Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Itu Bissu, Bukan Waria!

Beberapa bulan lalu, tim kami sempat mengikuti kajian mengenai bissu di asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, Yogyakarta. Isu menarik yang mengundang banyak tanya ini dibawakan oleh kakanda Zainal, dosen Universitas Haluleo yang tengah melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada. Nah, pada kesempatan kali ini kami akan bercerita sedikit mengenai bissu dan kondisi mereka yang terancam punah di kampung halamannya sendiri.

 

Bissu dalam ritual Maggiriq. Sumber: Pameran Keris Bugis Bentara Budaya Kompas 2012.

            Kemarin (01/09/2012) komunitas bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan diselimuti kabut duka. Upe Puang Lolo, biasa dipanggil Puang Upe tertidur damai menghadap Dewata SeuwwaE alias Tuhan Yang Maha Esa. Sosok yang menjalani laku sebagai pendeta kepercayaan Bugis kuno sejak umur 14 tahun ini tidak meninggalkan apa-apa.  Hanya benda-benda pusaka yang ia jaga dan ke-12 orang bissu yang tersisa di Segeri lah warisan yang tidak ia bawa pergi. Kematiannya amat mendadak. Padahal, baru bulan lalu Puang Upe berangkat ke Yogyakarta. Saat itu, tarian bissunya yang mistis sejenak berhasil memindahkan kemistisan tanah Sulawesi ke pusar budaya Jawa.

Tahun lalu, 28 Juni 2011 dunia juga diguncang oleh wafatnya Puang Saidi, matoa alias pemimpin komunitas bissu Segeri. Puang Saidi yang selama hidupnya aktif dalam berbagai kegiatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi lokal, banyak dijadikan sebagai obyek penelitian oleh para akademisi, baik di dalam maupun di luar negri. Ia pun juga sering diburu oleh wartawan pencari berita agar foto dan ulasan kata-katanya dapat terpajang di berbagai koran dan majalah.

Partisipasi Puang Saidi dalam pertunjukan Teater I La Galigo besutan Robert Wilson membuatnya menjadi bissu pertama yang pernah keliling dunia dan menggemakan bait-bait Sureq Galigo. Untuk membaca bait-bait dalam naskah tersebut, Puang Saidi mesti belajar terlebih dahulu kepada almarhum Drs. Muhammad Salim. Orang yang memiliki kemampuan dalam mendendangkan La Galigo dihadapan publik disebut passureq, dan profesi ini bukanlah hal yang ditekuni oleh bissu meskipun mereka memahami fungsi dan makna La Galigo. Inilah yang kadang disalahpahami oleh masyarakat awam; bissu = passureq. Film dokumenter yang menangkap kehidupan sehari-hari Puang Saidi seperti The Last Bissu (2004) karya Rhoda Gauer maupun liputan khusus tentang dirinya sudah pernah ditayangkan oleh National Geographic, stasiun-stasiun TV nasional, hingga program internasional seperti Andrew Zimmern’s Bizzare World. Pembawaan Puang Saidi yang memang ramah dan terbuka membuatnya cepat dekat dan percaya dengan orang-orang baru.

Ketiadaan Puang Saidi berimbas dengan diangkatnya Puang Upe sebagai pengganti. Ketika Puang Saidi masih hidup, Puang Upe sudah ditunjuk untuk memangku jabatan puang lolo, alias wakil dari pada sang bissu utama. Ia diharapkan agar kelak dapat menjadi pengganti Puang Saidi. Akan tetapi hingga kematiannya kemarin, Puang Upe belum pernah dilantik sebagai puang matoa. Saat  dikuburkan ba’da dhuhur pada hari yang sama, Ia masih berstatus sebagai puang lolo. Siapakah yang akan menjadi pemimpin komunitas bissu di Segeri? Hingga saat ini pun pertanyaan itu juga masih menimbulkan kegelisahan di kalangan mereka sendiri.

Almarhum Puang Saidi. Sumber: Sharyn Graham

Bissu, konon berasal dari kata biksu. Pendapat terkenal yang dilontarkan oleh almarhum Fachruddin Ambo Enre ini menciptakan persepsi bahwa agama Buddha pernah masuk ke Sulawesi purba dan mendapatkan tempat yang cukup signifikan. Akan tetapi, jejak-jejak Hindu-Buddha di Sulawesi Selatan ternyata tidak kuat menancap sebagaimana jejak kedua agama ini di kebudayaan Jawa maupun Bali. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata mabessi yang berarti suci. Bissu pada dasarnya merupakan pendeta agama Bugis pra-Islam yang bertugas untuk menjaga pusaka-pusaka kerajaan serta menjadi penghubung interdimensional antara manusia dan Tuhan. Selaku pendeta, Ia bertugas untuk memimpin beragam ritual adat seperti mangota dan mappanre liseq. Karena dianggap mampu  berkomunikasi dengan dunia para dewa, mereka juga dikenal memiliki kekuatan gaib untuk menyembuhkan penyakit, ilmu kekebalan tubuh, menjadi pawang hujan, maupun sebagai penjaga puteri-puteri raja pada jaman kerajaan dulu. Fungsinya yang terakhir ini mirip dengan kasim atau penjaga harem di dalam kebudayaan Cina.

Keunikan bissu terletak pada jenis kelaminnya. Ketika agama-agama di dunia menonjolkan sifat patriarkhi dengan menunjuk imam-imam mereka dari golongan pria, bissu adalah sebuah perkecualian. Secara sederhana, penampilan bissu terlihat mirip waria atau banci. Khazanah Barat melabeli perbuatan individu semacam ini sebagai seorang transvestite atau transgender, namun pada hakikatnya definisi-definisi tersebut bahkan sama sekali tidak mendekati pengertian filosofis bissu yang sebenarnya. Jenis kelamin bissu adalah sebuah kenetralan yang tidak dapat diterima logika zaman sekarang. Orang Bugis kuno menganggap bahwa dengan bertingkah laku menyimpang seperti itu, seseorang akan terjauh dari hasrat seksualnya, baik terhadap lawan maupun sesama jenis. Mereka akan selalu dalam keadaan suci untuk berkomunikasi dengan dewata karena terhindar dari hasrat duniawi.

Konon, bissu telah dimatikan hasrat seksualnya dengan jalan ditotok pada beberapa bagian tubuh. Cara konvensional ini sekedar untuk memastikan bahwa sang bissu tidak akan melanggar sumpahnya dan berhasrat kepada sesama jenis. Bissu kini berjumlah amat sedikit dan jarang ditemui di daerah-daerah Bugis. Hari ini yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan ialah golongan calabai atau laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Golongan yang dikategorikan sebagai homoseksual ini mengambil tempat di tengah masyarakat sebagai penghibur. Mereka juga perlahan memasuki dunia ekonomi dengan menjadi indoq botting atau perias pengantin dan membuka toko. Konon calabai memiliki kemampuan untuk membuat pengantin menjadi cantik. Kategori calabai inilah yang sesuai dengan definisi waria yang dianut oleh masyarakat luas. Bissu yang tidak dapat digolongkan sebagai orowane (pria), makunrai (wanita), calabai, maupun calalai (perempuan yang bertingkah seperti laki-laki) menjadi jenis kelamin kelima dalam kebudayaan Bugis.

Bissu bukanlah identitas individu, melainkan identitas kelompok. Tanpa komunitasnya, seorang bissu tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga Ia pun tak layak mengusung gelar tersebut. Seringnya bissu disalahpahami sebagai wadam menandakan bahwa masyarakat menilai fenomena ini hanya dari perspektif fisik. Bissu bukanlah penanda gender, namun perjalanan spiritual. Istilah kebahasaan seringkali menjebak pola pikir masyarakat dalam mendeskripsikan sosok bissu. Fakta bahwa bissu pun dapat berasal dari kalangan perempuan dan dapat menikah serta mempunyai anak pun tidak tersorot ke permukaan. Padahal epos besar La Galigo dengan gamblang mengisahkan bagaimana We Tenri Abeng adik Sawerigading sebenarnya adalah seorang bissu. Demikian pula halnya dengan putri kedua Sawerigading yang bernama We Tenri Dio. We Tenri Dio yang seorang bissu ini menikah dengan Lalaki Sigayya dan memerintah sebagai ratu di Pulau Selayar.

Kini, bissu banyak terdapat di komunitas Segeri. Itupun jumlah mereka semakin hari semakin menipis. Ketika mereka diburu-buru untuk dibunuh era operasi pemurnian Islam di bawah komando Kahar Muzakkar, bissu-bissu dari kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, Luwu dan lainnya ini banyak yang melarikan diri ke Pangkep.  Elit-elit lokal Pangkep saat itu menerima mereka dengan tangan terbuka. Kondisi budaya di Pangkep yang merupakan daerah peralihan antara suku Makassar dan Bugis membuat elit-elit lokal bersedia mengambil bissu sebagai penguat identitas mereka di tengah kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

Bissu tinggal imajinasi yang tersisa dari masa lalu, karena seiring dengan hilangnya kerajaan-kerajaan yang mengultuskannya maka hilang pulalah mereka. Simbol-simbol bissu tadi mengendap di balik bayang-bayang waria yang dengan rendah disematkan oleh masyarakatnya sendiri. Akankah bissu menghilang selamanya dari peredaran budaya nusantara? Jawabannya ada di tangan generasi muda bangsa.

 

Referensi:
–          Nurhayati Rahman, Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpaloe, La Galigo Press.
–          PUANG UPE’, BISSU PENJAGA RAKKEANG KUNING http://www.insist.or.id/id/node/322.
–          Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan.
–          Bissu Segeri Meninggal Dunia di Pangkep http://www.tribunnews.com/2012/09/01/bissu-segeri-meninggal-dunia-di-pangkep.

 

Categories
101 La Galigo Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #1

Team Lontara Project bersama Prof. Nurhayati di depan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur

Jumat, 25 Mei 2012 tim Lontara Project menyambangi negeri Jiran Malaysia. Terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana, Fitria Sudirman, Muhammad Ulil Ahsan dan Rahmat Dwi Putranto. Misi kali ini ialah mempromosikan Lontara Project di hadapan civitas akademika University of Malaya, Kuala Lumpur. Selama di Malaysia, tim Lontara Project dijamu oleh Prof. Nurhayati Rahman. Sosok yang satu ini pasti sudah tidak asing lagi di antara pengkaji La Galigo. Ya, beliau adalah satu-satunya wanita yang diakui sebagai penerjemah sekaligus pakar dalam pengkajian naskah-naskah La Galigo. Kami yang menyapanya dengan sebutan akrab “Bunda” selama 4 hari di Malaysia mendapatkan banyak sekali pengarahan-pengarahan berguna dari beliau.

Esok harinya, tepatnya Sabtu, 26 Mei 2012 tim Lontara Project menuju ke Selangor untuk mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah. Kami ditemani oleh mahasiswa didikan Prof. Nurhayati di University of Malaya yang bernama Mohamed Zahamri Nizar. Pria yang aslinya berasal dari Perak ini kami sapa dengan sebutan Abang. Uniknya, ternyata Abang pun masih terhitung sebagai keturunan Bugis! Saat ini Abang sedang menempuh program Master dan meneliti tentang simbol-simbol dalam manuskrip-manuskrip maupun panji-panji kerajaan di Alam Melayu. Ketertarikannya terhadap budaya Bugis dan nusantara secara umum membuat kami jadi cepat akrab dengan pria pendiam dan baik hati ini. Kami diajak berpusing-pusing (baca: berkeliling) di Selangor dengan mobil pribadinya.

Pukul 09.30 waktu lokal, kami memulai misi kebudayaan ini dengan mengamati dan mempelajari jejak kebudayaan Bugis di Malaysia. Tempat pertama yang kami datangi adalah Mesjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Mesjid ini dikenal dengan nama Mesjid Biru. Mesjid ini dibangun atas perintah Sultan Selangor saat ditetapkannya Shah Alam sebagai Ibu Negara yang baru pada 14 Februari 1974. Menara yang dimiliki mesjid ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara bahkan di dunia dengan tinggi mencapai 460 kaki. Dengan diameter 170 kaki, kubahnya menobatkan Mesjid Biru sebagai mesjid dengan kubah terbesar di Asia Tenggara. Mesjid Biru memuat hingga 24.000 jamaah, permadaninya terbuat dari wol berkualitas tinggi, serta tulisan kaligrafi di mesjid ini dibuat oleh ahli kaligrafi terkenal dari Mesir; Syekh Abdol Moneim Mohamed Ali Sharkawi, dibantu kaligrafer Malaysia.

Bersama Abang Zamhari (paling kiri) di depan Masjid Sultan Shalahuddin, Shah Alam

Setelah melihat kemegahan Mesjid Biru, selanjutnya tim Lontara Project mengunjungi Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz. Galeri ini berisi barang-barang pribadi milik Sultan Abdul Aziz, Sultan Selangor. Sayangnya, kami tidak diperkenankan mengambil gambar di dalam Galeri. Terdapat beberapa ruangan yang berisi benda-benda peninggalan serta beragam dokumentasi kegiatan Sultan Abdul Aziz. Benda koleksi yang paling menarik antara lain replika Mahkota Sultan dan permaisuri yang berhiaskan permata dan berlian yang sangat indah dan berkilau, nggak kebayang deh aslinya gimana. Pakaian dan aksesoris kebesaran serta hadiah yang pernah diterima Sultan Abdul Aziz juga dipajang di galeri tersebut.

Benda menarik lain di museum ini adalah hadiah dari Inggris berupa mangkuk perak besar berukirkan ucapan dari Ratu Elizabeth II terhadap Sultan Abdul Aziz. Pengaruh Inggris di Malaysia (Selangor) tidak dapat dipungkiri. Kolonialisasi di tanah Melayu zaman dahulu membawa dampak perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya Selangor. Foto-foto Sultan Abdul Aziz saat berada di Armada Angkatan Laut, pelantikan putranya menjadi penerus sebagai Sultan Selangor, dan lukisan-lukisan lainnya banyak terpajang di setiap dinding ruangan.

Galeri Diraja Sultan Shalahuddin bin Abdul Aziz

Yang tak kalah menarik, terkait dengan misi kami yaitu mengamati jejak Bugis di Selangor ini, ialah peninggalan Sultan Abdul Aziz berupa senjata dan pakaian khas Bugisnya. Di suatu sudut ruangan di lantai 2 Galeri ini terdapat sebuah lemari yang memajang pakaian khas Bugis yang biasa dipakai Sultan Abdul Aziz. Pakaian tersebut berwarna hijau tua dan bermotif belah ketupat (sulappaq eppaq) dengan garis berwarna emas. Pakaian ini dibuat dengan teknik cap Bugis. Cara pengecapannya yaitu dengan membuat campuran bahan cap di suatu wadah dan diberi serbuk emas asli, kemudian menggunakan alat cap khusus yang telah bermotif, dicelup lalu dicapkan ke pakaian tersebut. Saat ini sudah tidak ada lagi ahli pembuat pakaian khususnya ahli cara cap tersebut. Pernah dicoba melalui sistem komputerisasi dan cara canggih lainnya namun tidak berhasil dan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh ahlinya.

Selain pakaian, hal-hal yang berbau Bugis dalam kehidupan Sultan Abdul Aziz sejak menjadi Sultan Selangor adalah senjata. Sultan Abdul Aziz memiliki beragam koleksi senjata khususnya keris sebagai simbol kekuatan. Keris Bugis yang dimilikinya tidak luput dari pengamatan kami. Pamor yang khas seperti urat yang menjulur dari pangkal hingga ujung keris, bentuknya yang lurus (tepinya yang tidak tampak bergelombang) dibanding keris lainnya merupakan salah satu senjata Bugis yang dimiliki oleh Sultan Abdul Aziz. Adanya pakaian dan senjata khas Bugis menandakan bahwa Sultan Selangor memang memiliki darah Bugis. Klaim ini diabsahkan pula oleh silsilah keluarganya yang terpajang di dinding galeri.

Beranjak dari Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz, kami dibawa oleh abang untuk makan siang di suatu tempat. Namun, di tengah perjalanan kami mampir ke sebuah daerah yang rindang, asri dan jalan yang sepi serta berbukit. Tampak sebuah bangunan megah dari kejauhan. Kami mulai mendekat dan ternyata bangunan megah itu adalah Istana Alam Shah. Takjub kami melihat kubah berwarna emas, model bangunan megah serta pekarangan yang sangat luas tertata rapi. Dari jauh juga tampak helikopter yang sedang parkir di pekarangan istana itu. Kami mulai mendekat mengambil gambar sembari menikmati kemegahannya. Istana Alam Shah merupakan istana Sultan Selangor. Sayangnya kami tidak dapat masuk ke istana dan hanya melihatnya dari depan. Depan pintu gerbang Istana terpajang meriam dan tempat jaga prajurit. Tampak juga lambang Negeri Selangor di dinding depan Istana.

Tiba saatnya makan siang. Kami beranjak dari Istana Alam Shah menuju tempat makan yang katanya murah. Dalam perjalanan ke sana terlihat papan penunjuk jalan yang bertuliskan Kampong Jawa. Tak sabar kami menyambangi tempat itu. Abng Zahamri memang tahu apa yang kami inginkan. Abang membawa kami makan siang di sebuah warung makan sederhana di daerah Klang, tepatnya Kampong Jawa. Letaknya di depan taman kanak-kanak dan di seberang jalan Madrasah terkenal di daerah Selangor. Setibanya di sana, kami langsung menuju ke meja makan dan mengambil makanan yang diinginkan. Tersedia berbagai lauk pauk yang menggugah selera. Satu hal yang membuat kai terkesan adalah harganya yang sangat murah. Rahmat Si Tukang Makan terheran-heran, memakan lauk yang bergitu banyak dan bervariasi, setelah disuguhi bill, ternyata harganya sangat murah. Setiap orang dikenakan biaya rata-rata 3-4 RM. Itu setara dengan Rp 12.000,-. Tidak sebanding dengan makanan yang kami santap ditambah minumannya. Makanan yang jika di Indonesia kalkulasinya bisa mencapai rata-rata Rp 20.000,- per orangnya. Setelah selesai makan, Rahmat berbicara dengan salah satu pekerja di sana yang ternyata berasal dari Indonesia, tepatnya Jawa Timur. Sungguh makan siang yang berkesan dan menyenangkan mulai dari nama tempat, makanan, hingga orang satu negara yang ditemui.

Kampung Jawa di Selangor

Setelah mengisi kampung tengah (baca: perut), kami memutuskan untuk shalat dzuhur sebelum mengunjungi museum berikutnya. Abang Zahamri membawa kami di sebuah mesjid bernama Mesjid Sultan Sulaiman. Mesjid ini memiliki bentuk bangunan yang unik, dibangun pada tahun 1932. Pernah dijadikan sebagai mesjid negara dimana saat khutbah Jumat di Mesjid ini selalu disiarkan di televisi. Setelah dibangun Mesjid Biru, identitas mesjid negara dialihkan ke Mesjid Biru. Mesjid Sultan Sulaiman merupakan mesjid Diraja Klang. Menurut Informasi Abang Zahamri, Mesjid Diraja berarti mesjid yang sering ditempati oleh raja untuk beribadah sedangkan mesjid yang digunakan oleh masyarakat lainnya disebut Mesjid Jami. Seusai shalat berjamaah, saat itu mesjid sedang ramai oleh acara akad nikah, kami mengamati sebentar jalannya acara dan langsung menuju keluar mesjid. Di sisi barat mesji terdapat makam Diraja Klang dan istri-istri serta keluarganya. Kemegahan makam tampak dari depan. Kebersihan di dalam makam dirawat baik-baik serta aturan. Satu hal yang dilarang keras dilakukan oleh peziarah di sana adalah, membawa sesajen dan menyembah atau meminta sesuatu di makam. Jika hal itu dilakukan, hukuman berat akan diberikan bagi pelakunya.

                 “Di Selat Malaka, di ujung Sumatera, dua hati kita kan bersatu”. Lagu yang hits tahun 90an ini terus terngiang saat mengunjungi pesisir Selat Malaka di daerah Selatan. Siapa yang tidak kenal dengan Selat Malaka. Jalur dan pusat perdagangan yang tersohor di suluruh dunia. Namun saat ini hanya menyisakan puing-puing ketenarannya. Setibanya di pinggiran pantai Malaka, kami disambut dengan jajanan khas pantai Malaka.

Kami berjalan di pesisir pantai berbatu itu. Terlintas imagi tentang keadaan di masa lampau saat ramainya laut ini dipenuhi pedagang-pedagang dan pelaut dari berbagai pelosok dunia seperti cina, Arab, India, Portugis, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Sebelum meninggalkan tempat itu, sejenak Ulil dan Ahlul berkeliling di pasar kecil di pesisir dan mengamati hasil-hasil laut yang ada. Hasil-hasil laut dan buah yang dijajakan mengingatkan pada hasil bumi dan makanan yang sering disantap di daerah Bugis. Ada otti onynyi’-onynyi’ yang merupakan sebutan pisang kecil berwarna kuning terang sering disantap oleh masyarakat Bugis sehabis makan. Peppi’ (Bahasa Bugis) atau yang yang berupa udang-udang kecil biasanya sebagai cocolan mangga muda sebagai cemilan di masyarakat Bugis. Ikan asin, kerang dan lain-lain sebagai hasil laut daerah tersebut juga digelar di pasar itu. Di pesisir pantai Malaka itu memang dikenal sebagai salah satu kampung yang banyak orang Bugis bermukim. Hal itu sifatnya wajar mengingat orang Bugis memiliki jiwa maritim yang kuat.

Selat Malaka yang berperan penting dalam sejarah peradaban nusantara

Setelah terpapar angin laut di pesisir pantai Selat Malaka, saatnya tim Lontara Project beranjak menuju ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya Bukit Malawati. Perjalanan ke Bukit Malawati memakan waktu sekitar 45 menit dengan mobil. Bukit ini menyimpan memori perjuangan Kesultanan Selangor di Melayu. Tiba di kaki Bukit Malawati, kami berjalan menuju halte kereta. Untuk menuju puncak bukitnya, lebih nyaman jika menggunakan kereta wisata sambil berkeliling melihat rindang dan indahnya setiap sisi bukit Malawati. Untuk naik kereta menuju puncak bukit dikenakan biaya tiket sebesar 4 RM per orang. Pengunjung tempat ini lumayan ramai berasal dari lokal maupun mancanegara.

Sesampainya di atas bukit, kami disambut oleh sekumpulan kera dan senjata meriam yang berjejer rapi di tepi bukit. Dari puncak bukit Malawati ini tampak dengan jelas hamparan Selat Malaka yang indah. Dari bukit inilah prajurit mengawasi kapal-kapal yang berlayar memasuki wilayah Selangor melalui Selat Malaka di masa lampau. Wisata Bukit Malawati ini menyajikan museum Sejarah Daerah Kuala Selangor. Museum ini berisi cerita dan beberapa peninggalan sejarah berdirinya Selangor. Satu hal yang membuat kami tertarik menelusuri lebih dalam dari Museum ini adalah komponen sejarahnya sangat lekat dengan Bugis. Mulai dari sejarah masuknya Bugis di Sealangor, senjata dan pakaian perang khas Bugis, kerajinan tangan dan silsilah raja Selangor yang berasal dari Bugis terpampang besar di dalam. Sungguh membuat kami merasa haru mengunjungi museum ini. Cerita tentang Museum ini akan dikupas dalam satu bahasan khusus tentang Bugis di Selangor pada kesempatan yang lain.

Setelah naik Bukit Malawati, selanjutnya Tim Lontara Project turun bukit. Menuju ke tempat wisata penghujung hari pertama. Tempat yang kami kunjungi ini sangat unik. Nama tempat wisatanya adalah Pelancongan Kelap-kelip, terletak di Kampong Kuantan. Kami tiba di tempat ini sekitar pukul 5 sore waktu Malaysia. Artinya kami harus menunggu sekitar 2 jam lagi agar bisa menikmati wisata Kelap-kelip ini. Wisata ini Cuma bisa dinikmati di malam hari karena inti dari wisata ini adalah menikmati indahnya kelap-kelip (nama hewan sejenis kunang-kunang tapi agak kecil) yang melimpah di pepohonan sepanjang sungai Kuantan. Dalam wisata ini, kami menaiki sampan ditemani oleh pengayuh sampan. Kelap-kelip hewan yang memenuhi pepohonan sepanjang sungai Kuantan bagaikan kelap-kelip bintang saat memenuhi langit di malam hari. Sungguh pemandangan yang indah, kegembiraan bertambah di atas sampan saat Si Pengayuh membawa sampan menuju ke pepohonan dan kami meletakkan hewan kelap-kelip itu di telapak tangan. Perjalanan menikmati kelap kelip di atas sampan tak terasa sudah 20 menit. Perjalanan singkat nan indah itu mampu membayar kegundahan kami menunggu selama 2 jam untuk menikmati wisata ini.

Wisata “Kelip-Kelip” di Kampung Kuantan

Akhirnya kami beranjak dari Kampong Kuantan menuju ke rumah untuk melepas lelah seharian melancong di Selangor. Perjalanan di hari pertama ini sungguh sangat berkesan. Lelah dibayar dengan hal-hal yang menarik. Khasanah pengetahuan kami sedikit bertambah tentang apa yang kami kunjungi. Tak hanya saat mengamati hal-hal baru di museum, tapi saat berdiskusi di perjalanan mengunjungi setiap tempat adalah momen yang menjadi bagian penting memperoleh informasi dan pengetahuan terkait misi dari tim Lontara Project. Berkat bantuan dari Abang Zahamri di hari pertama, kami bisa menikmati perjalanan pengetahuan tentang negeri ini. Kesan hari pertama sangat indah dan menyenangkan. Seindah cinta di selat Malaka, seharu kasih kepada Shah Alam dan Semegah paras Mesjid Biru.

 

Muhammad Ulil Ahsan Arif, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang masih duduk di semester enam Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/