Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Senrijawa dan Ale Luwu

Di sepanjang epos La Galigo, dalam berbagai episodenya, Senrijawa dikenal sebagai tempat keturunan langit (tomanurung) memerintah. Berulang kali Senrijawa disebut memiliki berbagai macam perkakas indah yang jauh lebih maju dari kerajaan lain di muka bumi, benda-benda yang berasal dari kerajaan ini menjadi perkakas pelengkap upacara-upacara adat. Hal ini mengundang pertanyaan; sebenarnya apa dan dimanakah letak Senrijawa ini?

Ayat-ayat dalam epos La Galigo ada yang menyiratkan bahwa Senrijawa merupakan kerajaan langit yang diperintah oleh dewata. Ia berada di dimensi yang sama dengan istana Sao Kuta Pareppaqe, kediaman Datu PatotoE (Sang Penguasa Nasib) di Boting Langiq atau kahyangan. Penduduk Senrijawa bukanlah manusia biasa, mereka merupakan mahluk halus yang dapat merasuk ke dalam tubuh manusia. Episode Ritumpanna Welenrengnge mengabadikan salah satu contoh peristiwa trans ini;

“…anak raja nan dirasuk orang Senrijawa

Memerlukan adat kehiyangan,

Dilengkapi adat bissunya.

Kuheran jua melihatnya,

Orang Ruallette agaknya

Turun ke bumi di ruang mahligaimu

Orang Senrijawa datang menjelma

Di tepi peterana nan kemilau,

Dilengkapi adat bissu dari Ruallette

Dipalukan gendang irama gembira dari Senrijawa”

Orang Senrijawa yang bertubuh halus ini memiliki adat-istiadat yang mulia sehingga mesti disambut dengan kelengkapan adat yang sesuai. Akan tetapi, di episode lain digambarkan bahwa Senrijawa merupakan salah satu kerajaan besar di muka bumi yang dikuasai oleh keturunan Manurung. La Mappanyompa, seorang anak angkat Sawerigading, menjadi pemimpin di sana. Berikut cuplikan dari episode Sawerigading dan I La Galigo ke Senrijawa yang diterjemahkan oleh almarhum Muhammad Salim (dikutip dari blog beliau: http://lontarakpappasang.blogspot.com/2010/02/ringkasan-isi-surek-galigo-sawerigading.html), menggambarkan bahwa Senrijawa terletak “di bawah”;

“Setiba Wé Tenridio di Boting Langi, dia mendengar dari bawah bunyi gendang besar, gendang upacara Wé Tenribali saudara La Mappanyompa, yang sedang mengadakan upacara di Senrijawa.

Wé Tenridio meminta kepada suaminya agar dapat diturunkan sebentar ke Senrijawa untuk menyaksikan upacara sepupunya itu, tanpa dapat dilihat oleh orang lain.

Setibanya di Senrijawa, dia melihat menyaksikan ada tiga ratus orang anakarung yang memegang peralatan bissu dan menyaksikan juga kecantikan Wé Tenribali saudara La Mappanyompa.

To Sompa Riwu meminta kepada Wé Tenridio agar dapat menampakan dirinya supaya dapat dilihat dan dijemput kedatangannya oleh Wé Tenribali.”

Dilarik ke-16 dan ke-17 dikisahkan bahwa Sawerigading dan putranya I La Galigo pergi menuju hajatan besar tersebut dengan menggunakan kapal.

“Puluhan ribu pendamping Sawérigading, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa adalah anak angkat Sawérigading.
Dalam pelayarannya ke Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya Ladunrung Séreng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang didapat.”

Nah, jika Senrijawa dapat dijangkau oleh pelayaran di samudera dengan kapal Sawerigading berarti lokasinya terletak di suatu titik di kepulauan Nusantara kita. Menurut Christian Pelras di dalam buku Manusia Bugis, Senrijawa yang disebut di dalam naskah La Galigo sebenarnya merujuk kepada Sriwijaya, sebuah negara adidaya pada masa itu yang rajanya diagungkan dan dituakan seakan-akan sebagai keturunan surgawi. Pendapat bahwa Senrijawa sebenarnya merupakan perubahan bentuk atas nama “Sriwijaya” dalam lidah Bugis kuno diamini oleh Prof. Fachruddin Ambo Enre di dalam buku Ritumpanna Welenrengnge serta Prof. Nurhayati Rahman dalam karyanya tentang episode “Sompeqna Sawerigading Lao ri Cina”. Sriwijaya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan bersahabat dengan Ale Luwu sehingga kedua kerajaan tersebut disebutkan tidak pernah terlibat konflik bahkan saling dukung-mendukung dan memuliakan pihak yang satu dengan pihak lainnya.

Patung Perunggu Peninggalan Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Sumber: www.thailandsworld.com/

Menurut sejarawan JJ Rizal, kerajaan Sriwijaya selain terkenal sebagai pusat ekonomi (karena menguasai Selat Malaka sebagai “tenggorokan” perdagangan dunia yaitu dari Cina hingga India dan Arabia), kedatuan tersebut juga terkenal sebagai pusat agama Buddha dan pusat ilmu hukum. Prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaannya banyak yang membahas mengenai aturan-aturan, struktur pemerintahaan serta ketentuan hukum. Sriwijaya dalam menancapkan kukunya terfokus pada kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara. Jalur perdagangan maritim Sriwijaya sudah sejak masa pembangunan Borobudur terbentang dari pedalaman Nusantara hingga ke Afrika lho. Jalur ini dikenal juga dengan sebutan “Cinnamon Route” alias Rute Kayumanis. Saking besarnya pengaruh Sriwijaya ini, bahkan diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia. Baru-baru ini penelitian DNA berhasil membuktikan bahwa penduduk Madagaskar memiliki kesamaan DNA dengan orang-orang di daerah Kalimantan (Dayak Ma’anyan) dan Sumatera.

Hubungan akrab yang terjalin antara Senrijawa dan Ale Luwu sekali lagi membuktikan bahwa pada zaman dahulu pun kekerabatan antardaerah telah berlangsung dengan penuh rasa persahabatan dan kedamaian. Indahnya perbedaan dalam kesatuan!

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Ketradisionalan Dalam Aksara Tradisional

Sejarawan sepakat bahwa peradaban besar di dunia ini lahir ditandai dengan penemuan sebuah sistem tulisan. Sistem tulisan itu sendiri beragam bentuknya, ada yang menggunakan satu lambang untuk mewakili tiap bunyi (fonetik) hingga yang bersifat silabis, dimana satu huruf melambangkan dua bunyi, jadi satu huruf terdiri dari dua lambang bunyi,  contohnya seperti huruf lontaraq, Jepang dan Korea. Sistem tulisan tersebut muncul sesuai dengan karakter, pengalaman dan kebutuhan bangsa yang menciptakannya.

Dewasa ini, aksara latin yang berasal dari peradaban Romawi Kuno merupakan sistem tulisan yang dipakai paling luas di dunia. Aksara ini menyebar di Eropa seiring dengan meluasnya pengaruh Kekaisaran Romawi Suci saat itu. Aksara latin juga merupakan aksara yang digunakan untuk menulis kitab suci Injil bagi penganut Kristiani. Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa ke daratan Asia, Afrika dan Amerika turut pula membawa sistem tulisan latin sehingga kemudian diadopsi sebagai sistem tulisan yang paling universal.

Setelah aksara latin, aksara Arab menduduki peringkat kedua dalam hal penyebaran. Aksara Arab tersebar ke berbagai penjuru benua sesuai dengan alur penyebaran agama Islam yang mewajibkan pengikutnya untuk memahami Kitab Alquran dalam bahasa aslinya. Setelah aksara Arab, aksara Cina menduduki peringkat ketiga. Aksara Cina ini selama berabad-abad digunakan untuk mendokumentasikan khazanah kebudayaan mereka dalam beragam naskah kuno. Seni kaligrafi yang lahir pertama kali dari aksara Cina juga membuatnya populer dan banyak digemari oleh berbagai bangsa di dunia. Di Anak Benua India juga sejak ratusan tahun yang lalu telah berkembang aksara Pallawa yang kemudian menginspirasi kelahiran berbagai macam aksara tradisional di Nusantara. Konon, menurut teh Sinta Ridwan pada tesis S3-nya (beliau adalah seorang filolog muda serta pendiri komunitas Aksakun (Aksara Sunda Kuno)) yang terjadi sebenarnya adalah leluhur kita menciptakan aksara tersebut atas inspirasi mereka sendiri, baru kemudian mendapat pengaruh dari unsur-unsur asing. Pendapatnya di atas menampik anggapan bahwa bangsa-bangsa di Nusantara adalah bangsa yang inferior karena bahkan untuk mencipta aksara saja harus mengambilnya dari India.

Naskah La Galigo dengan ilustrasi yang terdapat di Leiden, Belanda

Salah satu aksara tradisional yang hingga saat ini masih bestari di Nusantara ialah aksara lontaraq. Aksara lontaraq ini oleh Bapak Fachruddin Ambo Enre diperkirakan telah muncul sejak abad ke-14 Masehi. Dinamakan lontaraq karena awalnya aksara ini dituliskan di atas daun-daun lontar yang bentuknya menggulung panjang seperti pita kaset. Lontaraq yang berasal dari peradaban Bugis-Makassar juga bersinonim dengan istilah untuk menyebut naskah ataupun sejarah atas suatu kerajaan. Aksara lontaraq Bugis-Makassar menginspirasi terciptanya Lota Ende, sebuah sistem tulis tradisional sahabat-sahabat kita di Nusa Tenggara Barat.

Aksara lontaraq tidak mengenal tanda virama (huruf mati), sesuai dengan karakter bahasa Bugis. Memang bentuk bahasanya bersifat silabis, sehingga jika orang Bugis menyebut nama “Ahlul”, dia akan mengatakan “Ahelule”, Nur menjadi “Nureq”, “Ahmad” menjadi “Hemmaq” jadi tidak bisa dipaksa menjadi fonetis karena ini merupakan keunikan dari aksara Bugis itu sendiri. Memang bagi sebagian kalangan amatlah sulit dalam membaca dan menerjemahkan makna dari aksara ini, akan tetapi di situlah letak seni serta dituntutnya kehati-hatian seseorang di dalam menafsirkan naskah-naskah kuno. Selain itu, kekurangan ini ternyata justru menjadi kekayaan tersendiri bagi Suku Bugis karena menstimulus lahirnya tradisi sastra serupa elong maliung bettuana. Elong maliung bettuana yang berarti ‘lagu dengan arti dalam’ merupakan sebuah tradisi sastra dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut. Contoh penggunaan elong maliung bettuana seperti ini:

Gellang riwatang majjekko,

anre-anrena to Menre’e,

bali ulunna bale-e.

(Artinya: Tembaga melengkung di ujung (kail=meng), makanan orang Mandar (pisang=loka), kebalikan dari kepala ikan (ekor=iko). Melokaq iko, aku cinta kamu.)

Tuh, keren ya? Akan tetapi, di saat bangsa-bangsa asing yang memiliki aksara tradisional di Asia seperti Korea dan Jepang getol mengangkat identitas bangsanya sebagai bagian dari budaya dunia, eh di Indonesia justru terjadi kebalikannya. Sudah banyak pemuda Indonesia yang tidak memahami lagi bagaimana caranya menulis dan membaca aksara tradisional. Selain itu, dihapusnya mata pelajaran Bahasa Daerah oleh pemerintah semakin membuat generasi baru jauh dari aksara leluhur mereka. Beragam cara diupayakan untuk membuat aksara tradisional dapat menyesuaikan diri dengan trend zaman seperti menciptakan huruf-huruf yang mewakili bunyi-bunyi mati seperti yang terdapat di dalam aksara latin.

Belakangan ini di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan marak gerakan yang berusaha untuk memodifikasi aksara tradisional sehingga dapat mewakili bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam aksara mereka. Padahal, di Korea sana aksara Hanggeul yang tidak mengenal bunyi “r”, “d”, dan “g” dapat bertahan menghadapi globalisasi. Korea bersikukuh bertahan dengan aksara Hanggeul beserta segala keterbatasannya, bahkan memaksa budaya asing untuk tunduk dengan identitas mereka.

Bagi orang Korea, dunia tidak akan runtuh meskipun seseorang yang bernama “Reza” ditulis dengan “Leja” dalam aksara Hanggeul.

Keunikan aksara Henggeul adalah harga mati yang tidak dapat dilepaskan, apalagi untuk tunduk oleh paksaan internasional.  Ketidaksempurnaan bukanlah alasan bagi mereka untuk berhenti bangga atau mengganti warisan adiluhung nenek moyang tersebut.

Ada banyak cara lho yang dapat kita gunakan untuk melestarikan aksara tradisional tanpa harus menghilangkan warna khasnya. Kaligrafi, contohnya. Pembuatan grafiti, permainan komputer hingga motif kain yang mengambil corak aksara tradisional seperti yang saat ini sudah dilakukan terhadap aksara Hancaraka di Jawa adalah beberapa motivasi untuk usaha kreatif lainnya. Teman-teman, biarkanlah budaya kita menjadi tuan di negaranya sendiri 🙂

Referensi:

-“Ritumpanna Welenrengnge” oleh Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor.

-“Suara-Suara Dalam Lokalitas” oleh Nurhayati Rahman, La Galigo Press.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Cari Alam Melayu Gara-Gara Nusantara dan Pikir-Pikir Jawi

Kawasan kepulauan Asia Tenggara memang unik. Tidak hanya dari segi geografisnya yang berada di “ujung dunia” (dalam pandangan bangsa Eropa di Abad Pertengahan) namun juga kekayaan alam serta peradaban manusianya. Menurut kalangan sejarawan, Asia Tenggara adalah suatu area yang memiliki perjalanan sejarah panjang dan membentuk sebuah “hub” atau penghubung antara peradaban Cina dan India. Kawasan ini sudah sejak lama dipandang oleh dunia luar sebagai bagian dari bumi yang penuh misteri sekaligus “eksotis”. Tercatat dari tujuh kali pelayaran Sindbad Si Pelaut keliling berbagai tempat di dalam Kisah 1001 Malam, kira-kira dua hingga tiga di antaranya berada di wilayah kepulauan Asia Tenggara. Pelayaran pertama si pelaut asal Baghdad menuju Cina ini konon membuatnya terdampar di Pulau Sumatera yang saat itu dipimpin oleh seorang raja bernama “Mihrajan”, gelar yang identik dengan Maharaja di Sriwijaya.

Sebagai sebuah kawasan yang terletak di kawasan persimpangan kebudayaan-kebudayaan besar, bangsa di kepulauan Asia Tenggara dapat dikatakan tidak mengenal “pagar”. Kemampuan adaptasi dan adopsi mereka amat tinggi, terbukti dengan kayanya bahasa-bahasa Austronesia dengan serapan dari Bahasa Sansekerta, Arab, Persia, Cina, Inggris, Belanda, Perancis dan lainnya.  Pengaruh-pengaruh tersebut masuk karena peran hubungan maritim. Agama-agama mayoritas di kepulauan Asia Tenggara seperti Islam, Kristen, Hindu dan Buddha awalnya masuk melalui jalur perdagangan. Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara yang sudah tidak asing dengan kedatangan para pendatang ini mampu menerima hal-hal baru yang dibawa oleh bangsa-bangsa asing tersebut, seraya tetap mempertahankan identitas lokal mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mampu mengulen kedua unsur tersebut menjadi sebuah bentuk baru yang unik. Pakaian adat suku bangsa di tanah air menampilkan jejak visual yang paling kentara dari fenomena ini. Di Sulawesi Selatan, jas tutup yang biasanya digunakan sebagai pakaian adat kalangan pria terinspirasi dari pakaian Eropa. Demikian pula dengan kain muslin yang digunakan untuk Baju Bodo perempuan, ternyata kain ini dahulu dibawa oleh pedagang dari Arab dan India. Teknologi mengolah sutra juga dipelajari dari peradaban bangsa Tionghoa.

Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara sejatinya amatlah majemuk. Meskipun menunjukkan ciri-ciri asal-mula yang sama (jejak genetik Austronesia dengan percampuran dari bangsa Asiatik dan Melanesia), keragaman muncul dalam intensitas yang cukup tinggi. Dalam sebuah pulau saja, terdapat beberapa bahasa yang berbeda. Ada kalanya bahasa-bahasa tersebut saling berhubungan dekat satu-sama lain sehingga antarsuku masih dapat mengerti, namun ada kalanya bahasa-bahasa tersebut berbeda begitu jauh satu sama lain sehingga membutuhkan kehadiran bahasa ketiga sebagai lingua franca. Proses difusi juga terus-menerus terjadi: ada kalanya entitas budaya yang lebih kuat mempengaruhi budaya lain yang lebih lemah sehingga terjadi peleburan. Rasa keserumpunan sudah tertanam sejak penyebaran nenek moyang mereka dari Taiwan ribuan tahun yang lalu (Teori “Out of Taiwan”). Beberapa contoh kebiasaan seperti pertanian umbi-umbian, teknologi maritim, permainan rakyat “tari bambu” seakan-akan menjadi penghubung beragam bangsa yang hidup di Pulau Madagaskar hingga Pulau Paskah di Pasifik.

Kiranya, sebagai sebuah kawasan yang terdiri atas orang-orang serumpun, ada kah nama yang digunakan oleh bangsa-bangsa di kepulauan Asia Tenggara ini untuk memanggil diri sendiri maupun sepupu-sepupu di sekitar mereka? Salah satu rekaman yang memandang kepulauan Asia Tenggara sebagai satu-kesatuan dengan sebuah nama julukan ialah Kitab Pararaton yang mengisahkan sejarah Majapahit. Kitab ini menuturkan cita-cita Mahapatih Gadjah Mada yang ingin menaklukkan seluruh “Nusantara” di bawah naungan Majapahit.

“Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

(He, Gajah Mada Patih Amangkubumi, does not wish to cease his fasting. Gajah Mada: “If (I succeed) in defeating (conquering) Nusantara, (then) I will break my fast. If Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, are all defeated, (then) I will break my fast.”.)

Apakah Nusantara ini? Nusantara, berdasarkan tafsiran dari kitab itu sendiri, sejatinya adalah pulau-pulau yang berada di luar kekuasaan Majapahit. Secara etimologis Nusantara berasal dari kata “nusa” dan “antara” dalam Bahasa Kawi. Slamet Muljana, seorang sejarawan yang banyak menulis tentang Majapahit mengartikan kata Nusantara sebagai: “negara atau pulau lain, yakni negara di seberang laut atau negara di luar pulau Jawa.” Perlu dicatat bahwa jauh sebelum Gadjah Mada dan Majapahit, Prabu Kertanegara dari Singasari pernah mencetuskan istilah senada dengan nama “Dwipantara”. Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh sang raja pada tahun 1292 Masehi mencatatnya sebagai berikut:

“śrī mahārāja digwijaya ring sakalaloka mawuyū yi sakala dwīpantara.”

(Sri Maharaja was victorious in all the lands and subdued all the other islands)

Ketika Indonesia baru merdeka, istilah Nusantara kemudian digunakan oleh tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Muhammad Yamin untuk menekankan kesatuan dalam perbedaan yang merata di negara kepulauan ini. Nusantara diadopsi dan definisinya dikembangkan dengan luas, kali ini Pulau Jawa juga merupakan bagian dari Nusantara tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah Nusantara dipergunakan secara luwes dengan beragam kepentingan. Yang tadinya hanya meliputi daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka sekarang Nusantara juga meliputi negara serumpun seperti Malaysia dan Filipina. Tidak hanya itu, perkembangan studi antropologi dan genetika turut pula digunakan sebagai klaim untuk memperluas  cakupan Nusantara. Kini Nusantara terbentang dari Madagaskar hingga Hawaii, pulau-pulau yang dihuni oleh ras Austronesia dan sepupu mereka, bangsa Polynesia.

Peta yang menggambarkan wilayah klaim Majapahit. Sumber:  Wikimedia Commons

Akan tetapi, ternyata tidak semua orang menerima istilah Nusantara ini untuk menggambarkan masyarakat Indonesia dan serumpunnya. Banyak yang merasa keberatan dengan latar kesejarahan istilah Nusantara sebagai perwujudan niat Imperium Majapahit untuk menundukkan seluruh bangsa di bawah lambang kebesarannya. Istilah ini dianggap terlalu Jawa-sentris untuk Indonesia yang majemuk. Di Malaysia, istilah “Alam Melayu” digunakan sebagai sinonim untuk Nusantara. Bagi mereka pada dasarnya seluruh penghuni kepulauan Asia Tenggara ini masuk ke dalam dunia komponen besar yaitu Proto-Melayu dan Deutro-Melayu. Meskipun secara kultur berbeda, keduanya sama-sama berasal dari akar Melayu, yang konon jika ditarik maka sejatinya berasal dari Yunnan. Penggunaan terminologi “Melayu” bagi ras pribumi berkulit coklat ini kemudian dipopulerkan oleh Raffles dengan tambahan unsur baru: Islam. Sebagai catatan, istilah Melayu ini lahir dari perspektif kolonial Inggris yang cenderung mengklasifikasi penduduk jajahannya ke dalam kategori-kategori ras yang penuh dengan prasangka (prejudice). Penjelajah yang sekaligus seorang biologiawan dari Inggris bernama Alfred R. Wallace juga kemudian menggunakan istilah “Kepulauan Melayu” di dalam bukunya untuk menyebut Indonesia dan Malaysia. Sebagian pendukung istilah Alam Melayu percaya bahwa “Melayu” adalah kata yang paling tepat untuk menyimbolkan keserumpunan karena berdasarkan observasi mereka, dulu terdapat sebuah kemaharajaan maritim bernama Sriwijaya yang amat sangat berpengaruh di kepulauan Asia Tenggara. Sriwijaya inilah yang menjadi cikal-bakal kebudayaan Melayu.

Peta Tanah Jawi dan kedaulatan Aceh dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1838-1870) tersimpan di Arsip Turki Usmani Istanbul. Sumber: Republika

Nah, lain Nusantara, lain Alam Melayu maka lain pula dengan “Jawi”. Jawi ialah singkatan dari “Jaza’ir al Jawi” yang bermakna kepulauan Jawa. Zaman dahulu, pedagang Arab menggunakan terminologi Jawi untuk menyebut seluruh daerah di Asia Tenggara maritim.

Samathrah, Sholibis, Sundah, kullah Jawi.

(Sumatera, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa), ujar mereka dalam Bahasa Arab.

Istilah ini kemudian berkembang untuk menyebut sistem tulis bangsa Melayu yang diadopsi dari huruf Arab. Abjad Jawi ini dalam perkembangannya justru identik dengan kebudayaan Melayu, menyebar hingga Malaysia, Indonesia, Filipina Selatan, Thailand Selatan, Singapura, dan Brunei Darussalam. Seorang ulama masyhur asal Banten bahkan dijuluki Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Konon, mengapa bangsa Arab memukul rata seluruh kepulauan Asia Tenggara dengan nama Jawi disebabkan oleh sebuah komoditas perdagangan bernama kemenyan. Jenis kemenyan tertentu dalam Bahasa Arab disebut luban jawi (kemenyan Jawa), yang asal sebenarnya dari Sumatera. Oleh para pedagang Eropa luban jawi ini berubah nama menjadi La Benjawi, yang kemudian oleh pedagang Venezia diubah lagi menjadi La Benzoin, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris sebagai benzoin.

Akhirnya, sampailah kita pada sebuah penghujung. Istilah manakah yang layak digunakan untuk menyebut kesatuan rumpun masyarakat dan negara-negara di kepulauan Asia Tenggara ini? Apakah Nusantara yang beraroma kekuasaan Majapahit, Alam Melayu yang demikian luas tafsirannya, ataukah Jawi? Atau jangan-jangan, sebenarnya semua itu tidak perlu? Jawabannya: terserah anda. Dengan nama apapun kepulauan Asia Tenggara ini disebut, unsur-unsur keserumpunan budaya, bahasa, perjalanan sejarah, kesatuan leluhur serta kesamaan geografis akan selalu muncul. Pertanyaannya bukanlah dengan nama apa kita disebut, namun bagaimana pemaknaan kita terhadap keistimewaan-keistimewaan yang terdapat di dalam kawasan ini sendiri.

Kalau kata William Shakespeare dulu: “Apalah arti sebuah nama.”