Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Menyambut Tamu dengan Piper Betle

Teman-teman punya kakek atau nenek yang hobi nyirih? Atau masih ada keluarga di kampung halaman kalian yang demen mengunyah tanaman unik ini? Jika iya, berarti kalian adalah sedikit dari mereka yang beruntung dapat menyaksikan tradisi berumur ribuan tahun asli bangsa Asia Tenggara!

Eh? Serius nyirih udah berlangsung selama ribuan tahun?

Daun Sirih

Tanaman sirih (Piper betle) dan tradisi mengunyah sirih diperkirakan berasal dari Asia Selatan serta Asia Tenggara. Ada juga yang mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari Cina dan India lalu menyebar ke daerah Asia lainnya. Penemuan kotak sirih bersama benda-benda prasejarah seperti pisau besi, mata kail perunggu, gelang, anting-anting berbentuk hewan dan arca di Sulawesi Selatan menandakan bahwa sirih telah dikonsumsi oleh penghuni nusantara sejak Zaman Logam. Saat ini belum ada penemuan resmi yang membuka tabir asal-mula diolahnya sirih dalam peradaban manusia. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang berada di sekitar wilayah penyebaran daun sirih, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini telah hidup setua masyarakat itu sendiri.

Di Vietnam, aktifitas mengunyah sirih merupakan “pembuka” dalam setiap forum resmi. Demikian pula di dalam lingkungan adat Melayu. Umumnya sirih dikunyah dengan pinang, kapur, kapulaga ataupun gambir. Di daerah Bengali (India) daun sirih malah biasanya dicampur dengan tobacco atau rempah-rempah lainnya. Istilah sekapur sirih yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai kata pengantar atau sambutan pun lahir dari kebiasaan menyuguhkan daun sirih dan kapur untuk para tetamu.

Daun sirih yang dapat dengan mudah tumbuh di pekarangan rumah, kebun, hutan, atau bahkan di pinggir jalan membuat tanaman ini kosmopolitan bagi masyarakat Asia Tenggara. Dalam film berjudul Yamada The Samurai of Ayutthaya (2010) kita mengetahui bahwa bangsa Thai pun menganggap nyirih sebagai bagian dari kebudayaan klasik mereka. Berlatar zaman Kerajaan Ayuthayya, samurai Jepang bernama Yamada yang terluka ditolong oleh seorang gadis Thailand di sebuah desa kecil. Sambil menunggu lukanya sembuh, Ia diperkenalkan cara untuk mengonsumsi daun sirih (yang disebut sebagai ‘tradisi khas kami’) oleh seorang anak kecil lokal. Kontan saja karena perbedaan kebudayaan antara Jepang dan Thailand Ia merasa tidak nyaman ketika mengunyah sirih untuk pertama kalinya (dan menjadi bahan guyonan anak kecil tadi). Oleh bangsa-bangsa di Asia Tenggara, daun sirih dipercaya memiliki banyak khasiat; mulai dari  menyegarkan napas, membersihkan kotoran di tubuh, hingga sebagai obat perangsang.

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

La Galigo as Memory of The World: Pengakuan UNESCO untuk Indonesia

Penasaran, mengapa La Galigo dikategorikan oleh UNESCO sebagai Memory of The World? Yuk baca tulisan Fitria Sudirman untuk lebih mengetahui seluk-beluk penghargaan terhadap kebudayaan ini!

 Suatu dokumen warisan bernilai universal memang sudah sepantasnya dihargai dan dilindungi. Kita tidak mau kan peninggalan-peninggalan sejarah suatu bangsa raib, entah kemana rimbanya. Padahal peninggalan-peninggalan tersebut bisa menjadi salah satu media untuk menelusuri jejak peradaban manusia. Untuk itu, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya menghadirkan “Memory of the World”.

Apa sih Memory of the World itu? Memory of the World merupakan salah satu program UNESCO yang dimulai pada tahun 1992. Program ini adalah suatu inisiatif internasional untuk melindungi warisan dokumenter dari berbagai bahaya, seperti bahaya kerusakan akibat waktu dan kondisi iklim, kerusakan yang disengaja maupun tidak disengaja, hingga bahaya dilupakan oleh bangsanya sendiri. Ibaratnya Memory of the World ini adalah polisi yang memastikan warisan tersebut aman dan masih dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Nah, apa saja sih yang dapat digolongkan sebagai warisan dokumenter? Macam-macam, bisa berupa dokumen, naskah atau manuskrip, tradisi lisan, audio-visual, arsip perpustakaan, dan arsip-arsip bernilai universal lainnya. Setiap organisasi atau individu dapat menominasikan warisan dokumenter yang dianggapnya layak untuk didaftarkan dalam Memory of the World. Setiap warisan dokumenter yang didaftarkan akan diseleksi oleh suatu badan pengurus yang dikenal sebagai Komite Penasihat Internasional, atau International Advisory Committee (IAC), yang keempatbelas anggotanya ditunjuk langsung oleh Direktur Utama UNESCO. Bagi yang lulus seleksi mereka akan dimasukkan ke dalam suatu daftar yang disebut Memory of the World Register.

Lalu, apa yang menjadi standar kelayakan suatu nominasi? IAC menetapkan beberapa kriteria sebagai berikut:

  • Pengaruh – Warisan tersebut haruslah memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya terhadap budaya nasional suatu bangsa, tetapi juga terhadap budaya dunia.
  • Waktu – Warisan tersebut harus mencerminkan suatu periode perubahan penting yang berkaitan dengan dunia atau memiliki kontribusi terhadap pemahaman dunia pada suatu poin penting dalam sejarah.
  • Tempat – Warisan tersebut harus mengandung informasi penting mengenai lokalitas atau daerah tertentu yang telah berkontribusi untuk perkembangan besar dalam dunia sejarah dan budaya.
  • Masyarakat – Dokumen tersebut harus memiliki suatu asosiasi spesial dengan kehidupan atau karya seseorang atau masyarakat yang telah membuat kontribusi luar biasa untuk sejarah dunia atau budaya.
  • Subyek – Warisan tersebut harus mendokumentasikan suatu subjek penting atau tema utama sejarah dunia atau budaya dalam cara yang luar biasa.
  • Bentuk dan Gaya – Dokumen tersebut harus mewakili bentuk atau gaya yang tidak biasa.
  • Nilai sosial – Warisan tersebut harus memiliki nilai budaya, sosial, dan spiritual yang melampaui budaya nasional tertentu.

Selain kriteria-kriteria di atas, terdapat juga dua kriteria tambahan yang bersifat meningkatkan standar penilaian, yaitu

  • Integritas – Dokumen tersebut harus memiliki tingkat integritas atau kesempurnaan yang tinggi.
  • Kelangkaan – Dokumen tersebut harus unik atau langka, hanya ada satu di dunia ini.

Saat ini, terdapat 238 warisan dokumenter yang terdaftar dalam Memory of the World Register, termasuk La Galigo. Adalah Dr. Mukhlis PaEni dari Indonesia dan Dr. Roger Tol dari Belanda yang berinisiatif untuk menominasikan La Galigo ke dalam Memory of the World pada tahun 2008. Dr. Mukhlis PaEni adalah seorang peneliti yang berasal dari Sulawesi Selatan. Beliau telah melakukan berbagai penelitian mengenai La Galigo dan membuat sebuah katalog manuskrip Sulawesi Selatan, termasuk naskah-naskah La Galigo. Dr. Roger Tol juga merupakan seorang peneliti yang telah banyak melakukan penelitian mengenai La Galigo. Beliau bekerja di  KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dan terlibat dalam produksi edisi-edisi teks La Galigo. Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya pada tahun 2011, UNESCO mengakui La Galigo sebagai “Memory of the World” atas negara Indonesia dan Belanda. Yeay!          

Nah, pengakuan ini pasti ada dasarnya dong. Sebagai suatu karya sastra yang bisa dikategorikan the hidden cultural treasure, La Galigo memang memenuhi kriteria yang membuatnya pantas menjadi Memory of the World.

La Galigo telah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi tradisi oral di masyarakat Bugis Sulawesi Selatan hingga pada akhirnya ditulis di atas daun lontar setelah masyarakat Bugis mengenal huruf lontarak. Banyak pendapat mengenai kapan hal ini terjadi, namun pada umumnya berpendapat bahwa La Galigo mulai dituliskan sebelum abad ke-16 yaitu sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan mengingat kisah La Galigo yang masih bercerita tentang dewa-dewa dan tidak mengandung unsur Islam. Barulah pada abad ke-17 La Galigo mulai disalin di atas kertas ketika orang Belanda datang membawa peradabannya. Terbagi menjadi 12 volume manuskrip yang terdiri dari kurang lebih 300.000 baris teks dan 6000 halaman folio membuat La Galigo menjadi epik terpanjang di dunia mengalahkan kisah Mahabharata sekalipun. Ini belum termasuk teks-teks yang hilang dimakan zaman dan bagian-bagian episode lainnya yang tidak sempat diceritakan oleh Bissu, pemegang tradisi oral, karena telah meninggal dunia. Gaya penulisannya indah, menggunakan bahasa Bugis Kuno (yang sudah tidak digunakan lagi sekarang) dalam aksara Lontarak. Bersetting di Sulawesi Selatan pada periode pra-Islamisasi, La Galigo mengisahkan mitos penciptaan ras Austronesia yang menjadi salah satu bagian dari sejarah peradaban manusia. Nilai budaya, sosial, dan spiritual ditunjukkan secara eksplisit dan implisit melalui kejadian-kejadian dan penokohan karakter-karakternya. Lalu, apakah ada karya sastra lain yang seperti La Galigo ini? Hmm… Jawabannya tidak ada!

Ada banyak penelitian tentang La Galigo semenjak akhir abad lalu, sayangnya kebanyakan merupakan hasil peneliti asing. B.F. Matthes, misalnya, adalah seorang peneliti Belanda yang merupakan orang pertama yang melakukan penelitian sistematis terhadap La Galigo. Beliau bahkan membuat kamus Bugis-Belanda yang memuat banyak contoh bahasa yang digunakan dalam La Galigo pada tahun 1874. Kamus ini hingga sekarang dapat dikatakan sebagai sumber bahasa La Galigo yang paling penting.

Hanya segelintir orang Indonesia yang mengetahui La Galigo. Sebagian besar warga Makassar terbilang cukup familiar dengan namanya karena dipakai sebagai nama kafe dan jalan. Namun, tidak banyak yang mengetahui dan menyadari bahwa La Galigo sebenarnya adalah peninggalan sejarah yang sangat berharga. Jika ditanyakan ke-10 orang pemuda, mungkin hanya 1 orang saja yang bisa menjawab benar pertanyaan tentang La Galigo. Kita mungkin cukup sibuk dengan globalisasi hingga melupakan hal-hal lokal, padahal justru hal-hal seperti itulah yang membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Begitu ada negara lain aja yang mencaplok budaya lokal kita, baru deh ketar-ketir seperti orang kebakaran jenggot. So, marilah kita pelihara budaya kita, dunia saja sudah mengakuinya sebagai Memory of The World!

Referensi:

Zon, Dato’ Habibah. UNESCO MEMORY OF THE WORLD PROGRAMME: The Asia-Pacific Strategy. April 17 1999.  11 Dec. 2011. <http://web.archive.org/web/20050228192535/http://www.geocities.com/seapavaa/whatsnew/memory.htm>

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Ribetnya PDKT dengan La Galigo

Siang hari yang terik di bawah naungan Baruga Universitas Hasanuddin, Makassar. Angin yang bertiup sepoi-sepoi ternyata belum mampu untuk menahan keringat yang mengalir deras membasahi dahi dan punggung kami. Pasca Dhuhur,  saya dan rekan Setia Negara duduk termangu menunggu kepastian di depan gedung rektorat universitas berlambang ayam jantan tersebut. Untuk apa saya yang melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada dan Setia yang notabene merupakan mahasiswa tingkat tujuh di Institut Teknologi Bandung duduk-duduk iseng di anak tangga gedung rektorat universitas lain? Jawabannya datang sekitar empat puluh lima menit setelah kami dengan sabarnya kepanasan menunggu saudari Maharani Budi.

Yang kami tunggu-tunggu dengan tergopoh-gopoh datang dan meminta maaf atas keterlambatannya. Tanpa banyak basa-basi kami pun segera melangkahkan kaki menuju Fakultas Ilmu Budaya yang lokasinya berada persis di sebelah gedung rektorat. Sesampainya di sana, terus terang kami bingung. Kemana (atau kepada siapa) kami harus bertanya untuk mengumpulkan informasi? Setelah beberapa menit celingak-celinguk kehilangan arah di tengah kumpulan mahasiswa Sastra Daerah yang menatap kami dengan dingin dari pinggiran koridor, kami memutuskan untuk mendatangi himpunan kemahasiswaan mereka. Di tempat yang kecil itu beberapa mahasiswa tampak sedang duduk-duduk bersendau gurau atau tidur-tiduran. Adapula yang sedang asyik berkutat dengan laptop dihadapannya (tugas? facebook?). Ketika kami menyampaikan niat untuk “mengenal” lebih lanjut tentang La Galigo, mereka dengan segera mengarahkan kami untuk berkunjung ke Laboratorium Naskah di lantai dua gedung tersebut. Dengan di-escort oleh salah seorang mahasiswi baru, sampailah kami di depan sebuah pintu berwarna abu-abu yang tidak sabar untuk kami masuki.

Laboratorium naskah jurusan sastra daerah universitas hasanuddin

Berkenalan dengan La Galigo: Asli Indonesia, Tersimpan di Belanda

Sekali lagi kesabaran kami harus diuji. Kami bertiga tidak dapat langsung masuk dan “menemui” La Galigo yang kami incar-incar itu karena ruangannya ternyata dikunci. Jelas si mahasiswi baru tidak memiliki kuncinya. Dengan penuh kepasrahan, kami harus menunggu. Maklum, saat itu memang masih jam istirahat siang Pegawai Negri Sipil. Setelah duduk termangu (lagi) selama hampir 15 menit, seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan berjalan perlahan menuju Laboratorium Naskah. Pucuk dicinta ulam pun tiba, kami segera melompat dari tempat duduk kami dan memperkenalkan diri. Dengan senyum yang bak oase di tengah panasnya sahara siang hari itu, ia membukakan pintu Laboratorium Naskah dan memperkenankan kami masuk.

Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Bu Chia itu adalah seorang staff pengajar (dosen) di Sastra Daerah Universitas Hasanuddin. Beliau bersedia berbagi informasi kepada kami untuk mengenal lebih lanjut mengenai La Galigo. Beruntungnya lagi, ternyata beliau merupakan salah satu dari sedikit akademisi di Sulawesi Selatan (dan Indonesia) yang berkecimpung di dunia penelitian dan penulisan mengenai epik bangsa Austronesia terpanjang di dunia ini.

Berdasarkan penjelasan beliau, naskah Sureq Galigo merupakan naskah yang ditulis di atas lembaran-lembaran daun lontar (biasa disebut lontaraq) dengan menggunakan Bahasa Bugis Kuno, bahasa yang kini sudah tidak ada penuturnya. Sureq Galigo berisi cerita mengenai kemunculan manusia pertama di muka bumi untuk membangun peradaban. Disebutkan secara eksplisit bahwa manusia lahir untuk  memuja Dewa di Langit (Datu Patotoe) melalui kalimat,

Teddewata iq, Puang, rekkua masuaq tau

Ri awaq langiq, le ri meneqna Peretiwie

Mattampa puang le ri Batara.

(You are not a god, Lord, if there are no humans

Under the heavens, above the Underworld,

to call the gods Lord)

Di dalamnya diceritakan pula kisah-kisah keturunan para tumanurung (orang yang turun dari langit) sebelum akhirnya mereka naik kembali dan meninggalkan bumi untuk dikuasai oleh umat manusia. Kisah La Galigo pada umumnya dituturkan oleh passureq (pembaca lontaraq) di upacara-upacara adat. Diperlukan suatu ritual khusus sebelum passureq mulai melagukan epik kuno ini. Naskah-naskah tersebut banyak terdapat di Sulawesi Selatan, akan tetapi umumnya hanya berupa fragmen atau petikan-petikan episode dari  kisah keseluruhan La Galigo. Naskah La Galigo terlengkap yang ada di dunia hanya ada satu dan tidak terdapat di Sulawesi Selatan atau Indonesia sebagai tempat asal mula kisah ini berasal. Uniknya naskah itu sejak tahun 1800-an justru terdapat di Perpustakaan KITLV Leiden, Belanda.

Bu Chia dan Penulis

Bu Chia sempat menyinggung betapa sedikitnya orang yang sanggup membaca teks La Galigo. Perlu digarisbawahi, membaca di sini tidak sama dengan membaca dalam artian harfiah. Banyak masyarakat Sulawesi Selatan di daerah yang sanggup membaca aksara lontaraq, abjad yang digunakan dalam naskah La Galigo. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang dapat memahami isinya, mengingat bahasa serta ketinggian sastra yang digunakan. Naskah yang terdapat di Belanda ini disusun oleh seorang ratu dari negri Pancana (Sekarang berada di Kabupaten Barru) bernama Colliq Pujie atas permintaan seorang penginjil bernama B.F.F. Matthes. Bersama dengan anak perempuannya, We Tenri Olla, Colliq Pujie mengumpulkan serpihan-serpihan naskah La Galigo dan mengompilasikannya menjadi sebuah manuskrip yang terdiri dari 300.000 larik cerita berangkai.

Naskah tersebut terbagi menjadi 12 volume. Dari ke-12 volume tersebut, baru dua yang dapat diterjemahkan. Dua terjemahan naskah tersebutlah yang ceritanya beredar di masyarakat luas dan menjadi sumber kajian oleh akademisi hari ini. Akan tetapi, isi kedua naskah pertama itu bahkan belum menyentuh petualangan I La Galigo, tokoh yang menjadi sorotan utama di dalam epik ini sama sekali. Jikapun ada tulisan yang berhubungan dengan tokoh atau petualangan I La Galigo, kebanyakan sifatnya hanya berupa ringkasan cerita, belum ada kisah lengkapnya. Menurut informasi dari Bu Chia, hanya Pak Salim (almarhum Muhammad Salim, sastrawan dan peneliti karya sastra klasik Bugis-Makassar) satu-satunya individu yang pernah membaca dan menerjemahkan ke-12 volume manuskrip tersebut. Sayangnya, Pak Salim yang meninggal di awal tahun ini belum sempat untuk menerbitkan terjemahannya ke khalayak umum. Untuk sementara, hak publikasi atas karya terjemahannya itu masih dipegang oleh keluarganya.

Mengetahui “harta karun” bangsa Indonesia serupa La Galigo ternyata berada di negara yang pernah menjajah kita selama 350 menjadi fakta yang amat menyedihkan. Mengapa tidak ada usaha dari pemerintah maupun legal standing prakarsa masyarakat kita sendiri untuk “merebut” apa yang seharusnya menjadi milik kita? Well, ternyata banyak pertimbangan serius. Apakah permindahan manuskrip langka dapat menjamin keselamatannya yang rentan terhadap kerusakan? Sumber daya manusia maupun teknologi yang digunakan oleh pemerintah masih kurang memadai. Ambil contoh jika kita memperbandingkannya dari segi sarana. Apabila di negri Daendels sana manuskrip Colliq Pujie mendapatkan perawatan intensif seperti tempat penyimpanan bersuhu khusus, maka sebaliknya di Indonesia kita hanya mampu menyediakan kotak kaca berdebu dengan penerangan dari cahaya lampu seadanya. Kita belum memiliki daya tawar untuk memulangkan harta karun tersebut.

 

Konservasi Kreatif La Galigo: Usaha Membentuk Perspektif Modern atas Budaya Kuno

Transkrip Sure' la galigo

Bu Chia amat mendukung usaha kami untuk PDKT terhadap La Galigo dan memperkenalkannya dengan bentuk baru kepada muda-mudi Indonesia di era globalisasi ini. Meminjam istilah Muhidin M. Dahlan saat saya temui di Gelaran I.Boe.Koe. bulan lalu, menyasar kaum muda zaman sekarang untuk mencintai budaya kuno caranya tiada lain tiada bukan ialah melalui “konservasi kreatif”. Menyajikan kemasan-kemasan baru atas karya kuna dengan mengerahkan segala daya cipta, rasa, dan karsa. Bentuknya dapat beragam; bisa melalui aransemen musik etnik, kaligrafi kontemporer aksara lontaraq, “mengurbanisasi” penggalan-penggalan kisah La Galigo, maupun mendesain karakter yang disiratkan oleh epik tersebut ke bentuk-bentuk yang familiar dengan kaum muda (seperti mengadopsi style anime maupun komik-komik DC/Marvel).

Lalu, bagaimana jika ada yang memprotes usaha kami untuk merevolusi tampilan La Galigo mengingat adanya pengultusan tradisi ini pada beberapa komunitas Bugis tradisional? Menanggapi hal tersebut Bu Chia berpendapat bahwa terdapat kebebasan dalam menafsirkan suatu hasil budaya dari berbagai sudut pandang. Bagi yang menafsirkan La Galigo sebagai “ayat-ayat suci” mereka punya pembelaan sendiri, dan bagi mereka yang berhaluan akademis sah-sah saja untuk mengangkat unsur intelektual atas peninggalan sejarah ini. Masalah kepercayaan terkadang sukar dicampur-adukkan dengan kepentingan untuk pengembangan informasi dan pengetahuan, namun titik temu keduanya terdapat pada penghormatan maupun kajian-kajian keilmuan yang muncul darinya.

Dilihat dari waktu ke waktu, sebenarnya bukan kali ini saja upaya membuat tampilan baru atas La Galigo muncul. Pada zaman menuju Islam di Sulawesi Selatan, terdapat unsur-unsur tauhid yang diselipkan ke dalam fragmen-fragmen La Galigo. Sebagai contoh, dikenal lontar yang mengisahkan perjalanan Sawerigading (ayah tokoh I La Galigo) berhaji menuju Mekkah. Untuk mengganti konsep polyteisme di dalam kisah-kisahnya, digunakanlah istilah Dewata Seuwae alias Tuhan Yang Maha Esa yang merombak pantheon Bugis kuno. Dengan demikian, kisah-kisah La Galigo pada lontar-lontar tersebut merupakan cerminan atas kondisi masyarakat pada saat itu. Pada tahun 2005 silam, seorang sutradara teater dari Amerika Serikat bernama Robert Wilson mendulang kesuksesan dengan mengemas kisah La Galigo ke panggung-panggung teater di Eropa, Asia, dan Amerika. Ide kreatif beliau mendapatkan sanjungan besar dari kalangan intelektual, penggiat seni, maupun tokoh masyarakat Sulawesi Selatan atas keunikan konsepnya.

Bu Chia mengaku, pemerintah belum memberikan perhatian yang lebih di bidang kebudayaan, utamanya terkait dengan La Galigo. Dari keterangan Bu Chia kami mendapat informasi bahwa ada sekitar 82 roll file di Badan Arsip Nasional Jakarta maupun Makassar yang menyimpan salinan naskah-naskah lontar dalam bentuk digital. Beberapa ada yang tidak dapat terbaca dikarenakan kondisi naskah yang jelek. Pemerintah baru akan ikut campur apabila ada keuntungan komersil yang ditawarkan. Kontras dengan apa yang dilakukan oleh pihak Belanda, dimana di sana bahkan terdapat usaha  mengumpulkan naskah-naskah lontar dari Sulawesi untuk menambah koleksi sekaligus merehabilitasi bentuknya yang sudah tidak terawat lagi.

Pusat Studi La Galigo di Universitas Hasanuddin didirikan sebagai salah satu bentuk usaha untuk melestarikan karya sastra adiluhung nusantara ini. Namun ketika team kami berkunjung ke sana untuk memperoleh data, yang kami temukan adalah gedung tua seperti di film-film horor yang tengah direnovasi. Untuk waktu yang tak dapat diperkirakan, kami tidak dapat mengakses pelayanan informasi terhadap La Galigo. Miris melihat bagaimana akses masyarakat untuk mengetahui sastra yang terancam punah ini pun begitu sulit.

Siang itu ketika kami mengakhiri wawancara bersama Bu Chia, kami keluar Laboratorium Naskah Jurusan Sastra Daerah Universitas Hasanuddin dengan perasaan yang unidentified. Bahagia karena akhirnya dapat “bertemu” dengan La Galigo, bangga sekaligus sedih bercampur-campur setelah mengenalnya lebih dalam lagi. Yang pasti, kami mengantongi sebuah tekad. Kami ingin menyelamatkan warisan leluhur bangsa Indonesia hasil ketaman perjalanan tradisi selama berabad-abad ini. Satu-satunya yang dapat kami lakukan sebagai mahasiswa plus pemuda ialah dengan mewartakan eksistensi La Galigo kepada sesama kaum muda lainnya, generasi penerus bangsa. Dengan kepala dipenuhi oleh ide-ide baru, hari itu team La Galifo for Nusantara melenggang bersama tergelincirnya siang menuju senja.

Yogyakarta, 27 Oktober 2011