Categories
Featured Galigo Gallery Photos

“Bersama Serumpun”

Team Cultural Diplomacy LONTARA PROJECT dengan Pelajar Balai Kajian Melayu, Universiti Malaya
Categories
101 La Galigo Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #1

Team Lontara Project bersama Prof. Nurhayati di depan Dataran Merdeka, Kuala Lumpur

Jumat, 25 Mei 2012 tim Lontara Project menyambangi negeri Jiran Malaysia. Terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana, Fitria Sudirman, Muhammad Ulil Ahsan dan Rahmat Dwi Putranto. Misi kali ini ialah mempromosikan Lontara Project di hadapan civitas akademika University of Malaya, Kuala Lumpur. Selama di Malaysia, tim Lontara Project dijamu oleh Prof. Nurhayati Rahman. Sosok yang satu ini pasti sudah tidak asing lagi di antara pengkaji La Galigo. Ya, beliau adalah satu-satunya wanita yang diakui sebagai penerjemah sekaligus pakar dalam pengkajian naskah-naskah La Galigo. Kami yang menyapanya dengan sebutan akrab “Bunda” selama 4 hari di Malaysia mendapatkan banyak sekali pengarahan-pengarahan berguna dari beliau.

Esok harinya, tepatnya Sabtu, 26 Mei 2012 tim Lontara Project menuju ke Selangor untuk mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah. Kami ditemani oleh mahasiswa didikan Prof. Nurhayati di University of Malaya yang bernama Mohamed Zahamri Nizar. Pria yang aslinya berasal dari Perak ini kami sapa dengan sebutan Abang. Uniknya, ternyata Abang pun masih terhitung sebagai keturunan Bugis! Saat ini Abang sedang menempuh program Master dan meneliti tentang simbol-simbol dalam manuskrip-manuskrip maupun panji-panji kerajaan di Alam Melayu. Ketertarikannya terhadap budaya Bugis dan nusantara secara umum membuat kami jadi cepat akrab dengan pria pendiam dan baik hati ini. Kami diajak berpusing-pusing (baca: berkeliling) di Selangor dengan mobil pribadinya.

Pukul 09.30 waktu lokal, kami memulai misi kebudayaan ini dengan mengamati dan mempelajari jejak kebudayaan Bugis di Malaysia. Tempat pertama yang kami datangi adalah Mesjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Mesjid ini dikenal dengan nama Mesjid Biru. Mesjid ini dibangun atas perintah Sultan Selangor saat ditetapkannya Shah Alam sebagai Ibu Negara yang baru pada 14 Februari 1974. Menara yang dimiliki mesjid ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara bahkan di dunia dengan tinggi mencapai 460 kaki. Dengan diameter 170 kaki, kubahnya menobatkan Mesjid Biru sebagai mesjid dengan kubah terbesar di Asia Tenggara. Mesjid Biru memuat hingga 24.000 jamaah, permadaninya terbuat dari wol berkualitas tinggi, serta tulisan kaligrafi di mesjid ini dibuat oleh ahli kaligrafi terkenal dari Mesir; Syekh Abdol Moneim Mohamed Ali Sharkawi, dibantu kaligrafer Malaysia.

Bersama Abang Zamhari (paling kiri) di depan Masjid Sultan Shalahuddin, Shah Alam

Setelah melihat kemegahan Mesjid Biru, selanjutnya tim Lontara Project mengunjungi Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz. Galeri ini berisi barang-barang pribadi milik Sultan Abdul Aziz, Sultan Selangor. Sayangnya, kami tidak diperkenankan mengambil gambar di dalam Galeri. Terdapat beberapa ruangan yang berisi benda-benda peninggalan serta beragam dokumentasi kegiatan Sultan Abdul Aziz. Benda koleksi yang paling menarik antara lain replika Mahkota Sultan dan permaisuri yang berhiaskan permata dan berlian yang sangat indah dan berkilau, nggak kebayang deh aslinya gimana. Pakaian dan aksesoris kebesaran serta hadiah yang pernah diterima Sultan Abdul Aziz juga dipajang di galeri tersebut.

Benda menarik lain di museum ini adalah hadiah dari Inggris berupa mangkuk perak besar berukirkan ucapan dari Ratu Elizabeth II terhadap Sultan Abdul Aziz. Pengaruh Inggris di Malaysia (Selangor) tidak dapat dipungkiri. Kolonialisasi di tanah Melayu zaman dahulu membawa dampak perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya Selangor. Foto-foto Sultan Abdul Aziz saat berada di Armada Angkatan Laut, pelantikan putranya menjadi penerus sebagai Sultan Selangor, dan lukisan-lukisan lainnya banyak terpajang di setiap dinding ruangan.

Galeri Diraja Sultan Shalahuddin bin Abdul Aziz

Yang tak kalah menarik, terkait dengan misi kami yaitu mengamati jejak Bugis di Selangor ini, ialah peninggalan Sultan Abdul Aziz berupa senjata dan pakaian khas Bugisnya. Di suatu sudut ruangan di lantai 2 Galeri ini terdapat sebuah lemari yang memajang pakaian khas Bugis yang biasa dipakai Sultan Abdul Aziz. Pakaian tersebut berwarna hijau tua dan bermotif belah ketupat (sulappaq eppaq) dengan garis berwarna emas. Pakaian ini dibuat dengan teknik cap Bugis. Cara pengecapannya yaitu dengan membuat campuran bahan cap di suatu wadah dan diberi serbuk emas asli, kemudian menggunakan alat cap khusus yang telah bermotif, dicelup lalu dicapkan ke pakaian tersebut. Saat ini sudah tidak ada lagi ahli pembuat pakaian khususnya ahli cara cap tersebut. Pernah dicoba melalui sistem komputerisasi dan cara canggih lainnya namun tidak berhasil dan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh ahlinya.

Selain pakaian, hal-hal yang berbau Bugis dalam kehidupan Sultan Abdul Aziz sejak menjadi Sultan Selangor adalah senjata. Sultan Abdul Aziz memiliki beragam koleksi senjata khususnya keris sebagai simbol kekuatan. Keris Bugis yang dimilikinya tidak luput dari pengamatan kami. Pamor yang khas seperti urat yang menjulur dari pangkal hingga ujung keris, bentuknya yang lurus (tepinya yang tidak tampak bergelombang) dibanding keris lainnya merupakan salah satu senjata Bugis yang dimiliki oleh Sultan Abdul Aziz. Adanya pakaian dan senjata khas Bugis menandakan bahwa Sultan Selangor memang memiliki darah Bugis. Klaim ini diabsahkan pula oleh silsilah keluarganya yang terpajang di dinding galeri.

Beranjak dari Galeri Diraja Sultan Abdul Aziz, kami dibawa oleh abang untuk makan siang di suatu tempat. Namun, di tengah perjalanan kami mampir ke sebuah daerah yang rindang, asri dan jalan yang sepi serta berbukit. Tampak sebuah bangunan megah dari kejauhan. Kami mulai mendekat dan ternyata bangunan megah itu adalah Istana Alam Shah. Takjub kami melihat kubah berwarna emas, model bangunan megah serta pekarangan yang sangat luas tertata rapi. Dari jauh juga tampak helikopter yang sedang parkir di pekarangan istana itu. Kami mulai mendekat mengambil gambar sembari menikmati kemegahannya. Istana Alam Shah merupakan istana Sultan Selangor. Sayangnya kami tidak dapat masuk ke istana dan hanya melihatnya dari depan. Depan pintu gerbang Istana terpajang meriam dan tempat jaga prajurit. Tampak juga lambang Negeri Selangor di dinding depan Istana.

Tiba saatnya makan siang. Kami beranjak dari Istana Alam Shah menuju tempat makan yang katanya murah. Dalam perjalanan ke sana terlihat papan penunjuk jalan yang bertuliskan Kampong Jawa. Tak sabar kami menyambangi tempat itu. Abng Zahamri memang tahu apa yang kami inginkan. Abang membawa kami makan siang di sebuah warung makan sederhana di daerah Klang, tepatnya Kampong Jawa. Letaknya di depan taman kanak-kanak dan di seberang jalan Madrasah terkenal di daerah Selangor. Setibanya di sana, kami langsung menuju ke meja makan dan mengambil makanan yang diinginkan. Tersedia berbagai lauk pauk yang menggugah selera. Satu hal yang membuat kai terkesan adalah harganya yang sangat murah. Rahmat Si Tukang Makan terheran-heran, memakan lauk yang bergitu banyak dan bervariasi, setelah disuguhi bill, ternyata harganya sangat murah. Setiap orang dikenakan biaya rata-rata 3-4 RM. Itu setara dengan Rp 12.000,-. Tidak sebanding dengan makanan yang kami santap ditambah minumannya. Makanan yang jika di Indonesia kalkulasinya bisa mencapai rata-rata Rp 20.000,- per orangnya. Setelah selesai makan, Rahmat berbicara dengan salah satu pekerja di sana yang ternyata berasal dari Indonesia, tepatnya Jawa Timur. Sungguh makan siang yang berkesan dan menyenangkan mulai dari nama tempat, makanan, hingga orang satu negara yang ditemui.

Kampung Jawa di Selangor

Setelah mengisi kampung tengah (baca: perut), kami memutuskan untuk shalat dzuhur sebelum mengunjungi museum berikutnya. Abang Zahamri membawa kami di sebuah mesjid bernama Mesjid Sultan Sulaiman. Mesjid ini memiliki bentuk bangunan yang unik, dibangun pada tahun 1932. Pernah dijadikan sebagai mesjid negara dimana saat khutbah Jumat di Mesjid ini selalu disiarkan di televisi. Setelah dibangun Mesjid Biru, identitas mesjid negara dialihkan ke Mesjid Biru. Mesjid Sultan Sulaiman merupakan mesjid Diraja Klang. Menurut Informasi Abang Zahamri, Mesjid Diraja berarti mesjid yang sering ditempati oleh raja untuk beribadah sedangkan mesjid yang digunakan oleh masyarakat lainnya disebut Mesjid Jami. Seusai shalat berjamaah, saat itu mesjid sedang ramai oleh acara akad nikah, kami mengamati sebentar jalannya acara dan langsung menuju keluar mesjid. Di sisi barat mesji terdapat makam Diraja Klang dan istri-istri serta keluarganya. Kemegahan makam tampak dari depan. Kebersihan di dalam makam dirawat baik-baik serta aturan. Satu hal yang dilarang keras dilakukan oleh peziarah di sana adalah, membawa sesajen dan menyembah atau meminta sesuatu di makam. Jika hal itu dilakukan, hukuman berat akan diberikan bagi pelakunya.

                 “Di Selat Malaka, di ujung Sumatera, dua hati kita kan bersatu”. Lagu yang hits tahun 90an ini terus terngiang saat mengunjungi pesisir Selat Malaka di daerah Selatan. Siapa yang tidak kenal dengan Selat Malaka. Jalur dan pusat perdagangan yang tersohor di suluruh dunia. Namun saat ini hanya menyisakan puing-puing ketenarannya. Setibanya di pinggiran pantai Malaka, kami disambut dengan jajanan khas pantai Malaka.

Kami berjalan di pesisir pantai berbatu itu. Terlintas imagi tentang keadaan di masa lampau saat ramainya laut ini dipenuhi pedagang-pedagang dan pelaut dari berbagai pelosok dunia seperti cina, Arab, India, Portugis, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Sebelum meninggalkan tempat itu, sejenak Ulil dan Ahlul berkeliling di pasar kecil di pesisir dan mengamati hasil-hasil laut yang ada. Hasil-hasil laut dan buah yang dijajakan mengingatkan pada hasil bumi dan makanan yang sering disantap di daerah Bugis. Ada otti onynyi’-onynyi’ yang merupakan sebutan pisang kecil berwarna kuning terang sering disantap oleh masyarakat Bugis sehabis makan. Peppi’ (Bahasa Bugis) atau yang yang berupa udang-udang kecil biasanya sebagai cocolan mangga muda sebagai cemilan di masyarakat Bugis. Ikan asin, kerang dan lain-lain sebagai hasil laut daerah tersebut juga digelar di pasar itu. Di pesisir pantai Malaka itu memang dikenal sebagai salah satu kampung yang banyak orang Bugis bermukim. Hal itu sifatnya wajar mengingat orang Bugis memiliki jiwa maritim yang kuat.

Selat Malaka yang berperan penting dalam sejarah peradaban nusantara

Setelah terpapar angin laut di pesisir pantai Selat Malaka, saatnya tim Lontara Project beranjak menuju ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya Bukit Malawati. Perjalanan ke Bukit Malawati memakan waktu sekitar 45 menit dengan mobil. Bukit ini menyimpan memori perjuangan Kesultanan Selangor di Melayu. Tiba di kaki Bukit Malawati, kami berjalan menuju halte kereta. Untuk menuju puncak bukitnya, lebih nyaman jika menggunakan kereta wisata sambil berkeliling melihat rindang dan indahnya setiap sisi bukit Malawati. Untuk naik kereta menuju puncak bukit dikenakan biaya tiket sebesar 4 RM per orang. Pengunjung tempat ini lumayan ramai berasal dari lokal maupun mancanegara.

Sesampainya di atas bukit, kami disambut oleh sekumpulan kera dan senjata meriam yang berjejer rapi di tepi bukit. Dari puncak bukit Malawati ini tampak dengan jelas hamparan Selat Malaka yang indah. Dari bukit inilah prajurit mengawasi kapal-kapal yang berlayar memasuki wilayah Selangor melalui Selat Malaka di masa lampau. Wisata Bukit Malawati ini menyajikan museum Sejarah Daerah Kuala Selangor. Museum ini berisi cerita dan beberapa peninggalan sejarah berdirinya Selangor. Satu hal yang membuat kami tertarik menelusuri lebih dalam dari Museum ini adalah komponen sejarahnya sangat lekat dengan Bugis. Mulai dari sejarah masuknya Bugis di Sealangor, senjata dan pakaian perang khas Bugis, kerajinan tangan dan silsilah raja Selangor yang berasal dari Bugis terpampang besar di dalam. Sungguh membuat kami merasa haru mengunjungi museum ini. Cerita tentang Museum ini akan dikupas dalam satu bahasan khusus tentang Bugis di Selangor pada kesempatan yang lain.

Setelah naik Bukit Malawati, selanjutnya Tim Lontara Project turun bukit. Menuju ke tempat wisata penghujung hari pertama. Tempat yang kami kunjungi ini sangat unik. Nama tempat wisatanya adalah Pelancongan Kelap-kelip, terletak di Kampong Kuantan. Kami tiba di tempat ini sekitar pukul 5 sore waktu Malaysia. Artinya kami harus menunggu sekitar 2 jam lagi agar bisa menikmati wisata Kelap-kelip ini. Wisata ini Cuma bisa dinikmati di malam hari karena inti dari wisata ini adalah menikmati indahnya kelap-kelip (nama hewan sejenis kunang-kunang tapi agak kecil) yang melimpah di pepohonan sepanjang sungai Kuantan. Dalam wisata ini, kami menaiki sampan ditemani oleh pengayuh sampan. Kelap-kelip hewan yang memenuhi pepohonan sepanjang sungai Kuantan bagaikan kelap-kelip bintang saat memenuhi langit di malam hari. Sungguh pemandangan yang indah, kegembiraan bertambah di atas sampan saat Si Pengayuh membawa sampan menuju ke pepohonan dan kami meletakkan hewan kelap-kelip itu di telapak tangan. Perjalanan menikmati kelap kelip di atas sampan tak terasa sudah 20 menit. Perjalanan singkat nan indah itu mampu membayar kegundahan kami menunggu selama 2 jam untuk menikmati wisata ini.

Wisata “Kelip-Kelip” di Kampung Kuantan

Akhirnya kami beranjak dari Kampong Kuantan menuju ke rumah untuk melepas lelah seharian melancong di Selangor. Perjalanan di hari pertama ini sungguh sangat berkesan. Lelah dibayar dengan hal-hal yang menarik. Khasanah pengetahuan kami sedikit bertambah tentang apa yang kami kunjungi. Tak hanya saat mengamati hal-hal baru di museum, tapi saat berdiskusi di perjalanan mengunjungi setiap tempat adalah momen yang menjadi bagian penting memperoleh informasi dan pengetahuan terkait misi dari tim Lontara Project. Berkat bantuan dari Abang Zahamri di hari pertama, kami bisa menikmati perjalanan pengetahuan tentang negeri ini. Kesan hari pertama sangat indah dan menyenangkan. Seindah cinta di selat Malaka, seharu kasih kepada Shah Alam dan Semegah paras Mesjid Biru.

 

Muhammad Ulil Ahsan Arif, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang masih duduk di semester enam Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Cina untuk We Cudai – Part I

 Sobat Lontara yang pernah membaca cuplikan epos besar La Galigo pasti kenal dengan tokoh yang satu ini. I We Cudai alias Daeng Risompa, putri bungsu dari raja Ale Cina adalah seorang wanita yang amat cantik namun tinggi hati. Ulahnya menolak lamaran Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu menimbulkan banyak sekali masalah, bahkan Ia tega membiarkan kerajaan Cina terbakar oleh api. Dimanakah sebenarnya letak negri Cina tempat Putri We Cudail? Apakah Cina yang dimaksud merupakan nama sebuah daerah di Sulawesi Selatan atau  justru –sesuai kepercayaan awam– merujuk kepada negri Tiongkok di Asia Daratan?

Gambaran Robert Wilson terhadap Putri We Cudai pada pementasan teater I La Galigo. Sumber: http://sriqadariatin.wordpress.com/

Para penulis dan peneliti sejarah lokal mayoritas sepakat untuk ‘meletakkan’ Ale Cina pada sebuah wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Selatan. Menurut tradisi setempat, kerajaan Ale Cina yang terbagi dua itu berada di sebelah timur Teluk Bone dan di sebelah barat lembah Cenrana. Istana La Tanete tempat Putri We Cudai bersemayam terletak di situs bukit Allangkanangnge ri La Tanete (Pammana, Wajo Selatan). Dataran rendah yang subur ini diyakini sebagai tanah air Suku Bugis (Tana Ugiq), yang namanya diambil dari Opunna Cina (ayah We Cudai), La Sattumpugiq. Penemuan-penemuan benda-benda bersejarah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mulai dihuni dan berperadaban sekitar tahun 1200-1400 Masehi. Setelah itu, tingkat kepentingan wilayah ini mulai menurun dan akhirnya ditinggalkan sama sekali pada abad ke-17.

Peristiwa-peristiwa dalam kisah La Galigo, oleh Christian Pelras, dianggap terjadi pada periode peralihan antara “zaman perunggu-besi” (bronze-iron age), waktu penduduk mungkin masih berpuak-puak, hingga zaman sejarah yang kita kenal berdasarkan naskah lontaraq attorioloang. Rentang waktu yang entah kapan dimulainya tersebut berakhir ketika Sulawesi Selatan memasuki zaman kerajaan. Pelras mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah hingga abad ke-15 dan meyakini bahwa sumber-sumber cerita lisan maupun tulisan La Galigo terjadi pada kurun waktu tersebut. Umur temuan arkeologis di Allangkanangnge ri La Tanete dianggap sesuai dengan kronologis sejarah, karena tepat setelah tahun 1400-an kerajaan-kerajaan yang disebut di dalam La Galigo (ex: Luwu, Cina) kehilangan pengaruh seiring bermunculannya kerajaan-kerajaan Bugis yang lebih muda (Bone, Soppeng, Wajo). Bukti berupa nama, penyebutannya di dalam lontaraq, serta artefak-artefak kuno dianggap cukup membuat Pammana sebagai lokasi kerajaan Ale Cina.

Menariknya, ada sebagian penggemar konspirasi yang ‘meletakkan’ negri Ale Cina di Asia Daratan. Tak puas dengan teori “Cina = Pammana”, mereka menghubung-hubungkannya dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan logam (nekara, kapak corong) dan jalur perdagangan laut. Fakta bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat penemuan keramik Cina kuno terbesar di Indonesia tentunya menarik; hubungan seperti apakah yang terjalin antara daerah ini dengan negri Sang Putra Langit nun jauh di sana? Hmmm… membuat penasaran ya? Katanya, kebudayaan logam bangsa Indonesia dibawa oleh orang-orang Austronesia dari Cina Bawah (Yunnan) kemudian menyebar ke kepulauan nusantara. Adakah kaitannya dengan We Cudai dan asal-usul penghuni Sulawesi Selatan?

Team kami menghimpun beberapa alasan mengapa “Cina”-nya Putri We Cudai seharusnya terletak di Asia Daratan, bukan di semenanjung Sulawesi Selatan. Tidak berarti kemudian kami melawan teori Cina = Pammana lho, kami hanya sekedar bertujuan untuk memberikan balancing opinion. Yuk, simak satu per satu!

  • Riwayat Kelantan tentang Suwira Gading dan Negri Annam

Riwayat Kelantan memegang kunci penting sebagai patokan kita dalam menentukan lokasi geografis Ale Cina serta prakiraan zaman berlangsungnya “Abad La Galigo”. Data yang kami dapat ini bersumber dari tulisan Abdullah Nakula, seorang sejarawan Melayu yang membedah riwayat Kelantan. Riwayat Kelantan mengisahkan seorang panglima bernama Suwira Gading yang bersama dengan Raja Dewa Muda Anak Tok Raja Jawa (Raja Sanjaya) berlayar menuju Giao Chi (ibukota Annam, sekarang menjadi kota Hanoi) untuk memerangi orang-orang Cina. Bangsa Yuwana mendiami Annam, negara yang kini bernama Vietnam. Selama berabad-abad Annam menjadi bagian dari provinsi sebelah selatan kekaisaran Tang dan mengalami Cinaisasi dari segi kebudayaan. Bangsa Yuwana sengaja memanggil bantuan Suwira Gading dan Sanjaya untuk membebaskan mereka dari bayang-bayang Kekaisaran Tang.

Koleksi Keramik Cina Kuno yang tersimpan di Museum Balla Lompoa, Gowa

Sekitar tahun 760 dan 762 Masehi, dua kali Ngo Sri Voung Ngan duta dari Annam datang menghadap ke Medang Bhumi (Kelantan). Dihadapan Sri Vijayandraraja Ia memohon bantuan tentara untuk membebaskan negri mereka. Menurut Abdullah Nakula negri Annam inilah yang kemudian dilambangkan dengan Putri We Cudai. Selama lima tahun diatur siasat untuk membebaskan Putri We Cudai dari penjajahan Cina, hingga kemudian pada tahun 767 berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Sanjaya dari Jawa, Sang Satiaki Satirta dan Suwira Gading. Beberapa bulan sebelum keberangkatan, sejumlah pasukan dari Laos dan berbagai wilayah di Kepulauan Melayu lainnya turut pula menggabungkan diri dalam barisan.

Kemudian dikisahkan pula bagaimana 3.000 orang tentara menyamar sebagai pedagang dan berlayar menggunakan perahu perdagangan ke kota Giao Chi. Pada malam hari mereka keluar dari tempat persembunyian dan bersama dengan bangsa Yuwana menyerang tentara Cina. Prajurit lainnya menyusul dengan berlayar di atas 5.700 kapal, mereka diibaratkan berlayar dalam formasi yang bentuknya bagaikan deretan pulau yang bergerak menuju ke Timur. Rombongan kapal tersebut menyeberangi Teluk Serendah Sekebun Bunga (Teluk Siam) terus menuju ke kota Giao Chi. Disebutkan pula kehadiran prajurit bergajah dan berkuda yang muncul dari arah pegunungan menuju ke ibukota. Pertempuran berlangsung dengan dahsyat, hingga pada akhirnya ibukota Gioa Chi jatuh setelah berperang selama enam bulan.

Riwayat Kelantan merupakan salah satu tradisi yang menyebutkan nama tokoh Sawerigading dan lokasi Ale Cina dengan pasti. Berita penyerangan ini pun dimuat di dalam beberapa kronik penjelajah, seperti yang dicatat oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 774 dan 787 Masehi. Jika pendapat di atas benar, maka Ale Cina pastilah berada di negri Annam, dan pelayaran Sawerigading terjadi sekitar abad ke-8 ketika Annam masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Tang.

Periode sejarah tersebut bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Sriwijaya (Senrijawa dalam La Galigo) di Sumatera Selatan. Prasasti Ligor di Semenanjung Melayu menjadi bukti bahwa Sriwijaya berkuasa atas wilayah itu hingga tahun 775 Masehi. Ligor dijadikan pangkalan untuk menyerang Kamboja dan Campa. Kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung Melayu kelak dipatahkan oleh tentara Mataram Kuno dari Bhumi Jawa, yang diisyaratkan dengan kehadiran Raja Sanjaya oleh riwayat Kelantan. Penaklukkan Melayu dan Campa oleh Raja Sanjaya dengan bantuan Suwira Gading diabadikan pula dalam Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuno dari abad ke-16.

  • Rute Pelayaran Sawerigading ke Negri Cina

Mari sama-sama kita perhatikan rute pelayaran Sawerigading ke Ale Cina! Sumber rekonstruksi rute ini diambil dari buku Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo karya Prof. Nurhayati Rahman.

Rekonstruksi Perjalanan Sawerigading ke Negri Cina. Gambar oleh Maria Yohana Kristyadewi

Sawerigading yang bergelar Opunna Wareq sudah terbiasa berlayar, menjelajahi berbagai macam negri dan pulau di nusantara, bahkan hingga ke Majeng (negri kematian). Sawerigading berangkat dari Ale Luwuq dengan perahu raksasa Welenrenge beserta banyak perahu pengiring lainnya. Kurang lebih lima belas malam setelah meninggalkan Ale Luwuq, rombongan Sawerigading bertemu dengan perompak Banynyaq Paguling dari Maccapaiq (Majapahit?). Tujuh hari kemudian rombongan mereka bertemu dengan La Tupu Soloq To Apunge, sembilan malam kemudian dengan La Tuppu Gellang (berperang selama 3 malam), tiga hari kemudian bertemu La Togeq Tana, sembilan malam kemudian bertemu La Tenripula, sembilan malam kemudian bertemu La Tenrinyiwiq To Malaka, dan puluhan malam kemudian bertemu dengan Settia Bonga Lompeng Ri Jawa Wolio (Buton).

Setelah berhasil mengalahkan seluruh musuhnya, tujuh malam kemudian Sawerigading dan rombongannya mendarat di negri Wewang Nriwuq, yang lokasinya berada di Teluk Mandar/Selat Makassar. Wewang Nriwuq merupakan salah satu dari trio kerajaan Manurung di muka bumi, dengan Tejjoq Risompa sebagai pemegang kedatuannya. Secara geografis kerajaan ini berada di sebuah teluk besar sebelah barat Ale Luwu, sebagaimana Tompoq Tikkaq berkuasa atas sebelah timurnya. Tejjoq Risompa yang tiada lain ialah paman Sawerigading menyambut kemenakannya tersebut dengan senang hati. Sawerigading kemudian melanjutkan pelayaran hingga Ia bertemu dengan I La Pewajoq yang baik hati, sang penguasa Pao (Davao, Filipina Selatan).

Letak Aleluwu dan Alecina Menurut Teori Pammana

Berdasarkan deskripsi I La Pewajoq, Ale Cina ternyata masih nun jauh di sana letaknya! Kerajaan tersebut diapit oleh negri Sabbang Mparu dan Baebunta. Sawerigading masih harus berlayar berpuluh malam lagi hingga bertemu samudera, berhadapan dengan “perempatan” yang terbentuk oleh belahan arus sungai di laut, hingga Ia menemukan sungai yang banyak ditumbuhi oleh pohon asana. Itulah Ale Cina.

Perjalanan ke Ale Cina memakan waktu yang lama karena luarbiasa jauh jaraknya. Dapat dibayangkan, jika kita berpegang teguh dengan teori yang mengatakan bahwa Cina terletak di Pammana, Kab. Wajo sekarang ini, maka pelayaran Sawerigading di atas hanya perjalanan fiktif belaka mengingat jarak pelayaran dari Luwu ke Pammana tidaklah sejauh gambaran tersebut. Meskipun cerita La Galigo memiliki beragam versi, namun perjalanan panjang  dari Ale Luwu menuju ke Ale Cina sudah mengendap dalam imajinasi masyarakat Bugis klasik. Episode ini merupakan peristiwa sentral karena menggambarkan kesengsaraan Sawerigading menggapai cintanya yang jauh di ujung samudera.

Tahta Kerajaan Annam. Sumber: http://www.royalark.net/Vietnam/annam.htm

Ada beberapa hal menarik yang terungkap melalui pelayaran Sawerigading. Pertama; dari Luwu Ia berlayar ke selatan, lalu merubah haluannya (setelah melalui Selat Selayar) ke utara hingga akhirnya mendarat di Wewang Nriwuq (Teluk Mandar). Sebelum sampai di Barat (baca: Wewang Nriwuq) Ia sudah mengalahkan tujuh penguasa laut dari berbagai daerah yang berlayar di Teluk Bone (di antaranya bajak laut Jawa, Malaka, dan Buton). Dari sana Ia mengarungi Selat Makassar menuju utara, sampai bertemu dengan kapal penguasa Davao di Laut Sulawesi. Perjumpaan dengan penguasa Davao yang letaknya di pulau Mindanao ini mengindikasikan bahwa Sawerigading melanjutkan pelayaranannya ke arah utara.

Kedua; setelah mendapatkan arahan mengenai lokasi Ale Cina, Sawerigading terus berlayar sampai menemukan daerah berbukit-bukit namun subur serta di dalamnya mengalir sungai-sungai dengan banyak pohon asana. Asana (Pterocarpus indicus) alias kayu narra merupakan sejenis pohon kayu yang endemik di kawasan hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat ditemukan mulai dari Burma selatan, Kamboja, kepulauan Asia Tenggara, Pasifik barat, bahkan hingga Cina selatan. Daerah Annam (Indocina) sampai hari ini pun masih kaya dengan kayu yang kuat dan awet sebagai bahan furnitur ini. Kayu narra banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat alat musik dan konstruksi bangunan. Kerajaan Cina yang terkenal dengan ukiran-ukiran serta kemampuan mereka di bidang arsitektur menjadikan provinsi Annam sebagai gudang alam yang berlimpah kayu narra.

Ketiga, perihal kondisi alam Annam. Berdasarkan data terbaru (2011) dari Index Mundi terkait geografi Vietnam, 40% wilayah negara ini terdiri atas perbukitan, 42% terdiri atas hutan tropis, dan sisanya adalah dataran rendah. Bagian utara negri ini (yang berbatasan dengan Cina) terdiri dari dataran tinggi dan delta Sungai Merah (Song Hong). Sungai Mekong yang terkenal itupun juga mengaliri bumi Vietnam, dari utara ke selatan. Ale Cina yang dialiri oleh tujuh sungai dan daratannya terdiri atas negri berbukit-bukit indah sempurna sekali untuk diletakkan di Annam. Lebar Sungai Merah di Vietnam amat sangat memungkinkan digunakan sebagai tempat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh berbagai macam pedagang dari mancanegara.

Logika arah pelayaran Sawerigading menuju barat-utara serta informasi mengenai spesies tumbuhan dan bentang alam Annam ternyata 90% cocok dengan deskripsi tentang Ale Cina di dalam naskah La Galigo! 

Selanjutnya… Mencari Cina untuk We Cudai – Part II