Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Cari Alam Melayu Gara-Gara Nusantara dan Pikir-Pikir Jawi

Kawasan kepulauan Asia Tenggara memang unik. Tidak hanya dari segi geografisnya yang berada di “ujung dunia” (dalam pandangan bangsa Eropa di Abad Pertengahan) namun juga kekayaan alam serta peradaban manusianya. Menurut kalangan sejarawan, Asia Tenggara adalah suatu area yang memiliki perjalanan sejarah panjang dan membentuk sebuah “hub” atau penghubung antara peradaban Cina dan India. Kawasan ini sudah sejak lama dipandang oleh dunia luar sebagai bagian dari bumi yang penuh misteri sekaligus “eksotis”. Tercatat dari tujuh kali pelayaran Sindbad Si Pelaut keliling berbagai tempat di dalam Kisah 1001 Malam, kira-kira dua hingga tiga di antaranya berada di wilayah kepulauan Asia Tenggara. Pelayaran pertama si pelaut asal Baghdad menuju Cina ini konon membuatnya terdampar di Pulau Sumatera yang saat itu dipimpin oleh seorang raja bernama “Mihrajan”, gelar yang identik dengan Maharaja di Sriwijaya.

Sebagai sebuah kawasan yang terletak di kawasan persimpangan kebudayaan-kebudayaan besar, bangsa di kepulauan Asia Tenggara dapat dikatakan tidak mengenal “pagar”. Kemampuan adaptasi dan adopsi mereka amat tinggi, terbukti dengan kayanya bahasa-bahasa Austronesia dengan serapan dari Bahasa Sansekerta, Arab, Persia, Cina, Inggris, Belanda, Perancis dan lainnya.  Pengaruh-pengaruh tersebut masuk karena peran hubungan maritim. Agama-agama mayoritas di kepulauan Asia Tenggara seperti Islam, Kristen, Hindu dan Buddha awalnya masuk melalui jalur perdagangan. Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara yang sudah tidak asing dengan kedatangan para pendatang ini mampu menerima hal-hal baru yang dibawa oleh bangsa-bangsa asing tersebut, seraya tetap mempertahankan identitas lokal mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mampu mengulen kedua unsur tersebut menjadi sebuah bentuk baru yang unik. Pakaian adat suku bangsa di tanah air menampilkan jejak visual yang paling kentara dari fenomena ini. Di Sulawesi Selatan, jas tutup yang biasanya digunakan sebagai pakaian adat kalangan pria terinspirasi dari pakaian Eropa. Demikian pula dengan kain muslin yang digunakan untuk Baju Bodo perempuan, ternyata kain ini dahulu dibawa oleh pedagang dari Arab dan India. Teknologi mengolah sutra juga dipelajari dari peradaban bangsa Tionghoa.

Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara sejatinya amatlah majemuk. Meskipun menunjukkan ciri-ciri asal-mula yang sama (jejak genetik Austronesia dengan percampuran dari bangsa Asiatik dan Melanesia), keragaman muncul dalam intensitas yang cukup tinggi. Dalam sebuah pulau saja, terdapat beberapa bahasa yang berbeda. Ada kalanya bahasa-bahasa tersebut saling berhubungan dekat satu-sama lain sehingga antarsuku masih dapat mengerti, namun ada kalanya bahasa-bahasa tersebut berbeda begitu jauh satu sama lain sehingga membutuhkan kehadiran bahasa ketiga sebagai lingua franca. Proses difusi juga terus-menerus terjadi: ada kalanya entitas budaya yang lebih kuat mempengaruhi budaya lain yang lebih lemah sehingga terjadi peleburan. Rasa keserumpunan sudah tertanam sejak penyebaran nenek moyang mereka dari Taiwan ribuan tahun yang lalu (Teori “Out of Taiwan”). Beberapa contoh kebiasaan seperti pertanian umbi-umbian, teknologi maritim, permainan rakyat “tari bambu” seakan-akan menjadi penghubung beragam bangsa yang hidup di Pulau Madagaskar hingga Pulau Paskah di Pasifik.

Kiranya, sebagai sebuah kawasan yang terdiri atas orang-orang serumpun, ada kah nama yang digunakan oleh bangsa-bangsa di kepulauan Asia Tenggara ini untuk memanggil diri sendiri maupun sepupu-sepupu di sekitar mereka? Salah satu rekaman yang memandang kepulauan Asia Tenggara sebagai satu-kesatuan dengan sebuah nama julukan ialah Kitab Pararaton yang mengisahkan sejarah Majapahit. Kitab ini menuturkan cita-cita Mahapatih Gadjah Mada yang ingin menaklukkan seluruh “Nusantara” di bawah naungan Majapahit.

“Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

(He, Gajah Mada Patih Amangkubumi, does not wish to cease his fasting. Gajah Mada: “If (I succeed) in defeating (conquering) Nusantara, (then) I will break my fast. If Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, are all defeated, (then) I will break my fast.”.)

Apakah Nusantara ini? Nusantara, berdasarkan tafsiran dari kitab itu sendiri, sejatinya adalah pulau-pulau yang berada di luar kekuasaan Majapahit. Secara etimologis Nusantara berasal dari kata “nusa” dan “antara” dalam Bahasa Kawi. Slamet Muljana, seorang sejarawan yang banyak menulis tentang Majapahit mengartikan kata Nusantara sebagai: “negara atau pulau lain, yakni negara di seberang laut atau negara di luar pulau Jawa.” Perlu dicatat bahwa jauh sebelum Gadjah Mada dan Majapahit, Prabu Kertanegara dari Singasari pernah mencetuskan istilah senada dengan nama “Dwipantara”. Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh sang raja pada tahun 1292 Masehi mencatatnya sebagai berikut:

“śrī mahārāja digwijaya ring sakalaloka mawuyū yi sakala dwīpantara.”

(Sri Maharaja was victorious in all the lands and subdued all the other islands)

Ketika Indonesia baru merdeka, istilah Nusantara kemudian digunakan oleh tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Muhammad Yamin untuk menekankan kesatuan dalam perbedaan yang merata di negara kepulauan ini. Nusantara diadopsi dan definisinya dikembangkan dengan luas, kali ini Pulau Jawa juga merupakan bagian dari Nusantara tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah Nusantara dipergunakan secara luwes dengan beragam kepentingan. Yang tadinya hanya meliputi daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka sekarang Nusantara juga meliputi negara serumpun seperti Malaysia dan Filipina. Tidak hanya itu, perkembangan studi antropologi dan genetika turut pula digunakan sebagai klaim untuk memperluas  cakupan Nusantara. Kini Nusantara terbentang dari Madagaskar hingga Hawaii, pulau-pulau yang dihuni oleh ras Austronesia dan sepupu mereka, bangsa Polynesia.

Peta yang menggambarkan wilayah klaim Majapahit. Sumber:  Wikimedia Commons

Akan tetapi, ternyata tidak semua orang menerima istilah Nusantara ini untuk menggambarkan masyarakat Indonesia dan serumpunnya. Banyak yang merasa keberatan dengan latar kesejarahan istilah Nusantara sebagai perwujudan niat Imperium Majapahit untuk menundukkan seluruh bangsa di bawah lambang kebesarannya. Istilah ini dianggap terlalu Jawa-sentris untuk Indonesia yang majemuk. Di Malaysia, istilah “Alam Melayu” digunakan sebagai sinonim untuk Nusantara. Bagi mereka pada dasarnya seluruh penghuni kepulauan Asia Tenggara ini masuk ke dalam dunia komponen besar yaitu Proto-Melayu dan Deutro-Melayu. Meskipun secara kultur berbeda, keduanya sama-sama berasal dari akar Melayu, yang konon jika ditarik maka sejatinya berasal dari Yunnan. Penggunaan terminologi “Melayu” bagi ras pribumi berkulit coklat ini kemudian dipopulerkan oleh Raffles dengan tambahan unsur baru: Islam. Sebagai catatan, istilah Melayu ini lahir dari perspektif kolonial Inggris yang cenderung mengklasifikasi penduduk jajahannya ke dalam kategori-kategori ras yang penuh dengan prasangka (prejudice). Penjelajah yang sekaligus seorang biologiawan dari Inggris bernama Alfred R. Wallace juga kemudian menggunakan istilah “Kepulauan Melayu” di dalam bukunya untuk menyebut Indonesia dan Malaysia. Sebagian pendukung istilah Alam Melayu percaya bahwa “Melayu” adalah kata yang paling tepat untuk menyimbolkan keserumpunan karena berdasarkan observasi mereka, dulu terdapat sebuah kemaharajaan maritim bernama Sriwijaya yang amat sangat berpengaruh di kepulauan Asia Tenggara. Sriwijaya inilah yang menjadi cikal-bakal kebudayaan Melayu.

Peta Tanah Jawi dan kedaulatan Aceh dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1838-1870) tersimpan di Arsip Turki Usmani Istanbul. Sumber: Republika

Nah, lain Nusantara, lain Alam Melayu maka lain pula dengan “Jawi”. Jawi ialah singkatan dari “Jaza’ir al Jawi” yang bermakna kepulauan Jawa. Zaman dahulu, pedagang Arab menggunakan terminologi Jawi untuk menyebut seluruh daerah di Asia Tenggara maritim.

Samathrah, Sholibis, Sundah, kullah Jawi.

(Sumatera, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa), ujar mereka dalam Bahasa Arab.

Istilah ini kemudian berkembang untuk menyebut sistem tulis bangsa Melayu yang diadopsi dari huruf Arab. Abjad Jawi ini dalam perkembangannya justru identik dengan kebudayaan Melayu, menyebar hingga Malaysia, Indonesia, Filipina Selatan, Thailand Selatan, Singapura, dan Brunei Darussalam. Seorang ulama masyhur asal Banten bahkan dijuluki Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Konon, mengapa bangsa Arab memukul rata seluruh kepulauan Asia Tenggara dengan nama Jawi disebabkan oleh sebuah komoditas perdagangan bernama kemenyan. Jenis kemenyan tertentu dalam Bahasa Arab disebut luban jawi (kemenyan Jawa), yang asal sebenarnya dari Sumatera. Oleh para pedagang Eropa luban jawi ini berubah nama menjadi La Benjawi, yang kemudian oleh pedagang Venezia diubah lagi menjadi La Benzoin, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris sebagai benzoin.

Akhirnya, sampailah kita pada sebuah penghujung. Istilah manakah yang layak digunakan untuk menyebut kesatuan rumpun masyarakat dan negara-negara di kepulauan Asia Tenggara ini? Apakah Nusantara yang beraroma kekuasaan Majapahit, Alam Melayu yang demikian luas tafsirannya, ataukah Jawi? Atau jangan-jangan, sebenarnya semua itu tidak perlu? Jawabannya: terserah anda. Dengan nama apapun kepulauan Asia Tenggara ini disebut, unsur-unsur keserumpunan budaya, bahasa, perjalanan sejarah, kesatuan leluhur serta kesamaan geografis akan selalu muncul. Pertanyaannya bukanlah dengan nama apa kita disebut, namun bagaimana pemaknaan kita terhadap keistimewaan-keistimewaan yang terdapat di dalam kawasan ini sendiri.

Kalau kata William Shakespeare dulu: “Apalah arti sebuah nama.”

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Pelayaran Persahabatan Sawerigading ke Negeri-Negeri Timur Part-I

Satu lagi keunikan yang dimiliki oleh La Galigo selain dikenal sebagai naskah sastra terpanjang di dunia adalah karakter ke-Austronesian yang amat kental di dalamnya. Pokoknya beda banget deh dengan cerita pewayangan yang sebenarnya diadopsi dari wiracarita bangsa India; Mahabharata dan Ramayana. Dari La Galigo kita bisa belajar  bagaimana kehidupan nenek moyang kita dahulu serta memandang bangsa lain dari perspektif mereka sendiri. Salah satu episode La Galigo bercerita tentang pelayaran putra mahkota Kerajaan Luwuq yang bernama Sawerigading ke negeri-negeri paman dan kerabatnya di Indonesia Timur. Indonesia Timur yang bahkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah dikunjungi dan terlanjur dilabeli sebagai area konflik yang terbelakang kali ini akan menunjukkan kebesarannya lewat epos La Galigo.

Kerajaan Sama dan Maloku berdasarkan La Galigo

Letak kerajaan Manurung Ale Luwuq di Pulau Sulawesi yang berada tepat di tengah Nusantara memberikan orang-orangnya akses serta peluang yang besar ke berbagai daerah baik di sebelah Barat maupun Timur untaian kepulauan ini. Bagi orang-orang yang hidup di kerajaan Ale Luwuq pada masa itu, lautan bukanlah pemisah. Lautan justru dilihat sebagai tempat mencari penghidupan, mulai dari mereka yang berprofesi seperti pedagang, nelayan dan bahkan raja. Lautan juga merupakan jembatan penghubung yang menyatukan kepingan pulau-pulau di Nusantara agar dapat saling berinteraksi serta memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang berbeda-beda. Nah, selain hubungan komersil, antarkerajaan-kerajaan tersebut kemudian membentuk hubungan politik melalui persekutuan-persekutuan. Demi menegaskan kesatuan di antara mereka, tidak jarang banyak dilakukan pernikahan antardaerah. Putri dari kerajaan X misalnya, dinikahkan dengan raja dari kerajaan Y. Apabila mereka dikaruniai lebih dari satu orang anak, salah satunya akan dikirim sebagai pangeran muda di kerajaan X sedangkan yang lainnya tetap tinggal sebagai putra mahkota di kerajaan Y.

La Galigo menyiratkan adanya hubungan persaudaraan yang terjalin di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelah timur. Alkisah, Sawerigading merasa jenuh tinggal di kerajaannya saja. Ia ingin membentangkan layar mengarungi samudera melihat berbagai daerah serta mengunjungi negeri paman-pamannya. Saat itu di istana Ale Luwuq terdapat ungkapan “Orang yang paling cerdiknya Luwuq tidak sama dengan orang paling dungunya di Sama. Orang yang belum menyaksikan orang Sama berpakaian dan belum mendengarkan orang Maloku berbicara, maka keberadaanya di dunia ini tidak diakui”.

Di mana kah letak negeri Sama dan Maloku yang menjadi standar kecerdikan, fashion dan kemahiran dalam bertutur-kata ini?

Kalau menurut Prof. Fachruddin Ambo Enre di dalam buku “Ritumpanna Welenrenge” sih kata Sama/Samang merujuk kepada nama lain untuk Maluku, tempat asal sejenis pakaian tari. Adapun Maloku ialah ucapan Bugis untuk Maluku. Nah, masih menurut naskah La Galigo nih, letak negeri Sama lamanya sekitar lima malam pelayaran dari negeri Matasolok (Sulu, Filipina Selatan). Negeri Sama berada di sebelah timur, sedangkan Maloku berada di bahagian baratnya.

Kepulauan Maluku

Ternyata negeri Maluku tidak hanya terkenal dengan rempah-rempahnya saja, akan tetapi pada suatu zaman di masa lalu daerah ini terkenal pula dengan kebudayaannya yang sudah maju. La Galigo merekam keindahan peradaban Maluku ini dengan pujian yang sangat baik, sampai-sampai Sawerigading sang putra mahkota kerajaan Ale Luwuq yang punya reputasi oke di Sulawesi penasaran dengan daerah ini. Tarian Se’re Maloku yang sering dibawakan oleh I La Galigo pada beberapa perayaan juga menandakan bahwa budaya mereka amat digemari pada masa itu, kira-kira miriplah dengan gaung budaya K-Pop sekarang ini.

Tari Lenso dari Maluku. Sumber: www.melayuonline.com

Selain karena kemajuan peradabannya, salah satu alasan mengapa Sawerigading ingin berkunjung ke Sama dan Maloku ialah karena hubungan kekeluargaan. Disebutkan bahwa penguasa negeri Maloku yang bernama La Maddaremeng alias Toappamadeng ialah kakak sepupu dari Sawerigading. La Maddaremeng ini juga merupakan suami dari We Tabacina Ida Mutia, ratu negeri Sama. Dengan kata lain, pada saat itu dua kerajaan besar di Maluku telah bersatu melalui ikatan perkawinan serta memiliki kekerabatan darah dengan kerajaan Ale Luwuq di Sulawesi.

Nah, ternyata Sobat Lontara, hubungan persahabatan dengan Maluku  ini diteruskan oleh generasi raja-raja di Sulawesi Selatan berikutnya. Menurut almarhum Prof. Mattulada dalam buku “Menelusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah”, Sultan Malikussaid raja Gowa yang ke-15 prihatin ketika Belanda menduduki tanah Maluku. Ia merasa mempunyai kewajiban untuk membantu perlawanan rakyat Maluku melepaskan diri dari cengkraman Belanda. Ketika pada tahun 1652 tiba seorang kimelaha (raja bawahan Sultan Ternate) bernama Majira dari Seram untuk mencari suaka di Makassar, ia disambut baik oleh sang sultan. Sultan Malikussaid bahkan memberikan kimelaha Majira 30 buah kapal perang lengkap dengan persenjataannya untuk kembali ke Seram dan merebut daerah kekuasaannya yang jatuh ke tangan Belanda. Ulah Sultan Malikussaid ini menimbulkan kegeraman Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ia mengirim surat yang isinya mengancam kerajaan Makassar untuk tidak membantu kerajaan Ternate. Akan tetapi Sultan Malikussaid malah menjawab bahwa ia tetap ingin memelihara dan melanjutkan perdamaian serta persahabatan dengan orang-orang di Seram dan Ambon. Sejak saat itulah meletus peperangan berturut-turut antara Belanda dan Makassar hingga puncaknya saat terjadi Perang Makassar. Wuih, pokoknya demi persahabatan dengan Maluku, bro, Sultan Malikussaid rela menentang Belanda!

Penasaran dengan hubungan antara Sawerigading dengan raja-raja lainnya di belahan Nusantara Timur? Stay tuned terus aja di website kami 😉

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Sistem Perpajakan Dinasti Umayyah, Hubungannya dengan Sriwijaya, serta La Galigo

Wait, what? Yup, judul tulisan kita kali ini sedikit unik. Bukan sedikit, judul tulisan ini bahkan sangat unik. Emangnya ada hubungan apa antara kekhalifahan Umayyah di Timur Tengah sana dengan kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera? Terus apa sangkut pautnya dengan sistem perpajakan? Dengan La Galigo?

Tak perlu heran. Ketiga hal yang saling berjauhan ruang dan waktu tersebut memang tak dinyana terkait antara satu sama lain. Bicara tentang Nusantara kuno biasanya pola pikir kita akan digiring ke rempah-rempah Maluku yang memang sejak zaman Firaun dan kerajaan Saba telah menjadi incaran bangsa-bangsa asing. Sayangnya, pada cerita yang menarik berikut ini, Nusantara tidak ada kaitannya sama sekali dengan rempah-rempah ataupun Maluku. Ini adalah bukti bahwa sejarah itu sebenarnya menyenangkan: ada banyak kejutan menarik yang terselip di antara lembaran-lembarannya yang tidak pernah anda sangka-sangka.

Pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW, kekuatan Islam dengan ajaibnya melebar luas melintasi batas Hijaz, Semenanjung Arabia. Bayangkan, pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan saja (644-656 M) kekuasaan Islam sudah terentang dari Tripoli (Libya) hingga wilayah Azerbaijan modern. Saking luasnya Daulah Islamiyah, sampai-sampai terjadi banyak perubahan cara membaca Alquran yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dialek. Itulah sebabnya baru pada masa khalifah Utsman-lah kitab suci Alquran dibukukan agar seragam, demi menghindari kesalahan dalam hal pembacaan dan penafsirannya.

Pasca wafatnya khalifah Utsman, timbul kegoncangan di dunia kekhalifahan. Singkat cerita, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat. Setelah masa pemerintahan Ali yang ditandai dengan banyak sekali cobaan dan fitnah, umat Islam mulai terpecah menjadi tiga golongan besar; masyarakat luas pada umumnya yang larut dalam arus politik dengan pasrah; kaum Syiah alias pendukung Ali dan keluarganya; serta kaum Khawarij yang memutuskan untuk keluar dari kesepakatan mayoritas dan membuat gerakan oposisi mematikan. Ketika Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib naik menjadi khalifah menggantkan sang ayag, Ia mendapatkan perlawanan yang keras oleh Muawiyah bin Abi Sofyan dari keluarga Umayyah. Perlahan-lahan, dendam lama yang telah mendarah-daging di tubuh Arab Quraisy antara keluarga Hasyim (Al-Hasan) dan Umayyah (Muawiyah) kembali menggelegak.

Masjid Umayyah di Damascus, Syria. Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/08/06/128508-masjid-umayyah-inspirasi-romawi-dan-persia

Demi menjaga stabilitas pemerintahan dan keamanan masyarakat, Al-Hasan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Muawiyah. Ia rela berkorban demi kepentingan umat. Maka dimulailah era pemerintahan Dinasti Umayyah yang dipelopori oleh Muawiyah itu. Secara ekspansif kekhalifahan Umayyah berhasil melebarkan sayapnya ke timur hingga Semenanjung Iberia (Spanyol), serta ke barat hingga ke perbatasan India dan Cina. Lokasi ibu kotanya yang berada di Damaskus membuat Dinasti Umayyah banyak belajar dari peradaban Romawi. Untuk pertama kalinya dunia Islam mencetak mata uang mereka sendiri (dengan gaya Romawi). Untuk pertama kalinya sebuah mesjid jami’ di luar Makkah dan Madinah dibangun secara grandeur (dengan arsitektur Romawi). Untuk pertama kalinya di dunia Islam, jabatan khalifah diwariskan melalui hubungan darah. Dinasti Umayyah berimprovisasi sedemikian hebatnya sehingga bentuk pemerintahan Islam sederhana yang diwariskan oleh Nabi Muhammad dahulu hampir tidak kelihatan lagi. Akan tetapi, di tengah segala euforia bangsa Arab melihat dunia luar untuk pertama kalinya, mereka tetap memegang fanatisme teguh terhadap bahasa dan budaya gurun pasir. Tidak heran jika seiring dengan meluasnya pengaruh Umayyah, meluas pula arabisasi bahasa dan budaya.

Sistem Pajak Umayyah dan Inovasi Umar bin Abdul Aziz

Di dalam wilayah kekuasaan Islam, seluruh rakyatnya tunduk kepada hukum syariah. Non-muslim yang dijuluki sebagai “ahlu-dzimmi” diijinkan untuk hidup dan beraktifitas seperti penduduk muslim lainnya, hanya saja mereka mendapatkan kewajiban khusus bernama jizyah alias pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Jizyah ini menjadi jaminan sekaligus tanda bahwa mereka tunduk pada pemerintah setempat, setia, serta berada di dalam perlindungan. Karena telah membayar jizyah, maka golongan ahlu-dzimmi juga terbebas dari ketentuan wajib militer.

Ketika kekhalifahan Umayyah semakin luas pengaruhnya, negara menjadi semakin kaya atas pemasukan yang mereka dapat dari golongan ahlu-dzimmah ini. Orang Kristen Coptic, orang Majusi dari Persia, orang Dacia di Syam, orang Yahudi, orang Berber di Afrika Utara, semuanya bebas memeluk agama masing-masing sepanjang mereka membayar jizyah. Hal ini tentu saja membuat pemerintah Umayyah berkantong semakin tebal. Belum pernah dalam sejarah bangsa Arab yang hidup di gurun, mereka melihat uang dalam jumlah ratusan kilogram emas. Dalam sekejap pejabat-pejabat Umayyah menjadi kaya dan bahagia; istana-istana, tempat pemandian, dan kebun-kebun didirikan. Saat itu jelas Kekhalifahan Umayyah adalah superpower baru yang sedang berhadapan langsung dengan superpower lainnya di seberang Laut Tengah; Romawi yang sedang sekarat. Semuanya sepertinya akan terus berjalan lancar dan penuh kebahagiaan, sampai tiba waktunya seorang pemuda bernama Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah.

Umar bin Abdul Aziz ialah seorang lelaki yang amat saleh. Ia lembut hatinya, namun merupakan seorang pemimpin yang tegas dan adil. Umar menolak diberi fasilitas bak seorang raja saat menjabat, ia hanya meminta seekor keledai betina untuk dijadikan kendaraan. Bajunya sering ia tambal dan kusut, ia menolak jubah sutera indah yang dikhususkan untuk para khalifah Umayyah. Ketika khalifah-khalifah pendahulunya sibuk bermewah-mewahan, maka orientasi pembangunan Umar ialah peningkatan mutu spiritualisme. Pada masanya Islam didakwahkan dengan sistematis sehingga tidak heran banyak ahlu-dzimmah kemudian masuk Islam.

Berbondong-bondongnya golongan ahlu-dzimmah yang masuk Islam ini membuat Baitul Mal alias kas negara ngedrop secara drastis. Para pejabat Umayyah menjadi kalangkabut. Mereka berpikir keras bagaimana cara untuk membuat pemasukan jizyah dari ahlu-dzimmah masih terus mengalir. Ketika mereka mengusulkan kepada Umar untuk menaikkan tarif jizyah, ide tersebut langsung ditolaknya mentah-mentah. Bagi sang khalifah, tidak ada yang bisa menghalangi manusia untuk memasuki agama Allah, apalagi hanya karena uang. Umar mengirimkan banyak sekali materi mengenai Islam ke berbagai macam daerah taklukkan dan tetangga kekhalifahan Umayyah. Pada masa pemerintahannya inilah seluruh suku Berber masuk Islam dan nama Rasulullah beserta nama sang khalifah dicatat oleh seorang pendeta Nasrani golongan Nestorian pada sampul Alkitabnya agar dapat senantiasa didoakan atas kebaikan hatinya.

Dulu Takut Laut, Kini Kerjaannya Minum Air Laut

Sudah menjadi kodrat bagi bangsa Arab yang hidupnya di gurun untuk takut dengan laut. Mengenai laut, pada masa khalifah Umar bin Khattab, Muawiyah pernah memohon dengan sangat kepadanya agar kaum muslim diizinkan untuk berperang dengan bangsa Romawi dengan menggunakan kapal laut. Bangsa Romawi yang berada di seberang samudera akan lebih cepat disamperi melalui jalur laut ketimbang menggunakan jalur darat. Umar bin Khattab lalu bertanya pada gubernur Mesi saat itu, Amr bin Ash, tentang laut. Amr bin Ash menjawab:

“Wahai Amirul Mukminin! Aku melihat laut sebagai makhluk yang sangat besar sedangkan para pelaut adalah makhluk yang sangat kecil. Di laut itu tidak ada siapa-siapa melainkan hanya langit dan ikan saja. Jika keadaannya tenang maka sedihlah hati dan bila keadaannya bergelombang maka akal pun miring sehingga keyakinan berkurang dan keraguan mengharu-biru. Para pelaut bagai belatung dalam tiang, bila air laut pasang olenglah tiang lalu tenggelam dan bilamana selamat bersinarlah.”

Membaca surat jawaban Amr bin Ash itu, Umar bin Khattab langsung menolak mentah-mentah permintaan Muawiyah. Baru pada masa Utsman bin Affan, Muawiyah kembali memohon agar kaum muslimin diizinkan untuk membangun armada laut dengan meniru teknologi maritim bangsa Romawi. Oleh Utsman, permintaan keponakannya itu dikabulkan. Saat itu angkatan laut kaum muslimin dipimpin oleh Abdullah bin Qais, dan selama peperangan mereka berhasil mengalahkan Romawi serta merebut Pulau Siprus di Yunani. Sejak saat itulah dunia Islam mengenal petualangan laut dan mengembangkan ilmu navigasi yang sedemikian majunya hingga kemudian ditiru oleh Barat. Daerah-daerah seperti Syam (Levant), Maghribi (Afrika Utara), dan Andalusia (Spanyol) menjadi pangkalan laut yang kuat selama masa kekhalifahan Umayyah. Untuk pertama kalinya pada tahun 54 Hijriyah di Pulau Ar-Raudhah, Mesir didirikan pabrik kapal pertama.

Dhow Baghlah, kapal tradisional Arab yang sejak dahulu digunakan untuk mengarungi Samudera Hindia. Sumber: 2eyeswatching.com

Ibnu Majid, seorang pelaut yang juga kartografer handal pada tahun 1400-an masehi membuka jalan pelayaran menuju India dan Cina bagi dunia muslim di Samudera Hindia. Kisah Sindbad yang terkenal dalam Hikayat 1001 Malam itu konon terinspirasi dari pengalaman-pengalamannya. Pria yang berjuluk “Singa Lautan” ini memiliki andil besar dalam menuntun Vasco Da Gama dari Afrika menuju India. Di zaman itu, pelayaran dari Oman menuju Selat Malaka memakan waktu selama 55 hari. Dari Teluk Persia ke Kanton di Cina menghabiskan waktu 7 bulan dengan jarak 7.000 mil. Alkisah, kaisar Cina pernah mengangkat beberapa pelaut Arab muslim sebagai pejabat kerajaan yang mengurusi pedagang-pedagang mancanegara. Laut seakan sudah tidak menjadi sesuatu yang asin dan asing lagi bagi bangsa Arab. Bahkan dengan diperkenalkannya teknologi desalinasi yang berhasil merubah air laut menjadi tawar, saat ini dunia Arab menjadikan air laut sebagai minuman mereka!

Surat Mihraj untuk Raja Orang-Orang Arab

Pada masa pemerintahan Muawiyah, sebuah surat dari kerajaan yang tidak pernah diduga-duga oleh sang khalifah sebelumnya tiba-tiba dihantarkan ke hadiratnya. Seorang raja dari “al-Hind” yang menggelari dirinya dengan julukan “Mihraj” mengirimkan salam kepada khalifah yang baru saja menjadi tuan atas sebuah kekuatan superpower baru di muka bumi. Sejarawan bernama Al-Jahiz (783-869) merekam kejadian tersebut di dalam Kitab Al-Hayawan. Berdasarkan kesaksian yang diterimanya dari al-Haytham bin Adi,  Abdul Malik bin Umayr melihat surat dari Sang Mihraj dari sekretaris Muawiyah yang kemudian diteruskan kepada Abu Yaqub al-Thaqafi. Sayangnya, yang direkam oleh Al-Jahiz hanyalah bagian pembukaan surat tersebut:

in whose stables are a thousand elephants, (and) whose palace is built of bright gold and silver, who is served by a thousand daughters of the kings, and who possesses two rivers, which irrigate aloes plants, to Mu’awiyah…”

Kita tidak mengetahui bagaimanakah respon atau apakah Muawiyah membalas surat tersebut. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, surat kedua dari Sang Mihraj direkam di dalam kitab  Al-Iqd al-Farid karya Abd Rabbih (860-940). Sumbernya, Nu’aym bin Hammad menulis:

“the king of al-Hind sent, a letter to Umar b. Abd al-Aziz, which ran as follows: From the King of kings [Malik al-Amlak], who is the descendant of a thousand kings, in whose stables are a thousand elephants, and in whose territories are two rivers which irrigate plants of aloes, odoriferous herbs, nutmeg, and camphor, whose fragrance spreads the distance of twelve miles — to the king of the Arabs, who does not associate other gods with God. I have sent to you a gift, which is not much of a gift but a greetings and I wish that you may send to me someone who might teach me Islam and instruct me in its Laws.”

Seorang sejarawan Pakistan bernama S.Q. Fatimi pada tahun 1963 membahas kedua surat dari Mihraj ini kepada khalifah Umayyah di dalam bukunya “Two Letters from Maharaja to the Khalifah”. Berdasarkan analisanya, Mihraj ialah gelaran sejarawan Arab yang digunakan untuk menyebut penguasa negeri Zabag. Jika kita kembali kepada laporan-laporan pelaut dan sejarawan Arab klasik, maka jelaslah bahwa negeri Zabag yang dimaksud ini ialah kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Gelar Mihraj sebagai raja Sriwijaya diperkuat di dalam surat dengan munculnya keterangan mengenai “Penguasa Sungai”. Fatimi meyakini bahwa sungai yang dimaksud di sini ialah Sungai Batanghari di Jambi dan Sungai Musi di Palembang, yang peran keduanya amat vital bagi perdagangan internasional kerajaan Sriwijaya. Oh ya, sebagai tambahan, menurut Ibnu Taghribirdi Sang Mihraj memberikan hadiah kepada Umar bin Abdul Aziz berupa musk, batu permata, dupa dan kapur barus. Diperkirakan raja yang memerintah di Sriwijaya pada masa Umar bin Abdul Aziz ialah Sri Indrawarman.

Pertanyaan selanjutnya: mengapa raja Sriwijaya mengirimkan surat kepada Umar bin Abdul Aziz untuk meminta agar dikirimi orang yang bisa mengajarkan Islam? Kemungkinan besar ini disebabkan karena reputasi besar Umayyah yang terdengar hingga ke Kepulauan Nusantara. Sri Indrawarman bisa jadi mendengar cerita-cerita dari para pedagang Negeri Atas Angin mengenai kekuasaan sang khalifah serta agamanya yang unik; tidak memuja dewa-dewi melainkan hanya mengenal satu Tuhan. Satu hal yang pasti: usaha Umar bin Abdul Aziz dalam menyiarkan agama Islam sepertinya telah menyentuh berbagai negara, termasuk salah satunya ialah Sriwijaya di pelosok timur nan jauh. Itulah sebabnya Sri Indrawarman menjadi penasaran dan mengirim surat untuk mengenal agama ini.

Patung Perunggu Peninggalan Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Sumber: http://www.thailandsworld.com/en/thailand-thai-art/south-thailand-art-culture/srivijava-style-art/index.cfm

Saat itu Sriwijaya adalah kerajaan terbesar di dunia maritim Kepulauan Nusantara. Sriwijaya juga menjadi pusat studi agama Buddha. Banyak pendeta dari Cina yang berlayar ke Sriwijaya untuk belajar bahasa serta agama Buddha sebelum kemudian melanjutkan pelayaran ke Universitas Nalanda, India. Bagi raja-raja India terutama yang berkuasa di wilayah selatan (Cola Tamil) kekuatan besar di Nusantara ada di tangan penguasa jalur Lautan Cina, yakni Maharaja Sriwijaya. Sekitar tahun 860 mereka mencatat bahwa Balaputra sang penguasa Suvarnadwipa cucu seorang Raja Sailendra dari Yawabhumi mendirikan bangunan di dalam biara Buddha di Nalanda. Di samping dengan India, Sriwijaya pun memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Srilangka berdasarkan penelitian Prof. S. Paranavitana. Sebelum bangsa Arab berani mengarungi lautan, mereka bergantung kepada kapal-kapal Srilangka untuk membawa benda-benda dari Cina (malah kemungkinan besar surat yang diberikan untuk Umar bin Abdul Aziz dibawa oleh utusan Sriwijaya yang menumpang kapal dari Srilangka atau India).

Tercatat, seorang pangeran India bernama Atisha pernah berlayar ke Suwarnadwipa (Sumatera) untuk menemui Mahaguru Serlingpa (Dharmakirthi) di Sriwijaya. Setelah menuntut ilmu dari sang guru, Ia ke berangkat ke Tibet untuk menyebarkan ajaran tersebut. Hingga hari ini pun tiap tahunnya utusan Buddha dari Tibet selalu datang ke Candi Muara Takus sebagai sisa kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan untuk melaksanakan sembahyang Waisak demi menghormati Atisha dan Dharmakirthi. Wow, keren ya, ternyata aliran Buddha Tibet yang diimami oleh Dalai Lama itu ternyata berasal dari Sumatera!

Kehadiran Orang Arab Zaman Umayyah dan Sriwijaya Direkam La Galigo

Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, Dunia Arab hampir bisa dipastikan sudah mengenal kerajaan Sriwijaya. Menurut Denys Lombard dalam “Nusa Jawa”, sumber-sumber berita Arab-lah yang paling dapat diandalkan dalam merekonstruksi kembali sebagian dari sejarah perdagangan antara Nusantara sebelah Barat dengan wilayah lain di sekitar Samudera Hindia mulai abad ke-9. Meskipun secara kronologis berita-berita Arab ini tidak seinformatif catatan-catatan Cina, akan tetapi ada banyak gambaran yang dapat kita ambil darinya. Pada masa itu pelaut-pelaut serta ahli ilmu bumi Arab sudah familiar dengan “Javaga” yang ternyata merujuk kepada daerah-daerah di sekitar Semenanjung Malaya yang berada di bawah naungan Maharaja Sriwijaya dan yang disinggahi oleh kapal-kapal dari Basra dan Siraf pada perjalannya ke Negeri Cina.

Jalur laut menuju Sriwijaya umumnya terbagi atas jalur barat dan timur. Jalur barat berawal dari Oman, Basra atau Suraf melewati Kepulauan Nikobar atau “Kepulauan Orang Telanjang”, lalu Lampuri (Aceh), setelah itu menuju Fansur atau Nias untuk mengambil kamper atau beberapa budak. Jalur timur kurang-lebih hampir sama dengan jalur barat, kecuali bahwa dari Lampuri mereka mengarah ke timur menuju bandar-bandar di Semenanjung Melayu lalu ke bandar-bandar Sriwijaya di Palembang.

Sriwijaya sempat hilang dari khazanah sejarah Indonesia sejak kejatuhannya. Terkuburnya kisah mengenai kerajaan Sriwijaya selama berabad-abad baru digali kembali ke permukaan oleh Pak Coedes, seorang sejarawan asal Perancis. Tidak seperti Majapahit yang kisahnya masih bestari dalam bentuk penceriteraan lisan dalam masyarakat Jawa, Sriwijaya sama sekali hilang dan baru ditemukan kembali pada tahun 1918. Tidak ada tradisi lisan masyarakat lokal yang merekam mengenai kerajaan ini, kecuali beberapa dongeng mengenai tokoh bernama Demang Lebar Daun yang acapkali diasosiasikan dengan kerajaan Melayu kuno di Sumatera Selatan bernama Dharmasraya. Situs ziarah penting pada era Sriwijaya seperti Bukit Seguntang pun tidak mampu mengingatkan masyarakat akan kemaharajaan mereka dulu, selain cerita rakyat bahwa di atas bukit keramat itulah dulu Sang Sapurba, raja Palembang turun dari langit.

Eits, tunggu dulu. Ternyata ada sebuah rekaman yang terus-menerus mengabadikan keagungan Sriwijaya selama ini. Rekaman tersebut tidak berbentuk prasasti maupun video, melainkan dalam bentuk alunan bait-bait yang terukir pada epos terpanjang di dunia: La Galigo!

Menurut Christian Pelras dan beberapa pakar La Galigo, nama Senrijawa yang disebut di dalam epos ini sebenarnya adalah bentuk korup dari penyebutan Sriwijaya oleh lidah Bugis. Senrijawa sendiri selalu digambarkan sebagai salah satu bagian dari Boting Langiq dimana segala macam barang-barang pusaka nan indah serta bissu-bissu sakti berasal. Anehnya, jika benar Senrijawa ialah kerajaan langit, mengapa ada salah satu episode La Galigo yang menggambarkan perjalanan Sawerigading dan I La Galigo berlayar ke Senrijawa melalui jalur laut? Jika dapat dicapai melalui laut, maka Senrijawa ini ialah memori bangsa Bugis atas suatu tempat di Nusantara yang berperadaban tinggi sehingga menjadi idola mereka. Saking agungnya kerajaan ini sampai-sampai raja-rajanya disebut sebagai keturunan langit. Tidaklah mengherankan sebenarnya, karena ternyata tulisan lontaraq Bugis yang kita kenal hari ini sejatinya berasal dari turunan aksara Sriwijaya yang bersaudara dengan aksara-aksara lainnya di Pulau Sumatera.

Relief Kapal Sriwijaya di Candi Borobudur. Sumber: keajaibandunia.net

Hubungan yang terjalin antara orang-orang Arab Umayyah dengan penduduk Nusantara tersurat melalui penyebutan daerah di seberang samudera yang bernama Makka ri Ajang. Makka ri Ajang yang secara harfiah bermakna Mekkah di Barat ini menurut Fachruddin Ambo Enre memang sungguh-sungguh menunjuk kepada kota Mekkah di Saudi Arabia. Ada yang bilang bahwa nama ini adalah tambahan dari para penganjur Islam saat agama tersebut melakukan penetrasi ke Sulawesi Selatan. Ada pula yang bilang bahwa Makka ri Ajang bukanlah Mekkah, melainkan suatu daerah di sekitar Sulawesi. Sejauh ini sih yang kita ketahui mengenai interaksi awal bangsa Arab dengan Nusantara dicatat dalam kitab Xin Tangshu. Menurut kitab ini, konon seorang raja Arab pada tahun 674 M pernah mengirim utusan sambil membawa pundi-pundi emas kepada seorang penguasa Jawa yang terkenal amat jujur untuk mengujinya. Dari sinilah kisah Ratu Shima yang terkenal tegas karena berani menghukum putra mahkota yang menyentuh pundi-pundi emas tersebut berawal. Menurut H. Zainal Abidin Ahmad di buku Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang terbitan Bulan Bintang tahun 1979, raja Arab yang dimaksud ialah Utsman bin Affan dan utusannya ke kerajaan Ratu Shima itu bernama Muawiyah bin Abi Sufyan, seseorang yang kelak akan mendirikan dinasti Umayyah!

Selain Makka, nama negeri asing yang terdapat dalam La Galigo ialah Kelling dan Cina. Kelling di sini menurut Pak Ambo Enre merujuk kepada negeri Kalinga di India. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa kerajaan Kalinga yang dipimpin oleh seorang kaisar yang gemar berperang bernama Kharavela memang telah menjalin hubungan perdagangan dengan Srilangka, Myanmar, Vietnam, Thailand, Maladewa, Kamboja, Kalimantan, Sumatera dan Jawa sejak tahun 193 SM. Nama “kling” yang digunakan untuk menyebut Kalinga didokumentasikan sejak tahun 840 M, sebagaimana termaktub dengan jelas dalam prasasti Kui di Jawa Timur. Adapun negeri Cina dalam La Galigo, sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam tulisan tersendiri, merujuk kepada Annam alias Vietnam yang saat itu berada di bawah pengaruh Tiongkok. Menurut Denys Lombard, persentuhan pertama antara Nusantara dengan Cina ialah pada tahun 860 M dengan ditemukannya istilah “juru cina” pada sebuah prasasti perunggu di Jawa Timur.

La Galigo telah secara jujur menceritakan pengaruh bangsa-bangsa asing yang pernah berhubungan dengan Nusantara di masa lalu. Meskipun La Galigo tidak mencatatkan keterangan waktu dalam bentuk kronologis yang pasti, akan tetapi dari epos agung ini kita mendapat gambaran yang jelas bahwa pada saat itu, di masa kerajaan Sriwijaya berkuasa di Nusantara, telah terbina hubungan dengan pihak Makka alias kekhalifahan Umayyah. Masih banyak yang bisa digali dari episode-episode La Galigo lainnya, nah tugas kita nih sebagai generasi muda untuk menemukan info-info tersebut. Tentunya harus berdasarkan referensi dan kajian ilmiah yang tepat, nggak asal njeplak saja. Gali terus kearifan lokal Nusantara!

 

Referensi:
Denys Lombard, Nusa Jawa, Gramedia Pustaka Utama.
Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge, Yayasa Obor Indonesia.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kalam Mulia.
Nurhayati Rahman, Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, La Galigo Press.
http://sambali.blogspot.com/search/label/Zabag
http://wacananusantara.org/sri-indrawarman/
http://mangkasar.wordpress.com/2012/09/05/kerajaan-batesalapang-dalam-naskah-la-galigo/