Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Sebuah Persembahan dari La Salaga Project – Atelier KITLV untuk Generasi Muda

Di awal tahun 2021, La Salaga Project yang diprakarsai oleh Kathryn Wellen (sejarawan di KITLV Leiden dengan fokus riset Sulawesi Selatan) dan Louie Buana (founder Lontara Project) mendapatkan sokongan dari Atelier KITLV untuk menggarap sebuah program unik yang mengombinasikan riset akademis dengan kesenian.

Proyek ini bertujuan untuk mengangkat kembali legenda La Salaga, seorang pangeran keturunan campuran Mamuju (Sulawesi Barat) dan Badung (Bali), kepada hadirin dari generasi muda. Kisahnya dituturkan dalam salinan naskah lontar berbahasa Mandar yang ditemukan di Balanipa. Berdasarkan kisah di dalam naskah tersebut, La Salaga dibesarkan di pulau Sulawesi dan Bali serta tumbuh menjadi seorang prajurit nan perkasa dan berperang dengan gagah melawan bangsa Sasak di Lombok. Prestasi La Salaga membuatnya dikagumi oleh penguasa Gowa, ia bahkan diminta oleh tetua adat Mandar untuk menjadi Mara’dia (raja) di negeri Mamuju dan Pamboang (Sulawesi Barat). La Salaga juga dikenang sebagai salah satu penguasa Mandar yang masuk Islam di bawah arahan Syekh Zakariya Al-Maghribi dari Jawa.

Sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali kisah tanpa visual yang terekam dalam naskah kuno ini, gaya lukis tradisional Bali yang dikenal dengan nama Wayang Kamasan sengaja dipilih. Sebagaimana pernikahan antaretnis ayah dan ibu La Salaga (Sulawesi dan Bali), karya lukis ini memadukan gaya seni khas suatu daerah untuk menceritakan kisah dari belahan Nusantara lainnya. Seorang pelukis asal Bali yaitu I Made Sesangka Puja Laksana secara khusus diminta untuk mengerjakan lukisan La Salaga tersebut.

Selanjutnya, lukisan tersebut digunakan sebagai bahan ilustrasi untuk buku dongeng. Tujuan pengadaan buku dongeng ini adalah agar cerita La Salaga dapat disampaikan kembali kepada generasi muda, orang tua maupun pendidik. Dua orang ilustrator muda berbakat tanah air yakni Ghina Amalia Yuhanida dan Aditya Bayu Perdana ikut terlibat dalam proses penciptaan buku dongeng berjudul Legenda La Salaga ini. La Salaga Project juga menghadirkan dua buah film yang mengisahkan proses behind the scene lukisan La Salaga serta pembacaan cerita dongengnya. Kedua film ini digarap oleh Agit Primaswara, seorang videografer asal Yogyakarta. Lukisan La Salaga bergaya Kamasan kemudian diserahkan kepada Ridwan Alimuddin, aktifis literasi dan pegiat budaya Mandar di Perpustakaan Nusa Pustaka, Polewali Mandar.

Dengan mempertimbangkan besarnya potensi kontribusi hasil-hasil karya La Salaga Project dalam menuturkan nilai-nilai keragaman dan kebhinnekaan Indonesia, Atelier KITLV membuka akses kepada publik untuk dapat menikmati karya-karya kami secara gratis. La Salaga Project mempersembahkan cara-cara inovatif untuk menceritakan kembali sejarah melalui beragam media kreatif. Kami berharap La Salaga Project dapat menginspirasi banyak orang, terutama akademisi dan seniman muda, untuk berkolaborasi di masa depan.

Buku dongeng “Legenda La Salaga” dapat anda baca dan download DI SINI secara gratis.

Film “The Journey of La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Film “Legenda La Salaga” dapat anda tonton melalui link INI.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Indonesia di Perpustakaan Universiteit Leiden

Leiden adalah kota yang unik. Tidak saja karena ia termasuk salah satu kota pelopor kemerdekaan Belanda dari tangan Kerajaan Spanyol pada tahun 1574, namun juga karena Leiden adalah tuan rumah dari Universiteit Leiden, universitas pertama di negeri kincir angin. Leiden sebagaimana halnya Jogja di Indonesia, merupakan kota pelajar. Jika luasnya dibandingkan dengan Amsterdam maupun The Hague jelas kota ini jauh lebih kecil. Leiden bukanlah tujuan utama turisme maupun kegiatan bisnis internasional, akan tetapi yang bisa membuat Leiden berbangga hati ialah fakta bahwa di dalam rahimnya bersarang material-material langka terkait kenangan maupun kekinian dari era Hindia Belanda hingga Indonesia pasca merdeka.

Tim La Galigo Music Project didampingi Sirtjo Koolhof saat mengunjungi Perpustakaan Universiteit Leiden untuk melihat langsung koleksi naskah La Galigo pada bulan Desember 2013 lalu

Universiteitbibliotheek Leiden alias Perpustakaan Universiteit Leiden berlokasi di sekitar kanal Rapenburg, jantung kota Leiden. Perpustakaan ini tepat berseberangan dengan Leidse Fakulteit der Geesteswetenschappen alias Fakultas Humaniora dan juga gedung KITLV. Dipisahkan oleh sebuah kanal yang dialiri oleh Sungai Rijn, Perpustakaan Leiden berhadapan dengan tembok belakang KITLV yang dilukisi sebuah elong berbahasa Bugis dalam aksara Lontaraq. Perpustakaan Leiden telah lama didaulat sebagai perpustakaan dengan bahan-bahan tentang Indonesia terlengkap di dunia. Di tempat ini kita bahkan dapat menemukan buku-buku, majalah-majalah, koran-koran, dan naskah-naskah yang di Indonesia sendiri sudah tidak ada. Koleksi di perpustakaan ini terbagi menjadi dua, yaitu koleksi yang dapat diakses oleh publik dan bijzondere collecties atau koleksi khusus. Koleksi khusus terdiri atas manuskrip-manuskrip maupun dokumen-dokumen tua yang dijaga dengan ketat. Untuk dapat mengakses koleksi-koleksi ini, kita hanya boleh melihatnya di sebuah ruangan khusus yang disediakan oleh pihak perpustakaan karena tidak boleh membawa bendanya keluar dari gedung. Koleksi khusus Perpustakaan Leiden apabila ditotal bisa mencapai luas dua kali lapangan sepakbola lho, Sobat Lontara! Koleksi khusus ini terdiri atas beragam dokumen seperti catatan pribadi, foto-foto, arsip pemerintah, peta dan atlas, kitab-kitab kuno, surat-surat, dan lain sebagainya. Salah satu koleksi kebanggaan Perpustakaan Leiden yang saat ini sedang hangat diperbincangkan ialah fragmen Alquran tertua di dunia yang berasal dari tahun 650-715 Masehi.

Suasana di depan gedung Universiteit Bibliotheek Leiden

Beberapa koleksi Perpustakaan Leiden lainnya yang menakjubkan dan berhubungan dengan Indonesia tentu saja ialah naskah La Galigo terpanjang di dunia, NBG 188, yang telah diakui oleh UNESCO pada tahun 2011 sebagai Memory of The World. Naskah tersebut menjadi kebanggaan perpustakaan ini. Naskah Babad Diponegoro yang asli dan, seperti halnya La Galigo, juga dianugerahi status sebagai Memory of The World pun juga bagian dari koleksi khusus. Naskah Negarakertagama yang berisi kisah kejayaan Kerajaan Majapahit awalnya disimpan di Perpustakaan Universiteit Leiden, namun pada tahun 1973 dalam rangka lawatannya ke tanah air, Ratu Juliana mengembalikan naskah tersebut kepada bangsa Indonesia. Nah, Perpustakaan Universiteit Leiden menjadi semakin kaya oleh koleksi tentang Indonesia sejak lembaga riset KITLV ditutup dan memberikan dokumen-dokumen  mereka (yang apabila dibentangkan panjangnya bisa mencapai 10 kilometer!) untuk dikelola oleh pihak Universiteit Leiden. Dengan demikian, Perpustakaan Universiteit Leiden boleh dibilang sebagai gudang harta bagi mereka yang memilih untuk belajar Indonesian Studies di negara-negara Barat.

Demi merayakan luarbiasanya koleksi tentang Indonesia, Perpustakaan Universiteit Leiden menggelar sebuah eksebisi berjudul “Investigating Indonesia” mulai tanggal 16 Oktober 2014 hingga 22 Januari 2015 (detail programnya bisa dilihat di sini). Di hall pintu masuk utama perpustakaan, sebuah ruangan khusus disediakan untuk memamerkan 7 buah hasil riset dari ahli-ahli Indonesia di Universiteit Leiden dan KITLV. Hasil-hasil riset ini amat menarik karena ditilik dari berbagai sudut pandang. Ada riset yang berhubungan dengan sosok perempuan muslim di Indonesia sejak zaman ratu-ratu Aceh hingga generasi majalah-majalah wanita. Ada yang membahas tentang tingkat keanekaragaman bahasa di Timor. Ada yang membahas perkembangan musik, utamanya dangdut. Bahkan ada yang membahas perihal implikasi sosial-legal proyek biofuel di daerah. Teman-teman yang penasaran dengan koleksi mereka dapat langsung ngecek ke website Universiteitbibliotheek Leiden atau ke KITLV. Di sana, ada banyak naskah yang sudah didigitalisasi serta koleksi foto-foto dari era kolonial yang dengan mudah dapat kita akses setelah mengikuti prosedur mereka.

Nah, teman-teman di Indonesia, daripada sibuk meratapi dan menyayangkan keberadaan naskah-naskah kuno di luar negeri (yang jelas-jelas dirawat dengan baik dengan biaya dan fasilitas yang memadai), mengapa kita tidak meneruskan tradisi baca tulis leluhur kita dulu? Mengapa kita tidak melestarikan serta menjaga tradisi-tradisi lisan maupun tulisan yang sekarang di kandangnya sendiri pun dilanda kepunahan? Apa yang kita tulis atau hasilkan hari ini juga di masa yang akan datang kelak menjadi harta karun bagi generasi-generasi berikutnya, bukan? Melihat antusiasme peneliti-peneliti di Leiden (baik yang berasal dari Indonesia maupun asing), kita bersyukur sekali karena naskah-naskah tersebut tidak sekedar disimpan, namun juga terus-menerus dikaji sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang memperkaya perspektif kebudayaan kita. Terus hasilkan karya demi bangsa dan tanah air kita tercinta!

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

“Pucuk yang Terpuji” Penyelamat La Galigo dari Negri Tanete

La Galigo mungkin sudah punah termakan zaman, jika tidak ada wanita  ini yang menyalinnya.

Colliq Pujie, Penyalin ke-12 jlid naskah La Galigo yang kini berada di Leiden. (Sumber: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003)

Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Namanya amat khas Bugis (dan sulit dibaca, hehe). Retna Kencana Colliq Pujie (‘Pucuk yang terpuji’) ialah nama kecil yang menjadi panggilannya, sedangkan Arung Pancana Toa ‘Raja Pancana Tua’ adalah sebuah gelar. Matinroe ri Tucae  ‘yang tidur di Tucae’ merupakan nama anumerta yang disematkan oleh orang-orang setelah Ia “ditidurkan” oleh Yang Maha Esa.

Colliq Pujie adalah wanita bangsawan berdarah Bugis-Melayu. Ketika banyak perempuan (bahkan dari kalangan aristokrat) lain di Indonesia yang tidak mendapatkan akses ke pendidikan, Colliq Pujie tumbuh menjadi seorang cendekiawati yang penuh kreatifitas. Ia cerdas dan dikaruniai dengan banyak kemampuan. Bahasa dan sastra Bugis merupakan keahliannya. Ia mengerti bahasa La Galigo yang pada zamannya pun sudah tidak dituturkan lagi. Dalam urusan kerajaan, dia diberi amanat tulis-menulis surat resmi untuk ayahnya, La Rumpang, raja di Tanete. Aktifitas kerajaan lebih banyak dikontrol oleh Colliq Pujie sebab ayahnya hampir tidak pernah tinggal di istana karena diintimidasi oleh Belanda. Sampai-sampai Ia digelari Datu Tanete karena memainkan peranan utama di kerajaan. Wow, hebat ya!

Penikahannya dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung Ujung) menganugerahinya tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama  La Makkawaru, dan yang perempuan bernama Siti Aisyah  We Tenriolle dan I Gading. Pada tahun 1852, suaminya meninggal dunia. Ia menetap di Tanete bersama ayahnya.

Pertemuannya dengan Matthes diawali dengan keinginan Matthes untuk mempelajari bahasa Bugis yang menurutnya lebih susah dari bahasa Makassar. Tahun 1852, Matthes yang tinggal di Makassar mengunjungi daerah-daerah Bugis, seperti Maros, Pangkajene, dan Tanete. Di Tanete dia berkenalan dengan Colliq Pujie. Tidak banyak yang mereka bicarakan pada pertemuan pertama tersebut. Matthes pun kembali ke Makassar.

Tahun 1855, La Rumpang, ayah Colliq Pujie, meninggal dunia. Dia digantikan oleh We Tenriolle, putri Colliq Pujie, yang kemudian dilantik sebagai Datu Tanete. Pewarisan tahta kepada putri Colliq Pujie adalah permintaan pribadi La Rumpang sebab dia tidak ingin tahtanya jatuh kepada La Makkawaru, putra Colliq Pujie, yang memiliki tingkah laku yang buruk. Selang dua tahun, terjadi pertengkaran antara Datu Tanete dan anggota keluarganya, termasuk ibunya. Hal ini terjadi karena ternyata putri Colliq Pujie tersebut bekerja sama dengan Belanda. Colliq Pujie yang notabene merupakan penentang kuat kekuasaan Belanda sangat marah dan melakukan perlawanan. Khawatir akan pengaruh dan kharisma Colliq Pujie yang begitu kuat, Belanda akhirnya mengucilkannya ke Makassar dengan uang tunjangan seadanya.

Naskah Bergambar Sureq Galigo Kolekasi Andi Makkarate. (Sumber: La Galigo Menelusui Jejak Warisan Dunia, 2003)

Sejak saat itu, Colliq Pujie menetap di Makassar hingga pada tahun 1859 dia diizinkan kembali ke Tanete atas permintaan putrinya. Selama di Makassar itulah dia membantu Matthes dalam menyalin naskah La Galigo. Matthes berhasil mengumpulkan cukup banyak naskah La Galigo dari hasil perjalanannya ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Beberapa ada yang dipinjamnya, beberapa ada yang diberikan sukarela, dan beberapa ada yang disalinnya sendiri karena empunya tidak ingin meminjamkan atau memberikan. Colliq Pujie pun turut membantu dengan pengetahuannya tentang bahasa dan sastra Bugis.

Kerja sama antara Colliq Pujie dan Matthes berlangsung selama 20 tahun. Ya, 20 tahun! Kebayang kan betapa banyak dan panjangnya naskah La Galigo yang harus disalin Colliq Pujie ke atas kertas. Bahkan sebenarnya, diperkirakan itu baru 1/3 dari keseluruhan naskah La Galigo. Banyak naskah La Galigo yang tidak sempat disalin ke atas kertas karena hilang ataupun rusak.

Tidak hanya Matthes yang dibantu oleh Colliq Pujie, dia juga membantu Ida Pfeiffer dan A. Lighvoed. Ida Pfeiffer adalah seorang etnolog dari Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan pada tahun 1853, sedangkan A. Lighvoed adalah seoarang peneliti asing yang ingin menyusun catatan peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada tahun 1870.

Colliq Pujie meninggal pada tanggal 11 November 1876. Selain naskah La Galigo yang disalinnya, Colliq Pujie juga menghasilkan berbagai macam karya sastra. Tahun 1852, dia menulis “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut “Lontaraqna Tanete”. Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette. Kemudian dia juga menulis Sureq Baweng, suatu syair yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis dan pernah diterbitkan oleh Matthes. Colliq Pujie juga menulis beberapa elong (sejenis pantun Bugis) dan tulisan tentang kebudayaan dan upacara Bugis. Karya-karya Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden, Belanda, serta di Yayasan Matthes Makassar.

Colliq Pujie memang tidak begitu dikenal di luar daerah Sulawesi Selatan (bahkan mungkin banyak lho teman-teman lokal kita di Sulsel yang tidak mengetahui sosoknya!). Belajar dari pengalaman hidup dan semangatnya untuk terus berkreasi, Colliq Pujie bisa dijadikan role-model untuk gadis-gadis jaman sekarang. Pada zamannya dulu novel belum dikenal, apalagi buku yang ditulis oleh perempuan, namun Ia sudah dapat menciptakan karya-karya sastra yang bermutu tinggi. Keterbatasannya di pengasingan justru membuatnya terus semangat berkarya. Colliq Pujie adalah pesan bagi generasi muda perempuan Indonesia untuk menjadi mandiri, bersahaja, dan smart!

 

Referensi

I La Galigo: Menurut Naskah NBG 188 yang Disusun oleh Arung Pancana Toa Jilid I. Jakarta: Penerbit Djambatan 1995.

Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, Fachruddin AE dengan bantuan Nurhayati Rahman

Redaksi: Sirtjo Koolhof, Roger Tol