Categories
101 La Galigo Galigoku Liputan

Gawai Gedang Masyarakat Adat Talang Mamak

Talang Mamak adalah salah satu suku asli di Provinsi Riau. Mereka mendiami daerah hilir sungai Indragiri dan memilih hidup dengan mengasingkan diri. Asal usul dari suku ini terdiri dari dua versi. Pertama, berasal dari penelitian seorang asisten residen Belanda yang mengatakan bahwa suku ini berasal dari Pagaruyung Sumatera Barat yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Sedangkan versi yang kedua berasal dari hikayat turun temurun yang dipercaya oleh masyarakat adat itu sendiri bahwa mereka adalah keturunan dari Nabi Adam ketiga. Dalam kesehariannya, mereka sama dengan masyarakat pada umumnya. Mereka menggantungkan hidup mereka dengan kemudahan yang alam berikan, berladang dan  berkebun karet adalah mata pencaharian mereka.

 

Masyarakat adat Talang Mamak ini masih mempertahankan adat istiadat mereka dengan kuat. Hal tersebut bisa temukan dalam sistem “administrasi” yang mereka gunakan. Mereka membagi kedudukan di dalam masyarakat tesebut dalam bentuk PatihBatinMangkuManti dan Dubalang,yang masing masing memiliki fungsi dan kedudukan. Selain itu, ritual-ritual adat masih mereka lakukan, salah satunya adalah Gawai Gedang. Menurut  mereka, ritual ini sudah hampir 30 tahun tidak dilaksanakan.

Gawai Gedang adalah ritual pernikahan bagi masyarakat Talang Mamak, ritual ini berlangsung selama tiga hari dengan berbagai macam prosesi. Di mulai dengan ritual yang di namakan menegakkan tiang gelanggang. Prosesi penegakan tiang gelanggang ini adalah proses yang sangat sakral. Masyarakat Talang Mamak percaya bahwa tiang gelanggang adalah “perwakilan” dari tiang aras yang ada di langit. Sehingga dalam proses nya mereka sangat berhati hati, karena karma yang akan datang ke mereka akan berlipat ganda jika dalam prosesi ini terdapat kesalahan.

Setelah prosesi menegakkan tiang Gelanggang. Pencak Silat dan Sabung ayam akan berlangsung, silat dan sabung ayam ini merupakan “syarat” dalam upacara adat. Sabung ayam memiliki filosofi, yaitu agar setan-setan yang ada tidak mengganggu para Batin yang sedang sibuk mengurus acara ini. Setan setan tersebut akan menonton judi ayam, sehingga para batin dapat dengan tenang melaksanakan kegiatan gawai gedang ini.

Setelah silat dan sabung, patih dan para batin yang terlibat dalam acara adat ini akan datang satu per satu. Dalam prosesi kedatangan mereka, para batin dan patih akan di sambut oleh tuan rumah, dan mereka akan menuju sebuah replika perahu yang di namakan Kajang Serong, di sini para batin akan membicarakan adat dalam pelaksanaan upacara Gawai Gedang. Di dalam upacara adat, selain pencak silat dan sabung ayam, terdapat juga syarat lain, syarat itu di namakan rukun lima. Rukun lima tersebut adalah sirih, pinang,gambir,tembakau dan kapur, di Kajang Serong, rukun lima ini disajikan kepada kedua belah pihak.

Sebelum para batin masuk ke Kajang Serong, mereka akan di arak terlebih dahulu mengelilingi Tiang Gelanggang sejumlah tiga kali, dan tiang ini akan di putar sebanyak tiga kali. Mempelai Pria dan Wanita juga di arak mengelilingi tiang gelanggang tersebut, unik nya dalam upacara gawai ini kedua mempelai tidak di arak menyentuh tanah namun mereka di gendong oleh masing masing pihak keluarga.

Dari Kajang Serong. Patih, para batin, kedua mempelai dan masing masing pihak keluarga akan menuju ke rumah. Di rumah ini acara adat berlangsung. Sedangkan di sekitar tiang gelanggang acara sabung ayam akan terus berlangsung. Di dalam rumah,patih, para batin dan pihak keluarga  akan makan berhidang bersama. Mereka akan makan  nasi manis yang sudah di persiapkan sehari sebelum acara. Nasi manis  ini adalah semacam ketan yang di masak  dengan gula merah, kita  mengenal nya dengan sebutan wajik. Makan behidang  merupakan bagian dari ritual acara

Setelah  makan behidang, para batin dan para patih akan kembali menuju ke kajang serong, ritual adat yang akan mereka lakukan adalah membuka gulungan daun. Di dalam gulungan daun ini terdapat beberapa barang yang nanti nya akan di berikan kepada ke dua mempelai, barang barang tersebut berupa sirih dan rokok. Barang barang ini nanti nya akan di makan dan di bakar oleh kedua pasangan tersebut beserta pihak keluarga. Setelah semua ritual selesai, patih dan para batin akan beristirahat  untuk melanjutkan ritual keesokan hari nya

Pada hari ke dua, ritual yang dilaksanakan di namakan Basipat, basipat adalah upacara penyerahan mas kawin. Mas kawin ini berupa tombak, kain putih sebanyak 13 lembar, gelang perak dan sirih. Gelang perak sebagai mas kawin  menunjukkan identitas perempuan yang akan di nikahi. Jika berjumlah satu, maka calon pengantin nya masih gadis. Namun, jika berjumlah dua maka calon pengantin nya adalah janda. Setelah penyerahan mas kawin, di lanjutkan ritual makan gadang.

Makan Gadang adalah ritual makan bersuap suapan,di dalam ritual ini. akan di persiapkan tiga pasangan muda yang berasal dari kampung tersebut untuk di libatkan dalam ritual selain kedua mempelai. Di dalam makan gadang ini, ada sebuah pantangan yang masih berlaku sampai sekarang. Pantangan  tersebut adalah jika saat salah satu pasangan muda yang ikut dalam ritual ini salah dalam melakukan urutan makan dalam acara makan gadang ini. Maka mereka akan langsung di nikahkan saat itu juga. Akibat takut akan pantangan yang masih berlangsung ini maka dalam ritual makan gadang mereka sangat berhati hati.

Kegembiraan masyarakat adat yang ikut dalam upacara ini makin dapat terlihat dalam ritual makan gadang ini, mereka akan terus menertawakan para pasangan muda yang canggung dan terkesan sangat berhati hati dalam menjalankan ritual. Teriakan “ ayo, salah, nanti langsung kita nikah kan di sini” terus terdengar. Setelah makan gadang, selanjutnya adalah  acara ijab kabul.

Bagi masyarakat adat Talang Mamak, aliran kepercayaan mereka adalah Islam langkah lama, sehingga ijab kabul yang mereka gunakan tidak menggunakan syariat Islam, prosesi ijab kabul menggunakan media yang di namakan dengan minum pengangsi. Ritual tersebut  adalah ritual minum bersama antara kedua mempelai, mereka akan minum air gula yang ada di tempayan yang terlebih dahulu di doakan. Sebelum kedua pasangan ini meminum air  tersebut, terlebih dahulu patih, batin dari kedua belah pihak akan meminum air, setelah itu  giliran kedua mempelai meminum air pengangsi tersebut. Setelah minum, maka sah lah mereka sebagai pasangan suami isteri.

Acara di hari ke dua ini,berlangsung hingga larut malam, acara ini di tutup dengan ritual sembah ajar penghulu dan tagur ajar. Tujuan dari acara ini adalah agar nanti nya kedua pasangan suami isteri ini tahu masing masing fungsi dan kedudukan nya di dalam rumah tangga. Berbagai macam petatah petitih masyarakat adat Talang Mamak mengenai kehidupan berumah tangga akan di perdengarkan pada ritual ini

Di hari ke tiga, yang merupakan hari terakhir bagi upacara adat gawai akan di tutup dengan penurunan tiang Gelanggang. Pencak Silat dan Sabung ayam masih akan berlangsung dalam penurunan tiang, Prosesi yang sama dengan menaikkan tiang gelanggang, dan setelah penurunan tiang. Maka acara gawai selesai.

 

Bayu Amde Winata, pria kelahiran Pekanbaru, Riau ini sekarang berdomisili di Yogyakarta. Kegemaran menulisnya tersalurkan dengan menjadi kontributor di Majalah Digital infobackpacker.com dan Lontara Project. Ingin kenal lebih jauh dengan Bayu? Ia dapat dihubungi via email di winatabayu@ymail.com.

 

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Heritage Camp

Cikal Bakal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu

Pernah dengar tentang Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu? Mendengar nama ini untuk pertama kalinya mungkin akan membuat kita langsung teringat akan salah satu suku di Kalimantan yang beragama Hindu dan/atau Buddha. Lalu, apa hubungannya dengan Indramayu? Yuk, mari menelusuri tulisan Muhamad Handar untuk mengetahui jawabannya.

Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu merupakan sebuah komunitas. Orang luar sering menyebutnya dengan istilah “Dayak Losarang” atau “Dayak Indramayu”. Namun, sebelum membahas komunitas ini lebih lanjut. Ada baiknya kita menilik pengertian dan serba-serbi komunitas terlebih dahulu.

Konsep komunitas telah mulai memainkan peranan penting dalam penulisan sejarah pada beberapa tahun terakhir.[1] Studi tentang komunitas telah menjadi bagian antropologi dan sosiologi sejak pertengahan abad ini.

Akhir-akhir ini, para sosiologiwan dan antropologiwan mulai memandang kota sebagai kumpulan komunitas atau “kampung-kampung kota”. Antropologiwan Victor Turner, yang mengembangkan gagasan Durkheim tentang pentingnya acara-acara ‘pesta buih kreatif’ bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah ‘communitas’ untuk menyebut solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur (contoh-contohnya meliputi kaum Franciskan awal hingga kaum hippies). Solidaritas tentu saja bersifat sementara karena suatu kelompok informal sering bubar secara perlahan-lahan atau melebur ke dalam institusi formal. Walaupun begitu, komunitas dapat hidup kembali sewaktu-waktu di dalam institusi, berkat ritual dan acara-acara lain atas apa yang dinamakan ‘pembentukan komunitas secara simbolik’.

Ritual Adat Suku Dayak Losarang, Indramayu. (Sumber: http://danielmsy.com/dayak-losarang-indramayu/)

Menurut Benedict Anderson, misalnya faktor penting dalam penciptaan ‘komunitas yang dibayangkan’ ini adalah mundurnya agama dan tumbuhnya bahasa lokal (yang didorong oleh ‘kapitalisme cetak’. Bagi Ernest Gellner, faktor terpentingnya adalah tumbuhnya masyarakat industri, yang menciptakan keseragaman budaya yang ‘di permukaan muncul dalam bentuk nasionalisme’. (Burke, Peter. 2003: 84)

Komunitas merupakan istilah “masyarakat” yang dipakai untuk menyebut dua wujud kesatuan manusia yang menekan kepada aspek lokasi hidup dan wilayah, konsep “kelompok” yang menekan kepada aspek organisasi dan pimpinan dari suatu kesatuan manusia. Ada tiga wujud kesatuan manusia yang tidak dapat disebut “masyarakat”, karena memang tidak memenuhi ketiga unsur yang merupakan syarat dari konsep “masyarakat”, yaitu “kerumunan”, “kategori sosial”, dan “golongan sosial”. Sedangkan “perkumpulan” lazimnya juga tidak disebut demikian juga walaupun memenuhi syarat tersebut.

Nah, kembali pada Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu. Mereka dapat digolongkan sebagai salah satu contoh komunitas masyarakat karena memenuhi syarat-syarat tersebut. Komunitas tersebut tepatnya bermukim di Kampung Segandu. Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.[2] “Suku Dayak Indramayu” mulai mencuat ke permukaan sejak pernyataan mereka untuk menjadi golput (golongan putih) pada Pemilu tahun 2004 yang diungkap beberapa media massa, antara lain Harian Umum Pikiran Rakyat (Bandung) dan Radar Cirebon.

Asal usul penamaan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu :

  • Kata “suku”, artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
  • Kata “dayak” berasal dari kata “ayak” atau “ngayak”  yang artinya memilih atau menyaring. Makna kata dayak disini adalah menyaring, memilih mana yang baik dan yang salah.
  • Kata “hindu” artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia diklahirkan dari kandungan Sang Ibu (perempuan).
  • Kata “budha” berasal dari kata “wuda” yang artinya telanjang. Makna filosofisnya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
  • Kata “bumi segandu” yaitu, “bumi” mengandung makna wujud, “segandu” mengandung makna sekujur badan. Gabungan kedua kata tersebut “bumi segandu” mempunyai makna filosofis yaitu kekuatan hidup.
  • Kata “Indramayu” mengandung kata pengertian, “In memiliki kata “inti, ‘Darma artinya orangtua dan kata “Ayu” artinya perempuan. Makna filosofis yaitu bahwa ibu merupakan sumber hidup karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan.

    Suku Dayak Losarang (Sumber: http://fujiprastowo.files.wordpress.com/2012/03/dayak-losarang.jpg)

Jadi, penyebutan kata “suku” pada komunitas tersebut bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari kata-kata dalam bahasa daerah (Jawa). Demikian pula, dengan kata “dayak” bukan dalam pengertian suku bangsa (etnik) Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan yakni mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju serta mengenakan aksesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki).

Kesimpulan yang bisa diambil mengenai komunitas Suku Dayak Indramayu, yaitu :

  1. Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu merupakan sebuah komunitas independen yang tidak mengikatkan diri pada salah satu agama, organisasi, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maupun partai politik tertentu serta organisasi kemasyarakatan.
  2. Warga komunitas ini meyakini ajaran yang diajarkan oleh pimpinan mereka, Takmat Diningrat, yang disebut dengan ajaran ‘Sajarah Alam Ngaji Rasa’. Inti dari ajaran ini mencari kebenaran melalui penyatuan diri dengan alam, pemulian terhadap lingkungan alam, pengabdian kepada keluarga, berperilaku jujur dan sabar.
  3. Istilah “Suku Dayak” yang mereka gunakan sebagai identitas kelompok ini bukanlah ‘suku’ dalam etnik (suku bangsa), melainkan sebuah istilah dalam bahasa Indramayu. Demikian pula kata ‘Dayak’ bukan dalam arti suku bangsa Dayak, melainkan pula diambil dari bahasa Indramayu yang artinya memilih/menyaring.
  4. Pemimpin kelompok ini telah mengalami banyak kekecewaan hidup yang menimbulkan sikap apatis terhadap aturan-aturan formal pemerintah maupun hak-hak sipil mereka. Sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya. Selain itu, komunitas tersebut lebih mengarah pada suatu aliran kepercayaan, ketimbang kelompok suku bangsa sebagaimana mereka mengidentifikasikan dirinya ‘Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu’. Kesatuan dan kebersamaan mereka lebih didasari oleh keyakinan bersama akan kebenaran ajaran yang diberikan oleh pemimpin mereka kepada warganya.

 


[1]  Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 81


[2]  Hasil temuan wawancara bersama Nurul Hidayat (berasal dari Indramayu) dari Jurusan Sosiologi Progam Studi Pendidikan Sosiologi Tahun 2008, tertanggal 22 Desember 2011.

 

Muhamad Handar merupakan salah satu alumni Heritage Camp 2013.  Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan program studi Ilmu Sosial dan Politik. Pria yang hobi menulis ini punya tiga kata kunci untuk menggambarkan dirinya: inovatif, kreatif dan cerdas. Kenal lebih jauh dengan Handar lewat blognya http://handarsmart.blogspot.com/.

Categories
Featured Galigoku

Siger: Lambang Lampung nan Feminin dan Misterius

Provinsi yang terletak di ujung paling selatan pulau Sumatera ini bak mutiara yang terpendam. Keindahan alam serta kekayaan budaya Lampung kurang terekspos di panggung budaya nasional. Simak cerita singkat Astri Agustina dalam lawatan singkatnya ke provinsi multikultural ini untuk pertama kali.

Meskipun terlahir di tengah keluarga Jawa (Ayah dari Probolinggo dan Ibu dari Surakarta) -menghabiskan sebagian besar masa hidup saya berada di Pulau Jawa, dan bangga terhadap kebudayaannya- saya memiliki ketertarikan dan keingintahuan yang tinggi terhadap atribut-atribut budaya dan sejarah, baik di wilayah dalam maupun luar negeri Saya sangat senang berkeliling mengunjungi berbagai wilayah, terutama daerah-daerah di Nusantara. Selain menghabiskan masa kecil di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saat ini saya sering mengadakan perjalanan kerja ke berbagai tempat. Di tengah-tengah keterkejutan kita akan buruknya taraf hidup gajah di habitatnya yang selama ini kita banggakan, Way Kambas, kali ini saya akan berbagi sedikit mengenai pengalaman saya ketika mengunjungi Lampung.

Kesan pertama yang saya dapatkan ketika beberapa bulan yang lalu mendarat di Bandar Udara Radin Inten Lampung adalah betapa panasnya Lampung. Udara panas terik khas wilayah laut layaknya Surabaya dan Jogjakarta. Tetapi, begitu memasuki kota Bandar Lampung, saya mengamati ada yang sangat menarik dari atap gedung-gedung di Lampung. Di ujung atap bangunan-bangun di kota Bandar Lampung, baik itu kantor pemerintahan, rumah penduduk, sampai ke rumah makan-rumah makan terdapat hiasan yang berbentuk seperti mahkota atau hiasan kepala mempelai wanita. Yang menarik dari hiasan tersebut, selain keberadaannya yang dimana-mana, adalah bentuk yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Berbentuk seperti bunga teratai yang memiliki lima kelopak berujung lincip dengan kelopak tengah yang berperan sebagai poros berbentuk paling besar seperti segitiga.

Tugu Siger di Bandar Lampung. Sumber: Wikipedia

Berangkat dari ketertarikan ini, maka saya pun bertanya ke tuan rumah, teman-teman saya yang berada di Lampung. Selain bahwa benda berbentuk mahkota itu disebut sebagai Siger, nyaris tidak ada yang mengetahui informasi lebih mendalam mengenai fungsi maupun makna dari keberadaan benda tersebut. Rupanya, menurut dugaan salah seorang teman, pengwajiban Pemerintah Lampung kepada warganya untuk memasang hiasan tersebut merupakan salah satu bagian dari kampanye budaya yang sedang digalakkan pemerintah. Pemerintah Lampung merasa bahwa generasi muda di sana nyaris kehilangan identitasnya. Sangat sedikit generasi muda yang menggunakan atau bahkan sekedar mengerti Bahasa Lampung asli yang dekat dengan Bahasa Melayu. Walaupun saya kemudian menjadi sedikit kecewa setelah mengetahui bahwa hiasan tersebut diwajibkan, bukanlah kesadaran pribadi warga Lampung, tetapi saya juga memahami apabila terkadang memang kesadaran harus dibina secara top-down, diawali dengan kebijakan pemerintah baru kemudian menjadi kesadaran individu. Lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?

Akibat rasa ingin tahu saya belum juga terpenuhi, maka kemudian saya melakukan riset online sederhana mengenai apa “Siger” ini. Sekali lagi, saya mendapatkan kekecewaan, mendapati ternyata Pemerintah Lampung yang katanya sedang menggalakkan kampanye pelestarian budaya, ternyata tidak menyediakan informasi yang memadai terkait “Siger” ini di laman resmi mereka. Informasi yang lengkap malah saya dapatkan dari blog-blog pribadi mereka yang ternyata merasakan ketertarikan yang sama ketika mengunjungi Lampung.

Hasil menyarikan berbagai blog pribadi tersebut, usut punya usut, rupanya Siger ini merupakan hiasan kepala mempelai wanita dalam pernikahan adat Lampung. Pemilihan Siger sebagai lambang Provinsi Lampung menjadi semakin menarik bagi saya karena Siger cenderung merepresentasikan feminitas. Lampung merupakan satu dari sedikit –jika bukan satu-satunya, karna saya tidak berani memberikan klaim atas hal yang belum saya teliti secara seksama- wilayah di Indonesia yang memilih “benda feminim” sebagai lambang wilayahnya. Bahkan, Minangkabau yang terkenal dengan budaya matrilinealnya pun lebih akrab dengan rencong yang cenderung bersifat maskulin (karena merupakan senjata-red).

Saya sungguh ingin memahami lebih dalam latar belakang historis maupun sosio-kultural dari pemilihan Siger sebagai lambang khas wilayah Lampung. Sayangnya, ketersediaan akses bagi saya terhadap referensi-referensi lengkap yang terpercaya masih sangat terbatas. Seandainya ada pembaca yang sudi menambah terbatasnya pengetahuan saya, bahkan mengkritisi sekalipun, saya tentu akan sangat senang.

Fight Cultural Illiteracy!

Astri Agustina Sidik, mahasiswi tahun akhir jurusan Hubungan Internasional UGM ini telah memiliki ketertarikan terhadap sejarah sejak mendapatkan pelajaran sejarah di SD. Biasa mengisi waktu luang dengan menonton film, jalan-jalan, berbelanja dan menambah pengetahuan tentang kultural-historis (membaca maupun diskusi). Aktif menjadi sukarelawan di Yayasan Bina Antarbudaya -Malang dan Yogyakarta- serta freelance pelatih maupun juri debat parlementer.