Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Passompeq Sulawesi Selatan di Timor Leste, Amerika Serikat, dan Singapura (Part 2)

Seberapa besar kesempatan seorang pemuda dari Makassar yang ikut Pertukaran Pelajar ke luar negri untuk bertemu dengan seorang asing pakar navigasi pelayaran ala suku Bugis?

Ketika terpilih dari sekian ribu pelajar SMA se-Indonesia untuk mendapat beasiswa ke Amerika Serikat selama setahun, bayangan saya akan negara adidaya itu adalah Patung Liberty, Presiden Bush, dollar, dan Hollywood. Saya tidak pernah membayangkan akan ditempatkan di sebuah kota kecil “terangker di Amerika” bernama Athens yang lokasinya berada di pelosok tenggara negara bagian Ohio. Saya tidak pernah membayangkan akan bertemu banyak sekali orang dan keluarga Indonesia yang berdomisili di sekitar Ohio University. Saya juga bahkan tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan sesosok pria bule setengah baya berkebangsaan Amerika yang fasih berbicara dalam Bahasa Bugis.

Bersama dengan sesama exchange students di Malam Kebudayaan

Adalah Bapak Gene Amarell, dosen di bagian Southeast Asian Studies di Ohio University, pria yang saya maksud fasih berbahasa Bugis tadi. Selintas tidak ada yang aneh dari bapak Gene. Beliau tergolong sehat untuk orang seusianya. Saya sering melihat beliau bersepeda dari rumah ke kampus karena kami tinggal di bukit yang sama. Pertama kali bertemu dengan beliau ialah ketika saya menemani host family saya berbelanja di toko bahan makanan organik. Orang tua host yang ternyata sudah pernah memperkenalkan diri saya sebagai seorang bocah pertukaran pelajar dari Makassar (sebelum tiba di Athens) dengan semangat mengajak saya mendekati Pak Gene. Seutas senyum terekah dari wajah cerah Pak Gene yang dengan ramah menyapa, “Aga kareba?”.

Pak Gene

Terus terang saya shock; disapa dengan aga kareba oleh seorang pria tua (bule pula) di negri Paman Sam? Wow, what a surprise! Pikir saya saat itu. Sekaligus tersanjung sebenarnya, betapa tidak, bahasa nenek moyang saya bisa menyeruak melintasi batas wilayah negara dan diucapkan oleh orang Amerika ini. Pak Gene, demikian sapaan saya kepada beliau, ternyata pernah tinggal lama di Sulawesi Selatan, tepatnya di Pulau Balobaloang. Beliau mengadakan riset mengenai traditional knowledge masyarakat lokal terkait pelayaran sederhana mereka mengarungi samudera. Bugis Navigation merupakan karya besar beliau di bidang antropologi dan bahari yang memaparkan data-data penelitian secara seksama.

Selain Pak Gene, ada satu lagi tokoh yang membuat saya terkagum-kagum dengan ke-Sulawesi Selatan-annya. Nama beliau ialah Syamsi Ali (jika ditulis dalam versi Bahasa Inggris akan menjadi Shamsi Ali), Imam besar Masjid Al-Hikmah, New York. Terlahir dengan nama Utteng Ali, Ia merupakan putra asli Bulukumba yang sudah sejak tahun 1996 menetap dan menjadi pembina kaum muslimin Indonesia di Amerika Serikat. Pribadi Imam Syamsi Ali yang terbuka, ramah dan progresif ini membuatnya dipercaya untuk memangku jabatan Imam besar di masjid terbesar New York dan diamanahi sebagai Director of The Jamaica Muslim Center. Ia juga dipuji karena langkahnya membina interfaith dialogue dengan komunitas Kristen dan Rabbi lokal.

Beliau yang fasih berbicara dalam Bahasa Bugis, Indonesia, Arab, Urdu dan Inggris ini membuat gebrakan pasca peristiwa 9/11 dengan membuka kelas-kelas pengajaran Islam untuk warga Amerika Serikat yang skeptis terhadap agama Islam. Suatu kehormatan yang besar dianugerahkan kepada beliau ketika Presiden George W. Bush mengundang ustad ini mewakili kaum muslim di Amerika melakukan safari doa di New York dan bahkan bersama-sama meninjau reruntuhan WTC. Saat ini Imam Syamsi Ali membawahi sekitar 800.000 jamaah kaum muslimin, dimana 2.000 di antaranya berasal dari Indonesia. Pada tahun 2006 Imam Syamsi Ali mendapatkan penghargaan dari New York Magazine sebagai salah satu dari tujuh tokoh rohaniawan paling berpengaruh di New York.

Imam Syamsi Ali

All People Initiatives, sebuah organisasi Nasrani yang bergerak di bidang pengumpulan informasi mengenai imigran-imigran di wilayah New York pernah mengeluarkan selebaran berisi data-data mengenai pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan di Amerika. Sejak awal tahun 1990-an, banyak perantau dari Sulawesi Selatan yang hijrah ke sana. Tekanan politik serta kekangan kebebasan di negara asal yang membuat mereka ingin mencari penghidupan di benua Amerika. Kebanyakan dari pendatang Bugis ini bermukim di area Elmhurst, Corona, dan Woodside di sekitar Queens. Tahun 2007 lalu, diperkirakan ada sekitar 70 keluarga Bugis di New York.

Ada teori unik yang menyebutkan kehadiran budaya dan orang Bugis di Amerika ternyata sudah berlangsung jauh sebelum ekspedisi Cheng Ho atau klaim Colombus. Di dalam buku “Ayam Jantan Tanah Daeng” disebutkan bahwa Museum Bahari Jakarta merekam bukti perahu pinisi adalah penjelajah dunia yang cikal-bakalnya sudah ada pada abad ke-7. Sebuah bangkai pinisi ditemukan di pesisir Acapulco, Mexico, dimana kayunya menyerupai kayu yang tumbuh di Teluk Bone. Masih di dalam buku yang sama, dikisahkan bahwa Andi Mappanyukki (Raja Bone) memaparkan bahwa nama Amerika berasal dari para pelaut Bugis yang tengah berteriak memohon angin bertiup saat mereka terombang-ambing di tengah lautan. Setelah berulang kali meneriakkan “ammirikko anging!” barulah angin besar datang dan mendamparkan mereka di daratan Amerika. Inilah yang kemudian dicatat oleh pelaut Barat yang kebetulan lewat sebagai nama benua baru tersebut.

Pikiran kita yang sejak kecil dijejali oleh teori bahwa Amerika berasal dari nama seorang wartawan Italia (Amerigo Vespucci) pasti akan langsung menolak teori yang tak punya dasar ilmiah itu. Namun bayangkan, jika ratusan tahun lalu para pasompeq Bugis sudah pernah berlayar hingga Madagaskar, Australia, dan kepulauan Pasifik, kenapa tidak mungkin bagi mereka untuk berlayar sampai benua Amerika? Ekspedisi Phinisi Nusantara dari Tanah Beru (Bulukumba) ke Vancouver, Kanada pada tahun 1986 membuktikan bahwa teknologi kapal kayu ala tradisi lokal pun berjaya melawan keganasan samudera raya.

Penulis di acara Indonesian Night 2008, Ohio University

Ketangguhan, keinginan yang keras, serta harapan untuk mengejar kemuliaan diwariskan oleh Sawerigading kepada putra-putri Sulawesi Selatan. Jika dulu Batara Lattuq berkeliling nusantara dan Sawerigading berlayar menuju Cina, maka di abad ke-21 ini migrasi Bugis ke Amerika lah yang semakin lama semakin meningkat. Entah dengan alasan untuk menuntut ilmu, menyiarkan agama, mencari peruntungan ekonomi, menghindari rasa malu atau lainnya. Para pasompeq dari Sulawesi Selatan ini bermukim di “New World” untuk memulai kehidupan baru sambil terus mengarahkan mata ke kampung halaman dengan penuh kerinduan.

 

Referensi:
http://www.masjidalhikmahnewyork.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79&Itemid=90&lang=in
http://www.shamsiali.com/
http://www.bcnychurchplanting.org/uploaded_files/Bugis%20Profile.pdf

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Passompeq Sulawesi Selatan di Timor Leste, Amerika Serikat, dan Singapura (Part 1)

Pelaut-pelaut Sulawesi Selatan ternyata tidak hanya jago merambah nusantara! Kemampuan lintas-budaya mereka bukan hanya mitos, melainkan sudah teruji sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Baca pengalaman penulis yang menyaksikan langsung jejak para pasompeq ini di tiga negara…

Patung Bunda Maria (Nossa Senhora de Fatima) di Pante Macassar. Sumber: Wikipedia

Negara yang dulunya merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia ini tidak familiar sebagai destinasi turisme internasional. Padahal, ada banyak hal menarik lho dari Timor Leste. Teman-teman tidak perlu jauh-jauh pergi ke Brazil untuk mandi sinar matahari di Rio de Janeiro atau menziarahi patung raksasa Yesus. Pantai pasir putih yang indah dan patung Christo Rei di Timor Leste tidak kalah cantiknya, bahkan cuma dua jam saja via pesawat dari wilayah NKRI. Eksotisme budaya dan Bahasa Tetun yang banyak dipengaruhi oleh unsur Portugis pun selintas mengingatkan kita akan Pidgin atau Bahasa Inggris campuran yang banyak digunakan penduduk keturunan Afrika (mullato) di Kepulauan Karibia dan Jamaica. Bagi penulis yang lahir dan menghabiskan enam tahun pertama dalam kehidupannya di Timor Leste, yang paling menarik ialah keberadaan daerah bernama Pante Macassar di pesisir sebelah barat negara ini.

Saudara-saudara penulis di depan kantor gubernur Dili, Timor-Timur (1995)

Pante Macassar terletak di distrik Ambeno. Lokasinya tidak begitu jauh dari Dili, ibukota Timor Leste. Daerahnya tergolong subur untuk pertanian dibanding wilayah lain di Timor-Timur yang kering. Namanya pasti mengundang tanda tanya; kok bisa sih sebuah pulau nan jauh di timur nusantara mencatut nama daerah di Sulawesi Selatan? Rupanya pendatang dari Makassar sudah akrab dengan pesisir Timor sebagai jalur transit mereka menuju Marege. Marege adalah julukan orang Makassar untuk Australia Utara yang merupakan pusat perburuan teripang. Laut Timor menjadi gerbang mereka menuju perairan Marege. Para pemburu teripang dari Makassar ini kemudian membangun pemukiman-pemukiman sementara di pesisir pulau, menunggu angin dan musim yang cocok untuk menangkap hewan laut itu.

Kehadiran mereka sudah tercatat sejak zaman Portugis berkuasa atas Timor –Makassar memiliki hubungan yang jauh lebih akrab dengan pedagang Portugis ketimbang terhadap orang-orang Belanda– dan terus berlanjut hingga proses integrasi Timor-Timur ke dalam Republik Indonesia (1976-1999). Di periode kedua, kebanyakan para pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar, Bugis, dan Mandar) bekerja sebagai pegawai negri maupun pedagang.

Para pendatang ini sejak abad ke-17 telah berasimilasi dengan penduduk lokal. Beberapa kata dalam Bahasa Tetun dapat dijadikan bukti linguistik akan simbiosis para pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan dengan masyarakat lokal di Bumi Lorosae. Ambil contoh, lipaq dalam Bahasa Tetun yang berarti sarung konon diambil dari Bahasa Bugis. Pisang Raja yang manis rasanya disebut dengan nama Pisang Mandar, bisa jadi karena dulu komoditas ini banyak diperdagangkan oleh para pelaut Mandar. Tidak hanya itu, secara kultural orang Timor dan orang Makassar pun terikat. Sebuah cerita rakyat lokal menyebutkan bahwa Pulau Timor muncul dari seekor buaya dan manusia pertama yang meninggalinya ialah seorang pemuda dari Makassar.

Alkisah, zaman dahulu Makassar mengalami kekeringan yang luarbiasa selama bertahun-tahun. Bencana alam ini diikuti pula oleh bencana sosial, dimana norma-norma adat mulai dilanggar oleh masyarakatnya sendiri. Suatu ketika, seorang pemuda di tengah perjalanannya mengambil air ke sungai yang nyaris kering melihat seekor buaya kecil tergelepar. Dengan penuh rasa kasihan, pemuda Makassar itu pelan-pelan mengangkat buaya malang tersebut menuju sungai.

Sebagai balas jasa atas kebaikan hati pemuda itu, sang buaya berjanji untuk mengantarnya ke sebuah tempat baru yang lebih baik untuk keturunannya. Sang pemuda Makassar setuju, Ia lalu naik ke atas buaya dan diantar menuju laut.

Di tengah-tengah lautan, sang buaya mendadak merubah dirinya sendiri menjadi sebuah pulau besar. Seorang gadis muncul dari dalam pulau tersebut, dan atas petunjuk gaib sang pemuda Makassar lalu menikahinya. Tempat si pemuda tadi pertama kali mendarat disebut dengan nama Pante Macassar. Pemuda tersebut dipercaya sebagai leluhur orang Timor. Hingga hari ini, masyarakat Timor juga masih menghormati buaya dan memanggil binatang tersebut dengan sebutan “abo feto” alias nenek. Pengultusan terhadap buaya ini mungkin memiliki hubungan dengan kebudayaan serupa di Sulawesi Selatan. Epos La Galigo sebagai tradisi lisan dan tulis tertua masyarakat Bugis mengisahkan, apabila para penghuni dunia bawah (Buriq Liu) hendak menampakkan diri ke dunia tengah (Alelino) mereka akan mengenakan larukkodo-nya (topeng gaib untuk penyamaran) dan mengambil bentuk sebagai buaya. Buaya disebut sebagai Punnae Wae alias pemilik air yang berkuasa atas sungai, ombak dan gelombang di lautan. Buaya dihormati sebagai penjaga alam dan penyeimbang kehidupan antara lingkungan dan manusia.

Peta Pante Macassar. Sumber: Wikipedia

Sekarang, Pante Macassar tidak ramai dihuni orang. Perantau dari Sulawesi Selatan pun mungkin sudah tak ada lagi. Penggunaan listrik di wilayah tersebut dibatasi hanya 5 jam setiap malamnya, plus tidak ada siaran televisi maupun bank. Meski demikian, jejak para pasompeq Sulawesi Selatan tetap abadi bersama namanya. Mungkin suatu hari nanti Sulawesi Selatan dan Timor Leste dapat menciptakan kerjasama “twin beach” antara Losari dan Pante Macassar seperti proyek twin city yang sedang marak. Sejarah dan budaya terbukti dapat melintasi batas-batas geografi politik yang diciptakan oleh manusia. Jika dulu nenek moyang kita menorehkan harmonisasi lewat budaya, kenapa kita tidak?

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Menyambut Tamu dengan Piper Betle

Teman-teman punya kakek atau nenek yang hobi nyirih? Atau masih ada keluarga di kampung halaman kalian yang demen mengunyah tanaman unik ini? Jika iya, berarti kalian adalah sedikit dari mereka yang beruntung dapat menyaksikan tradisi berumur ribuan tahun asli bangsa Asia Tenggara!

Eh? Serius nyirih udah berlangsung selama ribuan tahun?

Daun Sirih

Tanaman sirih (Piper betle) dan tradisi mengunyah sirih diperkirakan berasal dari Asia Selatan serta Asia Tenggara. Ada juga yang mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari Cina dan India lalu menyebar ke daerah Asia lainnya. Penemuan kotak sirih bersama benda-benda prasejarah seperti pisau besi, mata kail perunggu, gelang, anting-anting berbentuk hewan dan arca di Sulawesi Selatan menandakan bahwa sirih telah dikonsumsi oleh penghuni nusantara sejak Zaman Logam. Saat ini belum ada penemuan resmi yang membuka tabir asal-mula diolahnya sirih dalam peradaban manusia. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang berada di sekitar wilayah penyebaran daun sirih, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini telah hidup setua masyarakat itu sendiri.

Di Vietnam, aktifitas mengunyah sirih merupakan “pembuka” dalam setiap forum resmi. Demikian pula di dalam lingkungan adat Melayu. Umumnya sirih dikunyah dengan pinang, kapur, kapulaga ataupun gambir. Di daerah Bengali (India) daun sirih malah biasanya dicampur dengan tobacco atau rempah-rempah lainnya. Istilah sekapur sirih yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai kata pengantar atau sambutan pun lahir dari kebiasaan menyuguhkan daun sirih dan kapur untuk para tetamu.

Daun sirih yang dapat dengan mudah tumbuh di pekarangan rumah, kebun, hutan, atau bahkan di pinggir jalan membuat tanaman ini kosmopolitan bagi masyarakat Asia Tenggara. Dalam film berjudul Yamada The Samurai of Ayutthaya (2010) kita mengetahui bahwa bangsa Thai pun menganggap nyirih sebagai bagian dari kebudayaan klasik mereka. Berlatar zaman Kerajaan Ayuthayya, samurai Jepang bernama Yamada yang terluka ditolong oleh seorang gadis Thailand di sebuah desa kecil. Sambil menunggu lukanya sembuh, Ia diperkenalkan cara untuk mengonsumsi daun sirih (yang disebut sebagai ‘tradisi khas kami’) oleh seorang anak kecil lokal. Kontan saja karena perbedaan kebudayaan antara Jepang dan Thailand Ia merasa tidak nyaman ketika mengunyah sirih untuk pertama kalinya (dan menjadi bahan guyonan anak kecil tadi). Oleh bangsa-bangsa di Asia Tenggara, daun sirih dipercaya memiliki banyak khasiat; mulai dari  menyegarkan napas, membersihkan kotoran di tubuh, hingga sebagai obat perangsang.