Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Navigasi Bugis di Mata Antropolog Amerika

Suku Bugis sedari dulu memang terkenal sebagai pelaut ulung. Dengan bermodalkan bintang-bintang di langit dan kepandaian membaca alam, mereka mengarungi samudera dan melintasi berbagai benua. Tidak heran, kemampuan ini mengundang decak kagum dari berbagai pihak. Beberapa waktu yang lalu, tim Lontara Project sempat mewawancarai Prof. Eugene E. Ammarell, seorang antropolog ramah dan rendah hati asal Amerika Serikat yang sangat tertarik akan sistem navigasi Bugis ini. Yuk, simak kisahnya!

Prof. Eugene E. Ammarell

Prof. Eugene E. Ammarell atau yang akrab disapa Pak Gene sudah bertahun-tahun meneliti tentang sistem navigasi di Indonesia. Beliau bahkan telah menelurkan sebuah buku berjudul Bugis Navigation (1999), salah satu buku dengan penjelasan terlengkap tentang sistem navigasi Bugis. Mantan direktur Southeast Asian Studies di Universitas Ohio ini pernah tinggal lama di Pulau Balo-Baloang, sebuah pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang letaknya jauh di selatan hampir mendekati Madura, demi kepentingan riset kebudayaan maritim suku Bugis-Makassar. Terbiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat membuat beliau mengerti cukup banyak bahasa Bugis. Sepanjang wawancara pun, sesekali Pak Gene melontarkan beberapa kata dalam bahasa Bugis, yang terdengar khas karena masih bercampur dengan aksen Amerika-nya. Kedatangan beliau kali ini, selain untuk mengunjungi Pulau Balo-Baloang, juga untuk memberikan kuliah umum tentang “Shared Space, Conflicting Perceptions, and the Destruction of an Indonesian Fishery” di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Perkenalannya dengan kebudayaan maritim memiliki sejarah yang cukup panjang. Pak Gene percaya bahwa pertemuannya dengan kebudayaan ini merupakan sebuah ‘serendipity’. Pada awalnya, beliau belajar tentang astronomi Amerika dan Eropa. Suatu hari, beliau menghadiri sebuah diskusi. Di diskusi itu beliau menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang astronomi di Indonesia yang bahkan belum pernah dibicarakan atau ditulis oleh orang-orang sebelumnya. Beliau kemudian mulai mencari tahu banyak hal mengenai navigasi, salah satunya adalah navigasi Polinesia. Kebetulan, beliau bertemu dua orang berbeda yang kemudian menjadi awal perkenalannnya dengan navigasi Bugis.

Pertama, kolega beliau  di Peace Corps, seorang wanita dari Malaysia, namun berdomisili di Amerika Serikat. Selama dua tahun, Pak Gene pernah tinggal di Malaysia dan mengajar sains dan matematika sebagai bagian dari program Peace Corps yang beliau ikuti. Koleganya ini pernah berlayar selama setahun dengan menggunakan perahu Bugis dalam rangka penelitian post-doctoral nya tentang studi ekonomi. Pak Gene kemudian menanyakan berbagai hal mengenai sistem navigasi. Satu kalimat yang Ia ingat dengan pasti dari mulut koleganya itu ialah“Buginese people are good navigators”. Kedua, koleganya yang sedang belajar di Kalimantan. Beliau mengambil kelas darinya dan menanyakan tentang suku Dayak yang mempelajari bintang. Dari koleganya tersebut, beliau mengetahui bahwa suku Dayak mempelajari bintang untuk pertanian. Ketiganya kemudian mengajukan hibah untuk melakukan studi kecil-kecilan tentang astronomi di Dayak dan astronomi di Bugis.

Setelah setengah bulan di Kalimantan, mereka akhirnya ke Makassar. Pelabuhan Paotere adalah tempat yang mereka tuju. Di sana mereka melihat sebuah lambo, sebuah perahu niaga jarak jauh, yang menarik perhatian. Walaupun kecil, lambo tersebut masih baru dan terlihat bagus. Mereka pun menghampiri lambo tersebut dan berbicara dengan kaptennya, seorang pria bernama Pak Razak, untuk menggali informasi. Pak Razak yang pemalu tidak banyak bercerita, namun beliau mengenalkan Pak Gene dan koleganya kepada temannya, Pak Syarifuddin, yang juga merupakan seorang kapten perahu.

Berbeda dengan Pak Razak, Pak Syarifuddin senang berbicara dan memberi tahu mereka banyak hal. Beliau juga memiliki perahu kecil, namun bermesin. Kebetulan ketika itu, Pak Syarifuddin akan berlayar ke Bima, tapi harus transit dulu di Pulau Balo-baloang. Nah, di sinilah awal perkenalan Pak Gene dengan Pulau Balo-Baloang. Pak Gene dan koleganya ingin berlayar menggunakan perahu Bugis tanpa mesin,

“We want to sail on a real Bugis ship”, katanya.

Akhirnya mereka menyasar perahu pak Razak yang memang masih menggunakan layar. Pak Razak sudah mengingatkan bahwa pelayaran akan memakan waktu yang lama dan perjalanannya belum tentu disukai oleh mereka. Namun, pak Gene dan koleganya tetap nekat untuk berlayar. Benar saja, mereka membutuhkan waktu selama tiga hari untuk sampai di Pulau Balo-Baloang. Namun, Pak Gene tidak menyesal karena pemandangan yang beliau liat selama berlayar sangat indah, It was beautiful on the boat,” ujarnya.

Pelayaran tersebut hanyalah permulaan dari banyak pelayaran yang dilakukannya. Beberapa waktu kemudian, atas permintaan beliau, Pak Syarifuddin membawanya berlayar selama lima minggu lagi. Dari perjalanan itu, Pak Gene terkesan sekaligus menyadari bahwa betapa sulit menjalani pekerjaan sebagai pelaut. Mereka bisa saja berada di lautan selama beberapa minggu dan mereka harus menemukan jalan pulangnya kembali. Menurut beliau, hal tersebut tidak mudah dilakukan, butuh keterampilan khusus.

Pak Gene bersama tim Lontara Project
Pak Gene sedang berbincang dengan koleganya

Ditanya mengenai perbedaan mendasar antara navigasi Barat dan navigasi Bugis. Pak Gene mengutarakan bahwa navigasi barat pada umumnya mekanis, sangat bergantung pada Global Positioning System (GPS), kompas magnetik, dan sebagainya. Navigasi barat sangat matematis. Jadi, begitu alat-alat tersebut tidak bekerja, para pelaut tidak bisa berbuat apapun. Sebaliknya, navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, pergerakan cuaca, dan kemampuan membaca laut.

“I’ve never studied Western navigation very much. I think I understand Bugis navigation better.” aku Pak Gene.

Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia, terutama pelaut Bugis-lah yang membuat Pak Gene selalu merasa terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Mereka telah begitu baik kepada beliau dan telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Selain belajar banyak tentang navigasi, Pak Gene juga belajar tentang arti berbagi dari masyarakat Indonesia. Menurutnya, itulah yang menjaga keseimbangan harmoni dalam masyarakat kita.

Sebenarnya, tim Lontara Project masih ingin berbincang lebih lama dengan Pak Gene. Namun, ternyata waktu tidak memungkinkan. Pak Gene harus segera bersiap untuk kunjungan berikutnya ke Pulau Balo-Baloang. Nah, Sobat Lontara, kalau Pak Gene saja yang bukan orang Indonesia asli bisa begitu tertarik dengan keunikan tradisi kita, kenapa kita tidak? Kita bangsa yang kaya loh. Jangan malu mengkaji sistem budaya kita sendiri.

 

PS: Dua minggu setelah wawancara bersama dengan Pak Gene dilakukan, tim Lontara Project yang sedang berada di Makassar yaitu Ahlul, Maharani dan Nirwan sempat bertemu dengan Pak Gene, sebelum beliau berangkat menuju Pulau Balo-Baloang. Pada kesempatan itu kami berbincang lagi dengannya dan dijanjikan untuk diberi buku “Navigasi Bugis”, masterpiece beliau. Sekarang, buku berjumlah 326 halaman itu menjadi inspirasi bagi kami untuk terus mengkaji dan mencintai budaya Indonesia sebagaimana janji kami kepadanya. Terima kasih, Pak Gene!

Pak Gene bersama Tim Lontara Project di Makassar
Tim Lontara Project sedang berbincang dengan Pak Gene

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #3

Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya

Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.

Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.

Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT

Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.

Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.

            Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.

Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]

Membina persahabatan serumpun…

            Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.

Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.

 Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding  School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh. 

Categories
101 La Galigo Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #2

Menjelajahi Ibukota Baru Malaysia

Minggu, 27 Mei 2012. Hari ketiga tim Lontara Project berada di Malaysia. Cuaca pagi itu sangat cerah secerah hati kami yang sudah tidak sabar memulai petualangan mengunjungi tempat-tempat baru di Malaysia. Hari itu, Prof. Nurhayati yang akrab kami panggil Bunda bersama Mutia, putrinya, mengajak kami untuk mengunjungi Putrajaya, ibukota administratif Malaysia. Sobat Lontara, mungkin berpikir mengapa ada lagi ibukota selain Kuala Lumpur yang kita kenal selama ini. Kuala Lumpur masih menjadi ibukota, kok, hanya sekarang Kuala Lumpur berstatus ibukota legislatif. Sejak tahun 2001, pusat administrasi pemerintahan Malaysia dipindahkan ke Putrajaya, namun tempat kedudukan parlemen sekaligus pusat perdagangan dan keuangan masih berada di Kuala Lumpur. Masih bingung? Hehe, yuk langsung baca kisah kami!

Pukul 09.00 pagi waktu Malaysia, kami sudah berpakaian rapih dan bersiap untuk ke Putrajaya. Dengan menumpangi bus, kami pun berangkat. Kami harus menggunakan dua bus untuk sampai ke kota yang satu ini. Pertama, kami menumpang bus tujuan Pasar Seni, lalu kami menyambung bus dengan tujuan Putrajaya. Tarif bus sendiri bervariasi tergantung jarak tujuan. Untuk bus pertama, karena jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kami menginap, kami hanya membayar RM 1.90. Namun, untuk bus kedua, kami harus membayar RM 3.80. Sistem transportasi umum Malaysia merupakan salah satu hal yang saya sukai. Bus-bus beroperasi dengan sangat teratur dan tidak ada penumpang yang berdesak-desakan di dalam bus. Sebelum duduk, penumpang harus terlebih dulu membayar sesuai tarif pada mesin yang terletak di samping pengemudi bus. Mesin tersebut kemudian akan mencetak tiket yang menjadi pertanda bahwa kita sudah membayar. Penumpang yang ingin menggunakan bus sebaiknya telah menyiapkan uang kecil dulu. Jika tidak, pengemudi bus-nya tanpa segan dapat dengan segera menolak anda untuk menumpangi bus-nya. Satu hal lagi, di dalam setiap bus terdapat beberapa tombol stop yang diletakkan secara strategis agar para penumpang dapat dengan mudah menggunakannya. Penumpang yang ingin turun dapat menekan tombol stop tersebut untuk memberi tanda kepada pengemudi bus untuk berhenti. Jadi, ga usah repot-repot teriak “Kiri, Bang!” atau ngetok-ngetok langit-langit bus 😀

Perjalanan ke Putrajaya tidak memakan  waktu yang lama. Tanpa kemacetan yang berarti, dalam waktu kurang lebih 45 menit, kami sampai ke Putrajaya Central. Arsitektur Melayu nan modern sudah mulai terasa disini. Di tempat ini, kami dialihkan lagi ke bus yang memang khusus beroperasi dalam lingkungan Putrajaya. Hari itu, terlihat banyak sekali pengunjung. Saya pikir, karena hari itu adalah hari minggu, jadi banyak keluarga yang datang ke tempat ini untuk mengisi waktu liburnya. Rupanya, tidak hanya itu yang membuat tempat ini ramai. Pengunjung berdatangan untuk melihat bazaar, stand, dan pertunjukan musik dalam rangka perayaan hari pemuda Malaysia. Dekorasi warna-warni dan khas anak muda mewarnai tempat ini, membuat suasana begitu meriah dan hidup. Sayup-sayup suara musik Melayu dan musik modern berlomba untuk didengarkan. Sepanjang jalan kami melihat stand makanan, pakaian, aksesoris, dan suvenir. Panggung pertunjukan musik pun juga didirikan di beberapa titik.

 

Masjid Putra
Dinding dan Langit-Langit Masjid Putra

Berhubung jalanannya sangat ramai, akhirnya kami turun dari bus dan memilih untuk berjalan kaki menuju Masjid Putra. Yup, tempat pertama di Putrajaya yang kami tuju adalah masjid megah berarsitektur modern bergaya Islam yang dibangun pada tahun 1997. Masjid yang didominasi oleh warna merah muda dan krem ini langsung menghadap ke Putrajaya Lake, sebuah danau buatan yang cukup besar dan berfungsi tidak hanya sebagai penyejuk, tetapi juga sebagai penyeimbang di antara gedung-gedung tinggi. Bagi pengunjung yang tertarik mengitari Putrajaya ala Venesia di Itali, di danau ini disewakan perahu cantik bergaya tradisional yang dapat digunakan untuk melihat Putrajaya dalam sudut yang berbeda. Dari Masjid Putra, kita dapat melihat pemandangan kota Putrajaya yang didominasi oleh gedung-gedung tinggi dan jembatan-jembatan yang menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya. Di Masjid Putra ini, setiap pengunjung harus menutupi aurat, baik itu perempuan maupun laki-laki. Jadi, bagi yang memakai baju lengan pendek/tidak berlengan, celana pendek, atau tidak berkerudung (bagi perempuan) harus menggunakan jubah kebiruan yang telah disediakan oleh pihak pengelola masjid.  Hal ini dilakukan untuk menghormati tradisi dan budaya setempat.

Cukup lama kami berada di masjid ini. Selain untuk shalat Dhuhur, kami menyempatkan diri untuk melihat pemandangan sembari mengumpulkan tenaga untuk berjalan mengitari Putrajaya lagi. Setelah energi terkumpul, kami menuju Perdana Putra, yaitu kantor perdana menteri Malaysia. Perdana Putra terletak di samping Masjid Putra. Menurut keterangan dari Bunda, penempatan ini merupakan impian dari Mahathir yang menginginkan kantor perdana menteri terletak bersampingan dengan masjid. Bangunan ini juga sarat akan gaya Melayu, Islam, dan Eropa. Berkubah hijau dengan dominasi  warna coklat pada dindingnya, Perdana Putra menjadi salah satu landmark dari Putrajaya. Kami sangat ingin memasuki bangunan ini dan melihat arsitektur bangunan dengan lebih dekat. Namun, ternyata bangunan ini tidak dibuka untuk umum pada hari Minggu. Jadi, Sobat Lontara yang ingin melihat-lihat ke dalam tempat ini, pastikan datang pada saat hari kerja, yaitu Senin-Jumat atau pada hari Sabtu pagi pada minggu kedua dan keempat. Pastikan juga kalian membawa paspor karena akan dicek.

Tim Lontara Project di depan Perdana Putra

Setelah beberapa lama mengitari Putrajaya, kami pun akhirnya beranjak dari ibukota baru Malaysia ini. Dalam perjalanan pulang, di bus kami melihat jejak Bugis lainnya. Di kaca bus terdapat kertas bertuliskan “Pasompa” dan “Pada Idi Tu”. Dalam bahasa Bugis, “Pasompa” berarti perantau, sedangkan “Pada Idi Tu” berarti kita berasal dari kampung atau daerah yang sama. Wah, diaspora Bugis memang sangat terasa di Malaysia.

Jejak Perantau Bugis di Bus Kota

Sekilas tentang Putrajaya Sebagai Ibukota Administratif

Putrajaya sendiri didirikan pada Oktober 1995 atas inisiatif Tun Dr. Mahathir bin Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia yang memiliki periode jabatan paling lama. Kota ini resmi menjadi wilayah federal ketiga setelah Kuala Lumpur dan Labuan pada Februari 2001. Wilayah yang ditempati oleh Putrajaya sekarang merupakan hadiah dari pemerintahan Selangor. Terletak 25 km dari selatan Kuala Lumpur, Putrajaya menjalankan fungsinya sebagai pusat administrasi pemerintahan, menggantikan Kuala Lumpur yang dinilai telah begitu ramai dan tidak lagi kondusif untuk dijadikan pusat pemerintahan.

Keberadaaan suatu kota yang khusus dijadikan sebagai pusat administrasi pemerintahan sebenanya bukanlah suatu hal yang baru. Beberapa negara di dunia sudah mempunyai sistem kota semacam ini sejak bertahun-tahun lalu, sebut saja Belanda dan Afrika Selatan. Di Belanda, ibukota nasionalnya adalah Amsterdam, sedangkan pusat administrasinya berada di Den Haag. Afrika Selatan bahkan memiliki tiga ibukota. Cape Town sebagai ibukota legislatif, Pretoria sebagai ibukota administratif, sedangkan Bloemfountein sebagai ibukota yudikatif. Ketiga ibukota ini menjalankan fungsi yang berbeda, namun saling mendukung. Ibukota legislatif merupakan kota dimana pejabat legislatif, seperti pejabat kongres atau parlemen, bekerja. Ibukota administratif merupakan pusat pemerintahan yang memiliki fungsi yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh pihak legislatif. Ibukota yudikatif merupakan kota dimana peradilan tinggi yang berfungsi untuk menjalankan aspek-aspek hukum terletak.

Putrajaya