Categories
Featured Galigoku

Sarjana = Civilized = Orang yang Berbudaya

Volunteer Lontara Project, Anggita Paramesti, ingin sedikit berbagi perspektifnya terhadap Jakarta selama mengikuti program US Indonesia Partnership Program for Study Abroad Capacity (USIPP). Jakarta yang dikenal sebagai metropolis, kota “kejam” tempat mengadu nasib ini ternyata menyimpan ruang-ruang budaya yang menanti untuk dikunjungi, dihayati, dan dijaga oleh generasi muda Indonesia.

I never liked Jakarta. I see it as a mean place, where the wealth disparity between people is so wide, and the rich doesn’t care to the poor. The national parliament is located here, so I always see Jakarta as the place where corruption is centered. I hate the hectic life, wake up at 4 am and get home at 11 pm JUST because you are trapped in a crazy traffic. It is a scary place because crimes are all around. That was why it was very hard for me to believe the presentation today at the Jakarta Local Government office.

Pak Sukesti Martono, the Deputy Governor told us how Jakarta is a harmonious place where people from different background can melt together in peace, how the economic development of Jakarta is even bigger than the economic development of the country as a whole, how Governor Fauzi Bowo is close to the people. I didn’t believe that. I kept comparing this presentation with Jokowi’s presentation about Solo (I interpreted for him when he talked in front of Citibankers, talked about his leadership experience in Solo). Jokowi is just real. He didn’t fill his slide with the normative principles, how things should happen. Instead, he gave the examples, how things already are. When the audiences asked him about his plan or idea, he didn’t come up with abstract things like, “Yeah, we should have dialogue in order to respect each other.” But he went like, “What I did was… because… and the result was…” And he didn’t need to put his picture on banners all around the city to make people acknowledge him. He is already in people’s heart and mind because he really does the people favors. I don’t want to sound like campaigning for DKI Jakarta Governor Candidates here. I mean, I do not even live here (Thank God). But yeah, I started to think that I’m being unfair here.

Gita di Museum Gajah, Jakarta

Jakarta is a lot bigger than Jogja and Solo, and it has more complex situation compare to both cities. Like any other big cities, the gap between rich and poor tends to be more obvious, crimes are more often, and so on. So I asked Pak Junaidi, the Head of UI international office, who is very cool, to get the perspective from a person who live in Jakarta. And yes he admitted that many problems remain unsolved, like traffic jam, but compare to the situation couple years ago, Jakarta nowadays is actually not so bad. I nodded, and promised to myself that I will try my best to see the different side of this city.

So we stopped by to the National Museum or Museum Gajah (which is pretty much my favorite museum beside Ullen Sentalu. I love the golden room the most because it reminds me on how rich Indonesia is), and when we walked around the block where the museum is located, I feel like Jakarta is kind of pretty. The buildings are well taken care of, as well as the plants and flowers, at least it looks good and prestigious as a capital city. After a quick, like real quick, tour in the museum, we went right away to the Constitution Court. I am so excited because the head of the court is one of my favorite figures which is Mahfud M.D. We met with Pak Harjono (read: Pak Haryono), one of the 9 judges in Constitution court. Constitution Court (MK) was established in 1999, as a result of constitution amendment. At that time, post reformation era, Indonesian politics was unstable and there was a demand from the society to uphold the constitution. MK judges consist of 8 male and 1 female (I saw the picture of this lady, I like her, she looks fierce). Since its establishment, MK never had a scandal like any other parts of government (you-know-what).

Mahkamah Konstitusi

Pak Harjono explained that this situation was because 2 factors. The 1st one: in 1999, the political parties and government were not strong enough to give pressure or influence toward MK. So MK can grew independently, in a shaped attitude. And the 2nd, because all the judges were scholars from university! This second point reminded me to our conversation with Pak Junaidi during the lunch. We talked about the system: how to change the system. The most effective way, if not the only way, to change the rotten system is to get into the system and replace it with the new one.

Our concern is whether or not when the idealist people get into the system, they will still uphold their idealism instead of being blown away. To avoid this, Pak Jun said, we need to get into the system together with other people who have the same vision, so the replacement have to be done massively. But how is this possible? And Pak Jun said, that is the job of the university. To create sarjana, sarjana isn’t only mean a scholar. But according to Sanskrit, the word also means a civilized person, orang yang berbudaya. By being civilized doesn’t only mean that you have to be smart, or knowledgeable about cultures, but you also have to have a good manner, and do good deeds.

When these sarjana created by universities get into the system, they will be able to make the change. Pak Harjono and MK prove this hypothesis. I now feel like I have so much optimism for being a university student. From MK, we head to the Old Batavia. We had Pak Jun’s student, Mas Kartum Setiawan, as our tour guide. He works at Museum Mandiri (the biggest bank in Indonesia) and a member of Komunitas Jelajah Budaya or the Cultural Journey Community. He took us through Glodok Market which sells rabbits, candies and electronic things. Through pecinan or China Town in which we found market (that sells lamp, candles, frogs to Chinese herbs medicines), Confucian klenteng, and a church in a shape of klenteng. The church guard is a man from Panggang, Gunung Kidul. His English is fluent because he teaches English in an elementary school. He showed us around the church, told us the story that the church used to be a house of a rich family. Until they finally sold the house to priests.

We then continued the walk to Museum Mandiri, and the old city hall. I’ve seen more in Jakarta today than I thought I can found; the complexity, commitment, and the beautiful places. Guess I’ll start to like it a little.

 

Depok, June 7 2012

 

Anggita Paramesti, mahasiswi FISIPOL UGM yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS-YES ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Pada tahun 2011 Ia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan untuk mengikuti Silsilah Summer Course on Moslem-Christian Dialogue  bersama komunitas lokal Zamboanga. Ketertarikannya pada isu-isu global seperti dialog antaragama, hak-hak minoritas, feminisme dan budaya membuat anak kedua dari dua bersaudara ini kritis terhadap kondisi di sekitarnya. Saat ini Gita bekerja sebagai Interpreter dan guru Bahasa Indonesia untuk pelajar asing di Realia Language and Cultural Center, Yogyakarta.

Categories
Featured Galigo Gallery Photos

“Bersama Serumpun”

Team Cultural Diplomacy LONTARA PROJECT dengan Pelajar Balai Kajian Melayu, Universiti Malaya
Categories
101 La Galigo Featured Liputan

When the Ocean Met with Mountain: Srawung Seni Borobudur

Pagi itu saya hampir saja saya tidak jadi berangkat ke Muntilan. Pasalnya, teman yang kemarin telah berjanji untuk mengantar ke Borobudur dengan kendaraannya bangun kesiangan. Saya sudah cemas ketika sepuluh panggilan ke telepon genggamnya tak kunjung dijawab. Di detik-detik terakhir Ia datang juga. Tanpa buang-buang waktu lagi gas segera ditancap memburu jarak Yogyakarta-Muntilan yang kami tempuh selama 45 menit.

Meski terlambat hampir dua jam dari waktu yang direncanakan, rasa kesal mendadak sirna setibanya di seminar terbuka Srawung Seni. Srawung Seni ialah sebuah pesta budaya. Perayaan kesenian yang tidak saja digelar oleh kalangan budayawan dan seniman, namun juga oleh para Indonesianis. Acara-acara yang digelar berupa seminar, lokakarya dan pertunjukan-pertunjukan yang mengawinkan seni dengan arkeologi, ketuhanan, dan mitos. Singkatnya, di acara ini semua kalangan bebas untuk menikmati hiburan kebudayaan langsung di situs bersejarah, Candi Borobudur. Acara ini juga sekaligus meresmikan Taman Srawung Seni.

Perhelatan akbar yang diprakarsai oleh Padepokan Lemah Putih dari Jawa Tengah ini mengangkat tema “Segara-Gunung”. Perkawinan kedua unsur tersebut, lautan dan gunung, hidup tidak hanya dalam kebudayaan Jawa, namun terdapat pula pada unsur-unsur kebudayaan nusantara lainnya. Sengaja memilih Candi Borobudur sebagai venue-nya, karena candi adalah bangunan yang tak lekang oleh waktu. Candi menyimpan seni, kosmologi, tata ruang dan mitos sebagai hasil dari tradisi-tradisi panjang yang melibatkan pelbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat. Di panggung Aksobhya yang berlatarkan bangunan berusia seribu duaratus tahun ini, sekitar 150 seniman atau kelompok kesenian, budayawan dan cendekiawan dari Indonesia, Asia, Europa, Australia, Amerika Selatan serta Utara membagikan masing-masing pusaka budayanya melalui seminar dan pertunjukan.

Seminar di bawah naungan kapal Samuderaraksa

Selain di atas panggung, kegiatan berlangsung di Candi Pawon, di Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga Candi Borobudur sejak tanggal 20 hingga 29 April 2012. Karena masih berstatus sebagai mahasiswa (jelang) semester akhir, saya baru dapat menikmati pesta seni ini di hari penutupannya. Saya sedikit kecewa karena ketika tiba di Museum Samuderaraksa, presentasi mengenai La Galigo yang dibawakan oleh Bapak Andi Anton seorang budayawan Luwu telah usai. Ya, La Galigo yang merupakan karya sastra terbesar di dunia ini mendapat tempat di ruang seni dan mitos dalam Srawung Seni. Keindahan bahasa serta kekayaan makna yang dikandung La Galigo begitu memukau, epos besar ini tidak hanya berisi kisah namun juga berisi pelajaran-pelajaran tentang filosofi kehidupan. Keunikan cerita serta tradisi pendokumentasian naskah membuat peninggalan budaya dari Sulawesi Selatan ini menarik. Bapak Anton menguraikan banyak hal baru bagi para peserta diskusi (yang kebanyakan berasal dari luar Sulawesi dan luar negri) seperti konsep tomanurung, asal-muasal suku Bajo dalam versi La Galigo, tiga tingkatan dunia, serta sisi religiusitas naskah ini.

Setelah pembicaraan mengenai La Galigo usai, seminar dilanjutkan dengan bahasan tentang situs Muarajambi. Diskusi yang dimoderatori oleh Nina Pramono (Executive Director Pertamina Foundation) ini menghadirkan narasumber dari SvarnaDvipa Institute. Sebagai oknum-oknum yang terjun langsung ke lapangan, dengan gamblang narasumber-narasumber tersebut memaparkan apa itu situs Muarajambi dan isu seperti apa yang tengah berkembang. Muarajambi ialah nama dari sebuah kawasan yang kaya dengan tinggalan purbakala di Daeras Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Jambi. Sekurang-kurangnya terdapat 82 peninggalan berupa candi, menapo (reruntuhan bangunan kuno), kolam beserta kanal purba.

Situs yang diduga menyimpan kompleks percandian dengan luas tiga kali dari Borobudur ini merupakan anak kunci untuk mengungkap misteri Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya. Sayangnya, situs monumental ini terancam bahaya. Perusahaan tambang batubara serta perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Muarajambi berpotensi merusak kawasan cagar budaya ini. Contohnya, parit Candi Playangan yang 1,5 meter dari pabrik batubara tertutup limbah dan menghitam. Miris memang mengetahui situs Muarajambi yang kaya akan temuan arkeologi ini belum terdaftar sebagai kawasan cagar budaya. Usaha-usaha penyelamatan dengan peran dari masyarakat mulai dilakukan, salah satunya melalui petisi #SaveMuaraJambi lewat twitter. Penduduk sekitar situs juga telah membentuk sebuah aliansi dengan SvarnaDvipa institut yang disebut Dwarapala-Muja, Penjaga Muarajambi.

Tarian Dayak Kontemporer karya Deddy Luthan

Dari pulau Sumatera, bahasan beralih ke Kalimantan. Kisah tentang budaya dan sejarah ternyata tak kalah tragis di sana. Bapak Deddy Luthan, seorang koreografer yang juga pecinta budaya Dayak menyajikan potret kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, Modang dan Benuak. Asal-usul suku Dayak di pulau berjuluk Baruna ini masih simpangsiur. Secara umum suku Dayak diduga berasal dari Yunnan Selatan yang bermigrasi ke Borneo secara bertahap. Meskipun bukan bangsa pelaut, dengan perahu-perahu kecil mereka menuju Asia Tenggara karena pada masa itu luasnya lautan masih terjangkau oleh teknologi sederhana. Masyarakat Dayak yang kehidupannya berorientasi pada hutan belakangan berpindah habitasi. Pembalakan hutan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab menghancurkan sendi-sendi kebudayaan serta lingkungan tradisional mereka. Hati saya terenyuh ketika disuguhkan gambar beberapa anggota keluarga Dayak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil, sementara siluet di belakang mereka nampakkan pabrik-pabrik perusak hutan.

Selain materi di atas, masih banyak lagi bahasan-bahasan spektakuler di Srawung Seni Segara Gunung ini. Yang paling menarik ialah pengalaman spiritual Elisabeth Inandiak yang menghubungkannya dengan garis emosional masa lalu antara Sumatera, India, dan Tibet. Elisabeth Inandiak dikenal sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Perancis dan usahanya menerjemahkan Serat Centhini dari Bahasa Jawa Klasik ke dalam Bahasa Indonesia.

Elisabeth yang fasih berbahasa Indonesia mendapat semacam ilham saat berkunjung ke Tibet dan dihantui inspirasi untuk menemukan keterkaitan antara kedamaian yang Ia rasakan saat berada di Jawa (Indonesia) dan Tibet. Ia mendapatkan jawaban setelah menemukan referensi mengenai Atisha, seorang misionaris Buddha asal India yang pernah belajar agama di Sumatera lalu menyebarkan ajarannya di Tibet. Petualangan spiritual Elisabeth memburu Atisha mengantarkannya kepada usaha pengembalian abu sang mahaguru dari pemerintah Republik Rakyat Cina ke tangan masyarakat Tibet pada tahun 1978 dan rahasia di balik lirik lagu Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan.

Seminar hari itu ditutup dengan tampilan Seni Pitutur, kelompok seni masyarakat sekitar Candi Borobudur yang melibatkan partisipasi para Indonesianis. Malamnya panggung Aksobhya dimeriahkan oleh Anak-Anak Borobudur dan Oppie Andaresta; tari klasik Bharatanatyam dari India, seni gerak oleh Jessica Gamez dari Mexico, dan masih banyak lagi. Walau tidak dapat mengikuti jalannya penutupan Taman Srawung Seni Segara Gunung hingga akhir, saya cukup senang. Transfer ilmu dan informasi di bawah naungan kapal Samuderaraksa yang “dihidupkan” kembali dari sebuah relief abad ke-8 Masehi melahirkan banyak inspirasi buat saya. Terlebih lagi pada kesempatan ini saya juga dapat berkenalan dengan banyak budayawan, para Indonesianis serta mempromosikan La Galigo for Nusantara Project lewat flyer sederhana.

Tahun depan, pesta seni ini akan digelar di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Penyerahan api abadi dari Bupati Magelang kepada Bupati Sigi menandai estafet Srawung Seni Segara Gunung 2012 ke Srawung Seni Megalitik 2013. Semoga acara ini dapat lebih meriah, lebih terbuka kepada masyarakat umum, serta lebih sensasional lagi. Sampai jumpa tahun depan!