Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Itu Bissu, Bukan Waria!

Beberapa bulan lalu, tim kami sempat mengikuti kajian mengenai bissu di asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, Yogyakarta. Isu menarik yang mengundang banyak tanya ini dibawakan oleh kakanda Zainal, dosen Universitas Haluleo yang tengah melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada. Nah, pada kesempatan kali ini kami akan bercerita sedikit mengenai bissu dan kondisi mereka yang terancam punah di kampung halamannya sendiri.

 

Bissu dalam ritual Maggiriq. Sumber: Pameran Keris Bugis Bentara Budaya Kompas 2012.

            Kemarin (01/09/2012) komunitas bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan diselimuti kabut duka. Upe Puang Lolo, biasa dipanggil Puang Upe tertidur damai menghadap Dewata SeuwwaE alias Tuhan Yang Maha Esa. Sosok yang menjalani laku sebagai pendeta kepercayaan Bugis kuno sejak umur 14 tahun ini tidak meninggalkan apa-apa.  Hanya benda-benda pusaka yang ia jaga dan ke-12 orang bissu yang tersisa di Segeri lah warisan yang tidak ia bawa pergi. Kematiannya amat mendadak. Padahal, baru bulan lalu Puang Upe berangkat ke Yogyakarta. Saat itu, tarian bissunya yang mistis sejenak berhasil memindahkan kemistisan tanah Sulawesi ke pusar budaya Jawa.

Tahun lalu, 28 Juni 2011 dunia juga diguncang oleh wafatnya Puang Saidi, matoa alias pemimpin komunitas bissu Segeri. Puang Saidi yang selama hidupnya aktif dalam berbagai kegiatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi lokal, banyak dijadikan sebagai obyek penelitian oleh para akademisi, baik di dalam maupun di luar negri. Ia pun juga sering diburu oleh wartawan pencari berita agar foto dan ulasan kata-katanya dapat terpajang di berbagai koran dan majalah.

Partisipasi Puang Saidi dalam pertunjukan Teater I La Galigo besutan Robert Wilson membuatnya menjadi bissu pertama yang pernah keliling dunia dan menggemakan bait-bait Sureq Galigo. Untuk membaca bait-bait dalam naskah tersebut, Puang Saidi mesti belajar terlebih dahulu kepada almarhum Drs. Muhammad Salim. Orang yang memiliki kemampuan dalam mendendangkan La Galigo dihadapan publik disebut passureq, dan profesi ini bukanlah hal yang ditekuni oleh bissu meskipun mereka memahami fungsi dan makna La Galigo. Inilah yang kadang disalahpahami oleh masyarakat awam; bissu = passureq. Film dokumenter yang menangkap kehidupan sehari-hari Puang Saidi seperti The Last Bissu (2004) karya Rhoda Gauer maupun liputan khusus tentang dirinya sudah pernah ditayangkan oleh National Geographic, stasiun-stasiun TV nasional, hingga program internasional seperti Andrew Zimmern’s Bizzare World. Pembawaan Puang Saidi yang memang ramah dan terbuka membuatnya cepat dekat dan percaya dengan orang-orang baru.

Ketiadaan Puang Saidi berimbas dengan diangkatnya Puang Upe sebagai pengganti. Ketika Puang Saidi masih hidup, Puang Upe sudah ditunjuk untuk memangku jabatan puang lolo, alias wakil dari pada sang bissu utama. Ia diharapkan agar kelak dapat menjadi pengganti Puang Saidi. Akan tetapi hingga kematiannya kemarin, Puang Upe belum pernah dilantik sebagai puang matoa. Saat  dikuburkan ba’da dhuhur pada hari yang sama, Ia masih berstatus sebagai puang lolo. Siapakah yang akan menjadi pemimpin komunitas bissu di Segeri? Hingga saat ini pun pertanyaan itu juga masih menimbulkan kegelisahan di kalangan mereka sendiri.

Almarhum Puang Saidi. Sumber: Sharyn Graham

Bissu, konon berasal dari kata biksu. Pendapat terkenal yang dilontarkan oleh almarhum Fachruddin Ambo Enre ini menciptakan persepsi bahwa agama Buddha pernah masuk ke Sulawesi purba dan mendapatkan tempat yang cukup signifikan. Akan tetapi, jejak-jejak Hindu-Buddha di Sulawesi Selatan ternyata tidak kuat menancap sebagaimana jejak kedua agama ini di kebudayaan Jawa maupun Bali. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata mabessi yang berarti suci. Bissu pada dasarnya merupakan pendeta agama Bugis pra-Islam yang bertugas untuk menjaga pusaka-pusaka kerajaan serta menjadi penghubung interdimensional antara manusia dan Tuhan. Selaku pendeta, Ia bertugas untuk memimpin beragam ritual adat seperti mangota dan mappanre liseq. Karena dianggap mampu  berkomunikasi dengan dunia para dewa, mereka juga dikenal memiliki kekuatan gaib untuk menyembuhkan penyakit, ilmu kekebalan tubuh, menjadi pawang hujan, maupun sebagai penjaga puteri-puteri raja pada jaman kerajaan dulu. Fungsinya yang terakhir ini mirip dengan kasim atau penjaga harem di dalam kebudayaan Cina.

Keunikan bissu terletak pada jenis kelaminnya. Ketika agama-agama di dunia menonjolkan sifat patriarkhi dengan menunjuk imam-imam mereka dari golongan pria, bissu adalah sebuah perkecualian. Secara sederhana, penampilan bissu terlihat mirip waria atau banci. Khazanah Barat melabeli perbuatan individu semacam ini sebagai seorang transvestite atau transgender, namun pada hakikatnya definisi-definisi tersebut bahkan sama sekali tidak mendekati pengertian filosofis bissu yang sebenarnya. Jenis kelamin bissu adalah sebuah kenetralan yang tidak dapat diterima logika zaman sekarang. Orang Bugis kuno menganggap bahwa dengan bertingkah laku menyimpang seperti itu, seseorang akan terjauh dari hasrat seksualnya, baik terhadap lawan maupun sesama jenis. Mereka akan selalu dalam keadaan suci untuk berkomunikasi dengan dewata karena terhindar dari hasrat duniawi.

Konon, bissu telah dimatikan hasrat seksualnya dengan jalan ditotok pada beberapa bagian tubuh. Cara konvensional ini sekedar untuk memastikan bahwa sang bissu tidak akan melanggar sumpahnya dan berhasrat kepada sesama jenis. Bissu kini berjumlah amat sedikit dan jarang ditemui di daerah-daerah Bugis. Hari ini yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan ialah golongan calabai atau laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Golongan yang dikategorikan sebagai homoseksual ini mengambil tempat di tengah masyarakat sebagai penghibur. Mereka juga perlahan memasuki dunia ekonomi dengan menjadi indoq botting atau perias pengantin dan membuka toko. Konon calabai memiliki kemampuan untuk membuat pengantin menjadi cantik. Kategori calabai inilah yang sesuai dengan definisi waria yang dianut oleh masyarakat luas. Bissu yang tidak dapat digolongkan sebagai orowane (pria), makunrai (wanita), calabai, maupun calalai (perempuan yang bertingkah seperti laki-laki) menjadi jenis kelamin kelima dalam kebudayaan Bugis.

Bissu bukanlah identitas individu, melainkan identitas kelompok. Tanpa komunitasnya, seorang bissu tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga Ia pun tak layak mengusung gelar tersebut. Seringnya bissu disalahpahami sebagai wadam menandakan bahwa masyarakat menilai fenomena ini hanya dari perspektif fisik. Bissu bukanlah penanda gender, namun perjalanan spiritual. Istilah kebahasaan seringkali menjebak pola pikir masyarakat dalam mendeskripsikan sosok bissu. Fakta bahwa bissu pun dapat berasal dari kalangan perempuan dan dapat menikah serta mempunyai anak pun tidak tersorot ke permukaan. Padahal epos besar La Galigo dengan gamblang mengisahkan bagaimana We Tenri Abeng adik Sawerigading sebenarnya adalah seorang bissu. Demikian pula halnya dengan putri kedua Sawerigading yang bernama We Tenri Dio. We Tenri Dio yang seorang bissu ini menikah dengan Lalaki Sigayya dan memerintah sebagai ratu di Pulau Selayar.

Kini, bissu banyak terdapat di komunitas Segeri. Itupun jumlah mereka semakin hari semakin menipis. Ketika mereka diburu-buru untuk dibunuh era operasi pemurnian Islam di bawah komando Kahar Muzakkar, bissu-bissu dari kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, Luwu dan lainnya ini banyak yang melarikan diri ke Pangkep.  Elit-elit lokal Pangkep saat itu menerima mereka dengan tangan terbuka. Kondisi budaya di Pangkep yang merupakan daerah peralihan antara suku Makassar dan Bugis membuat elit-elit lokal bersedia mengambil bissu sebagai penguat identitas mereka di tengah kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

Bissu tinggal imajinasi yang tersisa dari masa lalu, karena seiring dengan hilangnya kerajaan-kerajaan yang mengultuskannya maka hilang pulalah mereka. Simbol-simbol bissu tadi mengendap di balik bayang-bayang waria yang dengan rendah disematkan oleh masyarakatnya sendiri. Akankah bissu menghilang selamanya dari peredaran budaya nusantara? Jawabannya ada di tangan generasi muda bangsa.

 

Referensi:
–          Nurhayati Rahman, Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpaloe, La Galigo Press.
–          PUANG UPE’, BISSU PENJAGA RAKKEANG KUNING http://www.insist.or.id/id/node/322.
–          Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan.
–          Bissu Segeri Meninggal Dunia di Pangkep http://www.tribunnews.com/2012/09/01/bissu-segeri-meninggal-dunia-di-pangkep.

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Menyambut Tamu dengan Piper Betle

Teman-teman punya kakek atau nenek yang hobi nyirih? Atau masih ada keluarga di kampung halaman kalian yang demen mengunyah tanaman unik ini? Jika iya, berarti kalian adalah sedikit dari mereka yang beruntung dapat menyaksikan tradisi berumur ribuan tahun asli bangsa Asia Tenggara!

Eh? Serius nyirih udah berlangsung selama ribuan tahun?

Daun Sirih

Tanaman sirih (Piper betle) dan tradisi mengunyah sirih diperkirakan berasal dari Asia Selatan serta Asia Tenggara. Ada juga yang mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari Cina dan India lalu menyebar ke daerah Asia lainnya. Penemuan kotak sirih bersama benda-benda prasejarah seperti pisau besi, mata kail perunggu, gelang, anting-anting berbentuk hewan dan arca di Sulawesi Selatan menandakan bahwa sirih telah dikonsumsi oleh penghuni nusantara sejak Zaman Logam. Saat ini belum ada penemuan resmi yang membuka tabir asal-mula diolahnya sirih dalam peradaban manusia. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang berada di sekitar wilayah penyebaran daun sirih, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini telah hidup setua masyarakat itu sendiri.

Di Vietnam, aktifitas mengunyah sirih merupakan “pembuka” dalam setiap forum resmi. Demikian pula di dalam lingkungan adat Melayu. Umumnya sirih dikunyah dengan pinang, kapur, kapulaga ataupun gambir. Di daerah Bengali (India) daun sirih malah biasanya dicampur dengan tobacco atau rempah-rempah lainnya. Istilah sekapur sirih yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai kata pengantar atau sambutan pun lahir dari kebiasaan menyuguhkan daun sirih dan kapur untuk para tetamu.

Daun sirih yang dapat dengan mudah tumbuh di pekarangan rumah, kebun, hutan, atau bahkan di pinggir jalan membuat tanaman ini kosmopolitan bagi masyarakat Asia Tenggara. Dalam film berjudul Yamada The Samurai of Ayutthaya (2010) kita mengetahui bahwa bangsa Thai pun menganggap nyirih sebagai bagian dari kebudayaan klasik mereka. Berlatar zaman Kerajaan Ayuthayya, samurai Jepang bernama Yamada yang terluka ditolong oleh seorang gadis Thailand di sebuah desa kecil. Sambil menunggu lukanya sembuh, Ia diperkenalkan cara untuk mengonsumsi daun sirih (yang disebut sebagai ‘tradisi khas kami’) oleh seorang anak kecil lokal. Kontan saja karena perbedaan kebudayaan antara Jepang dan Thailand Ia merasa tidak nyaman ketika mengunyah sirih untuk pertama kalinya (dan menjadi bahan guyonan anak kecil tadi). Oleh bangsa-bangsa di Asia Tenggara, daun sirih dipercaya memiliki banyak khasiat; mulai dari  menyegarkan napas, membersihkan kotoran di tubuh, hingga sebagai obat perangsang.