Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Peradaban yang Hilang di Sekitar Bumi Manakarra

Bumi Manakarra yang berarti Bumi Pusaka yang Sakti merupakan julukan yang dimiliki oleh Mamuju, sebuah daerah di Sulawesi Barat. Mamuju dulunya dikenal sebagai salah satu kerajaan yang masuk ke dalam persekutuan Mandar. Keunikan Mamuju sebagai tempat bertemunya kebudayaan pesisir “Pitu Baqbqana Binanga” dan kebudayaan pegunungan Toraja “Pitu Ulunna Salu” membentuk sejarah yang panjang. Masih banyak misteri yang belum terungkap dari daerah ini, salah satunya ialah mengenai jejak artefak peradaban Hindu-Buddah serta situs Austronesia yang konon merupakan yang tertua di Indonesia. Mari sama-sama kita tengok!

Arca Sampaga

Sebuah arca Buddha yang berasal dari abad ke-2 Masehi ditemukan di Sikendeng, kecamatan Sampaga (Mamuju), Sulawesi Barat pada tahun 1921. Patung ini berwujud seorang Buddha yang mengenakan jubah selempang di pundak kiri (lekukan pada kainnya dibuat sedetail mungkin!). Secara ikonografi, langgam arca ini jelas menunjukkan gaya Amarawati dan sejatinya berasal dari India Selatan. Penemuan arca berbahan perunggu yang sejauh ini menjadi artefak Buddha tertua di Indonesia merupakan titik penting dalam mempelajari sejarah awal peradaban kita. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh arca kuno ini sehingga terdampar sedemekian jauh hingga ke jantung Pulau Sulawesi?

Sobat Lontara tentunya masih ingat bahwa “kerajaan berperadaban” tertua di Indonesia ialah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Buktinya ialah ditemukannya tujuh buah Yupa (batu bertulis yang berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan kurban). Yupa yang ditemukan di Muara Kaman, tepi Sungai Mahakam ini ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Nah dari gaya tulisan Pallawa inilah kemudian dapat disimpulkan bahwa Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 Masehi, dan kemungkinan agama Hindu masuk melalui India Selatan. Aksara Pallawa merupakan aksara yang lazim digunakan di India Selatan.

Lho, tapi kok bisa sih arca Buddha di Sampaga justru berusia lebih tua daripada kerajaan tertua di Indonesia?

Yuk, kita tengok sebentar negeri India Selatan tempat arca Buddha Sempaga dan inspirasi awal peradaban Kutai berasal. Amarawati ialah sebuah daerah di India Selatan yang terkenal karena memiliki sekolah seni rupa. Amarawati menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan kerajaan Satavahana (Andhra) yang pengaruhnya menyebar ke Sri Langka sekitar tahun 230 SM hingga 220 M. Sekolah seni rupa ini telah menghasilkan banyak sekali patung-patung Hindu dan Buddha yang tersebar di berbagai penjuru Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Ketinggian cita rasa serta seni kriya yang dihasilkan oleh alumnus-alumnus Sekolah Seni Amarawati sejak abad ke-3 SM ini menghasilkan karya-karya yang secara umum memiliki ciri-ciri seperti pose nan rumit, figur tubuh yang dipahat dengan langsing dan elegan, serta detail lekukan yang mengagumkan. Karya-karya yang bersumber dari Amarawati juga sering menggambarkan Buddha dalam bentuk simbol (bukan sosok manusia) seperti melalui lambang purnakumbha, teratai, takhta yang kosong, serta Swastika. Ternyata, arca Buddha tipe Amarawati juga dapat kita temukan di Sikendeng, Jember (Jawa Timur) dan di Bukit Siguntang (Sumatera Selatan) walau tetap saja arca Sampaga berusia lebih tua daripada yang lain.

Sejarawan Barat yakin bahwa besarnya pengaruh India Selatan dalam bidang keagamaan, bahasa, seni, dan bahkan pemerintahan di Asia Tenggara disebabkan karena Kerajaan Satavahana pernah menjajah wilayah ini dan menancapkan pengaruhnya dengan kuat. Meskipun sejarawan Indonesia sendiri menolak pendapat tersebut karena tidak ada bukti penjajahan India terhadap nusantara, Kerajaan Satavahana memang memberikan pengaruh besar terhadap dunia Asia Tenggara (Negeri Bawah Angin). Koin-koin pada periode ini menggambarkan bentuk-bentuk perahu yang menandakan bahwa hubungan internasional dengan bangsa-bangsa yang jauh di timur pun secara aktif telah dilakukan oleh mereka. Satavahana pun diakui sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di Anak Benua.

Dusun Sikendeng tempat ditemukannya patung perunggu Buddha dari sekolah seni Amarawati juga terletak di pesisir pantai Sulawesi Barat. Pesisir ini tepat berseberangan dengan lokasi yang dipercaya sebagai Kerajaan Kutai kuno. Apakah pernah ada hubungan yang terjalin antara kerajaan Kutai dan Bumi Manakarra? Tahukah Sobat Lontara bahwa raja Kutai yang keempat bernama Sultan Mandarsyah? Sebuah lagu tradisional Mandar berjudul Tengga-Tengga Lopi juga menceritakan hubungan dekat antara pelaut-pelaut dari Tanah Sulawesi ini dengan penduduk lokal Kutai. Selat Makassar yang memisahkan kedua daratan tersebut seakan-akan bukanlah penghalang.

Kemunculan Kutai sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari lokasinya yang istimewa. Kutai telah menjalankan perdagangan asing dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, bahkan hingga ke India dan Cina. Permintaan akan emas dari tempat-tempat jauh seperti kemaharajaan India dan kekaisaran Cina membuat kekayaan emas yang dikandung oleh kerajaan ini dicari-cari. Prasasti yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman yang murah hati telah menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana sebagai kurban upacara keagamaan di tempat suci Waprakeswara. Nah, menurut informasi yang penulis dapat dari Melayu Online, konon sapi-sapi tersebut didatangkan dari luar Kerajaan Kutai karena daerah di sekitar Kutai kebetulan tidak menghasilkan hewan jenis ini. Apakah mungkin asalnya dari Bumi Manakarra? Yang jelas, sampai hari ini pun di daerah sekitar situ kita masih dapat menemukan penduduk Pitu Ulunna Salu yang menganggap kerbau sebagai hewan yang penting dalam ritual adat mereka. Di daerah tersebut kerbau merupakan hewan terbaik yang digunakan sebagai persembahan kepada dewata. Lagi pula, dalam agama Hindu yang dianut oleh kerajaan Kutai, sapi merupakan binatang yang suci, sehingga untuk dibunuh pun tidak boleh. Apakah yang dimaksud Yupa hewan kurban tersebut adalah kerbau? Hmmm… Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar pasti!

Christian Pelras di dalam bukunya Manusia Bugis pernah menyebutkan bahwa konon nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari Kalimantan. Lontar-lontar kuno serta cerita-cerita lisan masyarakat Mandar menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Ulu Sa’dang atau suatu daerah di hulu Sungai Sa’dang. Cerita ini pun berkembang di kalangan masyarakat Toraja. Jika kisah ini benar, menurut Pelras, nenek moyang masyarakat sekitar (Suku Bugis-Makassar-Mandar-Toraja) berlayar memasuki Sungai Sa’dang dari Kalimantan dan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Barat.

Nah, jika memang dulunya ada sebuah peradaban tua di Bumi Manakarra, lalu kemana gerangan hilangnya? Prof. Darmawan Mashud Rahman, seorang budayawan Mandar yang tenar berpendapat begini:

Hilangnya jejak kerajaan tua tersebut mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk dengan melalui dua arus, yang pertama menyusur pantai dan sebagian dengan jalan darat dan kemudian sampai ke Tana Toraja. Dibuktikan dengan upacara dan pola-pola hiasan serta kepercayaan yang masih terlihat di daerah Toraja. Untuk mencarai hubungan lebih jauh dan keinginan untuk berkembang, maka mereka berpindah lagi, kemudian menuju tepi pantai, yakni ke daerah Luwu. Di sana kemudian mereka menetap dan mengembangkan serta menumbuhkan kerajaan yang kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa kesamaan-kesamaan di dalam adat istiadat. Upacara-upacara, tarian dan geraknya, serta penyebutan kepala-kelapa kampung, misalnya Tomakaka dan Ma’dika, kesamaan dialek bahasa antara orang-orang Mandar, Toraja dan Luwu.

Serat Dewabuda

Berdasarkan temuan arkeologis, kerajaan tertua di Indonesia selain berada di Kutai juga berada di Jawa Barat. Tarumanegara, sebuah kerajaan bercorak Hindu yang keberadaannya dilaporkan oleh seorang pendeta dari negeri Tiongkok bernama Fa Xian di tahun 414 ini juga meninggalkan banyak prasasti dalam Bahasa Sansekerta dan beraksara Pallawa. Kira-kira ada hubungannya tidak ya, kerajaan Kutai dan Tarumanegara yang sama-sama didaulat sebagai peradaban tersepuh di nusantara ini? Jawabannya datang dari naskah berbahasa Jawa Kuno dari abad ke-17 yang berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara koleksi kesultanan Cirebon.

Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa pada tahun 52 Saka (130 M) seorang raja bernama Dewawarman yang berkuasa atas negeri Jawa bahagian barat bertakhta. Putranya yang bernama Aswawarman tanpa suatu alasan yang jelas pergi ke Bakulapura (Kalimantan Timur) dan diambil menjadi menantu oleh penghulu suku pribumi di situ, Kundungga. Sementara itu, anak perempuan Dewawarman di Jawa menikah dengan seorang maharesi dari negeri India bernama Rajadhirajaguru, yang kemudian mendirikan kerajaan Tarumanegara. Cucu Dewawarman yang bernama Purnawarman dikenang sebagai raja Tarumanegara teragung karena banyak meninggalkan bukti berupa prasasti. Apakah kisah yang diceritakan berabad-abad setelah kejadian aslinya ini terjadi otentik? Sampai sekarang naskah Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara masih didebatkan keabsahannya.

            Pada tahun 1988, Ayatrohaedi, seorang sejarawan besar dalam kebudayaan Sunda menerjemahkan sebuah naskah kuno bernama Serat Dewabuda. Serat Dewabuda ini selesai ditulis pada tahun 1357 Saka atau 1435 Masehi. Bahasanya ialah Bahasa Jawa Kuno, lokasi penulisannya disebutkan pada suatu tempat di antara Gunung Cupu, Gunung Rantay, dan Bukit Talagacandana. Serat Dewabuda ini berisi ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha dengan campuran kepercayaan Sunda lokal yang ditulis oleh seseorang bernama Resi Siddhayogiswara. Salah satu unsur kepercayaan Sunda lokal yang dibahas di dalamnya ialah paparan akan konsep Sanghyang Taya atau Tuhan Yang Maha Esa nan jauh di atas dunia para dewa. Isi naskah ini sejak awal hingga akhir terus-menerus memperbincangkan upaya manusia agar dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Naskah ini menurut Agus Ari Munandar bahkan banyak beredar di kalangan masyarakat jelata karena isinya yang membumi.

Lalu, apa hubungan antara semua ini dengan Bumi Manakarra? Pada salah satu bagiannya, Sang Siddhayogiswara menyebutkan bahwa ajarannya selain beredar di kalangan Tatar Sunda juga disebarluaskan hingga ke negara-negara lain seperti Keling, Cina, Prasola, Meta, Tanjungpura, Melayu, Kedah, Byalapura, Markaman, Hulumando, Buwun, Gurun dan Bandan. Nama Hulumando di sini kemudian mengundang tanya penulis; daerah manakah yang disebut dengan nama Hulumando ini? Apakah ada kaitannya dengan nama daerah Ulumanda di daerah Malunda, Majene yang berbatasan dengan Bumi Manakarra?

Secara bahasa penduduk Ulumanda dapat digolongkan sebagai bagian dari Pitu Ulunna Salu. Secara genetis, ternyata sub-suku Mandar ini berhubungan darah dekat dengan orang-orang Bungku di Sulawesi Tengah. Mereka tinggal di daerah pesisir dan juga pegunungan sehingga fokus matapencaharian mereka adalah menjadi nelayan atau petani. Daerah mereka kaya dengan mineral, pasir, kayu eboni dan kayu rotan. Menurut A. Syaiful Sinrang dalam buku “Mengenal Mandar Sekilas Lintas”, Ulumanda adalah sebuah daerah sepuh di Mamuju yang konon memiliki peranan penting pada asal mula penamaan “Mandar”. Ulumanda dulunya merupakan sebuah desa kecil di Malunda yang termasuk ke dalam wilayah kerajaan Sendana. Di Ulumanda terdapat sebuah gunung bernama Pebulahangan. Gunung Pebulahangan konon akan bercahaya apabila ditimpa sinar bulan atau sinar matahari, akibat pantulan cahaya dari batu-batu gunung yang berwarna kuning kehitam-hitaman. Dari situlah nama “Mandar” yang juga dapat diartikan “terang” berasal.

Ngomong-ngomong soal batu nih, di daerah Ujung Rangas, sekitar 4 km dari kota Majene sendiri pernah ditemukan batu dengan bekas telapak kaki. Konon menurut kepercayaan warga sekitar bekas telapak kaki tersebut merupakan peninggalan Sawerigading saat akan naik ke atas langit. Nah, beberapa peninggalan sejarah Tarumanegara juga ada yang berhubungan dengan batu-telapak kaki. Prasasti Ciaruteun, Cidanghyang dan Pasir Awi berterakan jejak telapak kaki baginda Purnawarman dari abad ke-4 M. Apakah tradisi membuat telapak kaki di atas batu yang ditemukan di daerah Sunda dan Mandar ini menandakan sisa peradaban tua yang saling terhubung satu sama lain, terlebih lagi dengan adanya penyebutan nama Hulumando pada Serat Dewabuda?

Kedengarannya maksa ya. Tetapi ada dua fakta unik yang memang menunjukkan kemiripan antara Sunda dan Mandar. Pertama: alat musik calong. Calong yang di Mandar terbuat dari buah kelapa dan bambu ternyata juga ditemukan di daerah Jawa Barat dengan nama calung. Calung Sunda terbuat dari awi wulung (bambu hitam) dan awi temen (bambu putih) serta dipercaya sebagai protoripe dari alat musik angklung yang tersohor itu. Kedua: Siti KDI. Meskipun pada kompetisi dangdut nasional di salah satu televisi swasta beberapa tahun yang lalu ia menjadi perwakilan Bandung, sebenarnya Siti berasal dari Mandar. Yah, jika Ulumanda tidak cukup kuat untuk menjadi saksi hubungan antara bekas kerajaan Tarumanegara dengan Bumi Manakarra, maka prestasi yang diraih atas keindahan suara Siti KDI dapat menjadi saksi sejarah hubungan antara kedua daerah tersebut 🙂

PS: Agak susah rupanya menemukan gambar patung Buddha dari Sikendeng, Mamuju ini di internet. Sayang sekali padahal untuk peninggalan sejarah tertua dan sepenting itu tidak banyak sobat-sobat Lontara yang mengetahuinya!

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Epic Java: Mengemas Jawa dalam Sebuah Epik

“Yata matangnyan hengang henggung hikang nusa Jawa, sadala molah marayegan, hapan Tanana sang hyang Mandarparwwata, nguniweh janma manusa. Yata matangnyan mangadeg bhatara Jagatpramana, rep mayugha ta sira ring nusa Yawadipa”

Demikianlah potongan larik dari beberapa ayat pertama kitab Tantu Panggelaran. Kitab yang ditulis pada tahun 1635 Masehi tersebut memaparkan bagaimana awalnya dulu pulau Jawa terombang-ambing di tengah samudera karena ketiadaan gunung sebagai paku bumi. Para dewa yang menatap miris dari kahyangan lalu memutuskan untuk memindahkan gunung Mahameru dari India ke Pulau Jawa agar daratan itu dapat terpancang kokoh. Peristiwa tersebutlah yang kemudian menjadi titik balik yang kemudian mengawali lahirnya manusia serta peradaban Jawa di Nusantara.

Kamis, 10 Oktober 2013 gedung Taman Budaya Yogyakarta penuh sesak oleh manusia-manusia yang penasaran. Malam itu, tiga orang pemuda dari Tanah Priangan; Febian Nurrahman Saktinegara, Galih Mulya Nugraha, dan Denny Novandi Ryan mewakili tim Embara membentangkan hasil perjalanan mereka selama setahun lebih dalam menciptakan “Epic Java”. Hanya dalam waktu 15 menit sejak loket dibuka pada siang harinya, sudah tidak ada lagi tiket yang tersisa. Sebagian dari penonton itu mungkin sudah pernah mendengar atau bahkan aktif mengikuti perjalanan Epic Java. Sebagian lagi mungkin tertarik dengan judul dari film singkat itu, nama yang mengundang ekspetasi akan sebuah karya mahadahsyat. Bukan main-main, yang digambarkan adalah “Jawa” dalam sebuah “Epic”.

Epic Java, Surya-Sakral-Priangan merupakan sebuah dokumenter singkat yang menghadirkan gambar-gambar dari berbagai penjuru Pulau Jawa. Ada lebih dari 50 titik yang tersebar dari Jawa Barat hingga ke Jawa Timur yang didatangi untuk mengumpulkan gambar-gambar tersebut. Melalui perjalanan gambar-gambar tersebutlah penonton diajak untuk menyebur ke dalam arus waktu Jawa mulai dari terbitnya matahari di timur hingga tenggelamnya di barat. Surya merupakan pengejawantahan dari ufuk timur di Jawa, tempat terbitnya kehidupan. Seiring dengan pelayaran Sang Raditya ke tengah petala langit, kemunculan agama-agama serta peradaban kuno menjadi obyek tuturannya. Terakhir di bumi Priangan, tempat dimana para dewa yang bertakhta bergulat dengan modernitas, wajah Jawa hari ini ditangkap.

Dengan mengusung genre film non-narative, Epic Java berusaha untuk menyajikan sebuah perspektif baru dalam dunia perfilman di tanah air. Pesan yang mereka tangkap dari alam dan kemudian mereka sajikan kepada para penonton ternyata tidak semata-mata merekam gambar dan mencocok-cocokkannya dengan musik. Butuh waktu satu tahun lebih untuk mengumpulkan materinya, begitu pula dengan penciptaan musik pengiringnya. Dibutuhkan ketelitian serta dana yang besar untuk mengemas film berdurasi 30 menit ini agar dapat mendeskripsikan konsep “Surya-Sakral-Priangan” yang mereka usung. Hasil kerja keras tim Embara berbuah manis ketika film Epic Java menyabet beberapa penghargaan di ajang-ajang dunia seperti: Best Documentary 2nd SBM Golden Lens International Documentary Festival, Official Selection Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2012, Most Inspiring – Share to Inspire Video Competition PPI United Kingdom 2012, Best Trailer and Best Camera DOCDAYS 2012.

Yogyakarta bagi mereka menyimpan sebuah keistimewaan tersendiri. Dari tempat inilah ide untuk menangkap landscape Jawa pertama kali muncul. Pada screening kedua inipun mereka mendapatkan banyak sekali kritik dan saran dari diskusi film yang berlangsung kurang lebih selama 1 jam. Bersama dengan Juki “Jogja Hip-Hop Foundation” dan Riski “Summerbee” selaku pembicara pendamping, bermunculan banyak perspektif baru. Komentar penonton bervariasi, ada yang memuji dan ada pula yang “kurang puas” dengan sajian Epic Java. Ide mengenai Jawa itu sendiri sebenarnya amatlah luas, dalam dan berat. Ada yang tidak setuju jika Jawa yang telah berusia ribuan tahun hanya diabadikan dalam bentuk gambar-gambar pemandangan alam selama 30 menit saja. Ada pula yang beranggapan bahwa tampilan Epic Java cocok untuk video promosi pariwisata, namun belum mencapai titik “epik” itu sendiri.

Tafsiran yang berbeda-beda tersebut menjadi masukan berharga bagi tim Embara. Kami pribadi yang hadir pada malam hari itu menganggap bahwa Epic Java adalah sebuah pencapaian. Pencapaian akan sebuah kerja keras, keberanian serta kreatifitas yang layak untuk dihargai. Konsep yang mereka tampilkan pun amat bagus, mengundang keinginan untuk terus mencari tahu serta menghargai Jawa. Memang masih ada unsur yang “hilang” dari Epic Java, seperti nyaris absennya nuansa antropologi yang mengilutrasikan hubungan antara manusia, alam dan batin. Epic Java lebih terfokus pada alam dan peristiwa, belum mengeksplorasi unsur “Jawata” atau manusia Jawa yang menggelar tatanan peradaban di alam raya sebagaimana dijabarkan di dalam kitab Tantu Panggelaran di atas. Padahal ketika membahas Jawa, seseorang harus terlebih dahulu mengerti dunia yang ada di dalam manusia Jawa sebelum membaca alam Jawa.

Akan tetapi, seperti sebuah rumah besar yang memiliki banyak jendela, demikian pula Jawa. Sebagai insan-insan yang terlahir dan dibesarkan di dalamnya, semua orang berhak untuk melongok Jawa dari sisi jendelanya yang mana saja. Epic Java adalah sebuah perjalanan. Kami berharap agar perjalanan besar tersebut tidak berhenti sampai di sini saja. Semoga ke depannya tim Epic Java dapat terus menyempurnakan siddhayatra “mengeposkan Jawa” mereka ke persada bumi.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Ketradisionalan Dalam Aksara Tradisional

Sejarawan sepakat bahwa peradaban besar di dunia ini lahir ditandai dengan penemuan sebuah sistem tulisan. Sistem tulisan itu sendiri beragam bentuknya, ada yang menggunakan satu lambang untuk mewakili tiap bunyi (fonetik) hingga yang bersifat silabis, dimana satu huruf melambangkan dua bunyi, jadi satu huruf terdiri dari dua lambang bunyi,  contohnya seperti huruf lontaraq, Jepang dan Korea. Sistem tulisan tersebut muncul sesuai dengan karakter, pengalaman dan kebutuhan bangsa yang menciptakannya.

Dewasa ini, aksara latin yang berasal dari peradaban Romawi Kuno merupakan sistem tulisan yang dipakai paling luas di dunia. Aksara ini menyebar di Eropa seiring dengan meluasnya pengaruh Kekaisaran Romawi Suci saat itu. Aksara latin juga merupakan aksara yang digunakan untuk menulis kitab suci Injil bagi penganut Kristiani. Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa ke daratan Asia, Afrika dan Amerika turut pula membawa sistem tulisan latin sehingga kemudian diadopsi sebagai sistem tulisan yang paling universal.

Setelah aksara latin, aksara Arab menduduki peringkat kedua dalam hal penyebaran. Aksara Arab tersebar ke berbagai penjuru benua sesuai dengan alur penyebaran agama Islam yang mewajibkan pengikutnya untuk memahami Kitab Alquran dalam bahasa aslinya. Setelah aksara Arab, aksara Cina menduduki peringkat ketiga. Aksara Cina ini selama berabad-abad digunakan untuk mendokumentasikan khazanah kebudayaan mereka dalam beragam naskah kuno. Seni kaligrafi yang lahir pertama kali dari aksara Cina juga membuatnya populer dan banyak digemari oleh berbagai bangsa di dunia. Di Anak Benua India juga sejak ratusan tahun yang lalu telah berkembang aksara Pallawa yang kemudian menginspirasi kelahiran berbagai macam aksara tradisional di Nusantara. Konon, menurut teh Sinta Ridwan pada tesis S3-nya (beliau adalah seorang filolog muda serta pendiri komunitas Aksakun (Aksara Sunda Kuno)) yang terjadi sebenarnya adalah leluhur kita menciptakan aksara tersebut atas inspirasi mereka sendiri, baru kemudian mendapat pengaruh dari unsur-unsur asing. Pendapatnya di atas menampik anggapan bahwa bangsa-bangsa di Nusantara adalah bangsa yang inferior karena bahkan untuk mencipta aksara saja harus mengambilnya dari India.

Naskah La Galigo dengan ilustrasi yang terdapat di Leiden, Belanda

Salah satu aksara tradisional yang hingga saat ini masih bestari di Nusantara ialah aksara lontaraq. Aksara lontaraq ini oleh Bapak Fachruddin Ambo Enre diperkirakan telah muncul sejak abad ke-14 Masehi. Dinamakan lontaraq karena awalnya aksara ini dituliskan di atas daun-daun lontar yang bentuknya menggulung panjang seperti pita kaset. Lontaraq yang berasal dari peradaban Bugis-Makassar juga bersinonim dengan istilah untuk menyebut naskah ataupun sejarah atas suatu kerajaan. Aksara lontaraq Bugis-Makassar menginspirasi terciptanya Lota Ende, sebuah sistem tulis tradisional sahabat-sahabat kita di Nusa Tenggara Barat.

Aksara lontaraq tidak mengenal tanda virama (huruf mati), sesuai dengan karakter bahasa Bugis. Memang bentuk bahasanya bersifat silabis, sehingga jika orang Bugis menyebut nama “Ahlul”, dia akan mengatakan “Ahelule”, Nur menjadi “Nureq”, “Ahmad” menjadi “Hemmaq” jadi tidak bisa dipaksa menjadi fonetis karena ini merupakan keunikan dari aksara Bugis itu sendiri. Memang bagi sebagian kalangan amatlah sulit dalam membaca dan menerjemahkan makna dari aksara ini, akan tetapi di situlah letak seni serta dituntutnya kehati-hatian seseorang di dalam menafsirkan naskah-naskah kuno. Selain itu, kekurangan ini ternyata justru menjadi kekayaan tersendiri bagi Suku Bugis karena menstimulus lahirnya tradisi sastra serupa elong maliung bettuana. Elong maliung bettuana yang berarti ‘lagu dengan arti dalam’ merupakan sebuah tradisi sastra dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut. Contoh penggunaan elong maliung bettuana seperti ini:

Gellang riwatang majjekko,

anre-anrena to Menre’e,

bali ulunna bale-e.

(Artinya: Tembaga melengkung di ujung (kail=meng), makanan orang Mandar (pisang=loka), kebalikan dari kepala ikan (ekor=iko). Melokaq iko, aku cinta kamu.)

Tuh, keren ya? Akan tetapi, di saat bangsa-bangsa asing yang memiliki aksara tradisional di Asia seperti Korea dan Jepang getol mengangkat identitas bangsanya sebagai bagian dari budaya dunia, eh di Indonesia justru terjadi kebalikannya. Sudah banyak pemuda Indonesia yang tidak memahami lagi bagaimana caranya menulis dan membaca aksara tradisional. Selain itu, dihapusnya mata pelajaran Bahasa Daerah oleh pemerintah semakin membuat generasi baru jauh dari aksara leluhur mereka. Beragam cara diupayakan untuk membuat aksara tradisional dapat menyesuaikan diri dengan trend zaman seperti menciptakan huruf-huruf yang mewakili bunyi-bunyi mati seperti yang terdapat di dalam aksara latin.

Belakangan ini di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan marak gerakan yang berusaha untuk memodifikasi aksara tradisional sehingga dapat mewakili bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam aksara mereka. Padahal, di Korea sana aksara Hanggeul yang tidak mengenal bunyi “r”, “d”, dan “g” dapat bertahan menghadapi globalisasi. Korea bersikukuh bertahan dengan aksara Hanggeul beserta segala keterbatasannya, bahkan memaksa budaya asing untuk tunduk dengan identitas mereka.

Bagi orang Korea, dunia tidak akan runtuh meskipun seseorang yang bernama “Reza” ditulis dengan “Leja” dalam aksara Hanggeul.

Keunikan aksara Henggeul adalah harga mati yang tidak dapat dilepaskan, apalagi untuk tunduk oleh paksaan internasional.  Ketidaksempurnaan bukanlah alasan bagi mereka untuk berhenti bangga atau mengganti warisan adiluhung nenek moyang tersebut.

Ada banyak cara lho yang dapat kita gunakan untuk melestarikan aksara tradisional tanpa harus menghilangkan warna khasnya. Kaligrafi, contohnya. Pembuatan grafiti, permainan komputer hingga motif kain yang mengambil corak aksara tradisional seperti yang saat ini sudah dilakukan terhadap aksara Hancaraka di Jawa adalah beberapa motivasi untuk usaha kreatif lainnya. Teman-teman, biarkanlah budaya kita menjadi tuan di negaranya sendiri 🙂

Referensi:

-“Ritumpanna Welenrengnge” oleh Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor.

-“Suara-Suara Dalam Lokalitas” oleh Nurhayati Rahman, La Galigo Press.