Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

Senja di Desa Lemo-Lemo

Di tengah hiruk pikuk Kota Makassar sulit bagi kita untuk menemukan cerita kehidupan warga apalagi berbaur dengan mereka untuk menemukan makna dari sebuah cerita. Cerita kehidupan warga hanya ada di pelosok-pelosok negeri. Di sanalah ada berbagai ragam kehidupan yang masih tersimpan rapi dalam setiap langkah yang berdebu. Meski perjalananku kali ini ke Bulukumba bukanlah yang pertama kalinya, perjalanan ini merupakan kesempatan pertamaku untuk hidup berbaur ditengah-tengah warga pedesaan dan belajar menemukan makna dari kehidupan mereka.

Hari itu, Jumat tanggal 27 Februari 2015, kurang lebih 30 orang berpartisipasi dalam kegiatan “ Heritage Trail: Experience Of Phinisi”. Acara ini mengajak para pemuda mengenal budaya Sulawesi Selatan dengan hidup bersama warga di desa dan melakukan konservasi warisan budaya di Dusun Kajang serta Kapal Phinisi. Hari pertama, kami berkunjung ke salah satu desa di Kabupaten Bulukumba, yaitu Desa Lemo-Lemo, kurang lebih 6 jam dari Kota Makassar. Dalam perjalanan kupandangi setiap sudut Kota Makassar yang semakin hari tenggelam dalam era modernitas. Bus yang kami tumpangi semakin menjauh, menyisakan puncak gedung-gedung yang sekali-kali terlihat dari jendela.

Dalam perjalanan , kami berbagi keceriaan dan cerita. Beberapa teman mengisahkan tentang sejarah Sulawesi Selatan, yang seolah-olah mengajak kita mengarungi masa lalu. Walau perjalanan sangat melelahkan,aku tetap berusahadan terus membuka mata agar tidak ada yang terlewati dari proyeksi alam yang jauh membentang. Panoram pun mulai memanjakan mata dan di depanku terbentang-bentang jalan lurus yang disisinya dihiasi oleh hamparan padi yang menghijau. Bus yang kami tumpangi terasa sangat kecil ketika melintasi hamparan pedesaaan yang luas ini. Dari Bulukumba, kami harus menempuh satu jam perjalanan lagi untuk menuju Desa Lemo-Lemo. Sore menjelang dan sinar matahari mulai menyelinap di antara dahan-dahan pohon. Kira-kira pukul lima lewat kami pun sampai di Desa Lemo-Lemo.

Perjalanan menuju Desa Lemo-Lemo

Malam pertama kegiatan Heritage Trail dihabiskan untuk menghibur warga Desa Lemo-Lemo, yakni memutar beberapa film dokumenter yang menceritakan ekspedisi “NKRI” dan “Penyebaran Islam di Sulawesi Barat”. Warga nampak sangat antusias menikmati tayangan tersebut seolah-olah baru pertama kalinya. Ini adalah kesempatan pertama kami dengan warga setempat untuk berbaur dan merasakan dinginnya angin malam yang bersiul membelai daun di dahan pepohonan. Nyiur daun kelapa yang tumbuh di sepanjang pantai di tengah larutnya malam membuat suasana kehidupan di Desa Lemo-Lemo semakin tenang. Cahaya pelita mengintip dari celah-celah dinding dan bising kendaraan yang menabuh gendang telinga para penduduk kota tak akan terdengar sampai disini.

Badanku terlentang diatas papan untuk beristirahat melewati malam yang panjang. Meski sebagian dari teman-teman mulai mengayuh ke alam mimpi, aku masih tetap terjaga. Muncul sejuta pertanyaan : inikah rasanya hidup di pedesaan yang jauh dari keramaian? Walau ada rasa gelisah, aku tetap berusaha untuk beristirahat untuk mempersiapkan diri esok hari.

Aku bersama anak-anak di Desa Lemo-Lemo

Hari menjelang pagi, sinar matahari menyelinap di jendela dapur. Bersama keluarga Pak Said, kami mulai sibuk menyiapkan sarapan. Pagi ini kami mempunyai kesempatan untuk belajar menggunakan peralatan dapur yang tampak sederhana, salah satunya tungku yang menggunakan kayu bakar. Bagi saya, memasak dengan menggunakan kompor tradisional sangatlah berat, tetapi bagi istri Pak Said nampak mudah saja.

Istri Pak Said menggunakan tungku kayu bakar untuk memasak

Nun jauh disana, hamparan pasir putih yang terhempas oleh ombak membuatku ingin tinggal lebih lama di Desa Lemo-Lemo. Pemandangan pagi ini memberikanku pemahaman baru tentang kehidupan karena baru kali ini aku bersentuhan langsung dengan alam. Kehidupan warga di Desa Lemo-Lemo mengajarkan banyak hal tentang kesederhanaan dan ketekunan hidup yang mereka jalani meskipun sarana di pedesaan mereka belum tersentuh oleh pembangunan.

Pengalaman yang kami rasakan di Lemo-Lemo hanyalah sebuah potongan kecil dari bagian kehidupan warga desa yang utuh. Paling tidak, jika kita pahami, terdapat sejuta makna kehidupan yang sebenarnya ketika kita mampu menyatu dengan alam dan hidup dalam kesederhanaan. 

 


Anna Asriani de Sausa
atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung denganpara Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

 

Categories
101 La Galigo Galigo Gallery Lontara Project Photos

WHD Jakarta 2014

World Heritage Day Jakarta 2014

Dalam rangka merayakan World Heritage Day (WHD) 2014 yang jatuh pada tanggal 18 April, Lontara Project bekerja sama dengan BEM FIB UI dan Komunitas Tari Ayu Bulan mengangkat tema Kenali Intangible Heritage Lebih Jauh dengan mendukung kampanye 9 Tari Tradisi Bali untuk diinskripsi UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia 2015 yang dilakukan oleh Komunitas Tari Ayu Bulan. Kamu bisa mendukung kampanye tersebut dengan memberikan LIKE pada FB Page Dukung Tari Tradisi Bali.

Acara akan diselenggarakan pada 22-23 April 2014 di Auditorium Gedung 9 FIB UI pukul 16.00-selesai. Akan ada pameran, bazar, diskusi budaya, dan pertunjukan Tari Legong sebagai puncaknya. Kami mengajak seluruh masyarakat, terutama anak muda, untuk berpartisipasi dalam acara ini. Datang dan ramaikan dengan memakai baju atau aksesoris budaya favoritmu.

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Heritage Camp

Cikal Bakal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu

Pernah dengar tentang Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu? Mendengar nama ini untuk pertama kalinya mungkin akan membuat kita langsung teringat akan salah satu suku di Kalimantan yang beragama Hindu dan/atau Buddha. Lalu, apa hubungannya dengan Indramayu? Yuk, mari menelusuri tulisan Muhamad Handar untuk mengetahui jawabannya.

Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu merupakan sebuah komunitas. Orang luar sering menyebutnya dengan istilah “Dayak Losarang” atau “Dayak Indramayu”. Namun, sebelum membahas komunitas ini lebih lanjut. Ada baiknya kita menilik pengertian dan serba-serbi komunitas terlebih dahulu.

Konsep komunitas telah mulai memainkan peranan penting dalam penulisan sejarah pada beberapa tahun terakhir.[1] Studi tentang komunitas telah menjadi bagian antropologi dan sosiologi sejak pertengahan abad ini.

Akhir-akhir ini, para sosiologiwan dan antropologiwan mulai memandang kota sebagai kumpulan komunitas atau “kampung-kampung kota”. Antropologiwan Victor Turner, yang mengembangkan gagasan Durkheim tentang pentingnya acara-acara ‘pesta buih kreatif’ bagi pembaharuan sosial, menciptakan istilah ‘communitas’ untuk menyebut solidaritas sosial yang spontan dan tidak terstruktur (contoh-contohnya meliputi kaum Franciskan awal hingga kaum hippies). Solidaritas tentu saja bersifat sementara karena suatu kelompok informal sering bubar secara perlahan-lahan atau melebur ke dalam institusi formal. Walaupun begitu, komunitas dapat hidup kembali sewaktu-waktu di dalam institusi, berkat ritual dan acara-acara lain atas apa yang dinamakan ‘pembentukan komunitas secara simbolik’.

Ritual Adat Suku Dayak Losarang, Indramayu. (Sumber: http://danielmsy.com/dayak-losarang-indramayu/)

Menurut Benedict Anderson, misalnya faktor penting dalam penciptaan ‘komunitas yang dibayangkan’ ini adalah mundurnya agama dan tumbuhnya bahasa lokal (yang didorong oleh ‘kapitalisme cetak’. Bagi Ernest Gellner, faktor terpentingnya adalah tumbuhnya masyarakat industri, yang menciptakan keseragaman budaya yang ‘di permukaan muncul dalam bentuk nasionalisme’. (Burke, Peter. 2003: 84)

Komunitas merupakan istilah “masyarakat” yang dipakai untuk menyebut dua wujud kesatuan manusia yang menekan kepada aspek lokasi hidup dan wilayah, konsep “kelompok” yang menekan kepada aspek organisasi dan pimpinan dari suatu kesatuan manusia. Ada tiga wujud kesatuan manusia yang tidak dapat disebut “masyarakat”, karena memang tidak memenuhi ketiga unsur yang merupakan syarat dari konsep “masyarakat”, yaitu “kerumunan”, “kategori sosial”, dan “golongan sosial”. Sedangkan “perkumpulan” lazimnya juga tidak disebut demikian juga walaupun memenuhi syarat tersebut.

Nah, kembali pada Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu. Mereka dapat digolongkan sebagai salah satu contoh komunitas masyarakat karena memenuhi syarat-syarat tersebut. Komunitas tersebut tepatnya bermukim di Kampung Segandu. Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.[2] “Suku Dayak Indramayu” mulai mencuat ke permukaan sejak pernyataan mereka untuk menjadi golput (golongan putih) pada Pemilu tahun 2004 yang diungkap beberapa media massa, antara lain Harian Umum Pikiran Rakyat (Bandung) dan Radar Cirebon.

Asal usul penamaan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu :

  • Kata “suku”, artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
  • Kata “dayak” berasal dari kata “ayak” atau “ngayak”  yang artinya memilih atau menyaring. Makna kata dayak disini adalah menyaring, memilih mana yang baik dan yang salah.
  • Kata “hindu” artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia diklahirkan dari kandungan Sang Ibu (perempuan).
  • Kata “budha” berasal dari kata “wuda” yang artinya telanjang. Makna filosofisnya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
  • Kata “bumi segandu” yaitu, “bumi” mengandung makna wujud, “segandu” mengandung makna sekujur badan. Gabungan kedua kata tersebut “bumi segandu” mempunyai makna filosofis yaitu kekuatan hidup.
  • Kata “Indramayu” mengandung kata pengertian, “In memiliki kata “inti, ‘Darma artinya orangtua dan kata “Ayu” artinya perempuan. Makna filosofis yaitu bahwa ibu merupakan sumber hidup karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan.

    Suku Dayak Losarang (Sumber: http://fujiprastowo.files.wordpress.com/2012/03/dayak-losarang.jpg)

Jadi, penyebutan kata “suku” pada komunitas tersebut bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari kata-kata dalam bahasa daerah (Jawa). Demikian pula, dengan kata “dayak” bukan dalam pengertian suku bangsa (etnik) Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan yakni mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju serta mengenakan aksesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki).

Kesimpulan yang bisa diambil mengenai komunitas Suku Dayak Indramayu, yaitu :

  1. Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu merupakan sebuah komunitas independen yang tidak mengikatkan diri pada salah satu agama, organisasi, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maupun partai politik tertentu serta organisasi kemasyarakatan.
  2. Warga komunitas ini meyakini ajaran yang diajarkan oleh pimpinan mereka, Takmat Diningrat, yang disebut dengan ajaran ‘Sajarah Alam Ngaji Rasa’. Inti dari ajaran ini mencari kebenaran melalui penyatuan diri dengan alam, pemulian terhadap lingkungan alam, pengabdian kepada keluarga, berperilaku jujur dan sabar.
  3. Istilah “Suku Dayak” yang mereka gunakan sebagai identitas kelompok ini bukanlah ‘suku’ dalam etnik (suku bangsa), melainkan sebuah istilah dalam bahasa Indramayu. Demikian pula kata ‘Dayak’ bukan dalam arti suku bangsa Dayak, melainkan pula diambil dari bahasa Indramayu yang artinya memilih/menyaring.
  4. Pemimpin kelompok ini telah mengalami banyak kekecewaan hidup yang menimbulkan sikap apatis terhadap aturan-aturan formal pemerintah maupun hak-hak sipil mereka. Sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya. Selain itu, komunitas tersebut lebih mengarah pada suatu aliran kepercayaan, ketimbang kelompok suku bangsa sebagaimana mereka mengidentifikasikan dirinya ‘Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu’. Kesatuan dan kebersamaan mereka lebih didasari oleh keyakinan bersama akan kebenaran ajaran yang diberikan oleh pemimpin mereka kepada warganya.

 


[1]  Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 81


[2]  Hasil temuan wawancara bersama Nurul Hidayat (berasal dari Indramayu) dari Jurusan Sosiologi Progam Studi Pendidikan Sosiologi Tahun 2008, tertanggal 22 Desember 2011.

 

Muhamad Handar merupakan salah satu alumni Heritage Camp 2013.  Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan program studi Ilmu Sosial dan Politik. Pria yang hobi menulis ini punya tiga kata kunci untuk menggambarkan dirinya: inovatif, kreatif dan cerdas. Kenal lebih jauh dengan Handar lewat blognya http://handarsmart.blogspot.com/.