajak untuk menuju salah satu situs keramat Pulau Lae-Lae di mana terdapat makam leluhur pertama di pulau itu, bunker buatan penjajah Jepang, dan pohon yang dipercaya sebagai pohon tertua di sana. Peserta, panitia, dan tokoh masyarakat tampak memadat di area terbuka tersebut. Kejadian seperti kesurupan yang menimpa warga setempat tak terelakkan terjadi. Satu perempuan dipercaya dirasuki buaya laut karena ia kerap memejamkan mata dan bergerak melata, perempuan lain melotot dan marah-marah dengan bahasa orang tua kepada pemain gendang karena leluhur yang merasukinya tahu bahwa ketukan pemain gendang tidak tepat. Musik tradisional gendang dan seruling memang mengiringi rangkaian songkabala sejak fase ini. Dalam rangkaian ini, bersama juru kunci makam, beberapa undangan dapat menyaksikan dan diajak untuk langsung untuk merapalkan doa dan menyuguhkan sesajen untuk leluhur. Banyak pula makanan yang diasapi dupa untuk diberkati.

Setelah menyampaikan hormat kepada leluhur di langkah kedua, para pemusik memimpin langkah para peserta ke rumah Daeng Kanna. Di sana sudah dibuatkan arena khusus untuk menari Pakarena bersama sang maestro berusia 98 tahun itu. Bahkan ada beberapa hal yang tidak biasa dilakukan, selain memperbolehkan orang dari luar Makassar pada lingkar tari itu, terdapat pula seorang bissu muda yang menari bersama.

Selama menuju langkah selanjutnya, peserta diajak untuk menikmati makanan khas yang dibuat oleh ibu-ibu Lae-Lae, terbuat dari anggur laut, rumput laut, dan hidangan bahari lainnya. Peserta juga diperlihatkan arsip foto warga Lae-Lae yang ditampilkan di tembok rumah warga sebagai sebuah pameran kecil, di dalamnya terdapat foto keseharian hingga dokumentasi aksi blokade beberapa waktu lalu. Beberapa benda kebudayaan juga tampak menjadi bagian dari
pameran kecil tak jauh dari sumur Belanda pulau itu, seperti pusaka kecil dan badik.

Di rangkaian menuju akhir, pemusik bersama beberapa tamu undangan dan tokoh masyarakat berdoa dan mempersembahkan sesajen ke makam leluhur perempuan yang dipercaya sebagai keturunan bangsawan yang menetap di Lae-Lae. Daeng Bau’, yang membawa lukisan perempuan laut interpretasi seniman Nur Ikayani (ilustrasi dalam poster Songkabala versi Makassar Biennale), juga secara spontan menyampaikan sebuah pidato. Beliau merasa
pergerakan dan perjuangan warga Lae-Lae ini didukung banyak orang dan berkata bahwa:

“Kami memeluk laut dan laut memeluk kami.”

Rangkaian ditutup dengan melarung sesajen dupa kelapa yang sudah didoakan dan telah menjadi bagian dari perjalanan bersama dari dermaga hingga sekarang. Pelarungan sesajen kelapa itu diiringi musik tradisional gendang dan seruling dan sorak sorai peserta songkabala. Warga dan pendatang melebur bersama dan merayakan fenomena budaya yang hangat dan didasari rasa saling mendukung itu. Sesajen kelapa hanyut di laut Makassar bersamaan dengan
terbenamnya matahari di ufuk barat. Pemandangan ini menjadi penutup songkabala yang terasa katartik dan membuat hati gembira banyak orang di hari itu.

Perlawanan memiliki banyak bentuk. Pada usaha-usaha sebelumnya, masyarakat Lae-Lae telah melakukan pemblokiran jalur laut terhadap otoritas pro-reklamasi yang hendak masuk ke pulau mereka. September lalu, masyarakat Lae-Lae memiliki cara baru untuk bergerak. Bersama dengan Gymnastik Emporium, kolektif pertunjukan asal Yogyakarta, masyarakat Lae-Lae dan beberapa aktivis yang ikut membela isu Lae-Lae melakukan koreografi sosial dalam bentuk songkabala. Koreografi sosial ini juga merupakan prakarsa Indonesian Dance Festival dan Makassar Biennale 2023.


Tiga Assipa
Walau acara songkabala yang saya deskripsikan barusan adalah, salah satunya, karena memenuhi urusan pekerjaan, kunjungan saya ke Makassar untuk pertama kali ini untuk membentuk impresi. Makassar adalah kota yang dibanggakan oleh sahabat-sahabat saya. Saya yang tidak benar-benar punya pengalaman dengan Timur Indonesia mendapatkan kesan membahagiakan di sini. Rasanya seperti mencecap kegurihan khas, yang teman baik saya, Ananda Zhafira, katakan: assipa. Saya merasa ada tiga hal yang membuat impresi saya begitu assipa di sini.

Pertama, lingkaran pelaku budaya yang saya kenal sedari awal tahu memiliki kesadaran lepas dari poros ke-Jawaan; namun di sisi lain ada juga yang memang murni menjaga marwah-marwah tradisi. Ada yang pernah bertanya pada saya: “Anak-anak seni di Makassar belum toxic kan?”.

Saya cuma bisa menjawab dengan rasa Jawa saya: belum dan sangat terbuka. Bahkan para penjaga bentuk seni tradisional juga membukakan sekali pintu untuk saya merasakan bagaimana
budaya tradisi Makassar yang asli. Di sisi lain, saya juga melihat pendekatan seni kontemporer yang lain; yang tidak Eurosentris dan Jawasentris. Pertemuan saya dengan Makassar Biennale dan seniman nasional serta internasional yang terlibat membuat saya berpikir: ah, kita bisa kok membuat seni yang menyentuh dan tak perlu “grandeur”, yang dekat dengan keseharian. Melihat Rumata’ Art Space misalnya, membuat saya jadi punya kepercayaan bahwa, kalau ada yang mau membangun ruang seni dengan apa yang paling dekat dengan mereka (ditambah dengan kritik pribadi atas satu-dua hal tertentu), siapapun akan dimampukan.

Kedua, makanannya yang soul food. Banyak nama ikan yang saya tidak pernah dengar seumur hidup saya; rasanya pun melebihi apa yang ada di Jawa. Cumi bakar yang tebalnya lebih dari 3 cm, ikan bakar dengan bumbu yang tak terbayangkan, serta kelapa dan rempah segar yang ada di dalam pallubasa. Saya langsung menyadari betul bahwa, makanan ini adalah representasi tanah dan air Sulawesi. Makanan yang otentisitasnya mesti dijaga dan dipertahankan. Di tengah
gempuran makanan dan tren konsumsi yang berpusat dari Jakarta dan pulau Jawa, semestinya assipa makanan Sulawesi Selatan akan selalu tak lekang dihabiskan zaman. Saya merasa ada yang mengucapkan selamat datang setiap kali hangat makanan Makassar menyentuh lidah dan perut saya.

Ketiga, spiritualitas dengan warna berbeda. Ini yang sesungguhnya membuat saya agak shock, sebab sebagai seseorang yang memang tertarik pada bidang spiritual, saya merasa mungkin bisa berkenalan dengan energi di Sulawesi, tampaknya saya terlalu percaya diri. Ada banyak hal yang tidak saya kenali dan tidak pernah saya sentuh sebelumnya. Utamanya vibrasi dan cara berkomunikasi. Saya berkesempatan melihat fenomena trance (atau bisa dibilang
kesurupan) sekitar lebih dari empat kali dalam dua hari. Ada yang melata, ada yang melotot dan protes soal pukulan kendang, ada yang menari dan bergumam dalam nada yang membuat bulu kuduk saya merinding, ada pula yang bersentuhan dengan leluhur yang tersakiti. Saya pikir, Jawa sudah cukup beragam soal fenomena ini, tapi ternyata saya salah: ada banyak spektrum pengalaman tak nalar yang belum saya kenali. Menariknya, tidak seperti banyak orang kota atau
Jawa yang mulai ingin menalar-nalarkan keadaan ini, orang Makassar terlihat lempeng-lempeng saja. Tidak mengkritisi, tapi tidak juga menolak kenyataan bahwa hal ini bisa terjadi. Apa mungkin itu bentuk kerendahan hati berkehidupan dengan yang tak kasat mata?

Begitulah impresiku terhadap Makassar. Mungkin pandanganku akan sangat keJawa-Jawaan, tapi mungkin itu yang membuatku melihat Makassar begitu berwarna: lautnya, tariannya, tawa
orang-orangnya. Satu hal yang aku tahu, kalau aku kembali lagi ke Makassar, mereka akan membuka pintu selebar-lebarnya untukku mengalami dinamika dan assipa lain yang biasa aku
dengar dari cerita-cerita orang saja.

Gladhys Elliona adalah penulis dan peneliti seni. Ia lulus dari Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada di tahun 2022. Gladhys telah menerbitkan dan menerjemahkan di beberapa buku, antara lain: Tentang Desir dan kisah-kisah lainnya (2019) dan 1970: sebuah novel (2023). Ia juga terlibat dan menulis di berbagai program seni budaya lintas disiplin skala nasional dan internasional sejak tahun 2014. Saat ini, ia menjabat sebagai Koordinator Riset di Yayasan Loka Tari Nusantara dan Peneliti Mitra bidang sastra Asia di CEÁSIA, Universidade Federal de Pernambuco, Brasil.

Categories
Featured Liputan

Heritage Conservation: Australia

Sekali lagi, Melbourne dianugerahi predikat sebagai Ranking 1 “The Most Livable City in the World”. Dan belakangan saya ketahui dinobatkan sebagai City of Literature oleh UNESCO pada tahun 2014.

The Iconic Flinders Station di Swanston Street

Kok bisa? Terlepas dari kontroversi dari masyarakat Melbourne sendiri, sebagai pelajar internasional yang telah berdomisili disini selama kurang lebih tiga semester, saya tidak punya banyak hak untuk mengkritik. Tugas utama sih ya pasti belajar, tapi seperti biasa – merantau itu menjanjikan lebih banyak pengalaman. Lebih dari yang bisa kita peroleh di ruang kelas tentunya. Dalam beberapa misi dan minat yang berhubungan dengan tourism & heritage, di Melbourne ini saya belajar banyak mengenai konservasi budaya. Sejujurnya, seringkali menyebabkan kecil hati dan ironis berkepanjangan. Untuk urusan penanganan situs-situs budaya dan sejarah, kota Melbourne sendiri perlu diacungi empat jempol.

Secara historis, tidak banyak variasi yang bisa ditawarkan oleh pemerintah Australia kepada wisatawan mancanegara. Australia cukup terkenal dengan kondisi geografinya yang unik meskipun bisa dibilang terlalu kering bagi orang-orang yang terbiasa hidup di wilayah tropis. Bagian utara yang berseberangan dengan Indonesia dan tengah benua menawarkan tur-tur gurun untuk mengeksplor lebih banyak kebudayaan asli Aborigin atau jenis-jenis fauna liar dan buas; mulai dari jenis kadal, hingga buaya air asin. Sementara bagian selatan Australia lebih cocok bagi mereka yang ingin merasakan empat musim secara berkala. Sangat jelas kelihatan, pemerintah Australia memeras otak untuk mempromosikan negaranya sebagai alternatif utama liburan bagi siapa saja – dan berhasil.

Tidak seperti kota-kota lain di Australia, hampir semua mahasiswa Indonesia berpendapat bahwa walaupun cuacanya terlampau labil, namun dari segi tata kota dan transportasi publik, Melbourne-lah yang paling nyaman untuk dihuni. Untuk mahasiswa beasiswa yang perhitungan seperti kami, Melbourne adalah surga jalan-jalan. Disini sebagian besar Museum, perpustakaan, galeri nasional, dan taman dapat dikunjungi secara gratis. Ya, Gratis! Entah berapa miliar anggaran daerah yang berani digelontorkan untuk biaya perawatan spot-spot heritage seperti itu. Tapi yang jelas, tanpa program konservasi heritage dan festival, mungkin Melbourne tidak akan pernah seramai sekarang. Kota ini tidak pernah sepi dari ratusan program entertainment tiga bulan sekali. Bahkan di saat-saat tertentu, kami merayakan momen dimana gedung-gedung bersejarah dibuka untuk pengunjung umum seperti pada Australian Day dan Australian Open Day.

Perpustakaan Gedung Parlemen

Ketjeh!

Kebanyakan gedung bersejarah di kota Melbourne masih difungsikan seperti biasa. Meski beberapa telah diambil alih oleh perusahaan-perusahaan komersil seperti pusat perbelanjaan, tapi disini pemerintah Kota Melbourne membuktikan bahwa mereka mengawasi ketat masalah pemeliharaan dan hak milik dari gedung-gedung tersebut. Tentu saja, disini pemerintah dan warganya sama-sama berkomitmen untuk mengembangkan kota. Tidak hanya secara sepihak loh ya. Pemerintah senantiasa mengedukasi masyarakat Melbourne mengenai value dari bangunan bersejarah. Tanpa eksplorasi budaya dan sejarah yang cukup kontroversi itu Australia hanyalah negara biasa yang bergantung pada hasil alam yang juga tidak seberapa banyak. Ketika persediaan emas sudah habis, orang-orang Australia telah mengamankan kota dengan cara mengadakan hiburan komersil maupun non-komersil bagi para wisatawan. Apalagi dengan diakuinya universitas-universitas Australia sebagai institusi pendidikan kelas dunia, membuat seolah gelombang pengunjung yang datang dan pergi di Melbourne (mahasiswa, papa mamanya mahasiswa, dan teman-teman sekampungnya mahasiswa) tidak pernah berhenti. Setiap hari berasa libur. Singkat kata mah, bikinlah orang-orang betah tinggal di Melbourne!

 

bersambung…

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Menggambar Kenangan Lewat Lukisan

Sore itu, mungkin jadi salah satu sore yang paling sibuk di Makassar. Padatnya arus lalu lintas di setiap ruas-ruas jalan, membuat saya harus berkonsentrasi penuh mengemudikan motor di antara berpuluh-puluh jenis kendaraan lainnya. Namun kami sudah mengatur jadwal, akan bertemu dengan Seorang Pelukis Tanah Liat, bahkan mungkin masih satu-satunya di Dunia.

Salah satu Lukisan Kilat Daeng Beta

Sepulang dari Fort Rotterdam, walau dehidrasi menyerang badan, memaksa bulir-bulir keringat jatuh dengan tak acuh, akhirnya saya dan Wulan, tiba di Hotel Clarion. Kebetulan memang ada pameran busana muslimah. Kami heran juga, apakah Daeng juga memiliki usaha butik selain profesinya melukis? Ya sudahlah, yang jelas kami hanya ingin bertemu dengan Zainal Beta, yang juga sekaligus membimbing beberapa komunitas Seni Rupa di Makassar. Salah satunya adalah Indonesia’s Sketcher. Kami ingin berbincang sebentar, mengundang beliau untuk menjadi pembicara Heritage Camp Agustus besok.

Karena bingung, di mana kah gerangan mencari stand Daeng Beta, walaupun sudah menelepon dan diminta mencari stand lukisan, kami yang sempat berputar-putar di area pameran, akhirnya menyerah dan bertanya pada Petugas Karcis masuk, “Oh, itu Dek. Ada ki di nomor 7, di samping panggung.”

Walahh, kami tak berpikir sejauh itu. Maklum, saat masuk, di panggung sendiri sedang diadakan bincang-bincang dengan Puput Melati, walhasil penontonnya yang mayoritas terdiri dari kaum ibu-ibu langsung memadati area sekitar panggung. Kami pun masuk lagi, lewat jalan samping, dan seketika saya berujar pada Wulan, “Itu e! Deh, sangar ya tampangnya.”

Tapi mau tak mau saya harus menyapa. Dan apa yang terjadi? Ohlala, Daeng Beta ternyata SRS. Sungguh Ramah Sekali. Di antara stand-stand busana muslimah trendi lainnya, lukisan-lukisan tanah liat milik Daeng Beta mirip sebuah gerobak es buah : menyegarkan!

Baru kali ini saya berkesempatan melihat langsung hasil lukisan tanah liat itu. Kami tak hentinya berdecak kagum, apalagi sambil ngobrol dengan Sang Maestro yang memulai karya-karyanya ini pada tahun 80-an.

Daeng Beta, hingga hari ini, masih menggunakan tanah liat asli dari Indonesia. Walau lukisan-lukisannya sudah bertaraf Internasional, bahkan sudah ditawari untuk tinggal di Amerika, beliau memutuskan untuk tetap tinggal disini. Sambil menekuni profesi dan mendidik siapa pun yang mau belajar melukis di studio miliknya di  Gedung G Fort Rotterdam.

“Salah satu yang paling berkesan hingga hari ini, adalah ketika Affandy, yang kalo Presiden saja mau bertemu dengannya – pun dia tolak, mencari saya pada tahun 1986. Dia (Affandy) kaget mengetahui usia saya pada saat itu masih 26 tahun. Hingga saat ini, dia Profesor, saya masih Doktor. Hahahaha…” kenangnya dengan raut wajah gembira. Kami yang tadinya hanya ingin mengundang, entah tiba-tiba berubah penasaran. Jadi kepo. Ingin tahu ini itu tentang Daeng Beta dan karya-karyanya.

Berapa lama Daeng Beta mengerjakan sebuah lukisan? Beliau malah bertanya balik, “Mau coba tidak? Satu lukisan kecil begini dua menit saja. Kalau yang rumit, sekitar sejam dua jam.” Ia pun mengeluarkan alat-alat sederhananya.

Peralatan sederhana Daeng Beta

“Tanah liat ini diolah selama 3 bulan. Ya, supaya tidak kotor lagi dan juga tidak berbau. Tapi karakter tanah liat itu sendiri sudah berbeda-beda.” Kami memang mendapati tanah liat itu masing-masing memiliki tingkat warna yang tidak sama. Ada yang cokelat, ada yang kemerah-merahan. Ada yang agak kuning. Tapi semuanya sudah lunak seperti cat poster.

“Ini apa Daeng? Bambu kah?” Saya menunjuk sebuah alat yang mirip dengan pisau cutter. “Oh iya, ini memang bambu. Nanti kamu bisa melihat kegunaan bambu-bambu ini.” Terangnya sabar.

Tanpa saya sadari, beberapa pengunjung lain berdatangan ke stand Daeng Beta, ikut menyaksikan demo lukis yang sungguh sebentar sekali itu. Mereka pun terpancing untuk ikut bertanya, “Wah, lukisan Bapak bagus sekali. Seni itu memang mahal ya…” Daeng Beta hanya menjawab, “Iya.. Kalau mau dibilang mahal, ya mahal. Kalau mau dibilang murah, ya murah juga. Semuanya relatif. Hahahaha..”

Jika melihat lukisan-lukisan Daeng yang memang bernuansakan pedesaan dan kehidupan nelayan di laut, memang itulah salah satu gaya andalan Pelukis berperawakan kecil tapi lincah ini. “Ya, dulu kan banyak sawah. Bahkan tanah yang kita injak ini dulunya sawah. Ada kerbau, anak-anak bermain, perahu-perahu tradisional. Tapi semuanya digantikan sama gedung-gedung tinggi. Saya memang suka menggambar pemandangan, kalau susah itu seperti menggambar wajah. Bisa makan waktu 3 hari karena bukan mirip lagi, tapi memang harus mirip! Hahaha…” Daeng Beta memang gemar tertawa. Hahaha…

Kini keahliannya banyak turun kepada generasi yang lebih muda. Kepada anak-anaknya, kepada muridnya. Daeng Beta bertutur panjang tentang pentingnya regenerasi. “Nanti beberapa tahun lagi, akan banyak seperti ini. Variasi semakin berkembang, hanya saja, perlu untuk mencari satu hal yang bisa ditonjolkan. Budaya itu salah satunya.”

Kami menutup dialog hari itu dengan saling bertukar kartu nama. Wah, rasanya tidak sabar menggelar workshop melukis tanah liat kepada peserta-peserta Heritage Camp. Supaya semakin banyak yang tahu, bahwa melestarikan kearifan lokal itu tidak melulu membosankan.