Categories
Cerita Silat Bersambung Featured Galigoku

Cerita Silat Bersambung “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode IX – Tutup

Ulasan Tradisi Silat: Urut Lengan / Badan

Urut mungkin sudah dikenal oleh khalayak umum sebagai salah satu bentuk pengobatan alternatif, khususnya untuk cidera otot dan atau tulang. Sedangkan dalam tradisi pencak silat, ketika seorang murid itu diurut, itu adalah satu titik dimana bagian badan atau badan murid itu disesuaikan oleh sang guru agar sang murid lebih siap dalam menerima gemblengan fisik, dan bentuk-bentuk latihan yang dikhususkan dalam aliran silat itu. Ada pula beberapa aliran silat dan beberapa guru yang mengurut bagian tubuh tertentu, atau bahkan seluruh tubuh muridnya, dan mengubah struktur otot dan tulang si pesilat (prosesnya luar biasa menyakitkan… Tentunya akan dibahas dalam episode-episode selanjutnya!).

Dalam silat aliran Tunggal Rasa, bagian tubuh yang sangat diperhatikan adalah lengan sang pesilat. Contoh yang dapat diambil adalah lengan Bang Aeb dan lengan Mas Ka. Lengan mereka memang terlihat jelas sebagai sepasang lengan yang kuat (definisi ototnya terlihat jelas), tetapi lengan mereka sangatlah luwes, ringat, dan cepat.

Dipercaya juga dalam proses urut ini, tubuh si pesilat akan ‘disetel’ ulang dan dibersihkan oleh sang guru dari segala hal yang ‘tidak alami’. Apakah hal-hal yang ‘tidak alami’ ini? Tentunya akan dibahas di episode-episode yang akan datang (hehe).

Baiklah, mari kita lanjutkan ceritanya.

Bab VIII: Latihan di Dapur

Sensasi bola mata yang terbakar sewaktu dikecer itu tidak hilang bahkan setelah keceran ketiga dan keempat. Tidak terasa waktu berlalu, gua sudah melewati 4 kali ujian, dan 4 kali keceran dan urut. Kurang lebih sudah 5 tahun gua berlatih bersama Mas Ka, dan gua sudah belajar banyak sekali jurus.

Tetapi, itulah kesalahan gua sewaktu masih sangat muda dan bodoh, ketika merasa bisa, langsung tinggi hatinya.

Di titik ini, latihan bersama Mas Ka bisa bertahan sampai 3 jam, atau lebih. Bentuk latihan pun semakin beragam, latihan jurus sembari lengan diikat oleh beban, bergerak diatas tatakan balok kayu tanpa terjatuh, dan banyak jenis latihan lainnya yang dengan mudah gua jalani.

Sampai pada satu sore, dimana Mas Ka mengajak gua masuk ke dalam dapur.

“Mas, kita mau masak?” Tanya gua dengan lugunya,

Terkekeh kecil, Mas Ka menjawab dengan kalem: “Hari ini kita latihan disini. Hehe”

Gua tercengan heran, dan dengan cepat gua menanggapi: “Ah yang bener Mas, kan ini dapur! Kita kalau latihan nanti berantakan, panci jatuh lah, kesenggol kompor kan enggak lucu!”

“Put, jaman dulu ya, pendekar-pendekar itu enggak boleh kelihatan kalau lagi latihan silat. Nanti mereka ditangkap kumpeni (Belanda), terus dipenjara. Ini kita mau coba telusurin sejarah silat sekalian eksperimen kalau kamu bisa enggak gerak di tempat sempit hehe.”

Bayangkan saja, dapur belakang rumah Mas Ka itu kecil, dan sangat sempit. Lebar jarak yang bisa dilewati orang itu kurang lebih 5 jengkal tangan orang dewasa, itu pun sudah terhalangi karena ada ubin yang adalah tempat kompor diletakkan.  Mungkin lain halnya dengan dapur pada zaman penjajahan Belanda, masih cukup luas untuk menaruh beberapa tungku tembikar,  dandang beras, dan tumbukkan padi yang kecil.

Susah sekali bergerak, untuk masuk saja sudah harus memperhatikan langkah agar tidka menyenggol peralatan dapur, piring, pisau, dan masih banyak lagi. Mas Ka tiba – tiba memasang posisi siap sambut,

“Put, kita langsung ya latihannya. Tantangannya adalah kamu tidak boleh sampai menyenggol atau merusak peralatan dapur. Nanti aku dimarahain orang rumah juga hahaha.”

“Tapi Mas… “

Belum selesai gua menyusun kalimat, tiba-tiba Mas Ka melancarkan serangan ke arah muka. Gua kaget, badan gua refleks langsung berkelit, kepala menggeser sedikit ke kiri. Kepalan Mas Ka gua tepis ke samping dengan telapak kiri, dan gua balas serangan Mas Ka dengan totokan kearah lengan Mas ka dengan tangan kanan.

Gua berusaha bergerak maju sembari melancarkan serangan, namun ruangan sangat sempit. Gerakan gua terhambat karung beras yang tergeletak di lantai dapur, gua terpaksa menahan langkah kaki, dan dengan itu, lupa dengan serangan yang gua arahkan ke lengan Mas Ka. Pergelangan gua dirambet, Mas Ka menyentak lengan gua, gua tersandung karung beras yang tak berdosa itu. Keseimbangan gua hilang, dan gua bisa merasakan kalau gua akan terjatuh kedepan.

Dengan  gerakan yang cekatan, Mas Ka melangkah kecil kedepan, dan menangkap badan gua.

“Nah! Hampir aja kamu jatuh!” Kata Mas Ka

“Iya nih Mas… Aduh… Susah ya gerak di tempat sempit.” Gua berusah berdiri tegak dan mengembalikan keseimbangan gua.

Mas Ka pun tersenyum, beliau menjelaskan: “Itulah inti dari latihan kita hari ini Put, untuk bisa bersilat di tempat yang sempit. Dulu kan leluhur kita juga latihan di dapur, di ruang tamu, bahkan di bawah meja Put. Ini semua upaya mereka untuk menjaga kondisi tubuh, dan ketajaman ilmu mereka tanpa harus terlihat banyak orang. Apalagi kan dulu resiko mereka ditangkap pasukan Belanda, lebih gawat lagi Put.”

Gua menanggapi, “Mas, tapi aku rasa Mas Ka mau ngajarin aku lebih dari sekedar bisa gerak di tempat sempit Mas.”

Mas Ka pun menyahut, “YAP! Benar Sekali kamu Put! Hyeh hyeeh. Filosofi dari latihan kita hari ini adalah: Kamu harus bisa bergerak dalam kondisi apapun. Tidak ada yang boleh membatasi kamu. Dalam situasi apapun, sesempit apapun ruangan, se-susah apapun melangkah, kamu harus tetap bisa bergerak. Ini aplikasinya tidak hanya dalam bersilat ya Put, tetapi juga dalam hidup.”

Gua terdiam.

“Put! Jangan bengong!” Mas Ka menegur gua, beliau melancarkan satu serangan lagi kearah pundak gua.

“Eeets Mas!” Gua meng-egos pundak gua, dan membalas serangan Mas Ka.

Latihan di dapur itu berlangsung sekitar satu jam. Kami berhenti latihan ketika Ibunda dari Mas Ka (gua memanggilnya ‘Bude’), hendak menggunakan dapur untuk memasak.

Latihan Silat Mas Ka dan Raka

Bab IX: Tutupan

Di suatu Sabtu sore, gua dan Mas Ka sedang berjalan mengelilingi kompleks rumah. Kami memang suka mengobrol, dan jalan – jalan sore ini juga kesempatan untuk menghangatkan badan sebelum latihan. Disaat yang seru sedang berbincang mengenai penerbitan kembali komik Si Buta Dari Gua Hantu, Mas Ka memotong topik dengan memulai satu topik baru:

“Put, kan kamu sudah lumayan lama nih latihan sama aku…”

“Iya Mas, sudah lewat 5 tahun. Enggak kerasa ya mas!”

“Hehehe, iya Put. Kayaknya kamu sudah siap deh aku kasih langkah tutupan nya silat Tunggal Rasa.”

Gua kaget. Mendengar ‘Langkah tutup’, itu berarti siap untuk menerima jurus / langkah silat aliran ini secara lengkap. Berarti, Mas Ka menganggap gua sudah cukup umur dan cukup dewasa untuk tamat jurus!

Nah, selingan sejenak!

 

Ulasan Tradisi Silat: “Tutup”

“Tutupan” atau “Langkah Tutup” adalah sebutkan bagi jurus – jurus akhir. Sebutan ini biasa digunakan oleh perguruan dan kelompok – kelompok Silat Betawi. Filosofinya? Cukup sederhana, apa yang dimulai, ya harus diselesaikan. Apa yang dibuka, haruslah ditutup. Keseimbangan.

Kembali ke pembicaraan gua dan Mas Ka…

Mas Ka pun melanjutkan,

“Put, disini nanti kamu aku ajarin langkah – langkah inti dari Tunggal Rasa: Langkah lima, empat penjuru, susun sirih, kelabang nyeb’rang, dan merak ngigel. Dalam latihan ini semua, kamu tidak boleh stop latihan lho Put. Itu saja Syaratnya. Langkah – langkah ini harus dilatih semua dalam satu rangkaian, dan kamu harus komitmen dalam sebulan atau dua, kamu tidak boleh berhenti berlatih rangkaian itu.

Dengan lugunya gua bertanya. “Kenapa kok gitu mas? Ini ada ilmu apa yang bakalan ditransfer ke aku? Kok Syaratnya aneh banget?”

Mas Ka terbahak – bahak mendengar Pernyataan bodoh gua.

“HUAHAHAHAHA Put, kadang –kadang kamu tuh menghayal terlalu jauh ya. Silat betawi tuh enggak banyak yang ilmu – ilmu isian gitu, walaupun ada yang melatih dan ‘diisi’ ilmu –ilmu tertentu begitu, aku enggak mau kamu latihan begituan Put. Papamu juga sudah pesan pas kamu mau mulai latihan sama aku.”

Makin penasaran, gua bertanya lagi hal yang bodoh,

“Wah! Memang ada ilmu – ilmu kayak apa mas?? Kok aku enggak boleh diajarin sih?”

Mas Ka tersenyum dan menepuk pundak gua,

“Put, kamu mau bisa mukul orang sekali, terus orang itu langsung mati? Kamu mau bisa kebal kalau dibacok? Terus gunanya apa kalau bisa itu semua?”

“Kan keren mas bisa begitu!”

“Put, kamu belajar silat itu karena kamu mau belajar jadi orang baik. Inget tuh.”

“Tapi kan asyik mas kalau bisa jadi orang baik DAN sakti!”

Mas Ka terkekeh, dan gua bisa merasakan bobot keseriusan di nada suaranya ketika beliau berkata: “Bayarannya berat Put.”

Tanpa mengerti penuh jawaban Mas Ka, gua merinding. Kata – kata itu terngiang di kepala gua sampai sekarang.

BERSAMBUNG…

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Ketradisionalan Dalam Aksara Tradisional

Sejarawan sepakat bahwa peradaban besar di dunia ini lahir ditandai dengan penemuan sebuah sistem tulisan. Sistem tulisan itu sendiri beragam bentuknya, ada yang menggunakan satu lambang untuk mewakili tiap bunyi (fonetik) hingga yang bersifat silabis, dimana satu huruf melambangkan dua bunyi, jadi satu huruf terdiri dari dua lambang bunyi,  contohnya seperti huruf lontaraq, Jepang dan Korea. Sistem tulisan tersebut muncul sesuai dengan karakter, pengalaman dan kebutuhan bangsa yang menciptakannya.

Dewasa ini, aksara latin yang berasal dari peradaban Romawi Kuno merupakan sistem tulisan yang dipakai paling luas di dunia. Aksara ini menyebar di Eropa seiring dengan meluasnya pengaruh Kekaisaran Romawi Suci saat itu. Aksara latin juga merupakan aksara yang digunakan untuk menulis kitab suci Injil bagi penganut Kristiani. Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa ke daratan Asia, Afrika dan Amerika turut pula membawa sistem tulisan latin sehingga kemudian diadopsi sebagai sistem tulisan yang paling universal.

Setelah aksara latin, aksara Arab menduduki peringkat kedua dalam hal penyebaran. Aksara Arab tersebar ke berbagai penjuru benua sesuai dengan alur penyebaran agama Islam yang mewajibkan pengikutnya untuk memahami Kitab Alquran dalam bahasa aslinya. Setelah aksara Arab, aksara Cina menduduki peringkat ketiga. Aksara Cina ini selama berabad-abad digunakan untuk mendokumentasikan khazanah kebudayaan mereka dalam beragam naskah kuno. Seni kaligrafi yang lahir pertama kali dari aksara Cina juga membuatnya populer dan banyak digemari oleh berbagai bangsa di dunia. Di Anak Benua India juga sejak ratusan tahun yang lalu telah berkembang aksara Pallawa yang kemudian menginspirasi kelahiran berbagai macam aksara tradisional di Nusantara. Konon, menurut teh Sinta Ridwan pada tesis S3-nya (beliau adalah seorang filolog muda serta pendiri komunitas Aksakun (Aksara Sunda Kuno)) yang terjadi sebenarnya adalah leluhur kita menciptakan aksara tersebut atas inspirasi mereka sendiri, baru kemudian mendapat pengaruh dari unsur-unsur asing. Pendapatnya di atas menampik anggapan bahwa bangsa-bangsa di Nusantara adalah bangsa yang inferior karena bahkan untuk mencipta aksara saja harus mengambilnya dari India.

Naskah La Galigo dengan ilustrasi yang terdapat di Leiden, Belanda

Salah satu aksara tradisional yang hingga saat ini masih bestari di Nusantara ialah aksara lontaraq. Aksara lontaraq ini oleh Bapak Fachruddin Ambo Enre diperkirakan telah muncul sejak abad ke-14 Masehi. Dinamakan lontaraq karena awalnya aksara ini dituliskan di atas daun-daun lontar yang bentuknya menggulung panjang seperti pita kaset. Lontaraq yang berasal dari peradaban Bugis-Makassar juga bersinonim dengan istilah untuk menyebut naskah ataupun sejarah atas suatu kerajaan. Aksara lontaraq Bugis-Makassar menginspirasi terciptanya Lota Ende, sebuah sistem tulis tradisional sahabat-sahabat kita di Nusa Tenggara Barat.

Aksara lontaraq tidak mengenal tanda virama (huruf mati), sesuai dengan karakter bahasa Bugis. Memang bentuk bahasanya bersifat silabis, sehingga jika orang Bugis menyebut nama “Ahlul”, dia akan mengatakan “Ahelule”, Nur menjadi “Nureq”, “Ahmad” menjadi “Hemmaq” jadi tidak bisa dipaksa menjadi fonetis karena ini merupakan keunikan dari aksara Bugis itu sendiri. Memang bagi sebagian kalangan amatlah sulit dalam membaca dan menerjemahkan makna dari aksara ini, akan tetapi di situlah letak seni serta dituntutnya kehati-hatian seseorang di dalam menafsirkan naskah-naskah kuno. Selain itu, kekurangan ini ternyata justru menjadi kekayaan tersendiri bagi Suku Bugis karena menstimulus lahirnya tradisi sastra serupa elong maliung bettuana. Elong maliung bettuana yang berarti ‘lagu dengan arti dalam’ merupakan sebuah tradisi sastra dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut. Contoh penggunaan elong maliung bettuana seperti ini:

Gellang riwatang majjekko,

anre-anrena to Menre’e,

bali ulunna bale-e.

(Artinya: Tembaga melengkung di ujung (kail=meng), makanan orang Mandar (pisang=loka), kebalikan dari kepala ikan (ekor=iko). Melokaq iko, aku cinta kamu.)

Tuh, keren ya? Akan tetapi, di saat bangsa-bangsa asing yang memiliki aksara tradisional di Asia seperti Korea dan Jepang getol mengangkat identitas bangsanya sebagai bagian dari budaya dunia, eh di Indonesia justru terjadi kebalikannya. Sudah banyak pemuda Indonesia yang tidak memahami lagi bagaimana caranya menulis dan membaca aksara tradisional. Selain itu, dihapusnya mata pelajaran Bahasa Daerah oleh pemerintah semakin membuat generasi baru jauh dari aksara leluhur mereka. Beragam cara diupayakan untuk membuat aksara tradisional dapat menyesuaikan diri dengan trend zaman seperti menciptakan huruf-huruf yang mewakili bunyi-bunyi mati seperti yang terdapat di dalam aksara latin.

Belakangan ini di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan marak gerakan yang berusaha untuk memodifikasi aksara tradisional sehingga dapat mewakili bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam aksara mereka. Padahal, di Korea sana aksara Hanggeul yang tidak mengenal bunyi “r”, “d”, dan “g” dapat bertahan menghadapi globalisasi. Korea bersikukuh bertahan dengan aksara Hanggeul beserta segala keterbatasannya, bahkan memaksa budaya asing untuk tunduk dengan identitas mereka.

Bagi orang Korea, dunia tidak akan runtuh meskipun seseorang yang bernama “Reza” ditulis dengan “Leja” dalam aksara Hanggeul.

Keunikan aksara Henggeul adalah harga mati yang tidak dapat dilepaskan, apalagi untuk tunduk oleh paksaan internasional.  Ketidaksempurnaan bukanlah alasan bagi mereka untuk berhenti bangga atau mengganti warisan adiluhung nenek moyang tersebut.

Ada banyak cara lho yang dapat kita gunakan untuk melestarikan aksara tradisional tanpa harus menghilangkan warna khasnya. Kaligrafi, contohnya. Pembuatan grafiti, permainan komputer hingga motif kain yang mengambil corak aksara tradisional seperti yang saat ini sudah dilakukan terhadap aksara Hancaraka di Jawa adalah beberapa motivasi untuk usaha kreatif lainnya. Teman-teman, biarkanlah budaya kita menjadi tuan di negaranya sendiri 🙂

Referensi:

-“Ritumpanna Welenrengnge” oleh Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor.

-“Suara-Suara Dalam Lokalitas” oleh Nurhayati Rahman, La Galigo Press.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Cari Alam Melayu Gara-Gara Nusantara dan Pikir-Pikir Jawi

Kawasan kepulauan Asia Tenggara memang unik. Tidak hanya dari segi geografisnya yang berada di “ujung dunia” (dalam pandangan bangsa Eropa di Abad Pertengahan) namun juga kekayaan alam serta peradaban manusianya. Menurut kalangan sejarawan, Asia Tenggara adalah suatu area yang memiliki perjalanan sejarah panjang dan membentuk sebuah “hub” atau penghubung antara peradaban Cina dan India. Kawasan ini sudah sejak lama dipandang oleh dunia luar sebagai bagian dari bumi yang penuh misteri sekaligus “eksotis”. Tercatat dari tujuh kali pelayaran Sindbad Si Pelaut keliling berbagai tempat di dalam Kisah 1001 Malam, kira-kira dua hingga tiga di antaranya berada di wilayah kepulauan Asia Tenggara. Pelayaran pertama si pelaut asal Baghdad menuju Cina ini konon membuatnya terdampar di Pulau Sumatera yang saat itu dipimpin oleh seorang raja bernama “Mihrajan”, gelar yang identik dengan Maharaja di Sriwijaya.

Sebagai sebuah kawasan yang terletak di kawasan persimpangan kebudayaan-kebudayaan besar, bangsa di kepulauan Asia Tenggara dapat dikatakan tidak mengenal “pagar”. Kemampuan adaptasi dan adopsi mereka amat tinggi, terbukti dengan kayanya bahasa-bahasa Austronesia dengan serapan dari Bahasa Sansekerta, Arab, Persia, Cina, Inggris, Belanda, Perancis dan lainnya.  Pengaruh-pengaruh tersebut masuk karena peran hubungan maritim. Agama-agama mayoritas di kepulauan Asia Tenggara seperti Islam, Kristen, Hindu dan Buddha awalnya masuk melalui jalur perdagangan. Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara yang sudah tidak asing dengan kedatangan para pendatang ini mampu menerima hal-hal baru yang dibawa oleh bangsa-bangsa asing tersebut, seraya tetap mempertahankan identitas lokal mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mampu mengulen kedua unsur tersebut menjadi sebuah bentuk baru yang unik. Pakaian adat suku bangsa di tanah air menampilkan jejak visual yang paling kentara dari fenomena ini. Di Sulawesi Selatan, jas tutup yang biasanya digunakan sebagai pakaian adat kalangan pria terinspirasi dari pakaian Eropa. Demikian pula dengan kain muslin yang digunakan untuk Baju Bodo perempuan, ternyata kain ini dahulu dibawa oleh pedagang dari Arab dan India. Teknologi mengolah sutra juga dipelajari dari peradaban bangsa Tionghoa.

Masyarakat di kepulauan Asia Tenggara sejatinya amatlah majemuk. Meskipun menunjukkan ciri-ciri asal-mula yang sama (jejak genetik Austronesia dengan percampuran dari bangsa Asiatik dan Melanesia), keragaman muncul dalam intensitas yang cukup tinggi. Dalam sebuah pulau saja, terdapat beberapa bahasa yang berbeda. Ada kalanya bahasa-bahasa tersebut saling berhubungan dekat satu-sama lain sehingga antarsuku masih dapat mengerti, namun ada kalanya bahasa-bahasa tersebut berbeda begitu jauh satu sama lain sehingga membutuhkan kehadiran bahasa ketiga sebagai lingua franca. Proses difusi juga terus-menerus terjadi: ada kalanya entitas budaya yang lebih kuat mempengaruhi budaya lain yang lebih lemah sehingga terjadi peleburan. Rasa keserumpunan sudah tertanam sejak penyebaran nenek moyang mereka dari Taiwan ribuan tahun yang lalu (Teori “Out of Taiwan”). Beberapa contoh kebiasaan seperti pertanian umbi-umbian, teknologi maritim, permainan rakyat “tari bambu” seakan-akan menjadi penghubung beragam bangsa yang hidup di Pulau Madagaskar hingga Pulau Paskah di Pasifik.

Kiranya, sebagai sebuah kawasan yang terdiri atas orang-orang serumpun, ada kah nama yang digunakan oleh bangsa-bangsa di kepulauan Asia Tenggara ini untuk memanggil diri sendiri maupun sepupu-sepupu di sekitar mereka? Salah satu rekaman yang memandang kepulauan Asia Tenggara sebagai satu-kesatuan dengan sebuah nama julukan ialah Kitab Pararaton yang mengisahkan sejarah Majapahit. Kitab ini menuturkan cita-cita Mahapatih Gadjah Mada yang ingin menaklukkan seluruh “Nusantara” di bawah naungan Majapahit.

“Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

(He, Gajah Mada Patih Amangkubumi, does not wish to cease his fasting. Gajah Mada: “If (I succeed) in defeating (conquering) Nusantara, (then) I will break my fast. If Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, are all defeated, (then) I will break my fast.”.)

Apakah Nusantara ini? Nusantara, berdasarkan tafsiran dari kitab itu sendiri, sejatinya adalah pulau-pulau yang berada di luar kekuasaan Majapahit. Secara etimologis Nusantara berasal dari kata “nusa” dan “antara” dalam Bahasa Kawi. Slamet Muljana, seorang sejarawan yang banyak menulis tentang Majapahit mengartikan kata Nusantara sebagai: “negara atau pulau lain, yakni negara di seberang laut atau negara di luar pulau Jawa.” Perlu dicatat bahwa jauh sebelum Gadjah Mada dan Majapahit, Prabu Kertanegara dari Singasari pernah mencetuskan istilah senada dengan nama “Dwipantara”. Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh sang raja pada tahun 1292 Masehi mencatatnya sebagai berikut:

“śrī mahārāja digwijaya ring sakalaloka mawuyū yi sakala dwīpantara.”

(Sri Maharaja was victorious in all the lands and subdued all the other islands)

Ketika Indonesia baru merdeka, istilah Nusantara kemudian digunakan oleh tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Muhammad Yamin untuk menekankan kesatuan dalam perbedaan yang merata di negara kepulauan ini. Nusantara diadopsi dan definisinya dikembangkan dengan luas, kali ini Pulau Jawa juga merupakan bagian dari Nusantara tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah Nusantara dipergunakan secara luwes dengan beragam kepentingan. Yang tadinya hanya meliputi daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka sekarang Nusantara juga meliputi negara serumpun seperti Malaysia dan Filipina. Tidak hanya itu, perkembangan studi antropologi dan genetika turut pula digunakan sebagai klaim untuk memperluas  cakupan Nusantara. Kini Nusantara terbentang dari Madagaskar hingga Hawaii, pulau-pulau yang dihuni oleh ras Austronesia dan sepupu mereka, bangsa Polynesia.

Peta yang menggambarkan wilayah klaim Majapahit. Sumber:  Wikimedia Commons

Akan tetapi, ternyata tidak semua orang menerima istilah Nusantara ini untuk menggambarkan masyarakat Indonesia dan serumpunnya. Banyak yang merasa keberatan dengan latar kesejarahan istilah Nusantara sebagai perwujudan niat Imperium Majapahit untuk menundukkan seluruh bangsa di bawah lambang kebesarannya. Istilah ini dianggap terlalu Jawa-sentris untuk Indonesia yang majemuk. Di Malaysia, istilah “Alam Melayu” digunakan sebagai sinonim untuk Nusantara. Bagi mereka pada dasarnya seluruh penghuni kepulauan Asia Tenggara ini masuk ke dalam dunia komponen besar yaitu Proto-Melayu dan Deutro-Melayu. Meskipun secara kultur berbeda, keduanya sama-sama berasal dari akar Melayu, yang konon jika ditarik maka sejatinya berasal dari Yunnan. Penggunaan terminologi “Melayu” bagi ras pribumi berkulit coklat ini kemudian dipopulerkan oleh Raffles dengan tambahan unsur baru: Islam. Sebagai catatan, istilah Melayu ini lahir dari perspektif kolonial Inggris yang cenderung mengklasifikasi penduduk jajahannya ke dalam kategori-kategori ras yang penuh dengan prasangka (prejudice). Penjelajah yang sekaligus seorang biologiawan dari Inggris bernama Alfred R. Wallace juga kemudian menggunakan istilah “Kepulauan Melayu” di dalam bukunya untuk menyebut Indonesia dan Malaysia. Sebagian pendukung istilah Alam Melayu percaya bahwa “Melayu” adalah kata yang paling tepat untuk menyimbolkan keserumpunan karena berdasarkan observasi mereka, dulu terdapat sebuah kemaharajaan maritim bernama Sriwijaya yang amat sangat berpengaruh di kepulauan Asia Tenggara. Sriwijaya inilah yang menjadi cikal-bakal kebudayaan Melayu.

Peta Tanah Jawi dan kedaulatan Aceh dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1838-1870) tersimpan di Arsip Turki Usmani Istanbul. Sumber: Republika

Nah, lain Nusantara, lain Alam Melayu maka lain pula dengan “Jawi”. Jawi ialah singkatan dari “Jaza’ir al Jawi” yang bermakna kepulauan Jawa. Zaman dahulu, pedagang Arab menggunakan terminologi Jawi untuk menyebut seluruh daerah di Asia Tenggara maritim.

Samathrah, Sholibis, Sundah, kullah Jawi.

(Sumatera, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa), ujar mereka dalam Bahasa Arab.

Istilah ini kemudian berkembang untuk menyebut sistem tulis bangsa Melayu yang diadopsi dari huruf Arab. Abjad Jawi ini dalam perkembangannya justru identik dengan kebudayaan Melayu, menyebar hingga Malaysia, Indonesia, Filipina Selatan, Thailand Selatan, Singapura, dan Brunei Darussalam. Seorang ulama masyhur asal Banten bahkan dijuluki Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Konon, mengapa bangsa Arab memukul rata seluruh kepulauan Asia Tenggara dengan nama Jawi disebabkan oleh sebuah komoditas perdagangan bernama kemenyan. Jenis kemenyan tertentu dalam Bahasa Arab disebut luban jawi (kemenyan Jawa), yang asal sebenarnya dari Sumatera. Oleh para pedagang Eropa luban jawi ini berubah nama menjadi La Benjawi, yang kemudian oleh pedagang Venezia diubah lagi menjadi La Benzoin, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris sebagai benzoin.

Akhirnya, sampailah kita pada sebuah penghujung. Istilah manakah yang layak digunakan untuk menyebut kesatuan rumpun masyarakat dan negara-negara di kepulauan Asia Tenggara ini? Apakah Nusantara yang beraroma kekuasaan Majapahit, Alam Melayu yang demikian luas tafsirannya, ataukah Jawi? Atau jangan-jangan, sebenarnya semua itu tidak perlu? Jawabannya: terserah anda. Dengan nama apapun kepulauan Asia Tenggara ini disebut, unsur-unsur keserumpunan budaya, bahasa, perjalanan sejarah, kesatuan leluhur serta kesamaan geografis akan selalu muncul. Pertanyaannya bukanlah dengan nama apa kita disebut, namun bagaimana pemaknaan kita terhadap keistimewaan-keistimewaan yang terdapat di dalam kawasan ini sendiri.

Kalau kata William Shakespeare dulu: “Apalah arti sebuah nama.”