Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Itu Bissu, Bukan Waria!

Beberapa bulan lalu, tim kami sempat mengikuti kajian mengenai bissu di asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, Yogyakarta. Isu menarik yang mengundang banyak tanya ini dibawakan oleh kakanda Zainal, dosen Universitas Haluleo yang tengah melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada. Nah, pada kesempatan kali ini kami akan bercerita sedikit mengenai bissu dan kondisi mereka yang terancam punah di kampung halamannya sendiri.

 

Bissu dalam ritual Maggiriq. Sumber: Pameran Keris Bugis Bentara Budaya Kompas 2012.

            Kemarin (01/09/2012) komunitas bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan diselimuti kabut duka. Upe Puang Lolo, biasa dipanggil Puang Upe tertidur damai menghadap Dewata SeuwwaE alias Tuhan Yang Maha Esa. Sosok yang menjalani laku sebagai pendeta kepercayaan Bugis kuno sejak umur 14 tahun ini tidak meninggalkan apa-apa.  Hanya benda-benda pusaka yang ia jaga dan ke-12 orang bissu yang tersisa di Segeri lah warisan yang tidak ia bawa pergi. Kematiannya amat mendadak. Padahal, baru bulan lalu Puang Upe berangkat ke Yogyakarta. Saat itu, tarian bissunya yang mistis sejenak berhasil memindahkan kemistisan tanah Sulawesi ke pusar budaya Jawa.

Tahun lalu, 28 Juni 2011 dunia juga diguncang oleh wafatnya Puang Saidi, matoa alias pemimpin komunitas bissu Segeri. Puang Saidi yang selama hidupnya aktif dalam berbagai kegiatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi lokal, banyak dijadikan sebagai obyek penelitian oleh para akademisi, baik di dalam maupun di luar negri. Ia pun juga sering diburu oleh wartawan pencari berita agar foto dan ulasan kata-katanya dapat terpajang di berbagai koran dan majalah.

Partisipasi Puang Saidi dalam pertunjukan Teater I La Galigo besutan Robert Wilson membuatnya menjadi bissu pertama yang pernah keliling dunia dan menggemakan bait-bait Sureq Galigo. Untuk membaca bait-bait dalam naskah tersebut, Puang Saidi mesti belajar terlebih dahulu kepada almarhum Drs. Muhammad Salim. Orang yang memiliki kemampuan dalam mendendangkan La Galigo dihadapan publik disebut passureq, dan profesi ini bukanlah hal yang ditekuni oleh bissu meskipun mereka memahami fungsi dan makna La Galigo. Inilah yang kadang disalahpahami oleh masyarakat awam; bissu = passureq. Film dokumenter yang menangkap kehidupan sehari-hari Puang Saidi seperti The Last Bissu (2004) karya Rhoda Gauer maupun liputan khusus tentang dirinya sudah pernah ditayangkan oleh National Geographic, stasiun-stasiun TV nasional, hingga program internasional seperti Andrew Zimmern’s Bizzare World. Pembawaan Puang Saidi yang memang ramah dan terbuka membuatnya cepat dekat dan percaya dengan orang-orang baru.

Ketiadaan Puang Saidi berimbas dengan diangkatnya Puang Upe sebagai pengganti. Ketika Puang Saidi masih hidup, Puang Upe sudah ditunjuk untuk memangku jabatan puang lolo, alias wakil dari pada sang bissu utama. Ia diharapkan agar kelak dapat menjadi pengganti Puang Saidi. Akan tetapi hingga kematiannya kemarin, Puang Upe belum pernah dilantik sebagai puang matoa. Saat  dikuburkan ba’da dhuhur pada hari yang sama, Ia masih berstatus sebagai puang lolo. Siapakah yang akan menjadi pemimpin komunitas bissu di Segeri? Hingga saat ini pun pertanyaan itu juga masih menimbulkan kegelisahan di kalangan mereka sendiri.

Almarhum Puang Saidi. Sumber: Sharyn Graham

Bissu, konon berasal dari kata biksu. Pendapat terkenal yang dilontarkan oleh almarhum Fachruddin Ambo Enre ini menciptakan persepsi bahwa agama Buddha pernah masuk ke Sulawesi purba dan mendapatkan tempat yang cukup signifikan. Akan tetapi, jejak-jejak Hindu-Buddha di Sulawesi Selatan ternyata tidak kuat menancap sebagaimana jejak kedua agama ini di kebudayaan Jawa maupun Bali. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata mabessi yang berarti suci. Bissu pada dasarnya merupakan pendeta agama Bugis pra-Islam yang bertugas untuk menjaga pusaka-pusaka kerajaan serta menjadi penghubung interdimensional antara manusia dan Tuhan. Selaku pendeta, Ia bertugas untuk memimpin beragam ritual adat seperti mangota dan mappanre liseq. Karena dianggap mampu  berkomunikasi dengan dunia para dewa, mereka juga dikenal memiliki kekuatan gaib untuk menyembuhkan penyakit, ilmu kekebalan tubuh, menjadi pawang hujan, maupun sebagai penjaga puteri-puteri raja pada jaman kerajaan dulu. Fungsinya yang terakhir ini mirip dengan kasim atau penjaga harem di dalam kebudayaan Cina.

Keunikan bissu terletak pada jenis kelaminnya. Ketika agama-agama di dunia menonjolkan sifat patriarkhi dengan menunjuk imam-imam mereka dari golongan pria, bissu adalah sebuah perkecualian. Secara sederhana, penampilan bissu terlihat mirip waria atau banci. Khazanah Barat melabeli perbuatan individu semacam ini sebagai seorang transvestite atau transgender, namun pada hakikatnya definisi-definisi tersebut bahkan sama sekali tidak mendekati pengertian filosofis bissu yang sebenarnya. Jenis kelamin bissu adalah sebuah kenetralan yang tidak dapat diterima logika zaman sekarang. Orang Bugis kuno menganggap bahwa dengan bertingkah laku menyimpang seperti itu, seseorang akan terjauh dari hasrat seksualnya, baik terhadap lawan maupun sesama jenis. Mereka akan selalu dalam keadaan suci untuk berkomunikasi dengan dewata karena terhindar dari hasrat duniawi.

Konon, bissu telah dimatikan hasrat seksualnya dengan jalan ditotok pada beberapa bagian tubuh. Cara konvensional ini sekedar untuk memastikan bahwa sang bissu tidak akan melanggar sumpahnya dan berhasrat kepada sesama jenis. Bissu kini berjumlah amat sedikit dan jarang ditemui di daerah-daerah Bugis. Hari ini yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan ialah golongan calabai atau laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Golongan yang dikategorikan sebagai homoseksual ini mengambil tempat di tengah masyarakat sebagai penghibur. Mereka juga perlahan memasuki dunia ekonomi dengan menjadi indoq botting atau perias pengantin dan membuka toko. Konon calabai memiliki kemampuan untuk membuat pengantin menjadi cantik. Kategori calabai inilah yang sesuai dengan definisi waria yang dianut oleh masyarakat luas. Bissu yang tidak dapat digolongkan sebagai orowane (pria), makunrai (wanita), calabai, maupun calalai (perempuan yang bertingkah seperti laki-laki) menjadi jenis kelamin kelima dalam kebudayaan Bugis.

Bissu bukanlah identitas individu, melainkan identitas kelompok. Tanpa komunitasnya, seorang bissu tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga Ia pun tak layak mengusung gelar tersebut. Seringnya bissu disalahpahami sebagai wadam menandakan bahwa masyarakat menilai fenomena ini hanya dari perspektif fisik. Bissu bukanlah penanda gender, namun perjalanan spiritual. Istilah kebahasaan seringkali menjebak pola pikir masyarakat dalam mendeskripsikan sosok bissu. Fakta bahwa bissu pun dapat berasal dari kalangan perempuan dan dapat menikah serta mempunyai anak pun tidak tersorot ke permukaan. Padahal epos besar La Galigo dengan gamblang mengisahkan bagaimana We Tenri Abeng adik Sawerigading sebenarnya adalah seorang bissu. Demikian pula halnya dengan putri kedua Sawerigading yang bernama We Tenri Dio. We Tenri Dio yang seorang bissu ini menikah dengan Lalaki Sigayya dan memerintah sebagai ratu di Pulau Selayar.

Kini, bissu banyak terdapat di komunitas Segeri. Itupun jumlah mereka semakin hari semakin menipis. Ketika mereka diburu-buru untuk dibunuh era operasi pemurnian Islam di bawah komando Kahar Muzakkar, bissu-bissu dari kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, Luwu dan lainnya ini banyak yang melarikan diri ke Pangkep.  Elit-elit lokal Pangkep saat itu menerima mereka dengan tangan terbuka. Kondisi budaya di Pangkep yang merupakan daerah peralihan antara suku Makassar dan Bugis membuat elit-elit lokal bersedia mengambil bissu sebagai penguat identitas mereka di tengah kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

Bissu tinggal imajinasi yang tersisa dari masa lalu, karena seiring dengan hilangnya kerajaan-kerajaan yang mengultuskannya maka hilang pulalah mereka. Simbol-simbol bissu tadi mengendap di balik bayang-bayang waria yang dengan rendah disematkan oleh masyarakatnya sendiri. Akankah bissu menghilang selamanya dari peredaran budaya nusantara? Jawabannya ada di tangan generasi muda bangsa.

 

Referensi:
–          Nurhayati Rahman, Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpaloe, La Galigo Press.
–          PUANG UPE’, BISSU PENJAGA RAKKEANG KUNING http://www.insist.or.id/id/node/322.
–          Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan.
–          Bissu Segeri Meninggal Dunia di Pangkep http://www.tribunnews.com/2012/09/01/bissu-segeri-meninggal-dunia-di-pangkep.

 

Categories
101 La Galigo Liputan

Keris Bugis, Menginspirasi Keragaman Nusantara

Sekitar jam 10 pagi, saya dan Fitria menyelinap keluar dari Wisma Handayani di Jalan RS Fatmawati Jakarta Selatan untuk mencari taksi ke arah Jakarta Pusat. Sejak kemarin kami menginap di wisma tersebut guna membantu proses seleksi tahunan pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program Youth Exchange and Study (disingkat YES). Suatu kehormatan bagi kami berdua yang terhitung alumni YES untuk dapat sedikit bantu-bantu demi keberlanjutan program ini. Nah, kebetulan di tengah-tengah waktu kosong Seleksi YES ada pameran Keris Bugis dan Serumpunnya sekaligus launching buku “Senjata Pusaka Bugis” di Bentara Budaya Kompas. Keris Bugis? Hmm… Produk kebudayaan yang jarang diekspos media. Kesempatan lowong yang cuma sebentar itu jelas tidak akan saya sia-siakan untuk menggali dan mendapatkan informasi lebih dalam lagi.

Sesampainya di Bentara Budaya, kami bertemu dengan Diku, salah seorang rekan yang masih berstatus sebagai mahasiswi di FISIPOL Universitas Indonesia. Dia juga berasal dari Makassar (meskipun berdarah murni Jawa) semangat ke-Sulawesi Selatan-an Diku tak ada bandingannya. Kami berkeliling di sayap kanan galeri Bentara Budaya yang ternyata digunakan sebagai tempat kolektor-kolektor keris nusantara memamerkan atau menjual koleksi keris mereka. Kami mendapatkan banyak informasi berharga tentang dunia perkerisan dari pengalaman orang-orang yang berkecimpung langsung di dalamnya. Salah satu info menarik yang kami dapatkan adalah metode awam untuk membedakan pamor yang terbuat dari besi meteor (bintang jatuh) dan pamor yang terbuat dari besi biasa. Keris yang pamornya berasal dari batu meteor umumnya memiliki corak-corak khas, corak alami yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Keris dengan pamor dari besi meteor dipercaya lebih kuat dan memiliki daya magis. Selain itu, kami juga diajari bagaimana cara mengeluarkan keris yang benar, membedakan jenis keris Jawa dengan keris dari daerah lainnya, menentukan periodesasi keris berdasarkan ornamennya (dengan memperhatikan unsur Hindu-Buddha atau Islam yang terpatri di hulu keris), dan memaknai hiasan warangka (sarung keris) yang ternyata disesuaikan dengan karakter pemiliknya.

Berdasarkan wawancara singkat yang kami lakukan dengan para kolektor, keris-keris tersebut kebanyakan mereka dapat sebagai warisan (turun-temurun), pemberian, melalui jual-beli, hingga tukar-menukar. Harga keris yang mereka jual berkisar antara satu juta hingga milyaran rupiah. Masing-masing keris memiliki ceritanya sendiri; ada yang berharga karena bahan pembuatannya dan ada pula yang begitu mahal karena kesejarahan yang tersimpan bersamanya. Kalangan kolektor keris sendiri terbagi menjadi dua golongan: para pribadi penikmat estetika dan nilai historis keris secara rasional, dan mereka yang mengultuskan keris karena mempercayai nilai-nilai mistis di dalamnya. Kedua golongan sama-sama menghormati budaya adiluhung warisan leluhur bangsa kita ini dengan caranya masing-masing.

ritual bissu maggiri’

Setelah puas melihat-lihat dan berbincang-bincang dengan para kolektor keris, kami pun masuk ke galeri utama, tempat pameran Keris Bugis yang sebenarnya diselenggarakan. Sebuah miniatur perahu pinisi dipamerkan di dekat pintu masuk. Jantung kami berdesir, bangga sekaligus kagum menyaksikan tulisan Pinisi Nusantara pada miniatur milik Kompas yang digarap megah itu. Gantungan ornamen berwarna keemasan yang biasanya muncul pada pernikahan etnis Bugis-Makassar digantung menghiasi tembok ruang pameran. Alunan musik khas Sulawesi Selatan yang diputar lirih mengalun-ngalun merdu, mengantar imajinasi para pengunjung berlayar ke provinsi penghasil coklat terbesar di Indonesia itu. Beberapa foto berukuran poster yang mengambarkan pamor-pamor khas suku Bugis dipajang di berbagai penjuru ruangan.

Selama ini keris identik dengan senjata tradisional Jawa yang bertuah. Keris berbeda dengan pedang, dari ukurannya saja keris jauh lebih kecil. Keris juga memiliki luk (lekukan-lekukan berjumlah tertentu) yang menjadi identifier senjata ini. Alangkah mengejutkannya ketika stereotipe “budaya keris = budaya Jawa” itu patah melalui pameran ini. Berpuluh-puluh keris Bugis, alameng, dan badik berjejer rapi di dalam kotak-kotak kac. Kami disambut oleh sebuah poster besar yang menggambarkan bissu (pendeta transgender Bugis kuno) di tengah prosesi maggiri’Maggiri’ merupakan ritual ketika bissu dipercaya sedang mengalami kontak dengan arwah leluhur atau Dewata di kahyangan. Pada saat seperti itu para bissu tidak sadarkan diri dan tubuh mereka menjadi kebal terhadap senjata tajam. Meskipun mereka menusuk-nusuk diri dengan gajang (keris) tidak ada setetes darah pun yang menetes atau segaris kulit pun yang tersobek!

Berdasarkan pengamatan kami selama berkeliling, kebanyakan keris yang dipamerkan merupakan koleksi-koleksi dari orang perorangan atau dari Polo Bessi Club. Polo Bessi Club merupakan sebuah klub pecinta Keris Bugis yang banyak melakukan diskusi mengenai sejarah maupun perkembangan senjata berseni ini. Ada beberapa perbedaan fisik antara Keris Bugis dan Keris Jawa yang kami catat. Pertama, dari jenis warangkanya. Keris Jawa memiliki model warangka sendiri, sedangkan warangka Keris Bugis mirip dengan warangka Keris Melayu. Keris Melayu dan Sumbawa banyak dipengaruhi oleh unsur Bugis dikarenakan kuatnya budaya yang dibawa oleh para pedagang asal Sulawesi Selatan ke wilayah-wilayah tersebut pada abad ke-18. Kami bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang pria asal Malaysia yang sengaja datang jauh-jauh hanya untuk melihat-lihat pameran ini. Kedua, pada bagian hulu Keris Bugis, garis pangkalnya sedikit miring. Ini berbeda dengan hulu Keris Jawa yang pada umumnya bergaris pangkal lurus. Ketiga, gandik atau pegangan pada keris Bugis jauh lebih bengkok daripada keris Jawa. Gandik keris Bugis hampir membentuk huruf “L”. Perbedaan yang terakhir, Keris Bugis memiliki beberapa pamor-pamor khusus yang tidak terdapat pada keris-keris Jawa.

Perbedaan Keris Bugis dan Keris Jawa

Pada dasarnya Keris Bugis dan Keris Jawa amatlah mirip. Hanya saja pada beberapa keris Bugis,luk-nya tidak begitu kentara (malah ada gajang yang bentuknya lurus, hampir mirip badik). Beda lagi dengan alameng. Alameng Luwu terkenal sebagai senjata yang secara fisik mirip pedang panjang berwarna hitam. Sepintas ada kesan seram ketika melihat bentuknya yang lurus, tajam, dan berkilat-kilat itu. Sedangkan untuk badik (di Luwu disebut dengan nama kawali), senjata yang satu ini masih populer di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Bentuk pegangan badik mempunyai ciri tersendiri, demikian pula dengan alur besinya yang berpangkal ramping (Makassar: bilah), “menggendut” di tengah (battang), lalu kembali meruncing di ujungnya (cappaq). Di daerah-daerah tertentu  ketiga senjata tersebut terkadang berbeda dari bentuk umumnya. Hal ini disebabkan karena adanya proses interaksi yang menimbulkan akulturasi dan asimilasi kebudayaan Sulawesi Selatan dengan kebudayaan suku bangsa lain di nusantara selama berabad-abad.

pamor langka pada bilah keris

Iwan Sumantri, seorang arkeolog Universitas Hasanuddin yang menulis buku berjudul “Kedatuan Luwu” mengungkap sebuah fakta yang mencengangkan perihal Keris Bugis. Luwu ternyata sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Terbukti dari penyebutan nama “kota Luwu” dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca (Pupuh 14/4). Terlepas dari kontroversi mengenai keabsahan kekaisaran Majapahit dalam memancangkan kedaulatannya di bumi Sulawesi, Luwu dikenal sebagai pemasok besi pamor berkualitas tinggi ke Tanah Jawa. Seorang tokoh bernama Mpu Luwuk tercatat dalam sejarah Majapahit sebagai pembuat keris terbaik di seantero Wilwatikta. Berdasarkan penelitian, daerah di sekitar Danau Matano, kabupaten Luwu mengandung bijih besi dan nikel dengan jumlah yang sangat besar.

Di sekitar lokasi danau tersebut kini banyak ditemukan titik-titik bekas pembakaran dan peleburan besi yang menyisakan tanah-tanah gosong. Kala itu, bahan baku besi yang mengandung nikel di bawa ke Ussu (ibukota Kedatuan Luwu) untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam peralatan. Salah satunya yang paling terkenal dan menjadi komoditas perdagangan utama orang Luwu dengan Majapahit adalah keris. Menurut cerita, keris-keris yang berpamor besi dari Luwu ini memiliki ketajaman yang luarbiasa. Lambang Daerah Luwu hingga hari ini pun masih menyertakan sebilah keris yang dipercaya oleh penduduk sebagai Keris Bungawari. Keris Bungawari merupakan arayang atau benda pusaka yang turun dari langit untuk raja-raja Luwu. Sayangnya, sekarang keris tersebut telah hilang. Menurut cerita yang beredar, keris tersebut diambil oleh kompeni dan dibawa ke negri Belanda.

Bagaimana kaitan senjata keris dengan La Galigo? Sureq Galigo menceritakan episode kelahiran Sawerigading dan saudari kembarnya We Tanri Abeng dari rahim We Datu Sengngeng dengan amat menakjubkan. Setelah tujuh hari lamanya We Datu Sengngeng mengejan rahim untuk mengeluarkan kedua bayi kembar itu, Sawerigading muncul dengan berpakaian perang lengkap dan bermahkota. Sawerigading terlahir sambil membawa sebilah keris emas pusaka dari Datu PatotoE, Sang Penguasa Langit. Keris emas tersebut merupakan simbol legitimasi atas darah Tomanurung yang Ia warisi dari Batara Guru. Penggunaan keris sebagai senjata juga tergambar di berbagai adegan pertempuran La Galigo. Istilah Bessi to Ussu yang disebut berulang kali dalam teks kuno tersebut turut menjadi saksi atas kemashyuran lokasi geografis pembuatannya.

Keris Bugis memiliki tempat tersendiri di khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Senjata ini berevolusi bersama dengan perkembangan zaman. Senjata ini juga mempengaruhi perkembangan alat tempur sejenis di Jawa, Malaysia, Thailand Selatan, Riau, Bali dan Sumbawa. Keris Bugis yang menyimpan makna historis dan filosofis ini adalah warisan yang perlu digali lebih dalam lagi. Sebagai sebuah adikarya masyarakat Bugis, keris-keris tersebut memberikan sumbangsih yang memperkaya keragaman persenjataan di nusantara kuna. Sebagai sebuah artefak, keris-keris Bugis di pameran itu telah sukses menjayakan kembali masa lampau di tengah bisingnya kehidupan kota Jakarta.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Ribetnya PDKT dengan La Galigo

Siang hari yang terik di bawah naungan Baruga Universitas Hasanuddin, Makassar. Angin yang bertiup sepoi-sepoi ternyata belum mampu untuk menahan keringat yang mengalir deras membasahi dahi dan punggung kami. Pasca Dhuhur,  saya dan rekan Setia Negara duduk termangu menunggu kepastian di depan gedung rektorat universitas berlambang ayam jantan tersebut. Untuk apa saya yang melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada dan Setia yang notabene merupakan mahasiswa tingkat tujuh di Institut Teknologi Bandung duduk-duduk iseng di anak tangga gedung rektorat universitas lain? Jawabannya datang sekitar empat puluh lima menit setelah kami dengan sabarnya kepanasan menunggu saudari Maharani Budi.

Yang kami tunggu-tunggu dengan tergopoh-gopoh datang dan meminta maaf atas keterlambatannya. Tanpa banyak basa-basi kami pun segera melangkahkan kaki menuju Fakultas Ilmu Budaya yang lokasinya berada persis di sebelah gedung rektorat. Sesampainya di sana, terus terang kami bingung. Kemana (atau kepada siapa) kami harus bertanya untuk mengumpulkan informasi? Setelah beberapa menit celingak-celinguk kehilangan arah di tengah kumpulan mahasiswa Sastra Daerah yang menatap kami dengan dingin dari pinggiran koridor, kami memutuskan untuk mendatangi himpunan kemahasiswaan mereka. Di tempat yang kecil itu beberapa mahasiswa tampak sedang duduk-duduk bersendau gurau atau tidur-tiduran. Adapula yang sedang asyik berkutat dengan laptop dihadapannya (tugas? facebook?). Ketika kami menyampaikan niat untuk “mengenal” lebih lanjut tentang La Galigo, mereka dengan segera mengarahkan kami untuk berkunjung ke Laboratorium Naskah di lantai dua gedung tersebut. Dengan di-escort oleh salah seorang mahasiswi baru, sampailah kami di depan sebuah pintu berwarna abu-abu yang tidak sabar untuk kami masuki.

Laboratorium naskah jurusan sastra daerah universitas hasanuddin

Berkenalan dengan La Galigo: Asli Indonesia, Tersimpan di Belanda

Sekali lagi kesabaran kami harus diuji. Kami bertiga tidak dapat langsung masuk dan “menemui” La Galigo yang kami incar-incar itu karena ruangannya ternyata dikunci. Jelas si mahasiswi baru tidak memiliki kuncinya. Dengan penuh kepasrahan, kami harus menunggu. Maklum, saat itu memang masih jam istirahat siang Pegawai Negri Sipil. Setelah duduk termangu (lagi) selama hampir 15 menit, seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan berjalan perlahan menuju Laboratorium Naskah. Pucuk dicinta ulam pun tiba, kami segera melompat dari tempat duduk kami dan memperkenalkan diri. Dengan senyum yang bak oase di tengah panasnya sahara siang hari itu, ia membukakan pintu Laboratorium Naskah dan memperkenankan kami masuk.

Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Bu Chia itu adalah seorang staff pengajar (dosen) di Sastra Daerah Universitas Hasanuddin. Beliau bersedia berbagi informasi kepada kami untuk mengenal lebih lanjut mengenai La Galigo. Beruntungnya lagi, ternyata beliau merupakan salah satu dari sedikit akademisi di Sulawesi Selatan (dan Indonesia) yang berkecimpung di dunia penelitian dan penulisan mengenai epik bangsa Austronesia terpanjang di dunia ini.

Berdasarkan penjelasan beliau, naskah Sureq Galigo merupakan naskah yang ditulis di atas lembaran-lembaran daun lontar (biasa disebut lontaraq) dengan menggunakan Bahasa Bugis Kuno, bahasa yang kini sudah tidak ada penuturnya. Sureq Galigo berisi cerita mengenai kemunculan manusia pertama di muka bumi untuk membangun peradaban. Disebutkan secara eksplisit bahwa manusia lahir untuk  memuja Dewa di Langit (Datu Patotoe) melalui kalimat,

Teddewata iq, Puang, rekkua masuaq tau

Ri awaq langiq, le ri meneqna Peretiwie

Mattampa puang le ri Batara.

(You are not a god, Lord, if there are no humans

Under the heavens, above the Underworld,

to call the gods Lord)

Di dalamnya diceritakan pula kisah-kisah keturunan para tumanurung (orang yang turun dari langit) sebelum akhirnya mereka naik kembali dan meninggalkan bumi untuk dikuasai oleh umat manusia. Kisah La Galigo pada umumnya dituturkan oleh passureq (pembaca lontaraq) di upacara-upacara adat. Diperlukan suatu ritual khusus sebelum passureq mulai melagukan epik kuno ini. Naskah-naskah tersebut banyak terdapat di Sulawesi Selatan, akan tetapi umumnya hanya berupa fragmen atau petikan-petikan episode dari  kisah keseluruhan La Galigo. Naskah La Galigo terlengkap yang ada di dunia hanya ada satu dan tidak terdapat di Sulawesi Selatan atau Indonesia sebagai tempat asal mula kisah ini berasal. Uniknya naskah itu sejak tahun 1800-an justru terdapat di Perpustakaan KITLV Leiden, Belanda.

Bu Chia dan Penulis

Bu Chia sempat menyinggung betapa sedikitnya orang yang sanggup membaca teks La Galigo. Perlu digarisbawahi, membaca di sini tidak sama dengan membaca dalam artian harfiah. Banyak masyarakat Sulawesi Selatan di daerah yang sanggup membaca aksara lontaraq, abjad yang digunakan dalam naskah La Galigo. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang dapat memahami isinya, mengingat bahasa serta ketinggian sastra yang digunakan. Naskah yang terdapat di Belanda ini disusun oleh seorang ratu dari negri Pancana (Sekarang berada di Kabupaten Barru) bernama Colliq Pujie atas permintaan seorang penginjil bernama B.F.F. Matthes. Bersama dengan anak perempuannya, We Tenri Olla, Colliq Pujie mengumpulkan serpihan-serpihan naskah La Galigo dan mengompilasikannya menjadi sebuah manuskrip yang terdiri dari 300.000 larik cerita berangkai.

Naskah tersebut terbagi menjadi 12 volume. Dari ke-12 volume tersebut, baru dua yang dapat diterjemahkan. Dua terjemahan naskah tersebutlah yang ceritanya beredar di masyarakat luas dan menjadi sumber kajian oleh akademisi hari ini. Akan tetapi, isi kedua naskah pertama itu bahkan belum menyentuh petualangan I La Galigo, tokoh yang menjadi sorotan utama di dalam epik ini sama sekali. Jikapun ada tulisan yang berhubungan dengan tokoh atau petualangan I La Galigo, kebanyakan sifatnya hanya berupa ringkasan cerita, belum ada kisah lengkapnya. Menurut informasi dari Bu Chia, hanya Pak Salim (almarhum Muhammad Salim, sastrawan dan peneliti karya sastra klasik Bugis-Makassar) satu-satunya individu yang pernah membaca dan menerjemahkan ke-12 volume manuskrip tersebut. Sayangnya, Pak Salim yang meninggal di awal tahun ini belum sempat untuk menerbitkan terjemahannya ke khalayak umum. Untuk sementara, hak publikasi atas karya terjemahannya itu masih dipegang oleh keluarganya.

Mengetahui “harta karun” bangsa Indonesia serupa La Galigo ternyata berada di negara yang pernah menjajah kita selama 350 menjadi fakta yang amat menyedihkan. Mengapa tidak ada usaha dari pemerintah maupun legal standing prakarsa masyarakat kita sendiri untuk “merebut” apa yang seharusnya menjadi milik kita? Well, ternyata banyak pertimbangan serius. Apakah permindahan manuskrip langka dapat menjamin keselamatannya yang rentan terhadap kerusakan? Sumber daya manusia maupun teknologi yang digunakan oleh pemerintah masih kurang memadai. Ambil contoh jika kita memperbandingkannya dari segi sarana. Apabila di negri Daendels sana manuskrip Colliq Pujie mendapatkan perawatan intensif seperti tempat penyimpanan bersuhu khusus, maka sebaliknya di Indonesia kita hanya mampu menyediakan kotak kaca berdebu dengan penerangan dari cahaya lampu seadanya. Kita belum memiliki daya tawar untuk memulangkan harta karun tersebut.

 

Konservasi Kreatif La Galigo: Usaha Membentuk Perspektif Modern atas Budaya Kuno

Transkrip Sure' la galigo

Bu Chia amat mendukung usaha kami untuk PDKT terhadap La Galigo dan memperkenalkannya dengan bentuk baru kepada muda-mudi Indonesia di era globalisasi ini. Meminjam istilah Muhidin M. Dahlan saat saya temui di Gelaran I.Boe.Koe. bulan lalu, menyasar kaum muda zaman sekarang untuk mencintai budaya kuno caranya tiada lain tiada bukan ialah melalui “konservasi kreatif”. Menyajikan kemasan-kemasan baru atas karya kuna dengan mengerahkan segala daya cipta, rasa, dan karsa. Bentuknya dapat beragam; bisa melalui aransemen musik etnik, kaligrafi kontemporer aksara lontaraq, “mengurbanisasi” penggalan-penggalan kisah La Galigo, maupun mendesain karakter yang disiratkan oleh epik tersebut ke bentuk-bentuk yang familiar dengan kaum muda (seperti mengadopsi style anime maupun komik-komik DC/Marvel).

Lalu, bagaimana jika ada yang memprotes usaha kami untuk merevolusi tampilan La Galigo mengingat adanya pengultusan tradisi ini pada beberapa komunitas Bugis tradisional? Menanggapi hal tersebut Bu Chia berpendapat bahwa terdapat kebebasan dalam menafsirkan suatu hasil budaya dari berbagai sudut pandang. Bagi yang menafsirkan La Galigo sebagai “ayat-ayat suci” mereka punya pembelaan sendiri, dan bagi mereka yang berhaluan akademis sah-sah saja untuk mengangkat unsur intelektual atas peninggalan sejarah ini. Masalah kepercayaan terkadang sukar dicampur-adukkan dengan kepentingan untuk pengembangan informasi dan pengetahuan, namun titik temu keduanya terdapat pada penghormatan maupun kajian-kajian keilmuan yang muncul darinya.

Dilihat dari waktu ke waktu, sebenarnya bukan kali ini saja upaya membuat tampilan baru atas La Galigo muncul. Pada zaman menuju Islam di Sulawesi Selatan, terdapat unsur-unsur tauhid yang diselipkan ke dalam fragmen-fragmen La Galigo. Sebagai contoh, dikenal lontar yang mengisahkan perjalanan Sawerigading (ayah tokoh I La Galigo) berhaji menuju Mekkah. Untuk mengganti konsep polyteisme di dalam kisah-kisahnya, digunakanlah istilah Dewata Seuwae alias Tuhan Yang Maha Esa yang merombak pantheon Bugis kuno. Dengan demikian, kisah-kisah La Galigo pada lontar-lontar tersebut merupakan cerminan atas kondisi masyarakat pada saat itu. Pada tahun 2005 silam, seorang sutradara teater dari Amerika Serikat bernama Robert Wilson mendulang kesuksesan dengan mengemas kisah La Galigo ke panggung-panggung teater di Eropa, Asia, dan Amerika. Ide kreatif beliau mendapatkan sanjungan besar dari kalangan intelektual, penggiat seni, maupun tokoh masyarakat Sulawesi Selatan atas keunikan konsepnya.

Bu Chia mengaku, pemerintah belum memberikan perhatian yang lebih di bidang kebudayaan, utamanya terkait dengan La Galigo. Dari keterangan Bu Chia kami mendapat informasi bahwa ada sekitar 82 roll file di Badan Arsip Nasional Jakarta maupun Makassar yang menyimpan salinan naskah-naskah lontar dalam bentuk digital. Beberapa ada yang tidak dapat terbaca dikarenakan kondisi naskah yang jelek. Pemerintah baru akan ikut campur apabila ada keuntungan komersil yang ditawarkan. Kontras dengan apa yang dilakukan oleh pihak Belanda, dimana di sana bahkan terdapat usaha  mengumpulkan naskah-naskah lontar dari Sulawesi untuk menambah koleksi sekaligus merehabilitasi bentuknya yang sudah tidak terawat lagi.

Pusat Studi La Galigo di Universitas Hasanuddin didirikan sebagai salah satu bentuk usaha untuk melestarikan karya sastra adiluhung nusantara ini. Namun ketika team kami berkunjung ke sana untuk memperoleh data, yang kami temukan adalah gedung tua seperti di film-film horor yang tengah direnovasi. Untuk waktu yang tak dapat diperkirakan, kami tidak dapat mengakses pelayanan informasi terhadap La Galigo. Miris melihat bagaimana akses masyarakat untuk mengetahui sastra yang terancam punah ini pun begitu sulit.

Siang itu ketika kami mengakhiri wawancara bersama Bu Chia, kami keluar Laboratorium Naskah Jurusan Sastra Daerah Universitas Hasanuddin dengan perasaan yang unidentified. Bahagia karena akhirnya dapat “bertemu” dengan La Galigo, bangga sekaligus sedih bercampur-campur setelah mengenalnya lebih dalam lagi. Yang pasti, kami mengantongi sebuah tekad. Kami ingin menyelamatkan warisan leluhur bangsa Indonesia hasil ketaman perjalanan tradisi selama berabad-abad ini. Satu-satunya yang dapat kami lakukan sebagai mahasiswa plus pemuda ialah dengan mewartakan eksistensi La Galigo kepada sesama kaum muda lainnya, generasi penerus bangsa. Dengan kepala dipenuhi oleh ide-ide baru, hari itu team La Galifo for Nusantara melenggang bersama tergelincirnya siang menuju senja.

Yogyakarta, 27 Oktober 2011