Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Sebuah Persembahan dari La Salaga Project – Atelier KITLV untuk Generasi Muda

Di awal tahun 2021, La Salaga Project yang diprakarsai oleh Kathryn Wellen (sejarawan di KITLV Leiden dengan fokus riset Sulawesi Selatan) dan Louie Buana (founder Lontara Project) mendapatkan sokongan dari Atelier KITLV untuk menggarap sebuah program unik yang mengombinasikan riset akademis dengan kesenian.

Proyek ini bertujuan untuk mengangkat kembali legenda La Salaga, seorang pangeran keturunan campuran Mamuju (Sulawesi Barat) dan Badung (Bali), kepada hadirin dari generasi muda. Kisahnya dituturkan dalam salinan naskah lontar berbahasa Mandar yang ditemukan di Balanipa. Berdasarkan kisah di dalam naskah tersebut, La Salaga dibesarkan di pulau Sulawesi dan Bali serta tumbuh menjadi seorang prajurit nan perkasa dan berperang dengan gagah melawan bangsa Sasak di Lombok. Prestasi La Salaga membuatnya dikagumi oleh penguasa Gowa, ia bahkan diminta oleh tetua adat Mandar untuk menjadi Mara’dia (raja) di negeri Mamuju dan Pamboang (Sulawesi Barat). La Salaga juga dikenang sebagai salah satu penguasa Mandar yang masuk Islam di bawah arahan Syekh Zakariya Al-Maghribi dari Jawa.

Sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali kisah tanpa visual yang terekam dalam naskah kuno ini, gaya lukis tradisional Bali yang dikenal dengan nama Wayang Kamasan sengaja dipilih. Sebagaimana pernikahan antaretnis ayah dan ibu La Salaga (Sulawesi dan Bali), karya lukis ini memadukan gaya seni khas suatu daerah untuk menceritakan kisah dari belahan Nusantara lainnya. Seorang pelukis asal Bali yaitu I Made Sesangka Puja Laksana secara khusus diminta untuk mengerjakan lukisan La Salaga tersebut.

Selanjutnya, lukisan tersebut digunakan sebagai bahan ilustrasi untuk buku dongeng. Tujuan pengadaan buku dongeng ini adalah agar cerita La Salaga dapat disampaikan kembali kepada generasi muda, orang tua maupun pendidik. Dua orang ilustrator muda berbakat tanah air yakni Ghina Amalia Yuhanida dan Aditya Bayu Perdana ikut terlibat dalam proses penciptaan buku dongeng berjudul Legenda La Salaga ini. La Salaga Project juga menghadirkan dua buah film yang mengisahkan proses behind the scene lukisan La Salaga serta pembacaan cerita dongengnya. Kedua film ini digarap oleh Agit Primaswara, seorang videografer asal Yogyakarta. Lukisan La Salaga bergaya Kamasan kemudian diserahkan kepada Ridwan Alimuddin, aktifis literasi dan pegiat budaya Mandar di Perpustakaan Nusa Pustaka, Polewali Mandar.

Dengan mempertimbangkan besarnya potensi kontribusi hasil-hasil karya La Salaga Project dalam menuturkan nilai-nilai keragaman dan kebhinnekaan Indonesia, Atelier KITLV membuka akses kepada publik untuk dapat menikmati karya-karya kami secara gratis. La Salaga Project mempersembahkan cara-cara inovatif untuk menceritakan kembali sejarah melalui beragam media kreatif. Kami berharap La Salaga Project dapat menginspirasi banyak orang, terutama akademisi dan seniman muda, untuk berkolaborasi di masa depan.

Buku dongeng “Legenda La Salaga” dapat anda baca dan download DI SINI secara gratis.

Film “The Journey of La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Film “Legenda La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Peradaban yang Hilang di Sekitar Bumi Manakarra

Bumi Manakarra yang berarti Bumi Pusaka yang Sakti merupakan julukan yang dimiliki oleh Mamuju, sebuah daerah di Sulawesi Barat. Mamuju dulunya dikenal sebagai salah satu kerajaan yang masuk ke dalam persekutuan Mandar. Keunikan Mamuju sebagai tempat bertemunya kebudayaan pesisir “Pitu Baqbqana Binanga” dan kebudayaan pegunungan Toraja “Pitu Ulunna Salu” membentuk sejarah yang panjang. Masih banyak misteri yang belum terungkap dari daerah ini, salah satunya ialah mengenai jejak artefak peradaban Hindu-Buddah serta situs Austronesia yang konon merupakan yang tertua di Indonesia. Mari sama-sama kita tengok!

Arca Sampaga

Sebuah arca Buddha yang berasal dari abad ke-2 Masehi ditemukan di Sikendeng, kecamatan Sampaga (Mamuju), Sulawesi Barat pada tahun 1921. Patung ini berwujud seorang Buddha yang mengenakan jubah selempang di pundak kiri (lekukan pada kainnya dibuat sedetail mungkin!). Secara ikonografi, langgam arca ini jelas menunjukkan gaya Amarawati dan sejatinya berasal dari India Selatan. Penemuan arca berbahan perunggu yang sejauh ini menjadi artefak Buddha tertua di Indonesia merupakan titik penting dalam mempelajari sejarah awal peradaban kita. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh arca kuno ini sehingga terdampar sedemekian jauh hingga ke jantung Pulau Sulawesi?

Sobat Lontara tentunya masih ingat bahwa “kerajaan berperadaban” tertua di Indonesia ialah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Buktinya ialah ditemukannya tujuh buah Yupa (batu bertulis yang berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan kurban). Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, tepi Sungai Mahakam ini ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Nah dari gaya tulisan Pallawa inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 Masehi, dan kemungkinan agama Hindu masuk melalui India Selatan. Aksara Pallawa merupakan aksara yang lazim digunakan di India Selatan.

Lho, tapi kok bisa sih arca Buddha di Sampaga justru berusia lebih tua daripada kerajaan tertua di Indonesia?

Yuk, kita tengok sebentar negeri India Selatan tempat arca Buddha Sempaga dan inspirasi awal peradaban Kutai berasal. Amarawati ialah sebuah daerah di India Selatan yang terkenal karena memiliki sekolah seni rupa. Amarawati menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan kerajaan Satavahana (Andhra) yang pengaruhnya menyebar ke Sri Langka sekitar tahun 230 SM hingga 220 M. Sekolah seni rupa ini telah menghasilkan banyak sekali patung-patung Hindu dan Buddha yang tersebar di berbagai penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Ketinggian cita rasa serta seni kriya yang dihasilkan oleh alumnus-alumnus Sekolah Seni Amarawati sejak abad ke-3 SM ini menghasilkan karya-karya yang secara umum memiliki ciri-ciri seperti pose nan rumit, figur tubuh yang dipahat dengan langsing dan elegan, serta detail lekukan yang mengagumkan. Karya-karya yang bersumber dari Amarawati juga sering menggambarkan Buddha dalam bentuk simbol (bukan sosok manusia) seperti melalui lambang purnakumbha, teratai, takhta yang kosong, serta Swastika. Ternyata, arca Buddha tipe Amarawati juga dapat kita temukan di Sikendeng, Jember (Jawa Timur) dan di Bukit Siguntang (Sumatera Selatan) walau tetap saja arca Sampaga berusia lebih tua daripada yang lain.

Sejarawan Barat yakin bahwa besarnya pengaruh India Selatan dalam bidang keagamaan, bahasa, seni, dan bahkan pemerintahan di Asia Tenggara disebabkan karena Kerajaan Satavahana pernah menjajah wilayah ini dan menancapkan pengaruhnya dengan kuat. Meskipun sejarawan Indonesia sendiri menolak pendapat tersebut karena tidak ada bukti penjajahan India terhadap nusantara, Kerajaan Satavahana memang memberikan pengaruh besar terhadap dunia Asia Tenggara (Negeri Bawah Angin). Koin-koin pada periode ini menggambarkan bentuk-bentuk perahu yang menandakan bahwa hubungan internasional dengan bangsa-bangsa yang jauh di timur pun secara aktif telah dilakukan oleh mereka. Satavahana pun diakui sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di Anak Benua.

Dusun Sikendeng tempat ditemukannya patung perunggu Buddha dari sekolah seni Amarawati juga terletak di pesisir pantai Sulawesi Barat. Pesisir ini tepat berseberangan dengan lokasi yang dipercaya sebagai Kerajaan Kutai kuno. Apakah pernah ada hubungan yang terjalin antara kerajaan Kutai dan Bumi Manakarra? Tahukah Sobat Lontara bahwa raja Kutai yang keempat bernama Sultan Mandarsyah? Sebuah lagu tradisional Mandar berjudul Tengga-Tengga Lopi juga menceritakan hubungan dekat antara pelaut-pelaut dari Tanah Sulawesi ini dengan penduduk lokal Kutai. Selat Makassar yang memisahkan kedua daratan tersebut seakan-akan bukanlah penghalang.

Kemunculan Kutai sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari lokasinya yang istimewa. Kutai telah menjalankan perdagangan asing dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, bahkan hingga ke India dan Cina. Permintaan akan emas dari tempat-tempat jauh seperti kemaharajaan India dan kekaisaran Cina membuat kekayaan emas yang dikandung oleh kerajaan ini dicari-cari. Prasasti yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman yang murah hati telah menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana sebagai kurban upacara keagamaan di tempat suci Waprakeswara. Nah, menurut informasi yang penulis dapat dari Melayu Online, konon sapi-sapi tersebut didatangkan dari luar Kerajaan Kutai karena daerah di sekitar Kutai kebetulan tidak menghasilkan hewan jenis ini. Apakah mungkin asalnya dari Bumi Manakarra? Yang jelas, sampai hari ini pun di daerah sekitar situ kita masih dapat menemukan penduduk Pitu Ulunna Salu yang menganggap kerbau sebagai hewan yang penting dalam ritual adat mereka. Di daerah tersebut kerbau merupakan hewan terbaik yang digunakan sebagai persembahan kepada dewata. Lagi pula, dalam agama Hindu yang dianut oleh kerajaan Kutai, sapi merupakan binatang yang suci, sehingga untuk dibunuh pun tidak boleh. Apakah yang dimaksud Yupa hewan kurban tersebut adalah kerbau? Hmmm… Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar pasti!

Christian Pelras di dalam bukunya Manusia Bugis pernah menyebutkan bahwa konon nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari Kalimantan. Lontar-lontar kuno serta cerita-cerita lisan masyarakat Mandar menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Ulu Sa’dang atau suatu daerah di hulu Sungai Sa’dang. Cerita ini pun berkembang di kalangan masyarakat Toraja. Jika kisah ini benar, menurut Pelras, nenek moyang masyarakat sekitar (Suku Bugis-Makassar-Mandar-Toraja) berlayar memasuki Sungai Sa’dang dari Kalimantan dan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Barat.

Nah, jika memang dulunya ada sebuah peradaban tua di Bumi Manakarra, lalu kemana gerangan hilangnya? Prof. Darmawan Mashud Rahman, seorang budayawan Mandar yang tenar berpendapat begini:

Hilangnya jejak kerajaan tua tersebut mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk dengan melalui dua arus, yang pertama menyusur pantai dan sebagian dengan jalan darat dan kemudian sampai ke Tana Toraja. Dibuktikan dengan upacara dan pola-pola hiasan serta kepercayaan yang masih terlihat di daerah Toraja. Untuk mencarai hubungan lebih jauh dan keinginan untuk berkembang, maka mereka berpindah lagi, kemudian menuju tepi pantai, yakni ke daerah Luwu. Di sana kemudian mereka menetap dan mengembangkan serta menumbuhkan kerajaan yang kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa kesamaan-kesamaan di dalam adat istiadat. Upacara-upacara, tarian dan geraknya, serta penyebutan kepala-kelapa kampung, misalnya Tomakaka dan Ma’dika, kesamaan dialek bahasa antara orang-orang Mandar, Toraja dan Luwu.

Serat Dewabuda

Berdasarkan temuan arkeologis, kerajaan tertua di Indonesia selain berada di Kutai juga berada di Jawa Barat. Tarumanegara, sebuah kerajaan bercorak Hindu yang keberadaannya dilaporkan oleh seorang pendeta dari negeri Tiongkok bernama Fa Xian di tahun 414 ini juga meninggalkan banyak prasasti dalam Bahasa Sansekerta dan beraksara Pallawa. Kira-kira ada hubungannya tidak ya, kerajaan Kutai dan Tarumanegara yang sama-sama didaulat sebagai peradaban tersepuh di nusantara ini? Jawabannya datang dari naskah berbahasa Jawa Kuno dari abad ke-17 yang berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara koleksi kesultanan Cirebon.

Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa pada tahun 52 Saka (130 M) seorang raja bernama Dewawarman yang berkuasa atas negeri Jawa bahagian barat bertakhta. Putranya yang bernama Aswawarman tanpa suatu alasan yang jelas pergi ke Bakulapura (Kalimantan Timur) dan diambil menjadi menantu oleh penghulu suku pribumi di situ, Kundungga. Sementara itu, anak perempuan Dewawarman di Jawa menikah dengan seorang maharesi dari negeri India bernama Rajadhirajaguru, yang kemudian mendirikan kerajaan Tarumanegara. Cucu Dewawarman yang bernama Purnawarman dikenang sebagai raja Tarumanegara teragung karena banyak meninggalkan bukti berupa prasasti. Apakah kisah yang diceritakan berabad-abad setelah kejadian aslinya ini terjadi otentik? Sampai sekarang naskah Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara masih didebatkan keabsahannya.

            Pada tahun 1988, Ayatrohaedi, seorang sejarawan besar dalam kebudayaan Sunda menerjemahkan sebuah naskah kuno bernama Serat Dewabuda. Serat Dewabuda ini selesai ditulis pada tahun 1357 Saka atau 1435 Masehi. Bahasanya ialah Bahasa Jawa Kuno, lokasi penulisannya disebutkan pada suatu tempat di antara Gunung Cupu, Gunung Rantay, dan Bukit Talagacandana. Serat Dewabuda ini berisi ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha dengan campuran kepercayaan Sunda lokal yang ditulis oleh seseorang bernama Resi Siddhayogiswara. Salah satu unsur kepercayaan Sunda lokal yang dibahas di dalamnya ialah paparan akan konsep Sanghyang Taya atau Tuhan Yang Maha Esa nan jauh di atas dunia para dewa. Isi naskah ini sejak awal hingga akhir terus-menerus memperbincangkan upaya manusia agar dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Naskah ini menurut Agus Ari Munandar bahkan banyak beredar di kalangan masyarakat jelata karena isinya yang membumi.

Lalu, apa hubungan antara semua ini dengan Bumi Manakarra? Pada salah satu bagiannya, Sang Siddhayogiswara menyebutkan bahwa ajarannya selain beredar di kalangan Tatar Sunda juga disebarluaskan hingga ke negara-negara lain seperti Keling, Cina, Prasola, Meta, Tanjungpura, Melayu, Kedah, Byalapura, Markaman, Hulumando, Buwun, Gurun dan Bandan. Nama Hulumando di sini kemudian mengundang tanya penulis; daerah manakah yang disebut dengan nama Hulumando ini? Apakah ada kaitannya dengan nama daerah Ulumanda di daerah Malunda, Majene yang berbatasan dengan Bumi Manakarra?

Secara bahasa penduduk Ulumanda dapat digolongkan sebagai bagian dari Pitu Ulunna Salu. Secara genetis, ternyata sub-suku Mandar ini berhubungan darah dekat dengan orang-orang Bungku di Sulawesi Tengah. Mereka tinggal di daerah pesisir dan juga pegunungan sehingga fokus matapencaharian mereka adalah menjadi nelayan atau petani. Daerah mereka kaya dengan mineral, pasir, kayu eboni dan kayu rotan. Menurut A. Syaiful Sinrang dalam buku “Mengenal Mandar Sekilas Lintas”, Ulumanda adalah sebuah daerah sepuh di Mamuju yang konon memiliki peranan penting pada asal mula penamaan “Mandar”. Ulumanda dulunya merupakan sebuah desa kecil di Malunda yang termasuk ke dalam wilayah kerajaan Sendana. Di Ulumanda terdapat sebuah gunung bernama Pebulahangan. Gunung Pebulahangan konon akan bercahaya apabila ditimpa sinar bulan atau sinar matahari, akibat pantulan cahaya dari batu-batu gunung yang berwarna kuning kehitam-hitaman. Dari situlah nama “Mandar” yang juga dapat diartikan “terang” berasal.

Ngomong-ngomong soal batu nih, di daerah Ujung Rangas, sekitar 4 km dari kota Majene sendiri pernah ditemukan batu dengan bekas telapak kaki. Konon menurut kepercayaan warga sekitar bekas telapak kaki tersebut merupakan peninggalan Sawerigading saat akan naik ke atas langit. Nah, beberapa peninggalan sejarah Tarumanegara juga ada yang berhubungan dengan batu-telapak kaki. Prasasti Ciaruteun, Cidanghyang dan Pasir Awi berterakan jejak telapak kaki baginda Purnawarman dari abad ke-4 M. Apakah tradisi membuat telapak kaki di atas batu yang ditemukan di daerah Sunda dan Mandar ini menandakan sisa peradaban tua yang saling terhubung satu sama lain, terlebih lagi dengan adanya penyebutan nama Hulumando pada Serat Dewabuda?

Kedengarannya maksa ya. Tetapi ada dua fakta unik yang memang menunjukkan kemiripan antara Sunda dan Mandar. Pertama: alat musik calong. Calong yang di Mandar terbuat dari buah kelapa dan bambu ternyata juga ditemukan di daerah Jawa Barat dengan nama calung. Calung Sunda terbuat dari awi wulung (bambu hitam) dan awi temen (bambu putih) serta dipercaya sebagai protoripe dari alat musik angklung yang tersohor itu. Kedua: Siti KDI. Meskipun pada kompetisi dangdut nasional di salah satu televisi swasta beberapa tahun yang lalu ia menjadi perwakilan Bandung, sebenarnya Siti berasal dari Mandar. Yah, jika Ulumanda tidak cukup kuat untuk menjadi saksi hubungan antara bekas kerajaan Tarumanegara dengan Bumi Manakarra, maka prestasi yang diraih atas keindahan suara Siti KDI dapat menjadi saksi sejarah hubungan antara kedua daerah tersebut 🙂

PS: Agak susah rupanya menemukan gambar patung Buddha dari Sikendeng, Mamuju ini di internet. Sayang sekali padahal untuk peninggalan sejarah tertua dan sepenting itu tidak banyak sobat-sobat Lontara yang mengetahuinya!

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Senrijawa dan Ale Luwu

Di sepanjang epos La Galigo, dalam berbagai episodenya, Senrijawa dikenal sebagai tempat keturunan langit (tomanurung) memerintah. Berulang kali Senrijawa disebut memiliki berbagai macam perkakas indah yang jauh lebih maju dari kerajaan lain di muka bumi, benda-benda yang berasal dari kerajaan ini menjadi perkakas pelengkap upacara-upacara adat. Hal ini mengundang pertanyaan; sebenarnya apa dan dimanakah letak Senrijawa ini?

Ayat-ayat dalam epos La Galigo ada yang menyiratkan bahwa Senrijawa merupakan kerajaan langit yang diperintah oleh dewata. Ia berada di dimensi yang sama dengan istana Sao Kuta Pareppaqe, kediaman Datu PatotoE (Sang Penguasa Nasib) di Boting Langiq atau kahyangan. Penduduk Senrijawa bukanlah manusia biasa, mereka merupakan mahluk halus yang dapat merasuk ke dalam tubuh manusia. Episode Ritumpanna Welenrengnge mengabadikan salah satu contoh peristiwa trans ini;

“…anak raja nan dirasuk orang Senrijawa

Memerlukan adat kehiyangan,

Dilengkapi adat bissunya.

Kuheran jua melihatnya,

Orang Ruallette agaknya

Turun ke bumi di ruang mahligaimu

Orang Senrijawa datang menjelma

Di tepi peterana nan kemilau,

Dilengkapi adat bissu dari Ruallette

Dipalukan gendang irama gembira dari Senrijawa”

Orang Senrijawa yang bertubuh halus ini memiliki adat-istiadat yang mulia sehingga mesti disambut dengan kelengkapan adat yang sesuai. Akan tetapi, di episode lain digambarkan bahwa Senrijawa merupakan salah satu kerajaan besar di muka bumi yang dikuasai oleh keturunan Manurung. La Mappanyompa, seorang anak angkat Sawerigading, menjadi pemimpin di sana. Berikut cuplikan dari episode Sawerigading dan I La Galigo ke Senrijawa yang diterjemahkan oleh almarhum Muhammad Salim (dikutip dari blog beliau: http://lontarakpappasang.blogspot.com/2010/02/ringkasan-isi-surek-galigo-sawerigading.html), menggambarkan bahwa Senrijawa terletak “di bawah”;

“Setiba Wé Tenridio di Boting Langi, dia mendengar dari bawah bunyi gendang besar, gendang upacara Wé Tenribali saudara La Mappanyompa, yang sedang mengadakan upacara di Senrijawa.

Wé Tenridio meminta kepada suaminya agar dapat diturunkan sebentar ke Senrijawa untuk menyaksikan upacara sepupunya itu, tanpa dapat dilihat oleh orang lain.

Setibanya di Senrijawa, dia melihat menyaksikan ada tiga ratus orang anakarung yang memegang peralatan bissu dan menyaksikan juga kecantikan Wé Tenribali saudara La Mappanyompa.

To Sompa Riwu meminta kepada Wé Tenridio agar dapat menampakan dirinya supaya dapat dilihat dan dijemput kedatangannya oleh Wé Tenribali.”

Dilarik ke-16 dan ke-17 dikisahkan bahwa Sawerigading dan putranya I La Galigo pergi menuju hajatan besar tersebut dengan menggunakan kapal.

“Puluhan ribu pendamping Sawérigading, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa adalah anak angkat Sawérigading.
Dalam pelayarannya ke Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya Ladunrung Séreng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang didapat.”

Nah, jika Senrijawa dapat dijangkau oleh pelayaran di samudera dengan kapal Sawerigading berarti lokasinya terletak di suatu titik di kepulauan Nusantara kita. Menurut Christian Pelras di dalam buku Manusia Bugis, Senrijawa yang disebut di dalam naskah La Galigo sebenarnya merujuk kepada Sriwijaya, sebuah negara adidaya pada masa itu yang rajanya diagungkan dan dituakan seakan-akan sebagai keturunan surgawi. Pendapat bahwa Senrijawa sebenarnya merupakan perubahan bentuk atas nama “Sriwijaya” dalam lidah Bugis kuno diamini oleh Prof. Fachruddin Ambo Enre di dalam buku Ritumpanna Welenrengnge serta Prof. Nurhayati Rahman dalam karyanya tentang episode “Sompeqna Sawerigading Lao ri Cina”. Sriwijaya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan bersahabat dengan Ale Luwu sehingga kedua kerajaan tersebut disebutkan tidak pernah terlibat konflik bahkan saling dukung-mendukung dan memuliakan pihak yang satu dengan pihak lainnya.

Patung Perunggu Peninggalan Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Sumber: www.thailandsworld.com/

Menurut sejarawan JJ Rizal, kerajaan Sriwijaya selain terkenal sebagai pusat ekonomi (karena menguasai Selat Malaka sebagai “tenggorokan” perdagangan dunia yaitu dari Cina hingga India dan Arabia), kedatuan tersebut juga terkenal sebagai pusat agama Buddha dan pusat ilmu hukum. Prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaannya banyak yang membahas mengenai aturan-aturan, struktur pemerintahaan serta ketentuan hukum. Sriwijaya dalam menancapkan kukunya terfokus pada kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara. Jalur perdagangan maritim Sriwijaya sudah sejak masa pembangunan Borobudur terbentang dari pedalaman Nusantara hingga ke Afrika lho. Jalur ini dikenal juga dengan sebutan “Cinnamon Route” alias Rute Kayumanis. Saking besarnya pengaruh Sriwijaya ini, bahkan diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia. Baru-baru ini penelitian DNA berhasil membuktikan bahwa penduduk Madagaskar memiliki kesamaan DNA dengan orang-orang di daerah Kalimantan (Dayak Ma’anyan) dan Sumatera.

Hubungan akrab yang terjalin antara Senrijawa dan Ale Luwu sekali lagi membuktikan bahwa pada zaman dahulu pun kekerabatan antardaerah telah berlangsung dengan penuh rasa persahabatan dan kedamaian. Indahnya perbedaan dalam kesatuan!