Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kosmologi Bugis dalam “The Three World of Galigo”

Sobat Lontara, di masa awal pandemi tahun 2020 silam kedua kawan kita, Maharani Budi & Louie Buana, berkolaborasi menciptakan sebuah karya berjudul “The Three World of Galigo.” Karya tersebut merupakan penafsiran visual atas kosmologi masyarakat Bugis di Bumi Sulawesi sebagaimana yang tergambarkan dalam epos La Galigo.

The Three World of Galigo pernah dipamerkan secara virtual sebanyak dua kali. Pertama, dalam rangka Festival Kertas Sejagat yang diselenggarakan pada tanggal 10-20 Mei 2020. Pada kesempatan itu karya Maharani dan Louie dipajang bersama karya 47 perupa lainnya dari seantero Indonesia dan bahkan luar negeri. Sesuai judulnya, pameran tersebut menekankan penggunaan medium kertas dalam proses kreatifnya. Yang kedua, The Three World of Galigo terpilih untuk ditampilkan dalam “Proyek Indonesia” oleh Ilustrasee. Lewat pameran ini, Ilustrasee bertujuan untuk meninggalkan gambaran klise dan mengeksplor visual mengenai Nusantara dengan lebih dalam dan bermakna.

Kali ini, untuk ketiga kalinya The Three World of La Galigo mendapatkan kehormatan dari penerbit Makassar Biennale 2023 dan komunitas Kampung Buku. Karya tersebut dipercaya sebagai ilustrasi sampul buku berjudul “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Pare-Pare dan Pangkep“. Buku yang ditulis oleh 25 peneliti muda itu berisi lima narasi tentang perkembangan wilayah-wilayah yang disebutkan di atas. Cerita-ceritanya disusun berdasarkan pengalaman dan kesaksian-kesaksian tangan pertama.

Nah, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh terkait ilustrasi “The Three World of Galigo” ini, berikut penjelasannya:

Masyarakat Bugis kuno di Sulawesi Selatan meyakini bahwa jagad raya ini sesungguhnya terdiri dari “tiga lapis dunia, tujuh susun langit dan bumi, serta semesta berbentuk segiempat belah ketupat”.

Pandangan tersebut tertuang di dalam epos La Galigo, naskah yang disakralkan oleh manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam. La Galigo memaparkan bagaimana dunia tercipta dan awal mula manusia hadir di muka bumi (Ale Lino). Penguasa Boting Langiq (kahyangan) dan Perettiwi (negeri di bawah samudera) bersepakat untuk menurunkan Batara Guru, putra sulung Datu Patotoé (raja Boting Langiq) serta menaikkan We Nyiliq Timoq, putri Opu Samudda (dewa yang bertakhta di dasar lautan) sebagai pasangan manusia pertama di Ale Lino. Tujuan dari pengisian Dunia Tengah yang masih kosong dengan manusia itu adalah: agar hakikat Kedewataan para penguasa adikodrati di Boting Langiq dan Perettiwi dapat dikenali mahluk lain, diakui, diagungkan serta disembah. Secara simbolik, eksistensi manusia dalam mengisi & mengelola Dunia Tengah amat bergantung kepada dua dunia lainnya, begitu pula sebaliknya.

Ketiga lapis dunia Galigo ini digambarkan berbentuk sulappa eppaq walasuji (segiempat belah ketupat). Sulappa eppaq walasuji adalah representasi dari empat elemen dasar yang menopang semesta secara makrokosmos (air, api, udara, tanah) serta empat unsur abstrak manusia sempurna sebagai mikrokosmos: kecendekiaan (ammacangeng), kekayaan (asugireng), kekuasaan (akkarungeng), dan ketampanan/kecantikan (akkesingeng).

Tiga dunia yaitu Boting Langiq – Ale Lino – Perettiwi menjadi satu dihubungkan oleh jembatan pelangi (tarawué) dan pohon kosmik Welenrengnge. Pelangi lahir karena titik-titik air dari samudera yang moksha ke angkasa ditempias mentari, sedangkan pohon tumbuh mencakar langit dari rahim bumi. Perpaduan khas Austronesia yang mendamaikan dua hal saling bertentangan (langit-bumi, laut-gunung, siang-malam, panas-dingin). Dikisahkan dalam epos La Galigo bagaimana tokoh Sawerigading dari Ale Luwu menebang pohon Welenrengnge untuk kemudian ia gunakan sebagai kapal berlayar ke negeri Ale Cina. Perubahan bentuk pohon kosmik Welenrengnge menjadi kapal melambangkan filosofi manusia Bugis yang alam semestanya dinamis dan senantiasa berubah, mencitrakan tradisi rantau lewat pepatah “malekkeq dapureng” (berpindah dapur) dimana pusat jagad raya tidak hanya berada pada satu titik namun dapat dipindahkan/digantikan sesuai konteks serta kondisinya.

Di keempat sisi semesta, di sudut-sudut khayali Sulappaq Eppaq, konstelasi kuna dalam rupa Manuk / Ayam (Canopus-Sirius-Procyon), Jonga / Rusa (Ursa Major), Mangiwang / Hiu (Scorpio selatan) & Worong Porong / Tujuh Tumpukan (Pleiades) menjaga dan menerangi dunia. Rasi bintang Bugis tersebut dikenal dengan baik di kalangan nahkoda dan digunakan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran. Bintang-bintang tersebut juga dijadikan acuan dalam pergantian musim oleh kalangan petani Bugis. Contohnya, apabila Worong Porong terbenam sebelum waktu shalat subuh (sekitar pukul 04.00) diyakini hujan dari angin musim barat akan segera tiba (pada akhir bulan Desember).

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Sebuah Persembahan dari La Salaga Project – Atelier KITLV untuk Generasi Muda

Di awal tahun 2021, La Salaga Project yang diprakarsai oleh Kathryn Wellen (sejarawan di KITLV Leiden dengan fokus riset Sulawesi Selatan) dan Louie Buana (founder Lontara Project) mendapatkan sokongan dari Atelier KITLV untuk menggarap sebuah program unik yang mengombinasikan riset akademis dengan kesenian.

Proyek ini bertujuan untuk mengangkat kembali legenda La Salaga, seorang pangeran keturunan campuran Mamuju (Sulawesi Barat) dan Badung (Bali), kepada hadirin dari generasi muda. Kisahnya dituturkan dalam salinan naskah lontar berbahasa Mandar yang ditemukan di Balanipa. Berdasarkan kisah di dalam naskah tersebut, La Salaga dibesarkan di pulau Sulawesi dan Bali serta tumbuh menjadi seorang prajurit nan perkasa dan berperang dengan gagah melawan bangsa Sasak di Lombok. Prestasi La Salaga membuatnya dikagumi oleh penguasa Gowa, ia bahkan diminta oleh tetua adat Mandar untuk menjadi Mara’dia (raja) di negeri Mamuju dan Pamboang (Sulawesi Barat). La Salaga juga dikenang sebagai salah satu penguasa Mandar yang masuk Islam di bawah arahan Syekh Zakariya Al-Maghribi dari Jawa.

Sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali kisah tanpa visual yang terekam dalam naskah kuno ini, gaya lukis tradisional Bali yang dikenal dengan nama Wayang Kamasan sengaja dipilih. Sebagaimana pernikahan antaretnis ayah dan ibu La Salaga (Sulawesi dan Bali), karya lukis ini memadukan gaya seni khas suatu daerah untuk menceritakan kisah dari belahan Nusantara lainnya. Seorang pelukis asal Bali yaitu I Made Sesangka Puja Laksana secara khusus diminta untuk mengerjakan lukisan La Salaga tersebut.

Selanjutnya, lukisan tersebut digunakan sebagai bahan ilustrasi untuk buku dongeng. Tujuan pengadaan buku dongeng ini adalah agar cerita La Salaga dapat disampaikan kembali kepada generasi muda, orang tua maupun pendidik. Dua orang ilustrator muda berbakat tanah air yakni Ghina Amalia Yuhanida dan Aditya Bayu Perdana ikut terlibat dalam proses penciptaan buku dongeng berjudul Legenda La Salaga ini. La Salaga Project juga menghadirkan dua buah film yang mengisahkan proses behind the scene lukisan La Salaga serta pembacaan cerita dongengnya. Kedua film ini digarap oleh Agit Primaswara, seorang videografer asal Yogyakarta. Lukisan La Salaga bergaya Kamasan kemudian diserahkan kepada Ridwan Alimuddin, aktifis literasi dan pegiat budaya Mandar di Perpustakaan Nusa Pustaka, Polewali Mandar.

Dengan mempertimbangkan besarnya potensi kontribusi hasil-hasil karya La Salaga Project dalam menuturkan nilai-nilai keragaman dan kebhinnekaan Indonesia, Atelier KITLV membuka akses kepada publik untuk dapat menikmati karya-karya kami secara gratis. La Salaga Project mempersembahkan cara-cara inovatif untuk menceritakan kembali sejarah melalui beragam media kreatif. Kami berharap La Salaga Project dapat menginspirasi banyak orang, terutama akademisi dan seniman muda, untuk berkolaborasi di masa depan.

Buku dongeng “Legenda La Salaga” dapat anda baca dan download DI SINI secara gratis.

Film “The Journey of La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Film “Legenda La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Jejak La Galigo di Jerman

Sobat Lontara, selain di Indonesia dan Belanda, naskah-naskah Bugis kuna juga banyak tersimpan di negara Jerman. Berdasarkan hasil riset filologi yang diadakan oleh tim peneliti pernaskahan Nusantara pada tahun 2015, tercatat ada sekitar 45 naskah Bugis dan Makassar berbentuk kodeks di koleksi Staatsbibliothek zu Berlin. Di antara naskah-naskah tersebut, ternyata terdapat pula beberapa naskah La Galigo. Bagaimana kisahnya sehingga naskah-naskah tersebut berakhir di ibukota Jerman? Mari kita telusuri!

Kisah ini bermula dari seorang pria bernama Karl Schoemann. Ia lahir pada tahun 1806 di kota Trier, negara bagian Rheinland-Pfalz. Tidak banyak yang kita ketahui tentang masa muda Karl. Namun, jelas Karl adalah seorang yang terpelajar dan berdedikasi di bidang pendidikan. Karl hijrah ke Hindia Belanda pada tahun 1845 untuk memulai karirnya sebagai seorang tutor pribadi bagi anak-anak Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Selama di Hindia Belanda, Karl tinggal di kota Batavia dan Buitenzorg (Bogor) agar dapat berdekatan dengan keluarga sang gubernur jenderal. 

Mengapa Rochussen jauh-jauh mendatangkan Karl sebagai guru privat bagi anak-anaknya? Nah, background sang gubernur jenderal ini menarik untuk kita ketahui terlebih dahulu. Rochussen terbilang ‘tajir melintir’ untuk ukuran zaman itu. Sebelum ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, Rochussen pernah ditugaskan sebagai Menteri Keuangan Belanda pada tahun 1840-1843. Ketika menjabat di Hindia Belanda, ia mengerahkan ekspedisi militer ke berbagai pelosok tanah air (seperti Pulau Sulawesi, Bali, Sumatera dan Bangka). Ia juga pejabat tinggi yang meresmikan pembukaan tambang “Oranje Nassau”, tambang batu bara pertama di Hindia Belanda (daerah Pengaron, Kesultanan Banjar). Tambang tersebut menghasilkan kurang lebih 15.000-18.000 ton per tahun hingga 1859. Singkat kata, Gubernur Jenderal Rochussen adalah seseorang yang amat berkuasa baik sebelum, saat maupun setelah ia mengampu jabatan di Hindia Belanda.

Tidak heran jika kemudian ia memilih untuk mendidik anak-anaknya dengan seorang tutor terpelajar dari Jerman. Pada masa itu, Jerman adalah pemimpin dunia dalam bidang pendidikan bergengsi (der angesehenen Bildung). Sistem pendidikan Jerman dianggap paling sukses dan layak menjadi percontohan oleh negara-negara Eropa lainnya, termasuk bagi orang-orang Eropa yang tinggal di koloni. Salah seorang putra Rochuseen yang bernama Willem Frederik baru berusia 13 tahun ketika Karl Schoemann tiba di Buitenzorg sebagai tutor. Kelak, lewat prestasi dan koneksi ayahnya, Willem Frederik menjadi Menteri Urusan Luar Negeri Kerajaan Belanda (1881-1883). 

Di Batavia, Karl berkawan dengan sesama warga Jerman, Dr. R. H. Th. Friederich, seorang filolog dan arkeolog yang bekerja untuk Bataviaasch Genootschap van Künsten en Wetenschappen. Penelitian Friederich berfokus di kawasan Jawa dan Bali dari tahun 1844 hingga 1869. Salah satu karyanya adalah sebuah analisa terkait penemuan Prasasti Jambu di kawasan Bogor yang ditengarai sebagai peninggalan kerajaan Tarumanegara. Hubungannya yang dekat dengan Friederich membuat Karl tertarik terhadap sejarah dan kebudayaan Nusantara. Ssst… mungkin dulu Si Friderich sering curhat dan berdiskusi soal penelitiannya kepada Karl kali ya!

Selama tinggal di Hindia Belanda, Karl banyak mengumpulkan salinan naskah-naskah dari berbagai daerah di tanah air. Naskah-naskah ini ada yang berbentuk kodeks, namun banyak pula yang masih berbahan lontar, kulit kayu, bambu dan bahkan logam. Tercatat, Karl mengoleksi lebih dari 350 naskah dalam Bahasa Kawi, Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Bima dan Minangkabau. Jumlah ini tergolong amat besar untuk koleksi naskah Nusantara lho. Koneksinya dengan Friederich memudahkan Karl untuk membeli dan mendapatkan beragam naskah lokal tersebut. Tidak hanya itu, Friederich pun juga membantu membuat klasifikasi bahasa untuk naskah-naskah koleksi Schoemann. Nah, di antara naskah-naskah Bugis tersebut ternyata terdapat beberapa sureq La Galigo juga lho!

Pada tahun 1851, Gubernur Jenderal Rochessen telah menyelesaikan masa tugasnya di Hindia Belanda dan hendak kembali ke Eropa. Perkembangan tersebut kemudian membuat Karl memutuskan untuk pulang ke Jerman sambil membawa koleksi naskah-naskah Nusantaranya. Karl tinggal di kota kelahirannya, Trier, hingga ia meninggal dunia pada tahun 1877. Setelah ia wafat, koleksi naskah-naskah Nusantara miliknya dihibahkan kepada Königliche Bibliothek, perpustakaan kerajaan Prussia di Berlin yang telah berdiri sejak tahun 1661.

Selanjutnya, oleh pustakawan Königliche Bibliothek naskah-naskah Schoemann diberikan kode Schoem I-XIII untuk mempermudah proses penyusunan katalog dan pengarsipan. Pada tahun 1939, seorang filolog Belanda bernama R.A. Kern pernah menelusuri naskah-naskah Bugis dalam koleksi Schoemann. Kern sedang mengerjakan sebuah proyek ambisius untuk menyusun katalog dari naskah-naskah La Galigo yang pernah tercatat dan diketahui keberadaannya. Dalam penemuannya, ia berhasil membuat deskripsi dari 19 naskah La Galigo pada koleksi Königliche Bibliothek yang telah berganti nama menjadi Staatsbibliothek zu Berlin sejak tahun 1992 itu. Nah, berdasarkan temuan terbaru di tahun 2022 ini, ternyata jumlah naskah La Galigo di Staatsbibliothek zu Berlin ada 22 manuskrip! Wah, jumlah yang mencengangkan!

Koleksi Schoemann bagaikan kepingan puzzle yang melengkapi pengetahuan kita tentang epos La Galigo. Perlu dicatat bahwa keseluruhan naskah La Galigo di koleksi Schoemann tersebut merupakan salinan dari abad ke-19, didapatkan melalui pembelian ataupun sebagai pemberian. Meskipun tujuan awal dari pengoleksian naskah-naskah Nusantara oleh Karl Schoemann tidak terlepas dari semangat orientalisme bangsa Eropa di abad ke-19, dokumentasi serta pemeliharaan naskah-naskah tersebut terbukti penting bagi peradaban umat manusia di masa depan. 

Selama ini, narasi yang muncul di pemberitaan media cetak maupun daring sering mengasosiasikan La Galigo dengan kedua belas jilid NBG 188 di koleksi Perpustakaan Leiden University. Keberadaan naskah La Galigo di Berlin atau pelosok dunia lainnya kerap kali terlupakan. Amat disayangkan jika kekayaan budaya Indonesia warisan leluhur di perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak dikaji dan diolah dengan baik. Pemerintah Indonesia dan Jerman perlu bekerjasama untuk menciptakan peluang-peluang bagi kalangan akademisi, seniman maupun industri kreatif dari tanah air agar dapat memanfaatkan arsip-arsip tersebut lewat beragam media. Sudah saatnya bagi kita untuk berpikir secara out of the box dan inovatif dalam hal pelestarian fisik serta konten yang terekam di dalam naskah kuno.

Mari bergerak dari segala penjuru!

Referensi

Titik Pudjiastuti, Katalog Naskah Indonesia Koleksi Staatsbibliotheek zu Berlin dalam Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Barend ter Haar, Ritual and Mythology of the Chinese Triads: Creating an Identity, Leiden: Brill, 2021.

Muhlis Hadrawi, Basiah, Gusnawaty Taqdir, Sastra Klasik Bugis La Padoma: Tinjauan Kodikoligis dan Ciri Naratif Tekshttps://adoc.pub/sastra-klasik-bugis-la-padoma-tinjauan-kodikoligis-dan-ciri-.html