Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

La Galigo, The Lord of The Rings-nya Indonesia

Demam film-film kolosal-fantasi sekelas The Lord of The Rings trilogi ternyata belum usai. Setelah sukses dengan tiga film sebelumnya,  sutradara Peter Jackson tidak kekeringan ide. Ia segera mengambil buku karangan J.R. Tolkien lainnya –The Hobbit– untuk digarap. Desember lalu, dunia dihebohkan sekali lagi oleh para Tolkien-mania dengan kemunculan Bilbo Baggins dalam petualangan besarnya menolong bangsa kurcaci merebut kembali kampung halaman dari tangan si naga jahat. Petualangan Bilbo Baggins inilah yang konon melatari lahirnya epik besar Frodo Baggins, sang keponakan dalam The Lord of The Rings Series.

Sebagai orang Indonesia kita seharusnya bangga lho karena jauh sebelum Tolkien kepikiran untuk membuat kisah kolosal macam The Silmarillion-The Hobbit-The Lord of The Rings, nenek moyang kita udah duluan menciptakan epos besar macam La Galigo yang ceritanya nggak kalah fantastis. Efek-efek luarbiasa seperti mahluk-mahluk gaib, senjata-senjata hebat, petualangan menempuh bentang alam yang berbahaya, serta jalinan konflik yang saling menghubungkan antara karakter satu dengan yang lainnya pun terdapat dalam epos La Galigo. Nggak percaya? Mari simak tiga persamaan antara kisah fantasi terbaik sepanjang masa The Lord of The Rings dengan La Galigo, epos adiluhung leluhur bangsa yang telah hidup selama ratusan tahun berikut ini!

Middle Earth v. Alelino/Alekawa

Kosmologi The Lord of The Rings (LOTR) mengenal dunia tempat hidup bangsa manusia ini sebagai Middle Earth alias Dunia Tengah. Meskipun pada trilogi bukunya tidak pernah disebut-sebut bagaimanakah struktur alam semesta di dalam benak Tolkien, akan tetapi berdasarkan buku The Silmarillion (yang memuat kisah penciptaan Dunia Tengah) kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dunia LOTR sejatinya terdiri atas tiga tingkatan: Dunia Iluvatar (Sang Pencipta) yang berada jauh di luar batas-batas yang diketahui oleh bangsa elf dan manusia, Middle Earth, serta Underworld alias Dunia Bawah. Dunia Tengah selain dihuni oleh bangsa manusia juga dihuni oleh kaum elf (keturunan peri yang turun dari langit), kurcaci, hobbit (manusia kerdil), naga, dan banyak mahluk hidup fantasi lainnya. Bentang alam Dunia Tengah yang kita ketahui dari LOTR bentuknya amat sangat mirip dengan daratan Eropa hari ini. Yang demikian itu disebabkan karena Tolkien sendiri yang mengatakan bahwa Dunia Tengah adalah Eropa, meskipun Ia tidak mengikuti keseluruhan fitur-fitur Eropa modern (seperti menghilangkan bentuk Inggris dari Lautan Atlantik). Gondor kurang lebih terletak di Italia modern sekarang ini sedangkan Hobbiton, kota asal Bilbo dan Frodo Baggins, berada di dekat Oxford.

Peta Middle Earth versi Tolkien

Bagaimana halnya dengan La Galigo? Sepanjang episode-episodenya yang menegangkan, kita diberi insight bahwa orang Bugis kuno menganut konsep tiga lapis dunia dalam kosmologinya. Dunia menurut La Galigo terdiri atas tiga lapisan yaitu Boting Langiq, Ale Kawaq/Ale Lino, dan Buri Liu/Perettiwi. Boting Langiq dan Perettiwi menjadi tempat kediaman para dewa sedangkan Ale Lino alias Dunia Tengah menjadi tempat manusia beraktifitas. Segala keadaan yang terjadi di Dunia Tengah dikontrol oleh Boting Langiq dan Buri Liu, itulah sebabnya manusia yang hidup di Dunia Tengah harus tunduk dan patuh pada tatanan yang ditentukan oleh keduanya. Jika LOTR mengambil latar di Benua Eropa, maka La Galigo sesuai dengan kondisi geografis lahirnya cerita ini mengambil latar di Kepulauan Nusantara. Jangan heran jika kebanyakan latar La Galigo berada di laut, karena memang kontur Nusantara tertutup oleh perairan luas yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Nama-nama kerajaan yang dikunjungi Sawerigading bukanlah negeri antah-berantah yang ada dalam khayalan, namun kerajaan-kerajaan seperti Maloku, Siwa, Wolio, Maccapaiq (Majapahit), Senrijawa (Sriwijaya), Wadeng (Gorontalo), dan Sunraq (Sunda) pun masih dapat kita trace jejaknya hingga hari ini.

Galadriel v. We Tenri Abeng

Galadriel bersama Frodo dan Sam

Siapakah sosok wanita keibuan, bijaksana, penuh kasih namun pada saat yang bersamaan juga memiliki kekuatan yang luarbiasa di dalam LOTR? Yup, dialah Lady Galadriel, seorang elf yang menjadi penguasa negeri Lothlorien. Galadriel telah hidup lama di Dunia Tengah. Ia turut dalam banyak pertempuran besar selama tiga zaman. Kemampuannya dalam melihat masa depan membantu Frodo dalam perjalanannya memusnahkan Cincin Utama. Galadrieal banyak menolong sesama bangsa elf, dan bahkan manusia selama kekuasaan gelap Sauron berkuasa di Dunia Tengah.

Di dalam La Galigo, kita juga mengenal seorang figur wanita yang bijaksana, penuh kasih, memiliki kekuatan nan besar. Siapakah dia? Dialah pasangan saudari kembar emas Sawergading, We Tenri Abeng putri kerajaan Ale Luwu. Terlahir sebagai seorang bissu sejak lahir, We Tenri Abeng sering mengalami trans karena “disentuh” pasangan dewatanya, Remmang ri Langiq. Meskipun hidup disembunyikan di bagian tengah istana oleh kedua orang tuanya, We Tenri Abeng dengan sabar dan tulus ikhlas menjalani itu semua, demi sang kakak. Ketika Sawerigading mengamuk dan bahkan membunuh salah seorang sesepuh di istana karena keinginannya untuk menikahi sang adik, We Tenri Abeng muncul meredakan amarah sang kakak dengan kata-kata bijak. Dengan kekuatannya, We Tenri Abeng membuat Sawerigading dapat menyaksikan hologram wajah Putri Cina I We Cudai yang muncul di kuku-kuku jarinya. Tidak hanya itu, We Tenri Abeng pun bahkan terus membantu Sawerigading selama kesusahan demi kesusahan yang menimpanya di negeri Cina, termasuk melalui kekuatan meramalnya.

Pasukan Elf v. Pasukan Remmang ri Langiq

Pasukan Elf dari Lothlorien nan gagah perkasa

Bangsa elf adalah golongan makhluk istimewa yang hidup di Dunia Tengah sejak zaman dahulu kala. Mereka diciptakan lebih dahulu serta berusia lebih panjang daripada manusia. Tubuh mereka berkembang lebih cepat jika dibandingkan dengan manusia, itulah sebabnya banyak elf yang punya kekuatan fisik serta kecepatan di atas rata-rata. Bangsa elf menyukai hal-hal yang indah seperti sastra, musik, seni pembuatan senjata dan perhiasan, serta patung. Mereka juga adalah ras pemburu yang mahir serta memiliki kedekatan psikologis dengan hutan.

Di La Galigo, pasukan elf mungkin dapat kita bandingkan dengan pasukan dewa yang turun ke muka bumi. Remmang ri Langiq adalah seorang dewa di Boting Langiq yang telah ditakdirkan untuk menjadi pasangan bissu We Tenri Abeng. Ketika Sawerigading berangkat ke negeri Cina, Remmang ri Langiq turun ke istana Ale Luwu untuk menjemput sang calon istri menuju ke langit. Remmang ri Langiq amat mencintai sang istri, terbukti setelah We Tenri Abeng tinggal di Boting Langiq mereka tidak pernah sekejap pun berpisah. Suatu ketika Sawerigading berhadapan dengan La Tenrinyiwiq di tengah laut, seorang musuh yang amat kuat dan memiliki armada kapal sebesar gunung. Pasukan Sawerigading terdesak, sehingga ia pun meminta pertolongan kepada sang adik yang berada di Boting Langiq. We Tenri Abeng dengan hati yang dipenuhi kesedihan pun meminta kepada suaminya untuk turun ke bumi dan menolong sang kakak. Remmang ri Langiq turun bersama pasukan langitnya dan dengan gagah berani mengalahkan armada Wangkang Tana milik La Tenrinyiwiq dari Malaka. Tubuh mereka yang lebih gesit serta lebih kuat daripada manusia biasa dapat mengalahkan La Tenrinyiwiq. Pasukan Remmang ri Langiq tersebut terdiri atas prajurit dewa yang disebut “pemburu”, pasukan Peresola (makhluk halus) serta To Alebborang Pula Kalie alias bakteri-bakteri tak kasad mata yang dapat menimbulkan sensasi gatal di sekujur tubuh! Wow, bayangkan aja betapa serunya bertempuran tersebut 🙂

Appangara o Oddang Mpatara/ naripatteteng pabbaranie/ ata dewata le soloqe/ mupalluru i paddengngenge/ mupajappa i le setangnge/ peresolae mupallebbangngi/ To Alebboreng Pula Kalie/ mupattujungngi salangka musuq/ paddioloe tasialonrang/ mpali sanreseng La Tenrinyiwiq.

Memerintahlah engkau Oddang Mpatara/ supaya dikerahkan semua pasukan/ hamba dewa yang turun/ majukanlah para pemburu/ jelmakanlah setan-setan/ peresola, sebarkanlah/ To Alebborang Pula Kalie/ kau tebarkan tepat pada bahu musuh/ yang di depan kita, bertaruh/ dengan La Tenrinyiwiq

Demikian tadi tiga keistimewaan yang dimiliki oleh La Galigo dan karya fantasi yang paling dikenang sepanjang zaman, LOTR. Sebenarnya masih banyak lagi unsur-unsur fantasi menarik yang ada di La Galigo dan terdapat juga di LOTR seperti misalnya referensi terhadap Bahasa Sindarin (bahasa bangsa elf kelas tinggi yang diciptakan oleh Tolkien sendiri) dengan Bahasa Torilangiq Bissu (bahasa para dewa di langit yang hanya diketahui golongan bissu), keistimewaan senjata-senjata gaib yang ada di kedua cerita, serta mitos mengenai pohon pusaka bernama Welenrenge serta pohon Silmarillion dalam LOTR. Yang jelas, La Galigo oke banget deh Sobat Lontara, nggak kalah keren dengan LOTR! Malah yang membuat La Galigo lebih istimewa adalah karena usianya yang sudah tua dan karena berasal dari bangsa kita sendiri (bukan hasil adaptasi dari bangsa India, Cina atau Arab), bangsa Indonesia. So, bagi yang suka LOTR, nggak ada salahnya bagi kalian untuk mencoba membaca dan mencintai La Galigo juga 🙂

Referensi:
Nurhayati Rahman, Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, La Galigo Press.
David Colbert, The Magical Worlds of The Lord of The Rings, PT Gramedia Pustaka Utama.

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode IV – “Penantian Sambut”

Bab V: Penantian Sambut

 

Setelah 9 bulan berlatih, gua merasa bisa banyak. Langkah 1 sudah lancar, jurus-jurus sudah hapal dan gerakan mulai terlihat bagus. Arahan-arahan dari Mas Ka sudah mulai bisa diikuti dengan baik, dan set latihan mulai bisa dikuasai

Suatu saat selesai latihan, gua pulang kerumah. Setelah menikmati makan malam bersama keluarga, orangtua gua bertanya: “Jadi, kamu sudah belajar apa saja sama Mas Ka?” Gua menjelaskan panjang lebar tentang latihan, apa saja yang dilakukan pada saat latihan, langkah apa saja yang sudah dipelajari, nama-nama gerakan, gedik, rambet, semuanya.

Ayah gua yang sepak terjangnya di dunia persilatan sudah lama melegenda ini meminta gua untuk menunjukkan langkah silat yang sudah dipelajari. Dengan penuh percaya diri, gua segera menunjukkan apa yang sudah gua latih selama ini. Setelah beberapa detik bergerak, ayah berdiri dari sofa.

“Bagus tuh gerakanmu,”bBeliau berkata sembari melihat gerakan gua. “Oke, Papa mau tanya deh, gerakan itu tadi buat apa ya?”

Dan gua pun terdiam. Kepala kosong, selama ini yang gua pelajari adalah gerakkan yang kosong. “Belum dikasih tahu Pa, gerakannya untuk apa.”

Ayah gua tersenyum, “Besok tanya deh ke Mas Ka, Papa jadi pengen tahu juga hehe.”

“Aduh, masih hari Jumat depan latihannya” gua ngedumel dalam benak gua, dan gua harus menghadapi sekolah selama seminggu kedepan. Baiklah, tidak apa, gua harus sabar menunggu, karena beberapa penantian itu memang nikmat.

Seminggu itu sekolah berlalu SANGAT lambat. Banyak sekali PS (bagi teman-teman yang membaca dan kelahiran 1990 – 1993 pasti tahu kalau PS itu bukan “Plaza Senayan”, atau “Playstation”, melainkan “Pekerjaan Sekolah”), PR (yang ini tahu kan kalau “Pekerjaan Rumah”?) dan tugas-tugas kelompok yang harus dikerjakan. Ditambah badan dan kaki yang pegal-pegal, gua pun berjalan seperti kakek-kakek yang lututnya goyang.

Dikarenakan gua mengendarai mobil antar-jemput ketika SMP, tidak banyak hal yang bisa gua lakukan setelah sekolah. Gua harus langsung lari ke parkiran antar jemput ketika bel sekolah berbunyi, dan ketika sampai rumah, gua mengerjakan PR dan… berlatih silat.

Suatu saat, sahabat-sahabat gua di SMP memperhatikan kenapa cara jalan gua aneh dan jari-jemari gua gemetar ketika menulis.

“Put, lu kenapa sih? Kok jalannya aneh?”

“Iya nih… Gua lagi sering latihan silat”

Didalam benak seorang bocah yang menghabiskan masa kecilnya dibacakan cerita wayang, didongengi cerita-cerita silat, dan menonton serial-serial seperti “Wiro Sableng” dan atau “Si Buta Dari Gua Hantu”, gua merasa gagah bisa cerita kalau gua pegal-pegal habis latihan silat.

Lain ceritanya ketika anak-anak Jakarta masa kini (pada jaman itu) yang menghabiskan waktunya menonton acara-acara MTV, beli barang-barang dari toko-toko macam Point Break atau Surfer Girl (kalau gua belanja, Ibu tercinta akan membawa gua ke department store lokal macam “Matahari” atau mungkin “Aneka Busana”), dan membaca novel-novel ‘teenlit’ (dimana gua akan disajikan TJERITA WAYANG oleh ayah gua yang digambar dan ditulis oleh mendiang R.A. Kosasih). Gua adalah orang aneh dimata mereka. Dan seperti yang mungkin teman-teman bayangkan, gua jadi bahan ketawaan.

“HUAHAHAHAHAH Latihan silat??? Lu bisa keluarin sinar ungu dong dari tangan lu, terus nembak batu nanti batunya pecah? HAHAHAHAHA” ~ ini mungkin mereka membuat sebuah referensi dari film-film silat yang dimata mereka itu norak.

“Ehm… Enggak sih… Tapi ya ini silat tradisional…” tukas gua dengan nada pelan tetapi pasti.

“Terus kenapa sih lu mau belajar silat gitu? Emang lu bisa apa sekarang?” ledek mereka

“Iya namanya kan juga proses latihan, enggak langsung lah hasilnya, sakitnya sekarang, tapi sehatnya nanti kedepan.” Jawab gua sambil tersenyum percaya diri.

“Tapi lu jalan sekarang kayak kakek-kakek! HAHAHAHAH”

Yap,  itulah silat dimata mereka.

Seminggu itu akhirnya berlalu, dan gua sudah sampai di akhir pekan. “Akhirnya, gua bisa latihan.” Gumam gua di dalam benak gua. Sepulang sekolah pada hari Jumat, gua langsung menggowes sepeda gua kerumah Mas Ka.

“Mas Ka!” Gua lompat dari sepeda gua, dan langsung lari masuk ke garasi Mas Ka

“Yop! Masuk Put!” Suara Mas Ka terdengar menyahut dari dalam rumah. Gua langsung stretching dan pemanasan sendiri, Mas Ka pun keluar dari rumah dan tersenyum lebar.

“Put, hari ini kita latihan sambut ya.”

“Sambut itu apaan mas? Latihan hormat gitu?” Tanya gua dengan dungu dan polos

“Haha enggak lah Put, ‘Sambut’ itu kalau di Silat Betawi, artinya sparring. Kalau kamu lagi di acara silat gitu, dan ada yang bilang ‘Mas, boleh saya sambut?’ itu artinya nantang kamu sparring. Jadi kamu ‘disambut’ sama jurus-jurusnya dia, dan kamu harus tau cara ‘menyambut’ yang baik, dan yang sopan.” Mas Ka menjelaskan dengan kalem.

“Sopan? Kok kita ditantang harus sopan mas? Orang yang nantang saja udah enggak sopan.” Gua mendadak sewot.

“Put, kalau di Silat Betawi itu, ada yang namanya ‘Lu Jual, Gua beli’. Memang kita enggak mau dan enggak boleh cari gara-gara, tapi kalau di gelanggang, itu memang sudah tempatnya kita unjuk ilmu dan cobain ilmu lain. Selain itu, Silat itu juga ada tata kramanya! Kan kamu sudah aku ajarin, kalau misalnya kuda-kuda aku merendah, kamu ikut merendah juga. Ini tuh gesture-gesture kecil yang menunjukkan kalau kamu itu pesilat yang mengerti tata krama dan orang yang santun.”

“Oh gitu ya mas. Hmm… contohnya gimana mas?”

Mas Ka pun mendekat, dia memasang kuda-kuda siap,

“Ini Put, posisiku kalau siap sambut. Kalau di silat Betawi yang ‘main’nya jarak dekat, kamu tempel tangan kamu sama tanganku.”

Gua mengerjakan apa yang Mas Ka diktekan, dan gua mencoba untuk bersikap dan memasang kuda-kuda yang sama dengan Mas ka. Kepalan Mas Ka gua tempelkan dengan kepalan kanan gua.

“Nah, ini kamu mau adu keras kalau gaya kamu kayak gini Put.” Mas Ka terkekeh.

Gua bingung, “Maksudnya gimana Mas?”

“Kamu nyodorin kepalan pas aku nyodorin kepalan. Itu artinya kamu siap melawan aku dengan keras. Kecuali kalau kamu begini…”

Mas Ka membuka kepalan tangannya, dan menyodorkan tangan terbuka dengan telapak menghadap keatas,  beliau pun mengubah posisi tubuhnya. Dada mengahadap kedepan, tangan kiri tetap menyilang dada dengan mengepalkan tangan, seakan “mempersilahkan” gua untuk memulai.

“Put, kamu coba serang aku ya, aku isi sambut dari kamu pakai langkah yang udah kita latih selama ini.” Raut Mas Ka mendadak berubah menjadi serius.

Gua deg-degan, Mas Ka seakan-akan mengubah atmosfer yang biasanya dipenuhi penuh pembelajaran dan canda tawa menjadi tenang tetapi menegangkan.

“Mas Ka, aku mesti nyerang gimana nih?” Suara gua mendadak parau dan menunjukkan betapa bingung akan apa yang harus gua lakukan. Mendengar pertanyaan gua, kuda-kuda Mas Ka merendah, beliau tidak bergeming.

Akhirnya gua melakukan apa yang Mas Ka instruksikan, gua memasang kuda-kuda siap, dan gua melontarkan sebuah pukulan ke arah dada Mas Ka. Bet! Pergelangan tangan gua dirambet, dan sikut Mas Ka sudah di depan muka gua (ya karena Mas Ka itu tinggi, dan gua pada saat itu masih setinggi pohon singkong), secara reflek, gua menepis sikutan Mas Ka, dan tiba-tiba tangan Mas Ka merambet telapak gua dan mendorong pundak gua kesamping, dan bruk! Gua kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

“Hyeh hyeeeh Putra… kaget ya? He he he he” Mas Ka terkekeh sembari membantu gua berdiri,

“Katanya mau pakai langkah yang Mas Ka latih aku, kok aku belum apa-apa jatuh duluan coba.” Gua menggerutu sambil mengusap-usap pundak.

“Nah, Put, namannya juga lagi sparring, berarti harus bereaksi dong sama sambutan yang kamu kasih. Kan setiap orang enggak pasti memukul kearah perut, ada nanti yang tiba-tiba nendang, ada yang bisa ngerambet tangan kamu duluan. Intinya, kamu harus siap dengan apa yang orang mau kasih kamu.”

Mas Ka bersiap lagi, dan gua pun memasang kuda-kuda. “Put, sekarang kamu aku serang, nah, kamu harus bisa ‘ngisi’ pakai semua yang kita udah latih ya.” Sembari berbicara, Mas Ka melancarkan pukulan dengan pelan, “Ayo, dirambet tanganku.”

Instruksi beliau gua ikuti perlahan-lahan, setiap pukulan, egosan, kuncian, berhasil gua tangani dengan langkah-langkah yang Mas Ka sudah latih gua. Tiba di suatu gerakan, dimana Mas Ka menyerukan “Tendang!” dan karena gua dulu sempat ikut olahraga Korea yang diminati anak-anak karena banyak tendangan, gua reflek menendang tinggi.

“Put! Kalau Silat Betawi jangan nendang tinggi-tinggi! Bahaya!” Mas Ka menegur gua,

“Lho, kan Mas Ka yang bilang nendang. Ya aku tendang.” Dengan lugunya gua menjawab.

“Oke, coba deh kamu tendang lagi.” Mas Ka mendadak memicikkan mata dan memberikan senyuman yang licik dan khas.

Gua tidak ragu, gua lancarkan tendangan tinggi, dan Wut! Tiba-tiba badan gua sudah terbalik! Kaki diatas, kepala dibawah, dan pinggang gua sudah dipegangi Mas ka. Posisi yang sangat ajaib ini diiringi kekeh Mas Ka yang khas. “Keh keh keeeh Puuut… kamu udah aku bilangin jangan nendang tinggi-tinggi.. Hyeh hyeeeh.”

“MAS!! INI AKU DIAPAIIIN” Suara cempreng belum pecah itu keluar lagi dari mulut gua.

Hari itu kami menghabiskan berjam-jam (sungguh!) untuk berlatih sambut, sampai di satu titik, gua sudah sangat lelah, berdiri pun goyah. Mas Ka menyuruh gua pulang untuk beristirahat, dan gua menggowes sepeda gua dengan lunglai sampai di rumah.

Sesampainya gua dirumah, pas waktunya makan malam. Ibu pun bertanya setelah melihat tampang gua yang amburadul dan kemleh-kemleh (maksud gua, lemas), “Kamu habis latihan apa tadi? Kok lemes banget?”

Gua menjawab singkat sembari berusaha mengangkat sendok nasi, “Latihan sparring Ma.”

Ayah gua tersenyum sembari mengunyah, “Oh ya? Jadi kamu sekarang udah bisa apa?”

BERSAMBUNG…

 Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Sandeq: Sang Primadona dari Mandar

Bulan Februari 2013 lalu, desainer kondang Indonesia Ivan Gunawan mengangkat tema “Malolo” dalam acara Indonesia Fashion Week. Pada kesempatan itu untuk pertama kalinya Ia membuat gebrakan dengan memodifikasi kain tenun Mandar yang terkenal berkualitas wahid ke dalam beragam bentuk pakaian masa kini. Selain kain tenun, Mandar juga populer dengan perahu sandeq-nya. Penasaran apakah itu sandeq? Mari kita baca tulisan rekan Fitria berikut ini!

Pelayaran dengan menggunakan perahu tradisional telah berlangsung selama berabad-abad oleh nenek moyang kita di Nusantara. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya 10 relief perahu kuno di dinding Candi Borobudur. Yang pernah main ke Candi Borobudur mungkin pernah lihat. Nah, relief perahu kuno tersebut kemungkinan besar adalah jenis kapal yang digunakan oleh dinasti Sailendara dan kekaisaran bahari Sriwijaya yang menguasai perairan Nusantara pada abad ke-7 hingga ke-13. Sebagai negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, Indonesia memang dianugerahi banyak warisan yang berkaitan dengan maritim, salah satunya perahu tradisional.

Bagi yang bersuku Mandar ataupun yang pernah tinggal lama di pulau Sulawesi, perahu tradisional bernama sandeq mungkin sudah tidak asing di telinga. Perahu sandeq merupakan perahu bercadik khas suku Mandar yang terkenal sebagai perahu tradisional tercepat di Austronesia. Suku Mandar sebagai salah satu suku di Sulawesi Barat (dulu termasuk bagian Sulawesi Selatan) memang mempunyai budaya yang berorientasi bahari. Laut menjadi sumber kehidupan mereka. Pelras, seorang etnolog asal Prancis, dalam bukunya “The Bugis” bahkan menuliskan bahwa suku Mandar dikenal sebagai pelaut yang ulung.

Kata sandeq sendiri berarti ‘runcing’, mengacu pada haluan yang tajam dari perahu. Sandeq digunakan untuk berbagai kegiatan maritim, mulai dari memancing hingga transportasi antarpulau. Pada masa kejayaan perdagangan kopra, sandeq mengarungi 700 mil laut dari Mandar ke Bali dan Jawa Timur. Selain di dalam negeri, perahu ini telah terkenal di mancanegara. Perancis, Jepang, Malaysia, Vietnam, dan Filipina adalah beberapa negara yang pernah dijelajahinya.

Si Cantik Sandeq (Source: http://www.geocities.co.jp/SilkRoad-Desert/1367/kanko/sandeq.html)

Selama puluhan tahun, perahu sandeq telah menemani dan memungkinkan bangsa Austronesia dalam menjelajahi lautan. Desain sandeq yang berumur sekitar 3000 tahun pun menjadi warisan pembangunan perahu dan navigasi yang mampu mempengaruhi arsitektur naval Barat, seperti model kapal trimaran dan catamaran modern yang didesain seperti kapal Austronesia.

Berdasarkan buku “Orang Mandar Orang Laut” karya Muhammad Ridwan Alimuddin, nelayan Mandar mulai menggunakan perahu sandeq pada tahun1930-an. Konon, di daerah tersebut, perahu ini pertama kali dikembangkan oleh tukang perahu di Kampung Pambusuang, sebuah kampung yang terletak di pantai Teluk Mandar, sekitar 300 km di sebelah utara Makassar. Pembuatan perahu tersebut terinspirasi oleh model  salah satu perahu besar di pelabuhan Makassar kala itu. Sebelum sandeq, perahu yang biasa digunakan adalah jenis pakur yang bentuknya sekilas seperti sandeq. Perahu pakur ini menggunakan layar tanja’, layar berbentuk segiempat yang tidak bisa ditarik ataupun digulung. Karena tidak praktis, layar tersebut kemudian diganti dengan layar segitiga. Perubahan layar tersebut kemudian diikuti dengan perubahan  bentuk lambung, tiang layar, dan cadik. Nah, inilah awal mula dari perahu sandeq. Dari perubahan-perubahan tersebut kemudian terciptalah perahu sandeq yang kita kenal sekarang ini.

Menurut ukurannya, perahu sandeq terbagi dua, yaitu sandeq kecil dan besar. Perahu sandeq kecil memiliki panjang 5 m, bermuatan 1-2 orang, dan dapat mengarungi laut sejauh 1-5 km dari garis pantai, sedangkan perahu sandeq besar memiliki panjang 7-11 m, bermuatan 3-5 orang, dan dapat mengarungi laut dengan jarak yang lebih jauh.

Para Pasandeq sedang unjuk gigi di Brest, Prancis (Source: http://www.geocities.co.jp/SilkRoad-Desert/1367/kanko/sandeq.html)

Seiring berkembangnya teknologi, jumlah perahu sandeq semakin berkurang. Kehadiran sandeq memang perlahan-lahan telah tergeser oleh kehadiran perahu mesin yang lebih modern yang disebut kappal dan bodi-bodi. Kappal merupakan perahu penangkap ikan terbesar bermotor terbesar yang juga biasa disebut perahu gae karena menggunakan alat penangkap ikan yang disebut gae (pukat cincin), sedangkan bodi-bodi berukuran lebih kecil dari kappal, lebih ramping dan panjang, serta tidak bercadik.

Dalam artikel Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang, (Kompas, 28 Februari 2012), diketahui bahwa di Desa Tangnga-Tangnga, hanya 60 dari 510 nelayan yang masih menggunakan sandeq. Itu pun sandeq bermesin. Sedangkan, di Pambusuang, hanya ada 30 unit sandeq dari 769 kapal bermotor yang dipakai oleh sekitar 900 nelayan. Walaupun demikian, sandeq tanpa motor tetap digunakan, terutama dalam balapan sandeq.

Seiring berjalannya waktu, lomba balap sandeq mulai diadakan, salah satunya Sandeq Race. Lomba ini dirancang oleh Horst H. Liebner, seorang peneliti ilmu maritim asal Jerman,  pada tahun 1995. Sampai sekarang, lomba ini masih diadakan dan menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara. Pada umumnya, setiap desa memiliki kapal yang didesain khusus untuk balap dan menjadi pemenang perlombaan adalah kebanggaan pemilik perahu dan desanya. Selain untuk keperluan melaut, masyarakat di Kampung Pambusuang memang membuat sandeq untuk keperluan lomba. Pada Juli 2012 lalu, tiga perahu sandeq asal Polewali Mandar, bersama 12 awaknya mewakili Asia di festival maritim internasional di Perancis. Bangga nggak, tuh? 😀

 

Referensi:
Alimuddin, M. Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Kerin & Horst. 2001. What is a Sandeq?
Aswin Rizal Harahap, Mohamad Final Daeng, dan Nasrullah Nara. 2012. Ketika Layar Sandeq Tak (Lagi) Berkembang
Junaedi . 2012. Berwisata Sambil Belajar Tentang Perahu Sandeq