Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Cari Alam Melayu Gara-Gara Nusantara dan Pikir-Pikir Jawi

Kawasan kepulauan Asia Tenggara memang unik. Tidak hanya dari segi geografisnya yang berada di “ujung dunia” (dalam pandangan bangsa Eropa di Abad Pertengahan) namun juga kekayaan alam serta peradaban manusianya. Menurut kalangan sejarawan, Asia Tenggara adalah suatu area yang memiliki perjalanan sejarah panjang dan membentuk sebuah “hub” atau penghubung antara peradaban Cina dan India. Kawasan ini sudah sejak lama dipandang oleh dunia luar sebagai bagian dari bumi yang penuh misteri sekaligus “eksotis”. Tercatat dari tujuh kali pelayaran Sindbad Si Pelaut keliling berbagai tempat di dalam Kisah 1001 Malam, kira-kira dua hingga tiga di antaranya berada di wilayah kepulauan Asia Tenggara. Pelayaran pertama si pelaut asal Baghdad menuju Cina ini konon membuatnya terdampar di Pulau Sumatera yang saat itu dipimpin oleh seorang raja bernama “Mihrajan”, gelar yang identik dengan Maharaja di Sriwijaya.

Sebagai sebuah kawasan yang terletak di kawasan persimpangan kebudayaan-kebudayaan besar, bangsa di kepulauan Asia Tenggara dapat dikatakan tidak mengenal “pagar”. Kemampuan adaptasi dan adopsi mereka amat tinggi, terbukti dengan kayanya bahasa-bahasa Austronesia dengan serapan dari Bahasa Sansekerta, Arab, Persia, Cina, Inggris, Belanda, Perancis dan lainnya.  Pengaruh-pengaruh tersebut masuk karena peran hubungan maritim. Agama-agama mayoritas di kepulauan Asia Tenggara seperti Islam, Kristen, Hindu dan Buddha awalnya masuk melalui jalur perdagangan. Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara yang sudah tidak asing dengan kedatangan para pendatang ini mampu menerima hal-hal baru yang dibawa oleh bangsa-bangsa asing tersebut, seraya tetap mempertahankan identitas lokal mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mampu mengulen kedua unsur tersebut menjadi sebuah bentuk baru yang unik. Pakaian adat suku bangsa di tanah air menampilkan jejak visual yang paling kentara dari fenomena ini. Di Sulawesi Selatan, jas tutup yang biasanya digunakan sebagai pakaian adat kalangan pria terinspirasi dari pakaian Eropa. Demikian pula dengan kain muslin yang digunakan untuk Baju Bodo perempuan, ternyata kain ini dahulu dibawa oleh pedagang dari Arab dan India. Teknologi mengolah sutra juga dipelajari dari peradaban bangsa Tionghoa.

Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara sejatinya amatlah majemuk. Meskipun menunjukkan ciri-ciri asal-mula yang sama (jejak genetik Austronesia dengan percampuran dari bangsa Asiatik dan Melanesia), keragaman muncul dalam intensitas yang cukup tinggi. Dalam sebuah pulau saja, terdapat beberapa bahasa yang berbeda. Ada kalanya bahasa-bahasa tersebut saling berhubungan dekat satu-sama lain sehingga antarsuku masih dapat mengerti, namun ada kalanya bahasa-bahasa tersebut berbeda begitu jauh satu sama lain sehingga membutuhkan kehadiran bahasa ketiga sebagai lingua franca. Proses difusi juga terus-menerus terjadi: ada kalanya entitas budaya yang lebih kuat mempengaruhi budaya lain yang lebih lemah sehingga terjadi peleburan. Rasa keserumpunan sudah tertanam sejak penyebaran nenek moyang mereka dari Taiwan ribuan tahun yang lalu (Teori “Out of Taiwan”). Beberapa contoh kebiasaan seperti pertanian umbi-umbian, teknologi maritim, permainan rakyat “tari bambu” seakan-akan menjadi penghubung beragam bangsa yang hidup di Pulau Madagaskar hingga Pulau Paskah di Pasifik.

Kiranya, sebagai sebuah kawasan yang terdiri atas orang-orang serumpun, ada kah nama yang digunakan oleh bangsa-bangsa di kepulauan Asia Tenggara ini untuk memanggil diri sendiri maupun sepupu-sepupu di sekitar mereka? Salah satu rekaman yang memandang kepulauan Asia Tenggara sebagai satu-kesatuan dengan sebuah nama julukan ialah Kitab Pararaton yang mengisahkan sejarah Majapahit. Kitab ini menuturkan cita-cita Mahapatih Gadjah Mada yang ingin menaklukkan seluruh “Nusantara” di bawah naungan Majapahit.

“Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

(He, Gajah Mada Patih Amangkubumi, does not wish to cease his fasting. Gajah Mada: “If (I succeed) in defeating (conquering) Nusantara, (then) I will break my fast. If Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, are all defeated, (then) I will break my fast.”.)

Apakah Nusantara ini? Nusantara, berdasarkan tafsiran dari kitab itu sendiri, sejatinya adalah pulau-pulau yang berada di luar kekuasaan Majapahit. Secara etimologis Nusantara berasal dari kata “nusa” dan “antara” dalam Bahasa Kawi. Slamet Muljana, seorang sejarawan yang banyak menulis tentang Majapahit mengartikan kata Nusantara sebagai: “negara atau pulau lain, yakni negara di seberang laut atau negara di luar pulau Jawa.” Perlu dicatat bahwa jauh sebelum Gadjah Mada dan Majapahit, Prabu Kertanegara dari Singasari pernah mencetuskan istilah senada dengan nama “Dwipantara”. Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh sang raja pada tahun 1292 Masehi mencatatnya sebagai berikut:

“śrī mahārāja digwijaya ring sakalaloka mawuyū yi sakala dwīpantara.”

(Sri Maharaja was victorious in all the lands and subdued all the other islands)

Ketika Indonesia baru merdeka, istilah Nusantara kemudian digunakan oleh tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Muhammad Yamin untuk menekankan kesatuan dalam perbedaan yang merata di negara kepulauan ini. Nusantara diadopsi dan definisinya dikembangkan dengan luas, kali ini Pulau Jawa juga merupakan bagian dari Nusantara tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah Nusantara dipergunakan secara luwes dengan beragam kepentingan. Yang tadinya hanya meliputi daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka sekarang Nusantara juga meliputi negara serumpun seperti Malaysia dan Filipina. Tidak hanya itu, perkembangan studi antropologi dan genetika turut pula digunakan sebagai klaim untuk memperluas  cakupan Nusantara. Kini Nusantara terbentang dari Madagaskar hingga Hawaii, pulau-pulau yang dihuni oleh ras Austronesia dan sepupu mereka, bangsa Polynesia.

Peta yang menggambarkan wilayah klaim Majapahit. Sumber:  Wikimedia Commons

Akan tetapi, ternyata tidak semua orang menerima istilah Nusantara ini untuk menggambarkan masyarakat Indonesia dan serumpunnya. Banyak yang merasa keberatan dengan latar kesejarahan istilah Nusantara sebagai perwujudan niat Imperium Majapahit untuk menundukkan seluruh bangsa di bawah lambang kebesarannya. Istilah ini dianggap terlalu Jawa-sentris untuk Indonesia yang majemuk. Di Malaysia, istilah “Alam Melayu” digunakan sebagai sinonim untuk Nusantara. Bagi mereka pada dasarnya seluruh penghuni kepulauan Asia Tenggara ini masuk ke dalam dunia komponen besar yaitu Proto-Melayu dan Deutro-Melayu. Meskipun secara kultur berbeda, keduanya sama-sama berasal dari akar Melayu, yang konon jika ditarik maka sejatinya berasal dari Yunnan. Penggunaan terminologi “Melayu” bagi ras pribumi berkulit coklat ini kemudian dipopulerkan oleh Raffles dengan tambahan unsur baru: Islam. Sebagai catatan, istilah Melayu ini lahir dari perspektif kolonial Inggris yang cenderung mengklasifikasi penduduk jajahannya ke dalam kategori-kategori ras yang penuh dengan prasangka (prejudice). Penjelajah yang sekaligus seorang biologiawan dari Inggris bernama Alfred R. Wallace juga kemudian menggunakan istilah “Kepulauan Melayu” di dalam bukunya untuk menyebut Indonesia dan Malaysia. Sebagian pendukung istilah Alam Melayu percaya bahwa “Melayu” adalah kata yang paling tepat untuk menyimbolkan keserumpunan karena berdasarkan observasi mereka, dulu terdapat sebuah kemaharajaan maritim bernama Sriwijaya yang amat sangat berpengaruh di kepulauan Asia Tenggara. Sriwijaya inilah yang menjadi cikal-bakal kebudayaan Melayu.

Peta Tanah Jawi dan kedaulatan Aceh dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1838-1870) tersimpan di Arsip Turki Usmani Istanbul. Sumber: Republika

Nah, lain Nusantara, lain Alam Melayu maka lain pula dengan “Jawi”. Jawi ialah singkatan dari “Jaza’ir al Jawi” yang bermakna kepulauan Jawa. Zaman dahulu, pedagang Arab menggunakan terminologi Jawi untuk menyebut seluruh daerah di Asia Tenggara maritim.

Samathrah, Sholibis, Sundah, kullah Jawi.

(Sumatera, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa), ujar mereka dalam Bahasa Arab.

Istilah ini kemudian berkembang untuk menyebut sistem tulis bangsa Melayu yang diadopsi dari huruf Arab. Abjad Jawi ini dalam perkembangannya justru identik dengan kebudayaan Melayu, menyebar hingga Malaysia, Indonesia, Filipina Selatan, Thailand Selatan, Singapura, dan Brunei Darussalam. Seorang ulama masyhur asal Banten bahkan dijuluki Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Konon, mengapa bangsa Arab memukul rata seluruh kepulauan Asia Tenggara dengan nama Jawi disebabkan oleh sebuah komoditas perdagangan bernama kemenyan. Jenis kemenyan tertentu dalam Bahasa Arab disebut luban jawi (kemenyan Jawa), yang asal sebenarnya dari Sumatera. Oleh para pedagang Eropa luban jawi ini berubah nama menjadi La Benjawi, yang kemudian oleh pedagang Venezia diubah lagi menjadi La Benzoin, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris sebagai benzoin.

Akhirnya, sampailah kita pada sebuah penghujung. Istilah manakah yang layak digunakan untuk menyebut kesatuan rumpun masyarakat dan negara-negara di kepulauan Asia Tenggara ini? Apakah Nusantara yang beraroma kekuasaan Majapahit, Alam Melayu yang demikian luas tafsirannya, ataukah Jawi? Atau jangan-jangan, sebenarnya semua itu tidak perlu? Jawabannya: terserah anda. Dengan nama apapun kepulauan Asia Tenggara ini disebut, unsur-unsur keserumpunan budaya, bahasa, perjalanan sejarah, kesatuan leluhur serta kesamaan geografis akan selalu muncul. Pertanyaannya bukanlah dengan nama apa kita disebut, namun bagaimana pemaknaan kita terhadap keistimewaan-keistimewaan yang terdapat di dalam kawasan ini sendiri.

Kalau kata William Shakespeare dulu: “Apalah arti sebuah nama.”