Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Ketradisionalan Dalam Aksara Tradisional

Sejarawan sepakat bahwa peradaban besar di dunia ini lahir ditandai dengan penemuan sebuah sistem tulisan. Sistem tulisan itu sendiri beragam bentuknya, ada yang menggunakan satu lambang untuk mewakili tiap bunyi (fonetik) hingga yang bersifat silabis, dimana satu huruf melambangkan dua bunyi, jadi satu huruf terdiri dari dua lambang bunyi,  contohnya seperti huruf lontaraq, Jepang dan Korea. Sistem tulisan tersebut muncul sesuai dengan karakter, pengalaman dan kebutuhan bangsa yang menciptakannya.

Dewasa ini, aksara latin yang berasal dari peradaban Romawi Kuno merupakan sistem tulisan yang dipakai paling luas di dunia. Aksara ini menyebar di Eropa seiring dengan meluasnya pengaruh Kekaisaran Romawi Suci saat itu. Aksara latin juga merupakan aksara yang digunakan untuk menulis kitab suci Injil bagi penganut Kristiani. Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa ke daratan Asia, Afrika dan Amerika turut pula membawa sistem tulisan latin sehingga kemudian diadopsi sebagai sistem tulisan yang paling universal.

Setelah aksara latin, aksara Arab menduduki peringkat kedua dalam hal penyebaran. Aksara Arab tersebar ke berbagai penjuru benua sesuai dengan alur penyebaran agama Islam yang mewajibkan pengikutnya untuk memahami Kitab Alquran dalam bahasa aslinya. Setelah aksara Arab, aksara Cina menduduki peringkat ketiga. Aksara Cina ini selama berabad-abad digunakan untuk mendokumentasikan khazanah kebudayaan mereka dalam beragam naskah kuno. Seni kaligrafi yang lahir pertama kali dari aksara Cina juga membuatnya populer dan banyak digemari oleh berbagai bangsa di dunia. Di Anak Benua India juga sejak ratusan tahun yang lalu telah berkembang aksara Pallawa yang kemudian menginspirasi kelahiran berbagai macam aksara tradisional di Nusantara. Konon, menurut teh Sinta Ridwan pada tesis S3-nya (beliau adalah seorang filolog muda serta pendiri komunitas Aksakun (Aksara Sunda Kuno)) yang terjadi sebenarnya adalah leluhur kita menciptakan aksara tersebut atas inspirasi mereka sendiri, baru kemudian mendapat pengaruh dari unsur-unsur asing. Pendapatnya di atas menampik anggapan bahwa bangsa-bangsa di Nusantara adalah bangsa yang inferior karena bahkan untuk mencipta aksara saja harus mengambilnya dari India.

Naskah La Galigo dengan ilustrasi yang terdapat di Leiden, Belanda

Salah satu aksara tradisional yang hingga saat ini masih bestari di Nusantara ialah aksara lontaraq. Aksara lontaraq ini oleh Bapak Fachruddin Ambo Enre diperkirakan telah muncul sejak abad ke-14 Masehi. Dinamakan lontaraq karena awalnya aksara ini dituliskan di atas daun-daun lontar yang bentuknya menggulung panjang seperti pita kaset. Lontaraq yang berasal dari peradaban Bugis-Makassar juga bersinonim dengan istilah untuk menyebut naskah ataupun sejarah atas suatu kerajaan. Aksara lontaraq Bugis-Makassar menginspirasi terciptanya Lota Ende, sebuah sistem tulis tradisional sahabat-sahabat kita di Nusa Tenggara Barat.

Aksara lontaraq tidak mengenal tanda virama (huruf mati), sesuai dengan karakter bahasa Bugis. Memang bentuk bahasanya bersifat silabis, sehingga jika orang Bugis menyebut nama “Ahlul”, dia akan mengatakan “Ahelule”, Nur menjadi “Nureq”, “Ahmad” menjadi “Hemmaq” jadi tidak bisa dipaksa menjadi fonetis karena ini merupakan keunikan dari aksara Bugis itu sendiri. Memang bagi sebagian kalangan amatlah sulit dalam membaca dan menerjemahkan makna dari aksara ini, akan tetapi di situlah letak seni serta dituntutnya kehati-hatian seseorang di dalam menafsirkan naskah-naskah kuno. Selain itu, kekurangan ini ternyata justru menjadi kekayaan tersendiri bagi Suku Bugis karena menstimulus lahirnya tradisi sastra serupa elong maliung bettuana. Elong maliung bettuana yang berarti ‘lagu dengan arti dalam’ merupakan sebuah tradisi sastra dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut. Contoh penggunaan elong maliung bettuana seperti ini:

Gellang riwatang majjekko,

anre-anrena to Menre’e,

bali ulunna bale-e.

(Artinya: Tembaga melengkung di ujung (kail=meng), makanan orang Mandar (pisang=loka), kebalikan dari kepala ikan (ekor=iko). Melokaq iko, aku cinta kamu.)

Tuh, keren ya? Akan tetapi, di saat bangsa-bangsa asing yang memiliki aksara tradisional di Asia seperti Korea dan Jepang getol mengangkat identitas bangsanya sebagai bagian dari budaya dunia, eh di Indonesia justru terjadi kebalikannya. Sudah banyak pemuda Indonesia yang tidak memahami lagi bagaimana caranya menulis dan membaca aksara tradisional. Selain itu, dihapusnya mata pelajaran Bahasa Daerah oleh pemerintah semakin membuat generasi baru jauh dari aksara leluhur mereka. Beragam cara diupayakan untuk membuat aksara tradisional dapat menyesuaikan diri dengan trend zaman seperti menciptakan huruf-huruf yang mewakili bunyi-bunyi mati seperti yang terdapat di dalam aksara latin.

Belakangan ini di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan marak gerakan yang berusaha untuk memodifikasi aksara tradisional sehingga dapat mewakili bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam aksara mereka. Padahal, di Korea sana aksara Hanggeul yang tidak mengenal bunyi “r”, “d”, dan “g” dapat bertahan menghadapi globalisasi. Korea bersikukuh bertahan dengan aksara Hanggeul beserta segala keterbatasannya, bahkan memaksa budaya asing untuk tunduk dengan identitas mereka.

Bagi orang Korea, dunia tidak akan runtuh meskipun seseorang yang bernama “Reza” ditulis dengan “Leja” dalam aksara Hanggeul.

Keunikan aksara Henggeul adalah harga mati yang tidak dapat dilepaskan, apalagi untuk tunduk oleh paksaan internasional.  Ketidaksempurnaan bukanlah alasan bagi mereka untuk berhenti bangga atau mengganti warisan adiluhung nenek moyang tersebut.

Ada banyak cara lho yang dapat kita gunakan untuk melestarikan aksara tradisional tanpa harus menghilangkan warna khasnya. Kaligrafi, contohnya. Pembuatan grafiti, permainan komputer hingga motif kain yang mengambil corak aksara tradisional seperti yang saat ini sudah dilakukan terhadap aksara Hancaraka di Jawa adalah beberapa motivasi untuk usaha kreatif lainnya. Teman-teman, biarkanlah budaya kita menjadi tuan di negaranya sendiri 🙂

Referensi:

-“Ritumpanna Welenrengnge” oleh Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor.

-“Suara-Suara Dalam Lokalitas” oleh Nurhayati Rahman, La Galigo Press.

Categories
Comics Galigo Gallery

La Galigology Comic Series #3: “Kapan La Galigo Mulai Ditulis?”

Setelah sekian lama nggak ketemu dengan Meong Mpaloe dan Miko-Miko, di episode kali ini mereka ingin berbagi informasi tentang kapan La Galigo mulai dituliskan. Yuk simak penjelasan dari dua kucing legendaris ini!

to be continued…

Anggraeni Wulandari, seorang penggemar WWF, The Sims, dan Donkin Donuts. Gadis yang punya nama     beken Ren Midyardigan a.k.a. Xpica ini hobi menggambar dan main video game. Penuh bakat, Ia tak  banyak bicara dan mengekspresikan dirinya lewat gambar. Ingin tahu lebih banyak tentangnya silakan  kunjungi http://xpica.deviantart.com/

Categories
101 La Galigo Old Stuff Good Stuff

Review Buku “Ritumpanna Welenrennge” F. Ambo Enre

Jarang sekali ada anak muda abad 21 yang tertarik untuk membaca buku ini. Hmm… Melihat judul dan ketebalan halamannya aja udah bikin males. Apalagi bahasannya yang terkesan jadul, jelas bukan topik ringan yang bisa dijadikan bacaan sebelum tidur atau sembari nungguin bus di halte. Apa sih yang membuat buku ini menarik untuk dibaca?

Melestarikan kebudayaan Indonesia merupakan salah satu tujuan dari buku ini. Tidak heran, sebab hingga sekarang masih sangat sedikit buku yang membahas kisah I La Galigo, padahal karya sastra tersebut merupakan kisah asli leluhur bangsa Indonesia (murni tanpa unsur-unsur India, Cina, Eropa, atau Arab). Hebatnya lagi, epik ini sudah diakui sebagai epos terpanjang di dunia lho!

Buku Ritumpanna Walanrengge

Judul Buku      : Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo 
Penulis             : Fachruddin Ambo Enre
Penerbit           : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan           : I
Tahun Terbit    : 1999
Halaman           : iv + 706 halaman

Terdiri dari lima buah bab, buku yang ditulis berdasarkan disertasi Fachruddin Ambo Enre ini berusaha menelaah salah satu episode dalam La Galigo yang berjudul Ritumpanna Welenrennge. Episode ini merupakan salah satu cuplikan cerita yang paling luas dikenal di kalangan masyarakat Bugis umum, masyarakat tempat asal-muasal epos La Galigo.

Episode Ritumpanna Welenrennge (RW) atau “pohon Welenrennge yang ditebang” menceritakan tentang keinginan kuat Sawerigading untuk membuktikan keberadan adik kembarnya -We Tenriabeng- setelah mendengar keberadaan mengenai sang adik dari Pallawagauq, sepupunya yang menjadi raja di Tompo Tikkaq. Setelah berhasil mengetahui kebenaran cerita tersebut dan bertemu langsung dengan We Tenriabeng, Sawerigading jatuh cinta (uh oh!). Namun, berhubung karena mereka bersaudara, pernikahan tidak bisa dilangsungkan. We Tenriabeng pun menyuruh sang kakak untuk berlayar ke negri Cina menemui seorang putri yang kecantikannya mirip dengan dirinya. Untuk berangkat menemui putri Cina bernama We Cudai tersebut, Sawerigading bersama pengawalnya menebang pohon Welenrennge sebagai bahan pembuatan perahu.

Pada bab pendahuluan dari buku ini, diterangkan mengenai karya terdahulu yang sempat membahas dan usaha pengumpulan naskah I La Galigo. Adalah Th. S. Raffles yang dianggap memperkenalkan kisah ini kepada dunia luar melalui bukunya The History of Java yang diterbitkan pada tahun 1817. Selang setengah abad kemudian, barulah B.F. Matthes yang memulai pengumpulan dan penyalinan naskah I La Galigo dengan bantuan Colliq Pujie. Matthes berhasil mengumpulkan 26 buku yang kemudian diserahkannya ke Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG).

Usaha pengumpulan naskah juga dilakukan oleh Schoemann yang berhasil mengoleksi 19 buku yang kesemuanya merupakan naskah salinan. Semua buku tersebut kemudian dibeli oleh Perpustakaan Negra Prusia di Berlin. Usaha pengumpulan naskah yang paling luas bisa dikatakan diperoleh Rijksuniversiteits Bibliotheek (RUB) di Leiden, Belanda pada tahun 1920 melalui bantuan Prof. Dr. J.C.G Jonker. Dia berhasil mengumpulkan 67 buku tulis dan sebuah naskah lontar. Tujuh buah diantaranya adalah naskah asli dan sisanya berupa salinan. Naskah-naskah tersebut dikumpulkan selama masa jabatannya sebagai taal ambtenaar di Makassar antara tahun 1886-1896. Penelaahan isi I La Galigo dari segi sistem pelapisan masyarakat yang berlaku di kalangan masyarakat Bugis pertama kali diusahakan oleh H.J. Friedericy. Barulah selang puluhan tahun kemudian, Mattulada (Sejarawan asli dari Sulawesi Selatan) juga menelaah isi La Galigo sebagai sumber informasi sejarah perkembangan ketatanegaraan di kalangan orang Bugis.

Telaah naskah merupakan inti dari bab II buku ini. Penulis menggunakan tujuh naskah salinan episode RW berbeda. Sebuah naskah yang didapatnya dari Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara (YKSST) di Ujung Pandang, lima dari perpustakaan universitas (RUB) di Leiden, dan satu lagi langsung dari anggota masyarakat Sulawesi Selatan sebagai pelengkap. Penulis juga menceritakan kesulitannya dalam menelaah naskah-naskah tersebut, antara lain: perbedaan dan persamaan pada episode yang sama, penanda batas awal dan batas akhir masing-masing adegan dalam episode tersebut, serta pencarian naskah lain yang menjelaskan sebab dan akibat dari adegan-adegan yang terjadi dalam episode RW. Penulisan lontarak dan penggunaan kata-kata dalam ketujuh naskah yang sudah berumur ratusan tahun ini juga ikut ditelaah sebab dapat memberikan informasi mengenai kapan dan dimana kira-kira naskah tersebut dibuat ataupun disalin. Wuih, ribet ya!

Jika telaah naskah menjadi inti dalam bab II, telaah struktur kini menjadi perhatian utama dalam bab III. Mengapa RW dikategorikan sebagai sureq dan bukannya lontaraq? Dari sifatnya, sureq itu mengindikasikan sastra, sedangkan lontaraq mengindikasikan pustaka. Sureq dibaca sambil berlagu, sedangkan lontaraq tidak. Dari segi indikasi dalamnya, sureq berisikan cerita, sedangkan lontaraq menurut Cense adalah naskah tulis tangan yang biasanya berisi silsilah, catatan harian, atau kumpulan berbagai catatan, terutama yang menyangkut sejarah. Unsur yang memegang peranan penting dalam I La Galigo adalah ceritanya sebab jenisnya adalah puisi cerita yang memiliki rangkaian peristiwa kronologis yang memiliki akhir. Episode RW, misalnya, hanya merupakan sepotong episode, namun memiliki awal dan akhir sendiri. Setiap episode dalam I La Galigo sepertinya mengangkat tema yang berbeda-beda, meskipun ada juga yang memiliki tema yang sama. Mengenai latar, epidose RW kebanyakan berlatar tempat atau negeri. Tempat berpusat di istana Luwuq dan Wareq, Mangkuttu sebagai tempat pohon Welenrenng tumbuh, dan pelabuhan Luwuq sebagai pintu gerbang kerajaan tersebut. Negeri menjadi latar dari para pengawal yang diminta untuk menemani Sawerigading ke Cina, dan negeri yang rajanya diundang untuk menghadiri acara di Wareq. Mengenai bahasa dan periodus, I La Galigo banyak menggunakan kata yang tidak dipakai lagi dalam bahasa Bugis sekarang, seperti daramose = bantal seroja dan sinrangeng = usungan.

Selesai membahas telaah struktur, buku ini berlanjut ke bab IV yang merupakan bab kesimpulan. Di sini, penulis menyimpulkan uraian dan penjelasan yang telah dibahas dari bab I hingga bab III. Fachruddin Ambo Enre cukup bagus dalam menyusun bab ini sebab kesimpulannya dijabarkan melalui poin-poin yang memang menjadi intisari dari tiap babnya sehingga dapat dengan mudah dimengerti. Buku ini ditutup dengan bab V yang merupakan edisi naskah dan terjemahan dari episode RW.

Tertarik untuk membaca buku ini? Bukan merupakan topik sehari-hari yang menarik bagi kalangan anak muda memang, tapi dengan membacanya kita dapat semakin bangga akan kekayaan tradisi tulisan leluhur bangsa yang diwariskan kepada kita hingga hari ini.