Siang hari yang terik di bawah naungan Baruga Universitas Hasanuddin, Makassar. Angin yang bertiup sepoi-sepoi ternyata belum mampu untuk menahan keringat yang mengalir deras membasahi dahi dan punggung kami. Pasca Dhuhur, saya dan rekan Setia Negara duduk termangu menunggu kepastian di depan gedung rektorat universitas berlambang ayam jantan tersebut. Untuk apa saya yang melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada dan Setia yang notabene merupakan mahasiswa tingkat tujuh di Institut Teknologi Bandung duduk-duduk iseng di anak tangga gedung rektorat universitas lain? Jawabannya datang sekitar empat puluh lima menit setelah kami dengan sabarnya kepanasan menunggu saudari Maharani Budi.
Yang kami tunggu-tunggu dengan tergopoh-gopoh datang dan meminta maaf atas keterlambatannya. Tanpa banyak basa-basi kami pun segera melangkahkan kaki menuju Fakultas Ilmu Budaya yang lokasinya berada persis di sebelah gedung rektorat. Sesampainya di sana, terus terang kami bingung. Kemana (atau kepada siapa) kami harus bertanya untuk mengumpulkan informasi? Setelah beberapa menit celingak-celinguk kehilangan arah di tengah kumpulan mahasiswa Sastra Daerah yang menatap kami dengan dingin dari pinggiran koridor, kami memutuskan untuk mendatangi himpunan kemahasiswaan mereka. Di tempat yang kecil itu beberapa mahasiswa tampak sedang duduk-duduk bersendau gurau atau tidur-tiduran. Adapula yang sedang asyik berkutat dengan laptop dihadapannya (tugas? facebook?). Ketika kami menyampaikan niat untuk “mengenal” lebih lanjut tentang La Galigo, mereka dengan segera mengarahkan kami untuk berkunjung ke Laboratorium Naskah di lantai dua gedung tersebut. Dengan di-escort oleh salah seorang mahasiswi baru, sampailah kami di depan sebuah pintu berwarna abu-abu yang tidak sabar untuk kami masuki.
Berkenalan dengan La Galigo: Asli Indonesia, Tersimpan di Belanda
Sekali lagi kesabaran kami harus diuji. Kami bertiga tidak dapat langsung masuk dan “menemui” La Galigo yang kami incar-incar itu karena ruangannya ternyata dikunci. Jelas si mahasiswi baru tidak memiliki kuncinya. Dengan penuh kepasrahan, kami harus menunggu. Maklum, saat itu memang masih jam istirahat siang Pegawai Negri Sipil. Setelah duduk termangu (lagi) selama hampir 15 menit, seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan berjalan perlahan menuju Laboratorium Naskah. Pucuk dicinta ulam pun tiba, kami segera melompat dari tempat duduk kami dan memperkenalkan diri. Dengan senyum yang bak oase di tengah panasnya sahara siang hari itu, ia membukakan pintu Laboratorium Naskah dan memperkenankan kami masuk.
Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Bu Chia itu adalah seorang staff pengajar (dosen) di Sastra Daerah Universitas Hasanuddin. Beliau bersedia berbagi informasi kepada kami untuk mengenal lebih lanjut mengenai La Galigo. Beruntungnya lagi, ternyata beliau merupakan salah satu dari sedikit akademisi di Sulawesi Selatan (dan Indonesia) yang berkecimpung di dunia penelitian dan penulisan mengenai epik bangsa Austronesia terpanjang di dunia ini.
Berdasarkan penjelasan beliau, naskah Sureq Galigo merupakan naskah yang ditulis di atas lembaran-lembaran daun lontar (biasa disebut lontaraq) dengan menggunakan Bahasa Bugis Kuno, bahasa yang kini sudah tidak ada penuturnya. Sureq Galigo berisi cerita mengenai kemunculan manusia pertama di muka bumi untuk membangun peradaban. Disebutkan secara eksplisit bahwa manusia lahir untuk memuja Dewa di Langit (Datu Patotoe) melalui kalimat,
Teddewata iq, Puang, rekkua masuaq tau
Ri awaq langiq, le ri meneqna Peretiwie
Mattampa puang le ri Batara.
(You are not a god, Lord, if there are no humans
Under the heavens, above the Underworld,
to call the gods Lord)
Di dalamnya diceritakan pula kisah-kisah keturunan para tumanurung (orang yang turun dari langit) sebelum akhirnya mereka naik kembali dan meninggalkan bumi untuk dikuasai oleh umat manusia. Kisah La Galigo pada umumnya dituturkan oleh passureq (pembaca lontaraq) di upacara-upacara adat. Diperlukan suatu ritual khusus sebelum passureq mulai melagukan epik kuno ini. Naskah-naskah tersebut banyak terdapat di Sulawesi Selatan, akan tetapi umumnya hanya berupa fragmen atau petikan-petikan episode dari kisah keseluruhan La Galigo. Naskah La Galigo terlengkap yang ada di dunia hanya ada satu dan tidak terdapat di Sulawesi Selatan atau Indonesia sebagai tempat asal mula kisah ini berasal. Uniknya naskah itu sejak tahun 1800-an justru terdapat di Perpustakaan KITLV Leiden, Belanda.
Bu Chia sempat menyinggung betapa sedikitnya orang yang sanggup membaca teks La Galigo. Perlu digarisbawahi, membaca di sini tidak sama dengan membaca dalam artian harfiah. Banyak masyarakat Sulawesi Selatan di daerah yang sanggup membaca aksara lontaraq, abjad yang digunakan dalam naskah La Galigo. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang dapat memahami isinya, mengingat bahasa serta ketinggian sastra yang digunakan. Naskah yang terdapat di Belanda ini disusun oleh seorang ratu dari negri Pancana (Sekarang berada di Kabupaten Barru) bernama Colliq Pujie atas permintaan seorang penginjil bernama B.F.F. Matthes. Bersama dengan anak perempuannya, We Tenri Olla, Colliq Pujie mengumpulkan serpihan-serpihan naskah La Galigo dan mengompilasikannya menjadi sebuah manuskrip yang terdiri dari 300.000 larik cerita berangkai.
Naskah tersebut terbagi menjadi 12 volume. Dari ke-12 volume tersebut, baru dua yang dapat diterjemahkan. Dua terjemahan naskah tersebutlah yang ceritanya beredar di masyarakat luas dan menjadi sumber kajian oleh akademisi hari ini. Akan tetapi, isi kedua naskah pertama itu bahkan belum menyentuh petualangan I La Galigo, tokoh yang menjadi sorotan utama di dalam epik ini sama sekali. Jikapun ada tulisan yang berhubungan dengan tokoh atau petualangan I La Galigo, kebanyakan sifatnya hanya berupa ringkasan cerita, belum ada kisah lengkapnya. Menurut informasi dari Bu Chia, hanya Pak Salim (almarhum Muhammad Salim, sastrawan dan peneliti karya sastra klasik Bugis-Makassar) satu-satunya individu yang pernah membaca dan menerjemahkan ke-12 volume manuskrip tersebut. Sayangnya, Pak Salim yang meninggal di awal tahun ini belum sempat untuk menerbitkan terjemahannya ke khalayak umum. Untuk sementara, hak publikasi atas karya terjemahannya itu masih dipegang oleh keluarganya.
Mengetahui “harta karun” bangsa Indonesia serupa La Galigo ternyata berada di negara yang pernah menjajah kita selama 350 menjadi fakta yang amat menyedihkan. Mengapa tidak ada usaha dari pemerintah maupun legal standing prakarsa masyarakat kita sendiri untuk “merebut” apa yang seharusnya menjadi milik kita? Well, ternyata banyak pertimbangan serius. Apakah permindahan manuskrip langka dapat menjamin keselamatannya yang rentan terhadap kerusakan? Sumber daya manusia maupun teknologi yang digunakan oleh pemerintah masih kurang memadai. Ambil contoh jika kita memperbandingkannya dari segi sarana. Apabila di negri Daendels sana manuskrip Colliq Pujie mendapatkan perawatan intensif seperti tempat penyimpanan bersuhu khusus, maka sebaliknya di Indonesia kita hanya mampu menyediakan kotak kaca berdebu dengan penerangan dari cahaya lampu seadanya. Kita belum memiliki daya tawar untuk memulangkan harta karun tersebut.
Konservasi Kreatif La Galigo: Usaha Membentuk Perspektif Modern atas Budaya Kuno
Bu Chia amat mendukung usaha kami untuk PDKT terhadap La Galigo dan memperkenalkannya dengan bentuk baru kepada muda-mudi Indonesia di era globalisasi ini. Meminjam istilah Muhidin M. Dahlan saat saya temui di Gelaran I.Boe.Koe. bulan lalu, menyasar kaum muda zaman sekarang untuk mencintai budaya kuno caranya tiada lain tiada bukan ialah melalui “konservasi kreatif”. Menyajikan kemasan-kemasan baru atas karya kuna dengan mengerahkan segala daya cipta, rasa, dan karsa. Bentuknya dapat beragam; bisa melalui aransemen musik etnik, kaligrafi kontemporer aksara lontaraq, “mengurbanisasi” penggalan-penggalan kisah La Galigo, maupun mendesain karakter yang disiratkan oleh epik tersebut ke bentuk-bentuk yang familiar dengan kaum muda (seperti mengadopsi style anime maupun komik-komik DC/Marvel).
Lalu, bagaimana jika ada yang memprotes usaha kami untuk merevolusi tampilan La Galigo mengingat adanya pengultusan tradisi ini pada beberapa komunitas Bugis tradisional? Menanggapi hal tersebut Bu Chia berpendapat bahwa terdapat kebebasan dalam menafsirkan suatu hasil budaya dari berbagai sudut pandang. Bagi yang menafsirkan La Galigo sebagai “ayat-ayat suci” mereka punya pembelaan sendiri, dan bagi mereka yang berhaluan akademis sah-sah saja untuk mengangkat unsur intelektual atas peninggalan sejarah ini. Masalah kepercayaan terkadang sukar dicampur-adukkan dengan kepentingan untuk pengembangan informasi dan pengetahuan, namun titik temu keduanya terdapat pada penghormatan maupun kajian-kajian keilmuan yang muncul darinya.
Dilihat dari waktu ke waktu, sebenarnya bukan kali ini saja upaya membuat tampilan baru atas La Galigo muncul. Pada zaman menuju Islam di Sulawesi Selatan, terdapat unsur-unsur tauhid yang diselipkan ke dalam fragmen-fragmen La Galigo. Sebagai contoh, dikenal lontar yang mengisahkan perjalanan Sawerigading (ayah tokoh I La Galigo) berhaji menuju Mekkah. Untuk mengganti konsep polyteisme di dalam kisah-kisahnya, digunakanlah istilah Dewata Seuwae alias Tuhan Yang Maha Esa yang merombak pantheon Bugis kuno. Dengan demikian, kisah-kisah La Galigo pada lontar-lontar tersebut merupakan cerminan atas kondisi masyarakat pada saat itu. Pada tahun 2005 silam, seorang sutradara teater dari Amerika Serikat bernama Robert Wilson mendulang kesuksesan dengan mengemas kisah La Galigo ke panggung-panggung teater di Eropa, Asia, dan Amerika. Ide kreatif beliau mendapatkan sanjungan besar dari kalangan intelektual, penggiat seni, maupun tokoh masyarakat Sulawesi Selatan atas keunikan konsepnya.
Bu Chia mengaku, pemerintah belum memberikan perhatian yang lebih di bidang kebudayaan, utamanya terkait dengan La Galigo. Dari keterangan Bu Chia kami mendapat informasi bahwa ada sekitar 82 roll file di Badan Arsip Nasional Jakarta maupun Makassar yang menyimpan salinan naskah-naskah lontar dalam bentuk digital. Beberapa ada yang tidak dapat terbaca dikarenakan kondisi naskah yang jelek. Pemerintah baru akan ikut campur apabila ada keuntungan komersil yang ditawarkan. Kontras dengan apa yang dilakukan oleh pihak Belanda, dimana di sana bahkan terdapat usaha mengumpulkan naskah-naskah lontar dari Sulawesi untuk menambah koleksi sekaligus merehabilitasi bentuknya yang sudah tidak terawat lagi.
Pusat Studi La Galigo di Universitas Hasanuddin didirikan sebagai salah satu bentuk usaha untuk melestarikan karya sastra adiluhung nusantara ini. Namun ketika team kami berkunjung ke sana untuk memperoleh data, yang kami temukan adalah gedung tua seperti di film-film horor yang tengah direnovasi. Untuk waktu yang tak dapat diperkirakan, kami tidak dapat mengakses pelayanan informasi terhadap La Galigo. Miris melihat bagaimana akses masyarakat untuk mengetahui sastra yang terancam punah ini pun begitu sulit.
Siang itu ketika kami mengakhiri wawancara bersama Bu Chia, kami keluar Laboratorium Naskah Jurusan Sastra Daerah Universitas Hasanuddin dengan perasaan yang unidentified. Bahagia karena akhirnya dapat “bertemu” dengan La Galigo, bangga sekaligus sedih bercampur-campur setelah mengenalnya lebih dalam lagi. Yang pasti, kami mengantongi sebuah tekad. Kami ingin menyelamatkan warisan leluhur bangsa Indonesia hasil ketaman perjalanan tradisi selama berabad-abad ini. Satu-satunya yang dapat kami lakukan sebagai mahasiswa plus pemuda ialah dengan mewartakan eksistensi La Galigo kepada sesama kaum muda lainnya, generasi penerus bangsa. Dengan kepala dipenuhi oleh ide-ide baru, hari itu team La Galifo for Nusantara melenggang bersama tergelincirnya siang menuju senja.
Yogyakarta, 27 Oktober 2011