Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Menikmati Sensasi Puncak Tertinggi Pulau Sulawesi

Sobat Lontara yang satu ini ingin berbagi kisahnya saat mencoba untuk menaklukkan Puncak Tertinggi di Pulau Sulawesi. Nggak perlu jauh-jauh ke Himalaya atau ke Grand Canyon, yuk nikmati keindahan panorama Indonesia kita yang luarbiasa ini dulu! Untuk foto-foto menarik yang Chaerul Anwar dapatkan selama perjalanan, bisa dilihat langsung di blog pribadi yang bersangkutan 🙂

Gunung Latimojong berada di wilayah kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan dan merupakan gunung tertinggi di pulau Sulawesi pada puncak tertingginya, yaitu puncak Rante Mario dengan ketinggian ±3478 mdpl.

Untuk mencapai titik awal pendakian (basecamp) bisa menggunakan transportasi mini bus dari terminal Regional Daya, Makassar menuju ke Pasar Baraka, Kabupaten Enrekang dengan biaya transportasi per-orang sekitar Rp60.000,- dengan waktu tempuh sekitar 7 Jam. Lalu melanjutkan perjalanan dengan mobil Jeep Off Road yang terdapat di pasar Baraka menuju ke dusun Latimojong, desa Karangan dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dan dengan biaya transportasi Rp35.000,- per-orang. Sedikit catatan, Khusus untuk pilihan menggunakan mobil off road menuju desa Karangan, dusun Latimojong, hanya bisa didapatkan pada hari pasar, yaitu pada hari senin dan hari kamis pagi. Sedangkan kembali dari dusun latimojong menuju ke Baraka pada hari Minggu dan hari Rabu pagi. Lewat hari itu bisa menempuh perjalanan dengan jalan kaki menuju ke dusun latimojong (basecamp) ataupun sebaliknya.

Perjalanan saya kali ini berlangsung pada tanggal 23 – 25 Agustus 2012 dan merupakan pendakian bersama yang terdiri dari rekan-rekan dari berbagai daerah dengan total anggota tim sebanyak 16 orang. Tim kami terdiri dari 3 orang dari Makassar (termasuk saya), 5 orang dari Jakarta, 3 Orang dari Kota Palopo, dan 5 orang dari Kabupaten Enrekang.

23 Agustus 2012

Saya dan rekan-rekan tim yang lain memulai perjalanan dari rumah salah seorang anggota tim yang terdapat di jalan poros Makassar – Enrekang. Untuk mencapai pasar Baraka kami menggunakan mobil truk dengan pertimbangan daya muatnya yang tinggi, karena selain mengangkut orang tentu saja harus mengangkut semua barang-barang utamanya keril (ransel besar yang biasanya dibawa mendaki gunung).

Perjalanan menuju pasar Baraka ditempuh sekitar 40 menit melewati jejeran pegunungan dengan pemandangan yang menurut saya sangat eksotis meskipun dengan jalan yang lumayan tidak rata. Setelah sampai di pasar dan setelah menitip beberapa barang di salah satu kontarakan teman yang kebetulan letaknya di dekat pasar. Beberapa barang sengaja tidak diikutkan dalam pendakian dengan pertimbangan disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya beberapa helai baju, celana dan Hardisk Portable yang selalu setia di dalam daypack saya. Berhubung hari pasar, saya dan beberapa rekan-rekan tim saya kemudian menyempatkan diri jalan-jalan di pasar sekaligus membeli kebutuhan pendakian seperti makanan, kopi, dll.

Kalau saya sendiri membeli dua botol air mineral, mengingat botol air mineral itu sangat penting selama pendakian sebagai tempat menyimpan air selama perjalanan dan juga membeli beberapa baterai cadangan untuk kamera pocket yang saya pegang (dalam kondisi dingin misalnya di daerah pegunungan, batere akan lebih cepat low batt).

Kab. Enrekang yang khas dengan buah salak

Setelah jalan-jalan dari pasar dan beristirahat sejenak, tim kami bersiap-siap untuk berangkat menuju ke Dusun Latimojong dengan menggunakan mobil Off Road. Yang membuat saya agak heran sekaligus lucu adalah mobil Off Road yang sepertinya hanya muat beberapa orang, ternyata mampu menampung sekitar 20-an orang termasuk barang-barangnya. Selain mengangkut tim kami yang berjumlah 16 orang, mobil off road ini juga mengangkut penduduk sekitar dari pasar beserta barang belanjaannya. Sumpah.. keren! 😀

Saya sendiri kebagian tempat duduk di depan. Di depan kaca depan mobil maksudnya..hehe. Namun ternyata menjadi berkah tersendiri buat saya karena bisa mengabadikan beberapa foto dengan leluasa selama perjalanan. Perjalanan dari pasar Baraka menuju ke dusun Latimojong didominasi oleh jalan tanah yang di beberapa bagian sangat tidak rata dan dengan jalur berkelok-kelok, menanjak, menurun dan melewati tebing gunung yang curam. Sesekali terdapat perumahan penduduk yang ditemukan di tepi jalan yang kami lewati.

Sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh pemandangan alam pegunungan, kebun salak, kebun cengkeh yang lagi musim, kebun kopi lagi yang berbuah dan tanaman jangka pendek seperti cabe merah yang berbuah lebat dan teratur rapi di lereng gunung yang kami lewati. Hal ini menjadi indikator tersendiri bahwa tanah di daerah ini sangatlah subur.

Situasi Desa Karangan, Dusun Latimojong

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam, akhrinya Jeep yang kami tumpangipun tiba di dusun Latimojong.  Sebagian dari anggota tim kami memilih istirahat dan shalat di masjid dekat basecamp (Rumah Pak Dusun) sedangkan sebagian yang lain memasak untuk makan siang anggota tim. Sekitar pukul 15:30, setelah beristirahat sejenak dan menikmati makan siang, kamipun memulai perjalanan dari Basecamp dengan target POS II karena di pos ini terdapat sumber air. Dan menurut rencana, tim kami akan bermalam di POS II ini.

POS 1 berada di balik gunung

Basecamp (perkampungan) –POS 1

Masih dihari yang sama dengan pemberangkatan, selepas adzan Dzuhur dan do’a bersama kamipun mulai perjalanan. Perjalanan menuju POS I dimulai dengan melewati area perkampungan menyusuri jalan setapak di lereng gunung, melewati perkebunan kopi dan beberapa sungai kecil.

Tantangan menuju POS I ini pada saat mendaki melewati kebun yang memiliki kemiringan yang cukup terjal sesaat sebelum tiba di POS I. Lumayan membuat kaki letih apalagi ditambah dengan beban bawaan yang lumayan berat. POS 1 berada di ketinggian ±1800 mdpl.

POS 1 – POS 2

Jalur menuju POS II melewati jalan setapak diantara pepohonan besar hutan. Tidak jarang melewati track yang cukup menanjak melewati tepian tebing. Track ini harus dilalui dengan hati-hati dengan memperhatikan setiap langkah. Dan sebaiknya tidak dilalui pada saat kondisi gelap utamanya bagi pendaki pemula yang belum terbiasa dengan track hutan dengan jalur sempit. Perjalanan dari basecamp hingga ke POS 2 memakan waktu ± 3 jam. Pos 2 sendiri merupakan lokasi perkemahan yang sangat ideal karena terdapat sumber air segar yang berlimpah, gak perlu bawa kulkas.. soalnya sudah dingin, hehe. Selain ketersediaan air, juga terdapat dinding alam dan goa yang melindungi tenda dari terjangan angin, dan yang paling berkesan adalah.. lokasinya yang subhanallah.. cantik! Di lokasi ini kita bisa tidur sambil menikmati suara air yang menenangkan pikiran.

Sumber air di dekat POS 2

24 Agustus 2012

Pagi hari sekitar pukul 07:00 pagi di POS 2, setelah packing barang dan perlengkapan (saya gak sempat sarapan karena keasyikan mengabadikan gambar), kami melanjutkan perjalanan dengan target POS 7.

POS 2 – POS 3 – POS 4

Menururt saya pribadi, jalur dari POS 2 menuju POS 4 adalah jalur yang paling menantang diantara semua jalur menuju puncak Gunung Latimojong. Track ini didominasi jalur menanjak dan hampir tidak terdapat jalur yang mendatar sejak melewati POS 2.  Di jalur ini kadang kita harus melalui track dengan kemiringan cukup terjal dan di lalui dengan memanfaatkan akar-akar kayu dan batu sebagai pijakan kaki. Hanya sesekali melalui jalanan datar, itupun hanya beberapa langkah kaki sebelum kembali bertemu dengan jalan menanjak (yaiyalah.. namanya juga menuju puncak).

Namun sambil jalan, kita bisa menikmati pemandangan hutan yang masih alami, kicauan burung, angrek-anggrek liar, bambu kecil, dan beberapa tanaman rotan yang tumbuh liar di sisi kiri dan kanan jalan. Sekedar tambahan, kita harus memenej konsumsi air sejak meninggalkan POS 2, karena air baru bisa ditemukan lagi di sekitaran POS 5.

POS 4 – POS 5

Jalur tetap menanjak (yaiyalah!), suhu udarapun terasa semakin dingin dan menusuk. Hal ini menjadi tanda bahwa posisi kami semakin berada di ketinggian. Jika di track sebelumnya saya hanya memakai kaos oblong sambil mendaki, kali ini saya memilih mengenakan jaket hoody untuk melawan suhu dingin pegunungan. Jalur menuju POS 5 sama seperti jalur-jalur sebelumnya, dilalui dengan menyusuri jalan setapak menanjak yang kadang berada di tepi jurang yang lumayan dalam. Di sisi kiri dan kanan jalan kita bisa menikmati lumut hijau yang seakan tumbuh menyelimuti batang pepohonan. Kadang jalur kami tembus dalam kondisi berkabut, sungguh sensasi yang luar biasa.. hehe. POS 5 ini berada di ketinggian ±2.678 mdpl.

Di POS 5 ini tim kami memutuskan untuk beristirahat sekaligus memasak dan makan siang berhubung di sekitar POS 5 ini terdapat sumber air. POS 5 merupakan lokasi istirahat yang cukup ideal karena selain terdapat sumber air juga merupakan dataran yang cukup luas. Namun di beberapa sumber menyebutkan bahwa di POS 5 ini kadang terjadi hal-hal mistis yang irasional, namun menurut saya pribadi, sepanjang gak berbuat macam-macam dan tetap berusaha saling menghargai sesama makhluk Tuhan, Insya Allah gak bakalan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lagian gunung mana sih di Indonesia yang gak memiliki ‘cerita’ mistis?

POS 5 – POS 6 – POS 7

Setelah beristirahat dan makan siang, kami-pun kembali melanjutkan pendakian. Di sekitar jalur pendakian, tanaman nampak semakin kerdil sebagai indikator posisi kami yang semakin tinggi dari permukaan laut. Sekedar menambah pengetahuan, hal ini mungkin bisa dijelaskan dengan melihat peta iklim “junghunh” yang berdasarkan ketinggian. Track dari POS 5 menuju POS 6 lumayan mendaki namun dengan jalur yang mulai agak terbuka karena tanaman yang mulai mengerdil dan melewati batu berlumut serta tanah yang mengeras. Sayangnya kami melewati track ini dalam kondisi yang cukup berkabut jadi tidak bisa menikmati pemandangan pegunungan dari ketinggian. Kami terus melanjutkan perjalanan menuju POS 7. Suhu semakin dingin, kabut semakin tebal hingga hanya menyisakan jarak pandang sekitar 10 meter dan sesekali angin bertiup membawa butiran-butiran air dingin dan menerpa kami. Dengan track yang masih cukup menanjak namun sesekali terdapat track yang cukup datar sekitar enam langkah sebelum kembali menanjak. Pepohonanpun terlihat semakin kerdil dibandingkan sebelumnya.

Jejeran pohon kerdil, menuju POS 6

Kami akhirnya tiba di POS 7 sekitar jam 17:00 sore.  Saya langsung memakai jaket tebal merah-abu-abu-ku yang bagian dalamnya berbahan polar untuk menangkal suhu dingin, sambil menunggu beberapa rekan saya yang lain yang sementara masih dalam perjalanan menuju ke POS 7. Karena menjelang gelap, kami yang sudah tiba duluan segera mendirikan tenda untuk beristirahat sebelum melakukan pendakian menuju puncak Rante Mario keesokan harinya.

POS 7 merupakan area yang cukup terbuka, dan dengan mudah dihantam angin dingin yang membawa butiran-butiran air dari kabut karena terletak di punggung pegunungan. POS 7 ini berada di ketinggian ±3100 mdpl (bandingkan dengan puncak Gunung Bawakaraeng yang hanya ±2830 mdpl).

Lokasi perkemahan kami di POS 7

Setelah makan malam, Malam hari diisi dengan bincang-bincang santai oleh mayoritas anggota tim sambil menikmati cemilan dan kopi. Saya sendiri memilih segera kembali ke dalam tenda dan beristirahat di dalam sleeping bag untuk me-recharge tubuh yang lumayan capek.

25 Agustus 2012

Menjelang pagi, mayoritas anggota tim sudah siap melanjutkan pendakian. Rencananya kami berada di puncak sekitar satu jam lalu segera kembali ke POS 7. Tenda, dan mayoritas perlengkapan ditinggalkan di POS 7 dan hanya membawa perlengkapan yang dibutuhkan sewaktu tiba di puncak, dalam hal ini terutama adalah Kamera.. hehe.

Sekitar jam 6 lewat, kami memulai pendakian meninggalkan POS 7 menuju puncak Rante Mario dengan menembus kabut pagi yang dingin. Masih terdapat track yang cukup mendaki . Sisanya lumayan landai serta track mendaki dengan tingkat kemiringan yang tidak terlalu terjal. Pohon-pohon kerdil masih dijumpai di sekitar jalur pendakian.

Tidak terlalu lama berjalan, akhirnya kami tiba di POS 8.

POS 8 merupakan dataran yang agak luas yang menyerupai waduk kering yang ditumbuhi rerumputan yang menurut cerita dulunya adalah helipad (landasan helikopter) yang digunakan pada saat antenna pemancar (radar) di yang ada di dekat lokasi POS 8 ini masih difungsikan pada era pemerintahan Orde Baru (katanya nih ya). Memang terlihat siluet antena yang menjulang ke atas di salah satu puncak gunung yang saya lihat saat berada di POS 8.

Kami melanjutkan menuju ke puncak. Track berupa jalanan berbatu dan tidak terlalu menanjak. Di track ini angin lumayan kencang karena berada di area terbuka dan merupakan punggung gunung. Suhu udarapun sangat dingin, jadi sebaiknya memakai jaket atau raincoat untuk menghalau angin dingin yang mengandung air.

Sekitar pukul 07:00 pagi kami akhirnya tiba di puncak Rante Mario yang memiliki ketinggian ±3475 mdpl (puncak tertinggi di pulau Sulawesi ).

foto bersama full team di triangulasi Puncak Rante Mario

Sebenarnya kami berharap bisa tiba di puncak dalam kondisi cerah supaya bisa melihat pemandangan sekeliling. Namun sayangnya yang kami dapatkan adalah kondisi berkabut. Setelah puas menikmati sensasi dan suasana puncak puncak tertinggi Sulawesi, sekitar pukul 08:10 pagi kami-pun memutuskan memulai perjalanan untuk turun dari puncak menuju ke POS 7 dalam kondisi gerimis untuk mengemasi barang sekaligus sarapan kemudian melangkah turun menuju Perkampungan Desa Karangan, dengan track menurun dalam kondisi gerimis.

Buat saya pribadi, pendakian kali ini sangat spesial. Selain karena gunung yang didaki merupakan gunung tertinggi di Sulawesi, yang berarti saya telah berdiri melebihi ketinggian tanah manapun di seluruh Sulawesi. Juga karena dalam pendakian kali ini begitu banyak track terjal yang berhasil dilalui, menerobos kabut dingin dan melewati hutan lebat hingga akhirnya berdiri di tanah tertinggi di Sulawesi.

Foto bersama sebelum meninggalkan Dusun Latimojong

Sebuah kesyukuran dan pengalaman menakjubkan tersendiri yang begitu sulit saya deskripsikan dengan rangkaian kata dalam tulisan. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan dan terima kasih untuk semua rekan-rekan yang menjadi rekan seperjalanan saya yang membuat pendakian ini menjadi terasa lebih spesial.

Sumber:
Blog 27cm oleh Chaerul Anwar

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

When the Ocean Met with Mountain: Srawung Seni Borobudur

Pagi itu saya hampir saja saya tidak jadi berangkat ke Muntilan. Pasalnya, teman yang kemarin telah berjanji untuk mengantar ke Borobudur dengan kendaraannya bangun kesiangan. Saya sudah cemas ketika sepuluh panggilan ke telepon genggamnya tak kunjung dijawab. Di detik-detik terakhir Ia datang juga. Tanpa buang-buang waktu lagi gas segera ditancap memburu jarak Yogyakarta-Muntilan yang kami tempuh selama 45 menit.

Meski terlambat hampir dua jam dari waktu yang direncanakan, rasa kesal mendadak sirna setibanya di seminar terbuka Srawung Seni. Srawung Seni ialah sebuah pesta budaya. Perayaan kesenian yang tidak saja digelar oleh kalangan budayawan dan seniman, namun juga oleh para Indonesianis. Acara-acara yang digelar berupa seminar, lokakarya dan pertunjukan-pertunjukan yang mengawinkan seni dengan arkeologi, ketuhanan, dan mitos. Singkatnya, di acara ini semua kalangan bebas untuk menikmati hiburan kebudayaan langsung di situs bersejarah, Candi Borobudur. Acara ini juga sekaligus meresmikan Taman Srawung Seni.

Perhelatan akbar yang diprakarsai oleh Padepokan Lemah Putih dari Jawa Tengah ini mengangkat tema “Segara-Gunung”. Perkawinan kedua unsur tersebut, lautan dan gunung, hidup tidak hanya dalam kebudayaan Jawa, namun terdapat pula pada unsur-unsur kebudayaan nusantara lainnya. Sengaja memilih Candi Borobudur sebagai venue-nya, karena candi adalah bangunan yang tak lekang oleh waktu. Candi menyimpan seni, kosmologi, tata ruang dan mitos sebagai hasil dari tradisi-tradisi panjang yang melibatkan pelbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat. Di panggung Aksobhya yang berlatarkan bangunan berusia seribu duaratus tahun ini, sekitar 150 seniman atau kelompok kesenian, budayawan dan cendekiawan dari Indonesia, Asia, Europa, Australia, Amerika Selatan serta Utara membagikan masing-masing pusaka budayanya melalui seminar dan pertunjukan.

Seminar di bawah naungan kapal Samuderaraksa

Selain di atas panggung, kegiatan berlangsung di Candi Pawon, di Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga Candi Borobudur sejak tanggal 20 hingga 29 April 2012. Karena masih berstatus sebagai mahasiswa (jelang) semester akhir, saya baru dapat menikmati pesta seni ini di hari penutupannya. Saya sedikit kecewa karena ketika tiba di Museum Samuderaraksa, presentasi mengenai La Galigo yang dibawakan oleh Bapak Andi Anton seorang budayawan Luwu telah usai. Ya, La Galigo yang merupakan karya sastra terbesar di dunia ini mendapat tempat di ruang seni dan mitos dalam Srawung Seni. Keindahan bahasa serta kekayaan makna yang dikandung La Galigo begitu memukau, epos besar ini tidak hanya berisi kisah namun juga berisi pelajaran-pelajaran tentang filosofi kehidupan. Keunikan cerita serta tradisi pendokumentasian naskah membuat peninggalan budaya dari Sulawesi Selatan ini menarik. Bapak Anton menguraikan banyak hal baru bagi para peserta diskusi (yang kebanyakan berasal dari luar Sulawesi dan luar negri) seperti konsep tomanurung, asal-muasal suku Bajo dalam versi La Galigo, tiga tingkatan dunia, serta sisi religiusitas naskah ini.

Setelah pembicaraan mengenai La Galigo usai, seminar dilanjutkan dengan bahasan tentang situs Muarajambi. Diskusi yang dimoderatori oleh Nina Pramono (Executive Director Pertamina Foundation) ini menghadirkan narasumber dari SvarnaDvipa Institute. Sebagai oknum-oknum yang terjun langsung ke lapangan, dengan gamblang narasumber-narasumber tersebut memaparkan apa itu situs Muarajambi dan isu seperti apa yang tengah berkembang. Muarajambi ialah nama dari sebuah kawasan yang kaya dengan tinggalan purbakala di Daeras Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Jambi. Sekurang-kurangnya terdapat 82 peninggalan berupa candi, menapo (reruntuhan bangunan kuno), kolam beserta kanal purba.

Situs yang diduga menyimpan kompleks percandian dengan luas tiga kali dari Borobudur ini merupakan anak kunci untuk mengungkap misteri Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya. Sayangnya, situs monumental ini terancam bahaya. Perusahaan tambang batubara serta perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Muarajambi berpotensi merusak kawasan cagar budaya ini. Contohnya, parit Candi Playangan yang 1,5 meter dari pabrik batubara tertutup limbah dan menghitam. Miris memang mengetahui situs Muarajambi yang kaya akan temuan arkeologi ini belum terdaftar sebagai kawasan cagar budaya. Usaha-usaha penyelamatan dengan peran dari masyarakat mulai dilakukan, salah satunya melalui petisi #SaveMuaraJambi lewat twitter. Penduduk sekitar situs juga telah membentuk sebuah aliansi dengan SvarnaDvipa institut yang disebut Dwarapala-Muja, Penjaga Muarajambi.

Tarian Dayak Kontemporer karya Deddy Luthan

Dari pulau Sumatera, bahasan beralih ke Kalimantan. Kisah tentang budaya dan sejarah ternyata tak kalah tragis di sana. Bapak Deddy Luthan, seorang koreografer yang juga pecinta budaya Dayak menyajikan potret kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, Modang dan Benuak. Asal-usul suku Dayak di pulau berjuluk Baruna ini masih simpangsiur. Secara umum suku Dayak diduga berasal dari Yunnan Selatan yang bermigrasi ke Borneo secara bertahap. Meskipun bukan bangsa pelaut, dengan perahu-perahu kecil mereka menuju Asia Tenggara karena pada masa itu luasnya lautan masih terjangkau oleh teknologi sederhana. Masyarakat Dayak yang kehidupannya berorientasi pada hutan belakangan berpindah habitasi. Pembalakan hutan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab menghancurkan sendi-sendi kebudayaan serta lingkungan tradisional mereka. Hati saya terenyuh ketika disuguhkan gambar beberapa anggota keluarga Dayak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil, sementara siluet di belakang mereka nampakkan pabrik-pabrik perusak hutan.

Selain materi di atas, masih banyak lagi bahasan-bahasan spektakuler di Srawung Seni Segara Gunung ini. Yang paling menarik ialah pengalaman spiritual Elisabeth Inandiak yang menghubungkannya dengan garis emosional masa lalu antara Sumatera, India, dan Tibet. Elisabeth Inandiak dikenal sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Perancis dan usahanya menerjemahkan Serat Centhini dari Bahasa Jawa Klasik ke dalam Bahasa Indonesia.

Elisabeth yang fasih berbahasa Indonesia mendapat semacam ilham saat berkunjung ke Tibet dan dihantui inspirasi untuk menemukan keterkaitan antara kedamaian yang Ia rasakan saat berada di Jawa (Indonesia) dan Tibet. Ia mendapatkan jawaban setelah menemukan referensi mengenai Atisha, seorang misionaris Buddha asal India yang pernah belajar agama di Sumatera lalu menyebarkan ajarannya di Tibet. Petualangan spiritual Elisabeth memburu Atisha mengantarkannya kepada usaha pengembalian abu sang mahaguru dari pemerintah Republik Rakyat Cina ke tangan masyarakat Tibet pada tahun 1978 dan rahasia di balik lirik lagu Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan.

Seminar hari itu ditutup dengan tampilan Seni Pitutur, kelompok seni masyarakat sekitar Candi Borobudur yang melibatkan partisipasi para Indonesianis. Malamnya panggung Aksobhya dimeriahkan oleh Anak-Anak Borobudur dan Oppie Andaresta; tari klasik Bharatanatyam dari India, seni gerak oleh Jessica Gamez dari Mexico, dan masih banyak lagi. Walau tidak dapat mengikuti jalannya penutupan Taman Srawung Seni Segara Gunung hingga akhir, saya cukup senang. Transfer ilmu dan informasi di bawah naungan kapal Samuderaraksa yang “dihidupkan” kembali dari sebuah relief abad ke-8 Masehi melahirkan banyak inspirasi buat saya. Terlebih lagi pada kesempatan ini saya juga dapat berkenalan dengan banyak budayawan, para Indonesianis serta mempromosikan La Galigo for Nusantara Project lewat flyer sederhana.

Tahun depan, pesta seni ini akan digelar di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Penyerahan api abadi dari Bupati Magelang kepada Bupati Sigi menandai estafet Srawung Seni Segara Gunung 2012 ke Srawung Seni Megalitik 2013. Semoga acara ini dapat lebih meriah, lebih terbuka kepada masyarakat umum, serta lebih sensasional lagi. Sampai jumpa tahun depan!