Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Hikayat Aceh, Ratu Keturunan Bugis dan UNESCO Memory of the World

Sobat Lontara, pada tanggal 18 Mei 2023, UNESCO menganugerahi karya sastra Hikayat Aceh yang tersimpan di koleksi Leiden University Library dan Perpustakaan Nasional Indonesia sebagai “Memory of the World”. Hikayat Aceh berisikan kisah mengenai kehidupan dan gambaran adat-istiadat di istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ternyata ada hubungan istimewa antara karya sastra adiluhung ini dengan para perantau Bugis asal Sulawesi Selatan. Kira-kira seperti apa kaitannya, mari kita simak ceritanya berikut ini!

Sultan Iskandar Muda yang dikenal pula dengan nama Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636) adalah seorang penguasa yang mengantarkan Kesultanan Aceh menuju masa kejayaannya di abad ke-17. Terlahir sebagai putra dari pasangan Mansyur Syah dan Putri Raja Indra Bangsa, Iskandar Muda merupakan keturunan dari Dinasti Meukuta Alam, wangsa pendiri Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda mashyur karena prestasi militernya. Seorang admiral asal Perancis bernama Beaulieu pernah mencatat kedahsyatan pasukan Sultan Iskandar Muda yang tidak hanya terdiri dari prajurit infantri dan gajah-gajah perang, namun juga armada kapal yang berpusat di tiga titik: Aceh, Daya dan Pidie. Sang sultan melakukan serangkaian ekspedisi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Malaka seperti Deli, Johor, Pahang, Kedah dan bahkan hingga ke Pulau Nias. Tercatat, kekuatan armada laut Sultan Iskandar Muda juga pernah mengalahkan armada kapal Portugis dalam sebuah pertempuran di dekat Baning.

Selain membangun kekuatan militer Aceh, Sultan Iskandar Muda juga melakukan banyak pembaharuan di bidang hukum dan tatanegara. Tercatat, pada masa pemerintahannya disusun sebuah teks berjudul Adat Meukuta Alam atau dikenal pula dengan nama Adat Qanun. Beberapa ketentuan yang diatur oleh Adat Meukuta Alam antara lain seperti peraturan mengenai struktur kerajaan, Balai Furdah atau pusat perdagangan dalam dan luar negeri, penggunaan cap stempel kerajaan, dan lain sebagainya. Di bawah panduan ulama besar Syamsuddin as-Sumatrani dari Pasai, kebudayaan Aceh yang bercorak adat-istiadat lokal dan Islam berkembang pesat. Sultan Iskandar Muda juga membina hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, bahkan hingga ke benua Eropa lho. Naskah Lontaraq Bilang atau catatan raja-raja Gowa menyebutkan bahwa Sang Meukuta Alam memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan I Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumamenang ri Gaukanna. Pada tahun 1615, Sultan Iskandar Muda pernah mengirim sepucuk surat panjang nan indah untuk King James I of England. Surat tersebut saat ini masih tersimpan di Bodleian Library di Oxford.

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, takhta kerajaan diwariskan ke menantunya yang bernama Iskandar Thani dari Pahang. Iskandar Thani tidak lama memerintah, ia kemudian digantikan oleh istrinya yang merupakan putri sulung Sultan Iskandar Muda, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam (1641-1675). Selama memerintah, Ratu Safiatuddin melakukan beberapa perubahan penting. Salah satunya seperti mendaur ulang koin-koin emas Aceh yang dikenal dengan nama deureuham dari era-era sebelumnya dengan cara dilebur menjadi deureuham baru. Selain itu ia juga memerintahkan mufti kerajaan yaitu Abdurrauf as-Singkily (Tengku Syiah Kuala) untuk menyusun sebuah kitab pedoman bagi para qadhi (hakim) di wilayah kerajaan berjudul Mir’atul Thullab.

Pada masa pemerintahannya, kesusastraan Aceh berkembang dengan pesat. Tidak hanya dikenal sebagai seorang ratu yang gemar akan sajak dan menulis cerita, ia juga menjadi penyokong bagi para sastrawan dan kalangan terpelajar untuk menciptakan kitab-kitab yang jejaknya masih dapat kita saksikan hari ini. Salah satu karya sastra yang ia patroni penulisannya adalah Hikayat Aceh.

Naskah Or. 1954 Hikayat Aceh yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University, Belanda. Sumber: Leiden University Library

Hikayat Aceh adalah suatu naskah berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan bercerita mengenai kehidupan serta memuat puji-pujian terhadap Sultan Iskandar Muda, ayah Ratu Safiatuddin. Teks ini juga memuat hubungan Aceh dengan bangsa-bangsa lain seperti Portugis, Turki dan Cina. Tidak hanya itu, Hikayat Aceh menampilkan pengaruh Persia yang cukup menonjol, membuat karya sastra ini sangat kosmopolitan. Hikayat Aceh menjadi sumber penting bagi siapa pun yang tertarik dengan Islam, hubungan internasional dan sejarah Aceh. Meskipun penulisnya sendiri tidak diketahui jati dirinya, namun dipercaya bahwa Ratu Safiatuddin adalah sosok yang memainkan peran besar dalam penulisan hikayat tersebut. Saat ini terdapat tiga salinan Hikayat Aceh. Dua di antaranya tersimpan di koleksi Leiden University Library di Belanda, sedangkan satu salinan lagi tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta. Dengan hanya tiga naskah yang masih ada, Hikayat Aceh tergolong sebagai karya sastra yang sangat langka.

Nah, tahukah kamu bahwa Ratu Safiatuddin merupakan keturunan seorang diaspora Bugis? Ya, beliau adalah buah hati Sultan Iskandar Muda dengan Putroe Tsani atau Puteri Suni, anak perempuan Teungku di Bugéh Reubee Daeng Mansur, seorang ulama asal Sulawesi Selatan yang bermukim di Pidie. Menurut Hamka, Daeng Mansur adalah seorang bangsawan Bugis yang merantau ke Aceh untuk menuntut ilmu agama. Di sana, ia menjadi seorang ulama kerajaan yang digelari Syekh Abdullah al-Malikul Amin. Sultan Iskandar Muda yang saat itu masih remaja pernah berguru kepada Daeng Mansur. Setelah dewasa, ia kemudian menikahi putri sang guru. Makam ibunda Ratu Safiatuddin sampai saat ini pun masih dapat dikunjungi di daerah Gampong Reuntoh, Pidie. Sayangnya, kondisi makam tersebut sudah tidak lagi terawat dengan baik.

Orang-orang Bugis, utamanya yang berasal dari daerah Wajo, diduga telah berlayar ke tanah Kluet (Kabupaten Aceh Selatan) sejak abad ke-17 dan 18. Mereka melalui muara Sungai Asahan masuk ke Gampong Pasie Kuala Asahan. Jejak keberadaan pendatang Bugis ini dapat dilihat dari penamaan ‘Gampong Suak Bugeh’ di Aceh Selatan. Sejarah mencatat bahwa seorang Bugis bernama dokter Farid Husain pernah pula berkontribusi dalam menjembatani dialog perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia di tahun 2005 (Baca kisahnya di artikel kami: Inspirasi dari “Docplomat” Asal Bugis).

Hubungan kekerabatan antara Aceh dan Bugis dalam diri Ratu Safiatuddin merupakan cerminan persatuan dan persaudaraan lintas etnis yang menarik untuk dikaji. Melalui jaringan-jaringan perdagangan, diplomasi dan intelektual, perbedaan bahasa maupun sukubangsa tidak menjadi persoalan utama. Hiruk-pikuk isu-isu SARA yang belakangan ini marak di tanah air seakan-akan melupakan narasi-narasi kebhinnekaan yang telah terjalin jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Justru lewat seorang Sultanah yang berdarah campuran Aceh-Bugis lahir sebuah karya sastra yang hari ini diakui mancanegara sebagai ‘Ingatan Dunia’.

Referensi:

R. Michael Feener, Patrick Daly, Anthony Reid, Mapping the Acehnese Past (2011).

Ahmad Ubaidillah, Ekonomi Islam Nusantara (2023).

Su Fang Ng, Alexander the Great from Britain to Southeast Asia: Peripheral Empires in the Global Renaissance (2019).

Universiteit Leiden, UNESCO Recognizes Manuscripts First Voyage Around the Globe and Hikayat Aceh as World Heritage (2023).

Sher Banu Khan, Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641−1699 (2017).

Syahrizal Abbas, Hakim Perempuan dalam Mir’atuth Thullab Karya Shaykh Abdurrauf As-Singkily (2018).

Sudirman, Deureuham Aceh: Mata Uang Tertua di Nusantara (2018).

Hamka, Sejarah Umat Islam: Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara (2020).

Firdaus, Putroe Tsani di sudut Gampong Reuntoh, https://sinarpidie.co/news/putroe-tsani-di-sudut-gampong-reuntoh/index.html

Marzuki, Jejak Suku Bugis di Tanah Kluet, https://aceh.tribunnews.com/2012/10/28/jejak-suku-bugis-di-tanah-kluet.

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Sebuah Persembahan dari La Salaga Project – Atelier KITLV untuk Generasi Muda

Di awal tahun 2021, La Salaga Project yang diprakarsai oleh Kathryn Wellen (sejarawan di KITLV Leiden dengan fokus riset Sulawesi Selatan) dan Louie Buana (founder Lontara Project) mendapatkan sokongan dari Atelier KITLV untuk menggarap sebuah program unik yang mengombinasikan riset akademis dengan kesenian.

Proyek ini bertujuan untuk mengangkat kembali legenda La Salaga, seorang pangeran keturunan campuran Mamuju (Sulawesi Barat) dan Badung (Bali), kepada hadirin dari generasi muda. Kisahnya dituturkan dalam salinan naskah lontar berbahasa Mandar yang ditemukan di Balanipa. Berdasarkan kisah di dalam naskah tersebut, La Salaga dibesarkan di pulau Sulawesi dan Bali serta tumbuh menjadi seorang prajurit nan perkasa dan berperang dengan gagah melawan bangsa Sasak di Lombok. Prestasi La Salaga membuatnya dikagumi oleh penguasa Gowa, ia bahkan diminta oleh tetua adat Mandar untuk menjadi Mara’dia (raja) di negeri Mamuju dan Pamboang (Sulawesi Barat). La Salaga juga dikenang sebagai salah satu penguasa Mandar yang masuk Islam di bawah arahan Syekh Zakariya Al-Maghribi dari Jawa.

Sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali kisah tanpa visual yang terekam dalam naskah kuno ini, gaya lukis tradisional Bali yang dikenal dengan nama Wayang Kamasan sengaja dipilih. Sebagaimana pernikahan antaretnis ayah dan ibu La Salaga (Sulawesi dan Bali), karya lukis ini memadukan gaya seni khas suatu daerah untuk menceritakan kisah dari belahan Nusantara lainnya. Seorang pelukis asal Bali yaitu I Made Sesangka Puja Laksana secara khusus diminta untuk mengerjakan lukisan La Salaga tersebut.

Selanjutnya, lukisan tersebut digunakan sebagai bahan ilustrasi untuk buku dongeng. Tujuan pengadaan buku dongeng ini adalah agar cerita La Salaga dapat disampaikan kembali kepada generasi muda, orang tua maupun pendidik. Dua orang ilustrator muda berbakat tanah air yakni Ghina Amalia Yuhanida dan Aditya Bayu Perdana ikut terlibat dalam proses penciptaan buku dongeng berjudul Legenda La Salaga ini. La Salaga Project juga menghadirkan dua buah film yang mengisahkan proses behind the scene lukisan La Salaga serta pembacaan cerita dongengnya. Kedua film ini digarap oleh Agit Primaswara, seorang videografer asal Yogyakarta. Lukisan La Salaga bergaya Kamasan kemudian diserahkan kepada Ridwan Alimuddin, aktifis literasi dan pegiat budaya Mandar di Perpustakaan Nusa Pustaka, Polewali Mandar.

Dengan mempertimbangkan besarnya potensi kontribusi hasil-hasil karya La Salaga Project dalam menuturkan nilai-nilai keragaman dan kebhinnekaan Indonesia, Atelier KITLV membuka akses kepada publik untuk dapat menikmati karya-karya kami secara gratis. La Salaga Project mempersembahkan cara-cara inovatif untuk menceritakan kembali sejarah melalui beragam media kreatif. Kami berharap La Salaga Project dapat menginspirasi banyak orang, terutama akademisi dan seniman muda, untuk berkolaborasi di masa depan.

Buku dongeng “Legenda La Salaga” dapat anda baca dan download DI SINI secara gratis.

Film “The Journey of La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Film “Legenda La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Peradaban yang Hilang di Sekitar Bumi Manakarra

Bumi Manakarra yang berarti Bumi Pusaka yang Sakti merupakan julukan yang dimiliki oleh Mamuju, sebuah daerah di Sulawesi Barat. Mamuju dulunya dikenal sebagai salah satu kerajaan yang masuk ke dalam persekutuan Mandar. Keunikan Mamuju sebagai tempat bertemunya kebudayaan pesisir “Pitu Baqbqana Binanga” dan kebudayaan pegunungan Toraja “Pitu Ulunna Salu” membentuk sejarah yang panjang. Masih banyak misteri yang belum terungkap dari daerah ini, salah satunya ialah mengenai jejak artefak peradaban Hindu-Buddah serta situs Austronesia yang konon merupakan yang tertua di Indonesia. Mari sama-sama kita tengok!

Arca Sampaga

Sebuah arca Buddha yang berasal dari abad ke-2 Masehi ditemukan di Sikendeng, kecamatan Sampaga (Mamuju), Sulawesi Barat pada tahun 1921. Patung ini berwujud seorang Buddha yang mengenakan jubah selempang di pundak kiri (lekukan pada kainnya dibuat sedetail mungkin!). Secara ikonografi, langgam arca ini jelas menunjukkan gaya Amarawati dan sejatinya berasal dari India Selatan. Penemuan arca berbahan perunggu yang sejauh ini menjadi artefak Buddha tertua di Indonesia merupakan titik penting dalam mempelajari sejarah awal peradaban kita. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh arca kuno ini sehingga terdampar sedemekian jauh hingga ke jantung Pulau Sulawesi?

Sobat Lontara tentunya masih ingat bahwa “kerajaan berperadaban” tertua di Indonesia ialah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Buktinya ialah ditemukannya tujuh buah Yupa (batu bertulis yang berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan kurban). Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, tepi Sungai Mahakam ini ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Nah dari gaya tulisan Pallawa inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 Masehi, dan kemungkinan agama Hindu masuk melalui India Selatan. Aksara Pallawa merupakan aksara yang lazim digunakan di India Selatan.

Lho, tapi kok bisa sih arca Buddha di Sampaga justru berusia lebih tua daripada kerajaan tertua di Indonesia?

Yuk, kita tengok sebentar negeri India Selatan tempat arca Buddha Sempaga dan inspirasi awal peradaban Kutai berasal. Amarawati ialah sebuah daerah di India Selatan yang terkenal karena memiliki sekolah seni rupa. Amarawati menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan kerajaan Satavahana (Andhra) yang pengaruhnya menyebar ke Sri Langka sekitar tahun 230 SM hingga 220 M. Sekolah seni rupa ini telah menghasilkan banyak sekali patung-patung Hindu dan Buddha yang tersebar di berbagai penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Ketinggian cita rasa serta seni kriya yang dihasilkan oleh alumnus-alumnus Sekolah Seni Amarawati sejak abad ke-3 SM ini menghasilkan karya-karya yang secara umum memiliki ciri-ciri seperti pose nan rumit, figur tubuh yang dipahat dengan langsing dan elegan, serta detail lekukan yang mengagumkan. Karya-karya yang bersumber dari Amarawati juga sering menggambarkan Buddha dalam bentuk simbol (bukan sosok manusia) seperti melalui lambang purnakumbha, teratai, takhta yang kosong, serta Swastika. Ternyata, arca Buddha tipe Amarawati juga dapat kita temukan di Sikendeng, Jember (Jawa Timur) dan di Bukit Siguntang (Sumatera Selatan) walau tetap saja arca Sampaga berusia lebih tua daripada yang lain.

Sejarawan Barat yakin bahwa besarnya pengaruh India Selatan dalam bidang keagamaan, bahasa, seni, dan bahkan pemerintahan di Asia Tenggara disebabkan karena Kerajaan Satavahana pernah menjajah wilayah ini dan menancapkan pengaruhnya dengan kuat. Meskipun sejarawan Indonesia sendiri menolak pendapat tersebut karena tidak ada bukti penjajahan India terhadap nusantara, Kerajaan Satavahana memang memberikan pengaruh besar terhadap dunia Asia Tenggara (Negeri Bawah Angin). Koin-koin pada periode ini menggambarkan bentuk-bentuk perahu yang menandakan bahwa hubungan internasional dengan bangsa-bangsa yang jauh di timur pun secara aktif telah dilakukan oleh mereka. Satavahana pun diakui sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di Anak Benua.

Dusun Sikendeng tempat ditemukannya patung perunggu Buddha dari sekolah seni Amarawati juga terletak di pesisir pantai Sulawesi Barat. Pesisir ini tepat berseberangan dengan lokasi yang dipercaya sebagai Kerajaan Kutai kuno. Apakah pernah ada hubungan yang terjalin antara kerajaan Kutai dan Bumi Manakarra? Tahukah Sobat Lontara bahwa raja Kutai yang keempat bernama Sultan Mandarsyah? Sebuah lagu tradisional Mandar berjudul Tengga-Tengga Lopi juga menceritakan hubungan dekat antara pelaut-pelaut dari Tanah Sulawesi ini dengan penduduk lokal Kutai. Selat Makassar yang memisahkan kedua daratan tersebut seakan-akan bukanlah penghalang.

Kemunculan Kutai sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari lokasinya yang istimewa. Kutai telah menjalankan perdagangan asing dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, bahkan hingga ke India dan Cina. Permintaan akan emas dari tempat-tempat jauh seperti kemaharajaan India dan kekaisaran Cina membuat kekayaan emas yang dikandung oleh kerajaan ini dicari-cari. Prasasti yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman yang murah hati telah menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana sebagai kurban upacara keagamaan di tempat suci Waprakeswara. Nah, menurut informasi yang penulis dapat dari Melayu Online, konon sapi-sapi tersebut didatangkan dari luar Kerajaan Kutai karena daerah di sekitar Kutai kebetulan tidak menghasilkan hewan jenis ini. Apakah mungkin asalnya dari Bumi Manakarra? Yang jelas, sampai hari ini pun di daerah sekitar situ kita masih dapat menemukan penduduk Pitu Ulunna Salu yang menganggap kerbau sebagai hewan yang penting dalam ritual adat mereka. Di daerah tersebut kerbau merupakan hewan terbaik yang digunakan sebagai persembahan kepada dewata. Lagi pula, dalam agama Hindu yang dianut oleh kerajaan Kutai, sapi merupakan binatang yang suci, sehingga untuk dibunuh pun tidak boleh. Apakah yang dimaksud Yupa hewan kurban tersebut adalah kerbau? Hmmm… Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar pasti!

Christian Pelras di dalam bukunya Manusia Bugis pernah menyebutkan bahwa konon nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari Kalimantan. Lontar-lontar kuno serta cerita-cerita lisan masyarakat Mandar menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Ulu Sa’dang atau suatu daerah di hulu Sungai Sa’dang. Cerita ini pun berkembang di kalangan masyarakat Toraja. Jika kisah ini benar, menurut Pelras, nenek moyang masyarakat sekitar (Suku Bugis-Makassar-Mandar-Toraja) berlayar memasuki Sungai Sa’dang dari Kalimantan dan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Barat.

Nah, jika memang dulunya ada sebuah peradaban tua di Bumi Manakarra, lalu kemana gerangan hilangnya? Prof. Darmawan Mashud Rahman, seorang budayawan Mandar yang tenar berpendapat begini:

Hilangnya jejak kerajaan tua tersebut mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk dengan melalui dua arus, yang pertama menyusur pantai dan sebagian dengan jalan darat dan kemudian sampai ke Tana Toraja. Dibuktikan dengan upacara dan pola-pola hiasan serta kepercayaan yang masih terlihat di daerah Toraja. Untuk mencarai hubungan lebih jauh dan keinginan untuk berkembang, maka mereka berpindah lagi, kemudian menuju tepi pantai, yakni ke daerah Luwu. Di sana kemudian mereka menetap dan mengembangkan serta menumbuhkan kerajaan yang kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa kesamaan-kesamaan di dalam adat istiadat. Upacara-upacara, tarian dan geraknya, serta penyebutan kepala-kelapa kampung, misalnya Tomakaka dan Ma’dika, kesamaan dialek bahasa antara orang-orang Mandar, Toraja dan Luwu.

Serat Dewabuda

Berdasarkan temuan arkeologis, kerajaan tertua di Indonesia selain berada di Kutai juga berada di Jawa Barat. Tarumanegara, sebuah kerajaan bercorak Hindu yang keberadaannya dilaporkan oleh seorang pendeta dari negeri Tiongkok bernama Fa Xian di tahun 414 ini juga meninggalkan banyak prasasti dalam Bahasa Sansekerta dan beraksara Pallawa. Kira-kira ada hubungannya tidak ya, kerajaan Kutai dan Tarumanegara yang sama-sama didaulat sebagai peradaban tersepuh di nusantara ini? Jawabannya datang dari naskah berbahasa Jawa Kuno dari abad ke-17 yang berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara koleksi kesultanan Cirebon.

Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa pada tahun 52 Saka (130 M) seorang raja bernama Dewawarman yang berkuasa atas negeri Jawa bahagian barat bertakhta. Putranya yang bernama Aswawarman tanpa suatu alasan yang jelas pergi ke Bakulapura (Kalimantan Timur) dan diambil menjadi menantu oleh penghulu suku pribumi di situ, Kundungga. Sementara itu, anak perempuan Dewawarman di Jawa menikah dengan seorang maharesi dari negeri India bernama Rajadhirajaguru, yang kemudian mendirikan kerajaan Tarumanegara. Cucu Dewawarman yang bernama Purnawarman dikenang sebagai raja Tarumanegara teragung karena banyak meninggalkan bukti berupa prasasti. Apakah kisah yang diceritakan berabad-abad setelah kejadian aslinya ini terjadi otentik? Sampai sekarang naskah Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara masih didebatkan keabsahannya.

            Pada tahun 1988, Ayatrohaedi, seorang sejarawan besar dalam kebudayaan Sunda menerjemahkan sebuah naskah kuno bernama Serat Dewabuda. Serat Dewabuda ini selesai ditulis pada tahun 1357 Saka atau 1435 Masehi. Bahasanya ialah Bahasa Jawa Kuno, lokasi penulisannya disebutkan pada suatu tempat di antara Gunung Cupu, Gunung Rantay, dan Bukit Talagacandana. Serat Dewabuda ini berisi ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha dengan campuran kepercayaan Sunda lokal yang ditulis oleh seseorang bernama Resi Siddhayogiswara. Salah satu unsur kepercayaan Sunda lokal yang dibahas di dalamnya ialah paparan akan konsep Sanghyang Taya atau Tuhan Yang Maha Esa nan jauh di atas dunia para dewa. Isi naskah ini sejak awal hingga akhir terus-menerus memperbincangkan upaya manusia agar dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Naskah ini menurut Agus Ari Munandar bahkan banyak beredar di kalangan masyarakat jelata karena isinya yang membumi.

Lalu, apa hubungan antara semua ini dengan Bumi Manakarra? Pada salah satu bagiannya, Sang Siddhayogiswara menyebutkan bahwa ajarannya selain beredar di kalangan Tatar Sunda juga disebarluaskan hingga ke negara-negara lain seperti Keling, Cina, Prasola, Meta, Tanjungpura, Melayu, Kedah, Byalapura, Markaman, Hulumando, Buwun, Gurun dan Bandan. Nama Hulumando di sini kemudian mengundang tanya penulis; daerah manakah yang disebut dengan nama Hulumando ini? Apakah ada kaitannya dengan nama daerah Ulumanda di daerah Malunda, Majene yang berbatasan dengan Bumi Manakarra?

Secara bahasa penduduk Ulumanda dapat digolongkan sebagai bagian dari Pitu Ulunna Salu. Secara genetis, ternyata sub-suku Mandar ini berhubungan darah dekat dengan orang-orang Bungku di Sulawesi Tengah. Mereka tinggal di daerah pesisir dan juga pegunungan sehingga fokus matapencaharian mereka adalah menjadi nelayan atau petani. Daerah mereka kaya dengan mineral, pasir, kayu eboni dan kayu rotan. Menurut A. Syaiful Sinrang dalam buku “Mengenal Mandar Sekilas Lintas”, Ulumanda adalah sebuah daerah sepuh di Mamuju yang konon memiliki peranan penting pada asal mula penamaan “Mandar”. Ulumanda dulunya merupakan sebuah desa kecil di Malunda yang termasuk ke dalam wilayah kerajaan Sendana. Di Ulumanda terdapat sebuah gunung bernama Pebulahangan. Gunung Pebulahangan konon akan bercahaya apabila ditimpa sinar bulan atau sinar matahari, akibat pantulan cahaya dari batu-batu gunung yang berwarna kuning kehitam-hitaman. Dari situlah nama “Mandar” yang juga dapat diartikan “terang” berasal.

Ngomong-ngomong soal batu nih, di daerah Ujung Rangas, sekitar 4 km dari kota Majene sendiri pernah ditemukan batu dengan bekas telapak kaki. Konon menurut kepercayaan warga sekitar bekas telapak kaki tersebut merupakan peninggalan Sawerigading saat akan naik ke atas langit. Nah, beberapa peninggalan sejarah Tarumanegara juga ada yang berhubungan dengan batu-telapak kaki. Prasasti Ciaruteun, Cidanghyang dan Pasir Awi berterakan jejak telapak kaki baginda Purnawarman dari abad ke-4 M. Apakah tradisi membuat telapak kaki di atas batu yang ditemukan di daerah Sunda dan Mandar ini menandakan sisa peradaban tua yang saling terhubung satu sama lain, terlebih lagi dengan adanya penyebutan nama Hulumando pada Serat Dewabuda?

Kedengarannya maksa ya. Tetapi ada dua fakta unik yang memang menunjukkan kemiripan antara Sunda dan Mandar. Pertama: alat musik calong. Calong yang di Mandar terbuat dari buah kelapa dan bambu ternyata juga ditemukan di daerah Jawa Barat dengan nama calung. Calung Sunda terbuat dari awi wulung (bambu hitam) dan awi temen (bambu putih) serta dipercaya sebagai protoripe dari alat musik angklung yang tersohor itu. Kedua: Siti KDI. Meskipun pada kompetisi dangdut nasional di salah satu televisi swasta beberapa tahun yang lalu ia menjadi perwakilan Bandung, sebenarnya Siti berasal dari Mandar. Yah, jika Ulumanda tidak cukup kuat untuk menjadi saksi hubungan antara bekas kerajaan Tarumanegara dengan Bumi Manakarra, maka prestasi yang diraih atas keindahan suara Siti KDI dapat menjadi saksi sejarah hubungan antara kedua daerah tersebut 🙂

PS: Agak susah rupanya menemukan gambar patung Buddha dari Sikendeng, Mamuju ini di internet. Sayang sekali padahal untuk peninggalan sejarah tertua dan sepenting itu tidak banyak sobat-sobat Lontara yang mengetahuinya!