Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Senrijawa dan Ale Luwu

Di sepanjang epos La Galigo, dalam berbagai episodenya, Senrijawa dikenal sebagai tempat keturunan langit (tomanurung) memerintah. Berulang kali Senrijawa disebut memiliki berbagai macam perkakas indah yang jauh lebih maju dari kerajaan lain di muka bumi, benda-benda yang berasal dari kerajaan ini menjadi perkakas pelengkap upacara-upacara adat. Hal ini mengundang pertanyaan; sebenarnya apa dan dimanakah letak Senrijawa ini?

Ayat-ayat dalam epos La Galigo ada yang menyiratkan bahwa Senrijawa merupakan kerajaan langit yang diperintah oleh dewata. Ia berada di dimensi yang sama dengan istana Sao Kuta Pareppaqe, kediaman Datu PatotoE (Sang Penguasa Nasib) di Boting Langiq atau kahyangan. Penduduk Senrijawa bukanlah manusia biasa, mereka merupakan mahluk halus yang dapat merasuk ke dalam tubuh manusia. Episode Ritumpanna Welenrengnge mengabadikan salah satu contoh peristiwa trans ini;

“…anak raja nan dirasuk orang Senrijawa

Memerlukan adat kehiyangan,

Dilengkapi adat bissunya.

Kuheran jua melihatnya,

Orang Ruallette agaknya

Turun ke bumi di ruang mahligaimu

Orang Senrijawa datang menjelma

Di tepi peterana nan kemilau,

Dilengkapi adat bissu dari Ruallette

Dipalukan gendang irama gembira dari Senrijawa”

Orang Senrijawa yang bertubuh halus ini memiliki adat-istiadat yang mulia sehingga mesti disambut dengan kelengkapan adat yang sesuai. Akan tetapi, di episode lain digambarkan bahwa Senrijawa merupakan salah satu kerajaan besar di muka bumi yang dikuasai oleh keturunan Manurung. La Mappanyompa, seorang anak angkat Sawerigading, menjadi pemimpin di sana. Berikut cuplikan dari episode Sawerigading dan I La Galigo ke Senrijawa yang diterjemahkan oleh almarhum Muhammad Salim (dikutip dari blog beliau: http://lontarakpappasang.blogspot.com/2010/02/ringkasan-isi-surek-galigo-sawerigading.html), menggambarkan bahwa Senrijawa terletak “di bawah”;

“Setiba Wé Tenridio di Boting Langi, dia mendengar dari bawah bunyi gendang besar, gendang upacara Wé Tenribali saudara La Mappanyompa, yang sedang mengadakan upacara di Senrijawa.

Wé Tenridio meminta kepada suaminya agar dapat diturunkan sebentar ke Senrijawa untuk menyaksikan upacara sepupunya itu, tanpa dapat dilihat oleh orang lain.

Setibanya di Senrijawa, dia melihat menyaksikan ada tiga ratus orang anakarung yang memegang peralatan bissu dan menyaksikan juga kecantikan Wé Tenribali saudara La Mappanyompa.

To Sompa Riwu meminta kepada Wé Tenridio agar dapat menampakan dirinya supaya dapat dilihat dan dijemput kedatangannya oleh Wé Tenribali.”

Dilarik ke-16 dan ke-17 dikisahkan bahwa Sawerigading dan putranya I La Galigo pergi menuju hajatan besar tersebut dengan menggunakan kapal.

“Puluhan ribu pendamping Sawérigading, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa adalah anak angkat Sawérigading.
Dalam pelayarannya ke Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya Ladunrung Séreng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang didapat.”

Nah, jika Senrijawa dapat dijangkau oleh pelayaran di samudera dengan kapal Sawerigading berarti lokasinya terletak di suatu titik di kepulauan Nusantara kita. Menurut Christian Pelras di dalam buku Manusia Bugis, Senrijawa yang disebut di dalam naskah La Galigo sebenarnya merujuk kepada Sriwijaya, sebuah negara adidaya pada masa itu yang rajanya diagungkan dan dituakan seakan-akan sebagai keturunan surgawi. Pendapat bahwa Senrijawa sebenarnya merupakan perubahan bentuk atas nama “Sriwijaya” dalam lidah Bugis kuno diamini oleh Prof. Fachruddin Ambo Enre di dalam buku Ritumpanna Welenrengnge serta Prof. Nurhayati Rahman dalam karyanya tentang episode “Sompeqna Sawerigading Lao ri Cina”. Sriwijaya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan bersahabat dengan Ale Luwu sehingga kedua kerajaan tersebut disebutkan tidak pernah terlibat konflik bahkan saling dukung-mendukung dan memuliakan pihak yang satu dengan pihak lainnya.

Patung Perunggu Peninggalan Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Sumber: www.thailandsworld.com/

Menurut sejarawan JJ Rizal, kerajaan Sriwijaya selain terkenal sebagai pusat ekonomi (karena menguasai Selat Malaka sebagai “tenggorokan” perdagangan dunia yaitu dari Cina hingga India dan Arabia), kedatuan tersebut juga terkenal sebagai pusat agama Buddha dan pusat ilmu hukum. Prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaannya banyak yang membahas mengenai aturan-aturan, struktur pemerintahaan serta ketentuan hukum. Sriwijaya dalam menancapkan kukunya terfokus pada kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara. Jalur perdagangan maritim Sriwijaya sudah sejak masa pembangunan Borobudur terbentang dari pedalaman Nusantara hingga ke Afrika lho. Jalur ini dikenal juga dengan sebutan “Cinnamon Route” alias Rute Kayumanis. Saking besarnya pengaruh Sriwijaya ini, bahkan diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia. Baru-baru ini penelitian DNA berhasil membuktikan bahwa penduduk Madagaskar memiliki kesamaan DNA dengan orang-orang di daerah Kalimantan (Dayak Ma’anyan) dan Sumatera.

Hubungan akrab yang terjalin antara Senrijawa dan Ale Luwu sekali lagi membuktikan bahwa pada zaman dahulu pun kekerabatan antardaerah telah berlangsung dengan penuh rasa persahabatan dan kedamaian. Indahnya perbedaan dalam kesatuan!

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Sistem Perpajakan Dinasti Umayyah, Hubungannya dengan Sriwijaya, serta La Galigo

Wait, what? Yup, judul tulisan kita kali ini sedikit unik. Bukan sedikit, judul tulisan ini bahkan sangat unik. Emangnya ada hubungan apa antara kekhalifahan Umayyah di Timur Tengah sana dengan kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera? Terus apa sangkut pautnya dengan sistem perpajakan? Dengan La Galigo?

Tak perlu heran. Ketiga hal yang saling berjauhan ruang dan waktu tersebut memang tak dinyana terkait antara satu sama lain. Bicara tentang Nusantara kuno biasanya pola pikir kita akan digiring ke rempah-rempah Maluku yang memang sejak zaman Firaun dan kerajaan Saba telah menjadi incaran bangsa-bangsa asing. Sayangnya, pada cerita yang menarik berikut ini, Nusantara tidak ada kaitannya sama sekali dengan rempah-rempah ataupun Maluku. Ini adalah bukti bahwa sejarah itu sebenarnya menyenangkan: ada banyak kejutan menarik yang terselip di antara lembaran-lembarannya yang tidak pernah anda sangka-sangka.

Pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW, kekuatan Islam dengan ajaibnya melebar luas melintasi batas Hijaz, Semenanjung Arabia. Bayangkan, pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan saja (644-656 M) kekuasaan Islam sudah terentang dari Tripoli (Libya) hingga wilayah Azerbaijan modern. Saking luasnya Daulah Islamiyah, sampai-sampai terjadi banyak perubahan cara membaca Alquran yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dialek. Itulah sebabnya baru pada masa khalifah Utsman-lah kitab suci Alquran dibukukan agar seragam, demi menghindari kesalahan dalam hal pembacaan dan penafsirannya.

Pasca wafatnya khalifah Utsman, timbul kegoncangan di dunia kekhalifahan. Singkat cerita, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat. Setelah masa pemerintahan Ali yang ditandai dengan banyak sekali cobaan dan fitnah, umat Islam mulai terpecah menjadi tiga golongan besar; masyarakat luas pada umumnya yang larut dalam arus politik dengan pasrah; kaum Syiah alias pendukung Ali dan keluarganya; serta kaum Khawarij yang memutuskan untuk keluar dari kesepakatan mayoritas dan membuat gerakan oposisi mematikan. Ketika Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib naik menjadi khalifah menggantkan sang ayag, Ia mendapatkan perlawanan yang keras oleh Muawiyah bin Abi Sofyan dari keluarga Umayyah. Perlahan-lahan, dendam lama yang telah mendarah-daging di tubuh Arab Quraisy antara keluarga Hasyim (Al-Hasan) dan Umayyah (Muawiyah) kembali menggelegak.

Masjid Umayyah di Damascus, Syria. Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/08/06/128508-masjid-umayyah-inspirasi-romawi-dan-persia

Demi menjaga stabilitas pemerintahan dan keamanan masyarakat, Al-Hasan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Muawiyah. Ia rela berkorban demi kepentingan umat. Maka dimulailah era pemerintahan Dinasti Umayyah yang dipelopori oleh Muawiyah itu. Secara ekspansif kekhalifahan Umayyah berhasil melebarkan sayapnya ke timur hingga Semenanjung Iberia (Spanyol), serta ke barat hingga ke perbatasan India dan Cina. Lokasi ibu kotanya yang berada di Damaskus membuat Dinasti Umayyah banyak belajar dari peradaban Romawi. Untuk pertama kalinya dunia Islam mencetak mata uang mereka sendiri (dengan gaya Romawi). Untuk pertama kalinya sebuah mesjid jami’ di luar Makkah dan Madinah dibangun secara grandeur (dengan arsitektur Romawi). Untuk pertama kalinya di dunia Islam, jabatan khalifah diwariskan melalui hubungan darah. Dinasti Umayyah berimprovisasi sedemikian hebatnya sehingga bentuk pemerintahan Islam sederhana yang diwariskan oleh Nabi Muhammad dahulu hampir tidak kelihatan lagi. Akan tetapi, di tengah segala euforia bangsa Arab melihat dunia luar untuk pertama kalinya, mereka tetap memegang fanatisme teguh terhadap bahasa dan budaya gurun pasir. Tidak heran jika seiring dengan meluasnya pengaruh Umayyah, meluas pula arabisasi bahasa dan budaya.

Sistem Pajak Umayyah dan Inovasi Umar bin Abdul Aziz

Di dalam wilayah kekuasaan Islam, seluruh rakyatnya tunduk kepada hukum syariah. Non-muslim yang dijuluki sebagai “ahlu-dzimmi” diijinkan untuk hidup dan beraktifitas seperti penduduk muslim lainnya, hanya saja mereka mendapatkan kewajiban khusus bernama jizyah alias pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Jizyah ini menjadi jaminan sekaligus tanda bahwa mereka tunduk pada pemerintah setempat, setia, serta berada di dalam perlindungan. Karena telah membayar jizyah, maka golongan ahlu-dzimmi juga terbebas dari ketentuan wajib militer.

Ketika kekhalifahan Umayyah semakin luas pengaruhnya, negara menjadi semakin kaya atas pemasukan yang mereka dapat dari golongan ahlu-dzimmah ini. Orang Kristen Coptic, orang Majusi dari Persia, orang Dacia di Syam, orang Yahudi, orang Berber di Afrika Utara, semuanya bebas memeluk agama masing-masing sepanjang mereka membayar jizyah. Hal ini tentu saja membuat pemerintah Umayyah berkantong semakin tebal. Belum pernah dalam sejarah bangsa Arab yang hidup di gurun, mereka melihat uang dalam jumlah ratusan kilogram emas. Dalam sekejap pejabat-pejabat Umayyah menjadi kaya dan bahagia; istana-istana, tempat pemandian, dan kebun-kebun didirikan. Saat itu jelas Kekhalifahan Umayyah adalah superpower baru yang sedang berhadapan langsung dengan superpower lainnya di seberang Laut Tengah; Romawi yang sedang sekarat. Semuanya sepertinya akan terus berjalan lancar dan penuh kebahagiaan, sampai tiba waktunya seorang pemuda bernama Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah.

Umar bin Abdul Aziz ialah seorang lelaki yang amat saleh. Ia lembut hatinya, namun merupakan seorang pemimpin yang tegas dan adil. Umar menolak diberi fasilitas bak seorang raja saat menjabat, ia hanya meminta seekor keledai betina untuk dijadikan kendaraan. Bajunya sering ia tambal dan kusut, ia menolak jubah sutera indah yang dikhususkan untuk para khalifah Umayyah. Ketika khalifah-khalifah pendahulunya sibuk bermewah-mewahan, maka orientasi pembangunan Umar ialah peningkatan mutu spiritualisme. Pada masanya Islam didakwahkan dengan sistematis sehingga tidak heran banyak ahlu-dzimmah kemudian masuk Islam.

Berbondong-bondongnya golongan ahlu-dzimmah yang masuk Islam ini membuat Baitul Mal alias kas negara ngedrop secara drastis. Para pejabat Umayyah menjadi kalangkabut. Mereka berpikir keras bagaimana cara untuk membuat pemasukan jizyah dari ahlu-dzimmah masih terus mengalir. Ketika mereka mengusulkan kepada Umar untuk menaikkan tarif jizyah, ide tersebut langsung ditolaknya mentah-mentah. Bagi sang khalifah, tidak ada yang bisa menghalangi manusia untuk memasuki agama Allah, apalagi hanya karena uang. Umar mengirimkan banyak sekali materi mengenai Islam ke berbagai macam daerah taklukkan dan tetangga kekhalifahan Umayyah. Pada masa pemerintahannya inilah seluruh suku Berber masuk Islam dan nama Rasulullah beserta nama sang khalifah dicatat oleh seorang pendeta Nasrani golongan Nestorian pada sampul Alkitabnya agar dapat senantiasa didoakan atas kebaikan hatinya.

Dulu Takut Laut, Kini Kerjaannya Minum Air Laut

Sudah menjadi kodrat bagi bangsa Arab yang hidupnya di gurun untuk takut dengan laut. Mengenai laut, pada masa khalifah Umar bin Khattab, Muawiyah pernah memohon dengan sangat kepadanya agar kaum muslim diizinkan untuk berperang dengan bangsa Romawi dengan menggunakan kapal laut. Bangsa Romawi yang berada di seberang samudera akan lebih cepat disamperi melalui jalur laut ketimbang menggunakan jalur darat. Umar bin Khattab lalu bertanya pada gubernur Mesi saat itu, Amr bin Ash, tentang laut. Amr bin Ash menjawab:

“Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat laut sebagai makhluk yang sangat besar sedangkan para pelaut adalah makhluk yang sangat kecil. Di laut itu tidak ada siapa-siapa melainkan hanya langit dan ikan saja. Jika keadaannya tenang maka sedihlah hati dan bila keadaannya bergelombang maka akal pun miring sehingga keyakinan berkurang dan keraguan mengharu-biru. Para pelaut bagai belatung dalam tiang, bila air laut pasang olenglah tiang lalu tenggelam dan bilamana selamat bersinarlah.”

Membaca surat jawaban Amr bin Ash itu, Umar bin Khattab langsung menolak mentah-mentah permintaan Muawiyah. Baru pada masa Utsman bin Affan, Muawiyah kembali memohon agar kaum muslimin diizinkan untuk membangun armada laut dengan meniru teknologi maritim bangsa Romawi. Oleh Utsman, permintaan keponakannya itu dikabulkan. Saat itu angkatan laut kaum muslimin dipimpin oleh Abdullah bin Qais, dan selama peperangan mereka berhasil mengalahkan Romawi serta merebut Pulau Siprus di Yunani. Sejak saat itulah dunia Islam mengenal petualangan laut dan mengembangkan ilmu navigasi yang sedemikian majunya hingga kemudian ditiru oleh Barat. Daerah-daerah seperti Syam (Levant), Maghribi (Afrika Utara), dan Andalusia (Spanyol) menjadi pangkalan laut yang kuat selama masa kekhalifahan Umayyah. Untuk pertama kalinya pada tahun 54 Hijriyah di Pulau Ar-Raudhah, Mesir didirikan pabrik kapal pertama.

Dhow Baghlah, kapal tradisional Arab yang sejak dahulu digunakan untuk mengarungi Samudera Hindia. Sumber: 2eyeswatching.com

Ibnu Majid, seorang pelaut yang juga kartografer handal pada tahun 1400-an masehi membuka jalan pelayaran menuju India dan Cina bagi dunia muslim di Samudera Hindia. Kisah Sindbad yang terkenal dalam Hikayat 1001 Malam itu konon terinspirasi dari pengalaman-pengalamannya. Pria yang berjuluk “Singa Lautan” ini memiliki andil besar dalam menuntun Vasco Da Gama dari Afrika menuju India. Di zaman itu, pelayaran dari Oman menuju Selat Malaka memakan waktu selama 55 hari. Dari Teluk Persia ke Kanton di Cina menghabiskan waktu 7 bulan dengan jarak 7.000 mil. Alkisah, kaisar Cina pernah mengangkat beberapa pelaut Arab muslim sebagai pejabat kerajaan yang mengurusi pedagang-pedagang mancanegara. Laut seakan sudah tidak menjadi sesuatu yang asin dan asing lagi bagi bangsa Arab. Bahkan dengan diperkenalkannya teknologi desalinasi yang berhasil merubah air laut menjadi tawar, saat ini dunia Arab menjadikan air laut sebagai minuman mereka!

Surat Mihraj untuk Raja Orang-Orang Arab

Pada masa pemerintahan Muawiyah, sebuah surat dari kerajaan yang tidak pernah diduga-duga oleh sang khalifah sebelumnya tiba-tiba dihantarkan ke hadiratnya. Seorang raja dari “al-Hind” yang menggelari dirinya dengan julukan “Mihraj” mengirimkan salam kepada khalifah yang baru saja menjadi tuan atas sebuah kekuatan superpower baru di muka bumi. Sejarawan bernama Al-Jahiz (783-869) merekam kejadian tersebut di dalam Kitab Al-Hayawan. Berdasarkan kesaksian yang diterimanya dari al-Haytham bin Adi,  Abdul Malik bin Umayr melihat surat dari Sang Mihraj dari sekretaris Muawiyah yang kemudian diteruskan kepada Abu Yaqub al-Thaqafi. Sayangnya, yang direkam oleh Al-Jahiz hanyalah bagian pembukaan surat tersebut:

in whose stables are a thousand elephants, (and) whose palace is built of bright gold and silver, who is served by a thousand daughters of the kings, and who possesses two rivers, which irrigate aloes plants, to Mu’awiyah…”

Kita tidak mengetahui bagaimanakah respon atau apakah Muawiyah membalas surat tersebut. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, surat kedua dari Sang Mihraj direkam di dalam kitab  Al-Iqd al-Farid karya Abd Rabbih (860-940). Sumbernya, Nu’aym bin Hammad menulis:

“the king of al-Hind sent, a letter to Umar b. Abd al-Aziz, which ran as follows: From the King of kings [Malik al-Amlak], who is the descendant of a thousand kings, in whose stables are a thousand elephants, and in whose territories are two rivers which irrigate plants of aloes, odoriferous herbs, nutmeg, and camphor, whose fragrance spreads the distance of twelve miles — to the king of the Arabs, who does not associate other gods with God. I have sent to you a gift, which is not much of a gift but a greetings and I wish that you may send to me someone who might teach me Islam and instruct me in its Laws.”

Seorang sejarawan Pakistan bernama S.Q. Fatimi pada tahun 1963 membahas kedua surat dari Mihraj ini kepada khalifah Umayyah di dalam bukunya “Two Letters from Maharaja to the Khalifah”. Berdasarkan analisanya, Mihraj ialah gelaran sejarawan Arab yang digunakan untuk menyebut penguasa negeri Zabag. Jika kita kembali kepada laporan-laporan pelaut dan sejarawan Arab klasik, maka jelaslah bahwa negeri Zabag yang dimaksud ini ialah kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Gelar Mihraj sebagai raja Sriwijaya diperkuat di dalam surat dengan munculnya keterangan mengenai “Penguasa Sungai”. Fatimi meyakini bahwa sungai yang dimaksud di sini ialah Sungai Batanghari di Jambi dan Sungai Musi di Palembang, yang peran keduanya amat vital bagi perdagangan internasional kerajaan Sriwijaya. Oh ya, sebagai tambahan, menurut Ibnu Taghribirdi Sang Mihraj memberikan hadiah kepada Umar bin Abdul Aziz berupa musk, batu permata, dupa dan kapur barus. Diperkirakan raja yang memerintah di Sriwijaya pada masa Umar bin Abdul Aziz ialah Sri Indrawarman.

Pertanyaan selanjutnya: mengapa raja Sriwijaya mengirimkan surat kepada Umar bin Abdul Aziz untuk meminta agar dikirimi orang yang bisa mengajarkan Islam? Kemungkinan besar ini disebabkan karena reputasi besar Umayyah yang terdengar hingga ke Kepulauan Nusantara. Sri Indrawarman bisa jadi mendengar cerita-cerita dari para pedagang Negeri Atas Angin mengenai kekuasaan sang khalifah serta agamanya yang unik; tidak memuja dewa-dewi melainkan hanya mengenal satu Tuhan. Satu hal yang pasti: usaha Umar bin Abdul Aziz dalam menyiarkan agama Islam sepertinya telah menyentuh berbagai negara, termasuk salah satunya ialah Sriwijaya di pelosok timur nan jauh. Itulah sebabnya Sri Indrawarman menjadi penasaran dan mengirim surat untuk mengenal agama ini.

Patung Perunggu Peninggalan Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Sumber: http://www.thailandsworld.com/en/thailand-thai-art/south-thailand-art-culture/srivijava-style-art/index.cfm

Saat itu Sriwijaya adalah kerajaan terbesar di dunia maritim Kepulauan Nusantara. Sriwijaya juga menjadi pusat studi agama Buddha. Banyak pendeta dari Cina yang berlayar ke Sriwijaya untuk belajar bahasa serta agama Buddha sebelum kemudian melanjutkan pelayaran ke Universitas Nalanda, India. Bagi raja-raja India terutama yang berkuasa di wilayah selatan (Cola Tamil) kekuatan besar di Nusantara ada di tangan penguasa jalur Lautan Cina, yakni Maharaja Sriwijaya. Sekitar tahun 860 mereka mencatat bahwa Balaputra sang penguasa Suvarnadwipa cucu seorang Raja Sailendra dari Yawabhumi mendirikan bangunan di dalam biara Buddha di Nalanda. Di samping dengan India, Sriwijaya pun memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Srilangka berdasarkan penelitian Prof. S. Paranavitana. Sebelum bangsa Arab berani mengarungi lautan, mereka bergantung kepada kapal-kapal Srilangka untuk membawa benda-benda dari Cina (malah kemungkinan besar surat yang diberikan untuk Umar bin Abdul Aziz dibawa oleh utusan Sriwijaya yang menumpang kapal dari Srilangka atau India).

Tercatat, seorang pangeran India bernama Atisha pernah berlayar ke Suwarnadwipa (Sumatera) untuk menemui Mahaguru Serlingpa (Dharmakirthi) di Sriwijaya. Setelah menuntut ilmu dari sang guru, Ia ke berangkat ke Tibet untuk menyebarkan ajaran tersebut. Hingga hari ini pun tiap tahunnya utusan Buddha dari Tibet selalu datang ke Candi Muara Takus sebagai sisa kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan untuk melaksanakan sembahyang Waisak demi menghormati Atisha dan Dharmakirthi. Wow, keren ya, ternyata aliran Buddha Tibet yang diimami oleh Dalai Lama itu ternyata berasal dari Sumatera!

Kehadiran Orang Arab Zaman Umayyah dan Sriwijaya Direkam La Galigo

Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, Dunia Arab hampir bisa dipastikan sudah mengenal kerajaan Sriwijaya. Menurut Denys Lombard dalam “Nusa Jawa”, sumber-sumber berita Arab-lah yang paling dapat diandalkan dalam merekonstruksi kembali sebagian dari sejarah perdagangan antara Nusantara sebelah Barat dengan wilayah lain di sekitar Samudera Hindia mulai abad ke-9. Meskipun secara kronologis berita-berita Arab ini tidak seinformatif catatan-catatan Cina, akan tetapi ada banyak gambaran yang dapat kita ambil darinya. Pada masa itu pelaut-pelaut serta ahli ilmu bumi Arab sudah familiar dengan “Javaga” yang ternyata merujuk kepada daerah-daerah di sekitar Semenanjung Malaya yang berada di bawah naungan Maharaja Sriwijaya dan yang disinggahi oleh kapal-kapal dari Basra dan Siraf pada perjalannya ke Negeri Cina.

Jalur laut menuju Sriwijaya umumnya terbagi atas jalur barat dan timur. Jalur barat berawal dari Oman, Basra atau Suraf melewati Kepulauan Nikobar atau “Kepulauan Orang Telanjang”, lalu Lampuri (Aceh), setelah itu menuju Fansur atau Nias untuk mengambil kamper atau beberapa budak. Jalur timur kurang-lebih hampir sama dengan jalur barat, kecuali bahwa dari Lampuri mereka mengarah ke timur menuju bandar-bandar di Semenanjung Melayu lalu ke bandar-bandar Sriwijaya di Palembang.

Sriwijaya sempat hilang dari khazanah sejarah Indonesia sejak kejatuhannya. Terkuburnya kisah mengenai kerajaan Sriwijaya selama berabad-abad baru digali kembali ke permukaan oleh Pak Coedes, seorang sejarawan asal Perancis. Tidak seperti Majapahit yang kisahnya masih bestari dalam bentuk penceriteraan lisan dalam masyarakat Jawa, Sriwijaya sama sekali hilang dan baru ditemukan kembali pada tahun 1918. Tidak ada tradisi lisan masyarakat lokal yang merekam mengenai kerajaan ini, kecuali beberapa dongeng mengenai tokoh bernama Demang Lebar Daun yang acapkali diasosiasikan dengan kerajaan Melayu kuno di Sumatera Selatan bernama Dharmasraya. Situs ziarah penting pada era Sriwijaya seperti Bukit Seguntang pun tidak mampu mengingatkan masyarakat akan kemaharajaan mereka dulu, selain cerita rakyat bahwa di atas bukit keramat itulah dulu Sang Sapurba, raja Palembang turun dari langit.

Eits, tunggu dulu. Ternyata ada sebuah rekaman yang terus-menerus mengabadikan keagungan Sriwijaya selama ini. Rekaman tersebut tidak berbentuk prasasti maupun video, melainkan dalam bentuk alunan bait-bait yang terukir pada epos terpanjang di dunia: La Galigo!

Menurut Christian Pelras dan beberapa pakar La Galigo, nama Senrijawa yang disebut di dalam epos ini sebenarnya adalah bentuk korup dari penyebutan Sriwijaya oleh lidah Bugis. Senrijawa sendiri selalu digambarkan sebagai salah satu bagian dari Boting Langiq dimana segala macam barang-barang pusaka nan indah serta bissu-bissu sakti berasal. Anehnya, jika benar Senrijawa ialah kerajaan langit, mengapa ada salah satu episode La Galigo yang menggambarkan perjalanan Sawerigading dan I La Galigo berlayar ke Senrijawa melalui jalur laut? Jika dapat dicapai melalui laut, maka Senrijawa ini ialah memori bangsa Bugis atas suatu tempat di Nusantara yang berperadaban tinggi sehingga menjadi idola mereka. Saking agungnya kerajaan ini sampai-sampai raja-rajanya disebut sebagai keturunan langit. Tidaklah mengherankan sebenarnya, karena ternyata tulisan lontaraq Bugis yang kita kenal hari ini sejatinya berasal dari turunan aksara Sriwijaya yang bersaudara dengan aksara-aksara lainnya di Pulau Sumatera.

Relief Kapal Sriwijaya di Candi Borobudur. Sumber: keajaibandunia.net

Hubungan yang terjalin antara orang-orang Arab Umayyah dengan penduduk Nusantara tersurat melalui penyebutan daerah di seberang samudera yang bernama Makka ri Ajang. Makka ri Ajang yang secara harfiah bermakna Mekkah di Barat ini menurut Fachruddin Ambo Enre memang sungguh-sungguh menunjuk kepada kota Mekkah di Saudi Arabia. Ada yang bilang bahwa nama ini adalah tambahan dari para penganjur Islam saat agama tersebut melakukan penetrasi ke Sulawesi Selatan. Ada pula yang bilang bahwa Makka ri Ajang bukanlah Mekkah, melainkan suatu daerah di sekitar Sulawesi. Sejauh ini sih yang kita ketahui mengenai interaksi awal bangsa Arab dengan Nusantara dicatat dalam kitab Xin Tangshu. Menurut kitab ini, konon seorang raja Arab pada tahun 674 M pernah mengirim utusan sambil membawa pundi-pundi emas kepada seorang penguasa Jawa yang terkenal amat jujur untuk mengujinya. Dari sinilah kisah Ratu Shima yang terkenal tegas karena berani menghukum putra mahkota yang menyentuh pundi-pundi emas tersebut berawal. Menurut H. Zainal Abidin Ahmad di buku Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang terbitan Bulan Bintang tahun 1979, raja Arab yang dimaksud ialah Utsman bin Affan dan utusannya ke kerajaan Ratu Shima itu bernama Muawiyah bin Abi Sufyan, seseorang yang kelak akan mendirikan dinasti Umayyah!

Selain Makka, nama negeri asing yang terdapat dalam La Galigo ialah Kelling dan Cina. Kelling di sini menurut Pak Ambo Enre merujuk kepada negeri Kalinga di India. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa kerajaan Kalinga yang dipimpin oleh seorang kaisar yang gemar berperang bernama Kharavela memang telah menjalin hubungan perdagangan dengan Srilangka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Maladewa, Kamboja, Kalimantan, Sumatera dan Jawa sejak tahun 193 SM. Nama “kling” yang digunakan untuk menyebut Kalinga didokumentasikan sejak tahun 840 M, sebagaimana termaktub dengan jelas dalam prasasti Kui di Jawa Timur. Adapun negeri Cina dalam La Galigo, sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam tulisan tersendiri, merujuk kepada Annam alias Vietnam yang saat itu berada di bawah pengaruh Tiongkok. Menurut Denys Lombard, persentuhan pertama antara Nusantara dengan Cina ialah pada tahun 860 M dengan ditemukannya istilah “juru cina” pada sebuah prasasti perunggu di Jawa Timur.

La Galigo telah secara jujur menceritakan pengaruh bangsa-bangsa asing yang pernah berhubungan dengan Nusantara di masa lalu. Meskipun La Galigo tidak mencatatkan keterangan waktu dalam bentuk kronologis yang pasti, akan tetapi dari epos agung ini kita mendapat gambaran yang jelas bahwa pada saat itu, di masa kerajaan Sriwijaya berkuasa di Nusantara, telah terbina hubungan dengan pihak Makka alias kekhalifahan Umayyah. Masih banyak yang bisa digali dari episode-episode La Galigo lainnya, nah tugas kita nih sebagai generasi muda untuk menemukan info-info tersebut. Tentunya harus berdasarkan referensi dan kajian ilmiah yang tepat, nggak asal njeplak saja. Gali terus kearifan lokal Nusantara!

 

Referensi:
Denys Lombard, Nusa Jawa, Gramedia Pustaka Utama.
Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge, Yayasa Obor Indonesia.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kalam Mulia.
Nurhayati Rahman, Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, La Galigo Press.
http://sambali.blogspot.com/search/label/Zabag
http://wacananusantara.org/sri-indrawarman/
http://mangkasar.wordpress.com/2012/09/05/kerajaan-batesalapang-dalam-naskah-la-galigo/

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

When the Ocean Met with Mountain: Srawung Seni Borobudur

Pagi itu saya hampir saja saya tidak jadi berangkat ke Muntilan. Pasalnya, teman yang kemarin telah berjanji untuk mengantar ke Borobudur dengan kendaraannya bangun kesiangan. Saya sudah cemas ketika sepuluh panggilan ke telepon genggamnya tak kunjung dijawab. Di detik-detik terakhir Ia datang juga. Tanpa buang-buang waktu lagi gas segera ditancap memburu jarak Yogyakarta-Muntilan yang kami tempuh selama 45 menit.

Meski terlambat hampir dua jam dari waktu yang direncanakan, rasa kesal mendadak sirna setibanya di seminar terbuka Srawung Seni. Srawung Seni ialah sebuah pesta budaya. Perayaan kesenian yang tidak saja digelar oleh kalangan budayawan dan seniman, namun juga oleh para Indonesianis. Acara-acara yang digelar berupa seminar, lokakarya dan pertunjukan-pertunjukan yang mengawinkan seni dengan arkeologi, ketuhanan, dan mitos. Singkatnya, di acara ini semua kalangan bebas untuk menikmati hiburan kebudayaan langsung di situs bersejarah, Candi Borobudur. Acara ini juga sekaligus meresmikan Taman Srawung Seni.

Perhelatan akbar yang diprakarsai oleh Padepokan Lemah Putih dari Jawa Tengah ini mengangkat tema “Segara-Gunung”. Perkawinan kedua unsur tersebut, lautan dan gunung, hidup tidak hanya dalam kebudayaan Jawa, namun terdapat pula pada unsur-unsur kebudayaan nusantara lainnya. Sengaja memilih Candi Borobudur sebagai venue-nya, karena candi adalah bangunan yang tak lekang oleh waktu. Candi menyimpan seni, kosmologi, tata ruang dan mitos sebagai hasil dari tradisi-tradisi panjang yang melibatkan pelbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat. Di panggung Aksobhya yang berlatarkan bangunan berusia seribu duaratus tahun ini, sekitar 150 seniman atau kelompok kesenian, budayawan dan cendekiawan dari Indonesia, Asia, Europa, Australia, Amerika Selatan serta Utara membagikan masing-masing pusaka budayanya melalui seminar dan pertunjukan.

Seminar di bawah naungan kapal Samuderaraksa

Selain di atas panggung, kegiatan berlangsung di Candi Pawon, di Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga Candi Borobudur sejak tanggal 20 hingga 29 April 2012. Karena masih berstatus sebagai mahasiswa (jelang) semester akhir, saya baru dapat menikmati pesta seni ini di hari penutupannya. Saya sedikit kecewa karena ketika tiba di Museum Samuderaraksa, presentasi mengenai La Galigo yang dibawakan oleh Bapak Andi Anton seorang budayawan Luwu telah usai. Ya, La Galigo yang merupakan karya sastra terbesar di dunia ini mendapat tempat di ruang seni dan mitos dalam Srawung Seni. Keindahan bahasa serta kekayaan makna yang dikandung La Galigo begitu memukau, epos besar ini tidak hanya berisi kisah namun juga berisi pelajaran-pelajaran tentang filosofi kehidupan. Keunikan cerita serta tradisi pendokumentasian naskah membuat peninggalan budaya dari Sulawesi Selatan ini menarik. Bapak Anton menguraikan banyak hal baru bagi para peserta diskusi (yang kebanyakan berasal dari luar Sulawesi dan luar negri) seperti konsep tomanurung, asal-muasal suku Bajo dalam versi La Galigo, tiga tingkatan dunia, serta sisi religiusitas naskah ini.

Setelah pembicaraan mengenai La Galigo usai, seminar dilanjutkan dengan bahasan tentang situs Muarajambi. Diskusi yang dimoderatori oleh Nina Pramono (Executive Director Pertamina Foundation) ini menghadirkan narasumber dari SvarnaDvipa Institute. Sebagai oknum-oknum yang terjun langsung ke lapangan, dengan gamblang narasumber-narasumber tersebut memaparkan apa itu situs Muarajambi dan isu seperti apa yang tengah berkembang. Muarajambi ialah nama dari sebuah kawasan yang kaya dengan tinggalan purbakala di Daeras Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Jambi. Sekurang-kurangnya terdapat 82 peninggalan berupa candi, menapo (reruntuhan bangunan kuno), kolam beserta kanal purba.

Situs yang diduga menyimpan kompleks percandian dengan luas tiga kali dari Borobudur ini merupakan anak kunci untuk mengungkap misteri Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya. Sayangnya, situs monumental ini terancam bahaya. Perusahaan tambang batubara serta perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Muarajambi berpotensi merusak kawasan cagar budaya ini. Contohnya, parit Candi Playangan yang 1,5 meter dari pabrik batubara tertutup limbah dan menghitam. Miris memang mengetahui situs Muarajambi yang kaya akan temuan arkeologi ini belum terdaftar sebagai kawasan cagar budaya. Usaha-usaha penyelamatan dengan peran dari masyarakat mulai dilakukan, salah satunya melalui petisi #SaveMuaraJambi lewat twitter. Penduduk sekitar situs juga telah membentuk sebuah aliansi dengan SvarnaDvipa institut yang disebut Dwarapala-Muja, Penjaga Muarajambi.

Tarian Dayak Kontemporer karya Deddy Luthan

Dari pulau Sumatera, bahasan beralih ke Kalimantan. Kisah tentang budaya dan sejarah ternyata tak kalah tragis di sana. Bapak Deddy Luthan, seorang koreografer yang juga pecinta budaya Dayak menyajikan potret kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, Modang dan Benuak. Asal-usul suku Dayak di pulau berjuluk Baruna ini masih simpangsiur. Secara umum suku Dayak diduga berasal dari Yunnan Selatan yang bermigrasi ke Borneo secara bertahap. Meskipun bukan bangsa pelaut, dengan perahu-perahu kecil mereka menuju Asia Tenggara karena pada masa itu luasnya lautan masih terjangkau oleh teknologi sederhana. Masyarakat Dayak yang kehidupannya berorientasi pada hutan belakangan berpindah habitasi. Pembalakan hutan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab menghancurkan sendi-sendi kebudayaan serta lingkungan tradisional mereka. Hati saya terenyuh ketika disuguhkan gambar beberapa anggota keluarga Dayak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil, sementara siluet di belakang mereka nampakkan pabrik-pabrik perusak hutan.

Selain materi di atas, masih banyak lagi bahasan-bahasan spektakuler di Srawung Seni Segara Gunung ini. Yang paling menarik ialah pengalaman spiritual Elisabeth Inandiak yang menghubungkannya dengan garis emosional masa lalu antara Sumatera, India, dan Tibet. Elisabeth Inandiak dikenal sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Perancis dan usahanya menerjemahkan Serat Centhini dari Bahasa Jawa Klasik ke dalam Bahasa Indonesia.

Elisabeth yang fasih berbahasa Indonesia mendapat semacam ilham saat berkunjung ke Tibet dan dihantui inspirasi untuk menemukan keterkaitan antara kedamaian yang Ia rasakan saat berada di Jawa (Indonesia) dan Tibet. Ia mendapatkan jawaban setelah menemukan referensi mengenai Atisha, seorang misionaris Buddha asal India yang pernah belajar agama di Sumatera lalu menyebarkan ajarannya di Tibet. Petualangan spiritual Elisabeth memburu Atisha mengantarkannya kepada usaha pengembalian abu sang mahaguru dari pemerintah Republik Rakyat Cina ke tangan masyarakat Tibet pada tahun 1978 dan rahasia di balik lirik lagu Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan.

Seminar hari itu ditutup dengan tampilan Seni Pitutur, kelompok seni masyarakat sekitar Candi Borobudur yang melibatkan partisipasi para Indonesianis. Malamnya panggung Aksobhya dimeriahkan oleh Anak-Anak Borobudur dan Oppie Andaresta; tari klasik Bharatanatyam dari India, seni gerak oleh Jessica Gamez dari Mexico, dan masih banyak lagi. Walau tidak dapat mengikuti jalannya penutupan Taman Srawung Seni Segara Gunung hingga akhir, saya cukup senang. Transfer ilmu dan informasi di bawah naungan kapal Samuderaraksa yang “dihidupkan” kembali dari sebuah relief abad ke-8 Masehi melahirkan banyak inspirasi buat saya. Terlebih lagi pada kesempatan ini saya juga dapat berkenalan dengan banyak budayawan, para Indonesianis serta mempromosikan La Galigo for Nusantara Project lewat flyer sederhana.

Tahun depan, pesta seni ini akan digelar di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Penyerahan api abadi dari Bupati Magelang kepada Bupati Sigi menandai estafet Srawung Seni Segara Gunung 2012 ke Srawung Seni Megalitik 2013. Semoga acara ini dapat lebih meriah, lebih terbuka kepada masyarakat umum, serta lebih sensasional lagi. Sampai jumpa tahun depan!