Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Selayar I – Cerita Suku Bajo dari Takabonerate

Takabonerate tidak hanya menyimpan potensi wisata sebagai atoll terbesar ketiga di dunia. Kumpulan pulau dan karang yang menciptakan keindahan serta kekayaan alam di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan ini ternyata menjadi rumah bagi Suku Bajo yang telah meninggalkan gaya hidup nomaden. Simak reportase tim kami yang sempat mewawancarai dua orang sesepuh “Suku Bajo Daratan” ini.

            Pagi itu sebelum berangkat menuju Pulau Rajuni Kecil dari penginapan kami di Pulau Tinabo, petugas Balai Taman Nasional Takabonerate memberitahu kami akan keberadaan komunitas Suku Bajo di sana. Saya belum pernah berteman atau bertatap muka langsung dengan anggota suku laut yang terkenal karena dapat bertahan hidup tanpa daratan ini. Semangat bahari Suku Bajo sudah terkenal ke seluruh dunia. Mereka tersebar di berbagai perairan nusantara; di Flores, Maumere, Gorontalo, Selat Malaka, laut Kalimantan Utara, Filipina Selatan, bahkan hingga ke perairan lepas dekat Australia dan benua Amerika. Khayalan saya tentang mereka ialah gambaran anak-anak kecil berambut kemerah-merahan yang tengah bermain di laut, serta perahu tradisional mereka yang menjadi rumah sekaligus tempat penyimpanan makanan. Akan tetapi, ketika akhirnya menginjakkan kaki di Pulau Rajuni Kecil, gambaran-gambaran itu sirna sekejap mata.

Pulau Rajuni Kecil terbagi atas dua wilayah yang dibedakan menurut etnis: kluster Bugis dan kluster Bajo. Sebuah masjid kecil yang cantik di tengah pulau tersebut menjadi tanda batas pembagian wilayah. Meskipun bernama Rajuni Kecil, pulau ini sejatinya berukuran lebih kecil daripada pulau lain di sebelahnya yang dikenal dengan nama Rajuni Besar. Nama Rajuni berasal dari kata dalam Bahasa Bajo yang berarti “rajanya”. Dahulu kala penduduk Bajo banyak tersebar di perairan Takabonerate yang luasnya hingga ke Laut Flores. Mereka telah memanfaatkan potensi alam di wilayah tersebut jauh sebelum tibanya suku-suku pendatang seperti Bugis, Selayar, Makassar, dan Buton. Setiap pelaut asing yang masuk ke wilayah suku Bajo selalu mencari dimana raja penguasa wilayah ini. Mereka terbiasa dengan konsep kerajaan di daratan, sehingga menganggap bahwa Suku Bajo pun memiliki sistem monarki yang sama dengan mereka. Penduduk Bajo yang ditanya mengenai keberadaan rajanya selalu mengarahkan pelaut-pelaut asing ke pulau tersebut. Akhirnya, kedua pulau yang saling bersebelahan ini pun tenar dengan julukan Rajuni.

Haji Darwis, narasumber kami menyebutkan bahwa gelar Opu yang terkenal di Luwu itu sebagai salah satu gelar pemimpin adat Bajo. Peninggalan dari “kerajaan” Bajo di Rajuni dapat ditelusuri melalui keberadaan sebuah bendera keramat bernama Pa’ula-Ula atau Ula-Ula. Bendera berbentuk seperti manusia (memiliki tangan, kaki dan kepala) terdiri atas warna hitam, merah, kuning. Ketika dinaikkan di atas tiang, Ula-Ula selalu diringi oleh bunyi-bunyian gendang tradisional. Konon hanya orang-orang Bajo yang memiliki darah bangsawan lah yang berhak untuk menyimpan dan mengibarkan Ula-Ula. Bendera ini pun biasanya dikibarkan hanya pada saat-saat tertentu seperti acara pernikahan. Konon jika Ula-Ula tidak dikibarkan maka keluarga pengantin akan mengalami kemalangan seperti kesurupan atau kematian. Bendera Ula-Ula ini ternyata juga dimiliki oleh beberapa Suku Bajo lain seperti yang terdapat di Kupang dan Semporna (Sabah, Malaysia). Di Semporna, Ula-Ula disebut dengan nama Sambulayang serta menjadi ikon daerah tersebut.

Bendera Ula-Ula atau Sambulayang Bajau dari negeri Sabah, Malaysia

Menurut keterangan dari petugas Balai Taman Nasional Takabonerate, penduduk Pulau Rajuni Kecil di kluster Bugis kehidupannya jauh lebih mapan daripada penduduk di kluster Bajo. Kami pun menyadari hal tersebut dengan melihat-lihat kondisi perumahan di bagian selatan (kluster Bugis) yang rata-rata sudah terbuat dari batu dan tertata dengan baik, dibanding kondisi perumahan di bagian utara (kluster Bajo) yang rata-rata masih terbuat dari kayu dan masyarakatnya banyak yang tergolong miskin. Konon masyarakat Suku Bajo yang terbiasa hidup di lautan tidak dapat mengelola uang dengan baik. Ketika mendapat sedikit rejeki, mereka cenderung untuk berfoya-foya menghabiskannya saat itu juga. Di lain pihak, masyarakat Bugis yang memang telah mendarah daging ruh sebagai pengusaha mampu untuk menginvestasikan keuntungan yang mereka dapat sehingga hasilnya berkesinambungan. Pola pikir yang berbeda di antara kedua suku ini juga nampak dari penerimaan mereka terhadap modernitas. Ketika petugas Balai Taman Nasional membagikan bibit pohon sukun dan ketapang kepada penduduk pulau untuk penghijauan, masyarakat di kampung Bugis menerimanya dengan senang hati. Penduduk di desa utara sebaliknya; kepercayaan lokal Bajo menganggap pohon ketapang adalah pohon tempat roh-roh jahat bersarang. Alhasil, pohon ketapang yang sudah mulai tumbuh pun mereka tebangi.

Bapak Haji Suryadi atau yang dikenal oleh warga dengan sebutan Haji Suraq adalah seorang tokoh masyarakat Suku Bajo di Rajuni Kecil. Ketika kami temui di kediamannya di Kampung Bajo, beliau tengah mengerjakan sebuah joloroq (perahu kayu) bersama pemuda-pemuda desa. Beliau menyambut kami dengan ramah dan mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Sambil duduk santai di ruang tamunya, mulailah Haji Suraq bercerita tentang asal mula Suku Bajo di Pulau Rajuni Kecil.

Kasus Bajo di Pulau Rajuni tergolong unik; mengapa suku petualang yang dijuluki sebagai Gipsi Laut ini dapat menetap di daratan? Konon, mereka mulai menghuni daratan setelah salah seorang leluhur Haji Suraq yang bernama Mboq Tugas (lima generasi di atas beliau) menemukan sebuah bunging di lokasi Pulau Rajuni sekarang ini. Bunging tersebut makin lama menjadi semakin besar sehingga layak dijadikan sebagai tempat huni. Awalnya mereka hanya menjadikan bunging tersebut sebagai tempat singgah, namun semenjak abad ke-18 Suku Tobelo dari Halmahera Utara banyak berkeliaran di perairan Selayar. Suku Tobelo ini menjarah kapal-kapal dagang berbagai bangsa yang melintas di perairan Indonesia Timur. Kapal Sultan Ternate pun acap kali diganggu oleh rombongan bajak laut ini. Kehadiran Suku Tobelo yang meresahkan lalu lintas perdagangan internasional di nusantara membuat mereka amat ditakuti. Suku Bajo yang awalnya hidup damai menjadi target empuk Suku Tobelo untuk dirampok, bahkan dibunuh.

Terdorong oleh ketidaknyamanan berada di bawah bayang-bayang bajak laut, Mboq Tugas yang terkenal karena pernah menghabisi sekapal penuh orang Tobelo dengan berani memimpin kaumnya untuk bermukim di bunging yang ia temukan. Di atas bunging itulah mereka menanam kelapa dan mulai belajar bercocok tanam. Proses ini tentunya tidak gampang. Beberapa cerita yang beredar menyebutkan bagaimana suku ini tidak betah berada di daratan. Ada yang bilang mata mereka dapat melihat kondisi di bawah air jauh lebih terang ketimbang saat berada di darat. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka sering merasa pusing alias ‘mabok’ ketika terlalu lama di daratan, sebagaimana halnya orang darat pusing jika berada terlalu lama di atas laut.

Haji Suryadi

Pada akhirnya masyarakat Bajo dapat beradaptasi dengan kehidupan di daratan dan menyemarakkan Pulau Rajuni dengan beragam aktifitas mereka. Kehidupan Suku Bajo tetap berorientasi dengan laut. Mereka menangkap bervariasi hewan laut untuk kemudian dijadikan konsumsi sendiri maupun di jual lagi. Hasil tangkapan ikan di Pulau Rajuni terkenal beragam, melimpah ruah dan murah. Pelaut dari Makassar, Selayar, hingga Nusa Tenggara Barat dan Timur banyak yang pasokan ikannya didatangkan dari Rajuni.

Berdasarkan dongeng yang selalu diceritakan oleh Mboq Juragang (nenek Haji Suraq) ketika ia masih kecil dulu, leluhur Suku Bajo berasal dari kampung BajoE yang berada di Lubo atau Luwu (sekarang daerah ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan). Konon di sana dulu terdapat sebatang pohon kayu raksasa yang dahannya dapat menyentuh awan-awan di langit. Di atas pohon kayu itulah jutaan burung mengerami telurnya. Suatu ketika, seorang pria sakti menebang pohon tersebut untuk dijadikan sebagai kapal. Bersamaan dengan runtuhnya pohon raksasa, jutaan telur yang berada di atasnya pun ikut pula berjatuhan. Cairan yang keluar dari jutaan telur-telur tersebut menciptakan banjir bandang yang menyebabkan warga BajoE terhanyut ke berbagai penjuru mata angin.

Mereka berkelana mengarungi samudera dan memutuskan untuk tinggal di atas perahu agar katastropi purba yang menyebabkan hancurnya kampung halaman mereka di darat itu tidak terulang lagi. Cerita mengenai asal mula Suku Bajo di atas mengingatkan saya akan episode Ritumpanna Welenrenge dalam epos La Galigo. Sebuah pohon raksasa di muka bumi yang terkenal dengan nama Welenrenge ditebang oleh Pangeran Sawerigading dari kerajaan Ale Luwu sebagai bahan pembuat perahunya untuk berlayar ke negri Cina. Suku Bajo di Pulau Rajuni Kecil tidak mengenal siapa itu Sawerigading atau apa itu La Galigo, namun mitos asal-mula mereka merujuk kepada sumber yang sama dengan suatu penggalan episode dalam karya sastra Bugis klasik.

Haji Suraq juga menceritakan kisah mengenai seorang gadis Bajo yang pada saat banjir bandang tersebut bersembunyi dengan cara masuk ke dalam sebilah bambu. Setelah selama beberapa lama terombang-ambing di lautan, ia terhanyut hingga ke negeri Gowa. Di sana ia ditemukan oleh masyarakat lalu dipersembahkan ke hadapan Sombayya ri Gowa. Sang raja yang jatuh cinta pada pandangan pertama lalu menikahi gadis Bajo itu. Hingga kini cerita yang mengindikasikan Sultan Hasanuddin dan raja-raja Gowa lainnya adalah keturunan dari seorang gadis Bajo ini masih terus tersimpan di dalam memori mereka.

Sayangnya, kearifan lokal masyarakat Bajo semakin tergerus dengan diperkenalkannya model pemerintahan pedesaan. Awalnya saya tidak mengerti, mengapa keberadaan sistem pemerintahan strukrural seperti kepala desa, kepala dusun serta perangkat-perangkatnya itu bisa mengacaukan tradisi yang telah dipraktekkan oleh Suku Bajo selama berabad-abad ini. Menurut Haji Darwis, dulu Suku Bajo menangkap ikan dengan cara yang amat ramah lingkungan, terhindar dari keserakahan. Mereka memiliki aturan main yang didasari pada musim, lingkungan, dan makhluk hidup lainnya. Pada musim kemarau hanya jenis ikan tertentu yang mereka tangkap, demikian pula pada musim hujan. Mereka menunggu saat-saat ketika jumlah ikan sedang naik untuk menangkapnya, memastikan agar daur hidup biota laut ini terus terjaga.

usaha pemulihan terumbu karang di Takabonerate melalui transplantasi karang

Demikian pula saat berbagi hasil, badan-badan adat seperti punggawa laut yang mengumpulkan hasil laut dari setiap nelayan dan menjualkannya kepada pedagang-pedagang asing. Sistem pemerintahan sederhana orang-orang perahu ini memungkinkan terjadinya aktifitas politik yang ramah lingkungan. Punggawa-punggawa laut membawahi beberapa urusan seperti bagaimana cara menangkap ikan di laut, pembagian hasil, serta. Ada sanksi-sanksi adat yang dikenakan kepada orang-orang Bajo yang melanggar peraturan tersebut. Peraturan-peraturan desa serta penunjukan orang-orang yang tidak memahami interaksi antara orang Bajo dan laut mengakibatkan kematian tradisi serta mengancam kelestarian karang. Pemerintah di pusat yang jauh di sana membuat peraturan-peraturan pengolahan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah. Suku Bajo tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan tersebut sehingga tidak heran jika kemudian kearifan lokal mereka pun hilang. Padahal berdasarkan suatu penelitian, dimana Suku Bajo bermukim, di situ terdapat kekayaan laut terbaik. Mereka tahu bagaimana cara memperlakukan sekaligus merawat laut dengan penuh kesadaran.

Kini, masyarakat Suku Bajo hidup dengan damai di Pulau Rajuni Kecil bersama tetangga Bugis mereka. Anak-anak Bajo sudah tidak lagi menghabiskan masa hidupnya di atas perahu, namun jiwa dan semangat kelautan masih tersimpan di dalam DNA mereka. Bendera Pa’ula-Ula yang dikibarkan pada setiap upacara adat seakan menjadi pengingat masa lalu akan kehidupan mereka sebagai kembara di tengah luasnya lautan nusantara.

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Bule-Bule yang Kepincut La Galigo: Thomas Stamford Raffles

Thomas Stamford Raffles (6 Juli 1781 –  5 Juli 1826)

Dunia tidak akan pernah mengenal La Galigo jika tidak melalui Raffles.

Thomas Stamford Raffles

Yup, meskipun sang Gubernur Jendral Inggris untuk Hindia Belanda ini tidak pernah menulis buku khusus ataupun meneliti lebih jauh perihal La Galigo, di dalam bukunya yang berjudul  “History of Java”  untuk pertama kalinya Ia memperkenalkan epik itu ke dunia Barat. Pembahasan singkatnya tentang La Galigo membuat mata kalangan antropolog, ahli bahasa, sejarawan, dan bahkan misionaris mengarah ke Sulawesi Selatan.

Dilahirkan di atas geladak kapal Ann di perairan Jamaika dari ayah yang hanya seorang tukang masak (kemudian menjadi kapten) dan ibu rumah tangga biasa, Raffles kecil tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki kecintaan terhadap lingkungan. Di usianya yang keempat belas (1795) dengan pendidikan formal seadanya Ia bekerja sebagai seorang juru tulis di kantor British East India Company yang tersohor itu di London. Raffles dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin, berkat keuletannya itu Ia dipromosikan menjadi Asisten Sekretaris untuk wilayah Kepulauan Melayu. Saat sedang menjalankan tugasnya di Penang (Malaysia), pada tahun 1805 Ia menikah dengan seorang janda bernama Olivia Mariamne Fancourt serta menjalin persahabatan dengan Thomas Otho Travers.

Kemahiran Raffles dalam berbahasa Melayu serta kecerdikan berpikirnya membuat Lord Minto (Gubernur Jendral Inggris untuk India saat itu) menjadikannya favorite. Ia dikirim ke Tanah Jawa sebagai Lieutenant Governor of Java (1811) dan mengatur ekspedisi melawan Belanda. Karir Raffles semakin melesat karena keberhasilannya mendapatkan Pulau Bangka (hasil negosiasi dengan Belanda) dan penaklukkannya terhadap beberapa pangeran lokal. Ia dianugerahi jabatan sebagai Gubernur Jendral mulai tahun 1811-1816. Pada tahun 1815 Ia sempat kembali ke London karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah serta kesedihan mendalam atas meninggalnya sang istri di Jawa karena malaria tahun sebelumnya.

Raffles kembali pada tahun 1818 ke timur sebagai Gubernur Bengkulu. Kecintaannya pada lingkungan membuatnya amat bergairah menjelajahi hutan-hutan Sumatra dan mengumpulkan berbagai macam spesimen flora maupun fauna. Saat berada di Sumatra itulah Ia menggagas sebuah proyek bernama “Singapore’ sebagai pelampiasan rasa kecewa karena kembalinya Pulau Jawa ke tangan Belanda. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil, namun akan lebih maju daripada Jawa (terbukti kini Singapura menjadi negara dengan kualitas pendidikan dan ekonomi lebih baik ketimbang Indonesia pada umumnya). Buku History of Java sendiri pertama kali terbit tahun 1817, dan menjadi booming di Eropa. Raffles pernah sesumbar bahwa tidak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang Ia miliki.

The History of java - Thomas Stamford Raffless

Berkaitan dengan La Galigo, Raffles menganggap penting untuk membahas mengenai suku Bugis-Makassar di dalam bukunya, mengingat kehadiran dan kekuasaan bangsa pelaut ini dihampir seluruh perairan nusantara. Di samping suku Jawa dan Melayu, Raffles menilai bahwa peranan mereka pun amat signifikan dalam usaha pihak asing menaklukkan kepulauan Indonesia. Ia menceritakan bagaimana para bangsawan di negara-negara Bugis merunutkan kisah permulaan dunia pada suatu periode yang disebut-sebut sebagai zaman Galiga (La Galigo).

Galiga ini berisi hikayat Sawera Gading, cerita rakyat Luwu atau Lawat dari Surga. Mitos yang didengarnya dari seorang Duta Besar Bugis itu dimulai dari pernikahan “makhluk gaib” berjenis kelamin perempuan yang menikah dengan Taja Rasupa, seseorang yang muncul dari tanah (to tompoq). Cerita dilanjutkan dengan kehadiran tomanurung di kala hujan badai serta peran “manusia” tersebut sebagai pembentuk dinasti raja-raja Bone. Kisah semakin berkembang dengan cerita mengenai diturunkannya Betara Guru (juga dari jenis tomanurung), putra sulung Dewata Pitutu ke muka bumi di dalam sebilah bambu. Raffles percaya bahwa kisah Sawera Gading dikarang oleh sang anak, La Galiga yang merupakan cucu dari Betara Guru. Publikasi buku History of Java yang banyak dibaca oleh kalangan akademisi saat itu membuka lubang kunci kajian mengenai La Galigo di dunia.

Referensi:
Raffles, Thomas Stamford. “The History of Java”. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008.

Categories
101 La Galigo Liputan

Keris Bugis, Menginspirasi Keragaman Nusantara

Sekitar jam 10 pagi, saya dan Fitria menyelinap keluar dari Wisma Handayani di Jalan RS Fatmawati Jakarta Selatan untuk mencari taksi ke arah Jakarta Pusat. Sejak kemarin kami menginap di wisma tersebut guna membantu proses seleksi tahunan pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program Youth Exchange and Study (disingkat YES). Suatu kehormatan bagi kami berdua yang terhitung alumni YES untuk dapat sedikit bantu-bantu demi keberlanjutan program ini. Nah, kebetulan di tengah-tengah waktu kosong Seleksi YES ada pameran Keris Bugis dan Serumpunnya sekaligus launching buku “Senjata Pusaka Bugis” di Bentara Budaya Kompas. Keris Bugis? Hmm… Produk kebudayaan yang jarang diekspos media. Kesempatan lowong yang cuma sebentar itu jelas tidak akan saya sia-siakan untuk menggali dan mendapatkan informasi lebih dalam lagi.

Sesampainya di Bentara Budaya, kami bertemu dengan Diku, salah seorang rekan yang masih berstatus sebagai mahasiswi di FISIPOL Universitas Indonesia. Dia juga berasal dari Makassar (meskipun berdarah murni Jawa) semangat ke-Sulawesi Selatan-an Diku tak ada bandingannya. Kami berkeliling di sayap kanan galeri Bentara Budaya yang ternyata digunakan sebagai tempat kolektor-kolektor keris nusantara memamerkan atau menjual koleksi keris mereka. Kami mendapatkan banyak informasi berharga tentang dunia perkerisan dari pengalaman orang-orang yang berkecimpung langsung di dalamnya. Salah satu info menarik yang kami dapatkan adalah metode awam untuk membedakan pamor yang terbuat dari besi meteor (bintang jatuh) dan pamor yang terbuat dari besi biasa. Keris yang pamornya berasal dari batu meteor umumnya memiliki corak-corak khas, corak alami yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Keris dengan pamor dari besi meteor dipercaya lebih kuat dan memiliki daya magis. Selain itu, kami juga diajari bagaimana cara mengeluarkan keris yang benar, membedakan jenis keris Jawa dengan keris dari daerah lainnya, menentukan periodesasi keris berdasarkan ornamennya (dengan memperhatikan unsur Hindu-Buddha atau Islam yang terpatri di hulu keris), dan memaknai hiasan warangka (sarung keris) yang ternyata disesuaikan dengan karakter pemiliknya.

Berdasarkan wawancara singkat yang kami lakukan dengan para kolektor, keris-keris tersebut kebanyakan mereka dapat sebagai warisan (turun-temurun), pemberian, melalui jual-beli, hingga tukar-menukar. Harga keris yang mereka jual berkisar antara satu juta hingga milyaran rupiah. Masing-masing keris memiliki ceritanya sendiri; ada yang berharga karena bahan pembuatannya dan ada pula yang begitu mahal karena kesejarahan yang tersimpan bersamanya. Kalangan kolektor keris sendiri terbagi menjadi dua golongan: para pribadi penikmat estetika dan nilai historis keris secara rasional, dan mereka yang mengultuskan keris karena mempercayai nilai-nilai mistis di dalamnya. Kedua golongan sama-sama menghormati budaya adiluhung warisan leluhur bangsa kita ini dengan caranya masing-masing.

ritual bissu maggiri’

Setelah puas melihat-lihat dan berbincang-bincang dengan para kolektor keris, kami pun masuk ke galeri utama, tempat pameran Keris Bugis yang sebenarnya diselenggarakan. Sebuah miniatur perahu pinisi dipamerkan di dekat pintu masuk. Jantung kami berdesir, bangga sekaligus kagum menyaksikan tulisan Pinisi Nusantara pada miniatur milik Kompas yang digarap megah itu. Gantungan ornamen berwarna keemasan yang biasanya muncul pada pernikahan etnis Bugis-Makassar digantung menghiasi tembok ruang pameran. Alunan musik khas Sulawesi Selatan yang diputar lirih mengalun-ngalun merdu, mengantar imajinasi para pengunjung berlayar ke provinsi penghasil coklat terbesar di Indonesia itu. Beberapa foto berukuran poster yang mengambarkan pamor-pamor khas suku Bugis dipajang di berbagai penjuru ruangan.

Selama ini keris identik dengan senjata tradisional Jawa yang bertuah. Keris berbeda dengan pedang, dari ukurannya saja keris jauh lebih kecil. Keris juga memiliki luk (lekukan-lekukan berjumlah tertentu) yang menjadi identifier senjata ini. Alangkah mengejutkannya ketika stereotipe “budaya keris = budaya Jawa” itu patah melalui pameran ini. Berpuluh-puluh keris Bugis, alameng, dan badik berjejer rapi di dalam kotak-kotak kac. Kami disambut oleh sebuah poster besar yang menggambarkan bissu (pendeta transgender Bugis kuno) di tengah prosesi maggiri’Maggiri’ merupakan ritual ketika bissu dipercaya sedang mengalami kontak dengan arwah leluhur atau Dewata di kahyangan. Pada saat seperti itu para bissu tidak sadarkan diri dan tubuh mereka menjadi kebal terhadap senjata tajam. Meskipun mereka menusuk-nusuk diri dengan gajang (keris) tidak ada setetes darah pun yang menetes atau segaris kulit pun yang tersobek!

Berdasarkan pengamatan kami selama berkeliling, kebanyakan keris yang dipamerkan merupakan koleksi-koleksi dari orang perorangan atau dari Polo Bessi Club. Polo Bessi Club merupakan sebuah klub pecinta Keris Bugis yang banyak melakukan diskusi mengenai sejarah maupun perkembangan senjata berseni ini. Ada beberapa perbedaan fisik antara Keris Bugis dan Keris Jawa yang kami catat. Pertama, dari jenis warangkanya. Keris Jawa memiliki model warangka sendiri, sedangkan warangka Keris Bugis mirip dengan warangka Keris Melayu. Keris Melayu dan Sumbawa banyak dipengaruhi oleh unsur Bugis dikarenakan kuatnya budaya yang dibawa oleh para pedagang asal Sulawesi Selatan ke wilayah-wilayah tersebut pada abad ke-18. Kami bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang pria asal Malaysia yang sengaja datang jauh-jauh hanya untuk melihat-lihat pameran ini. Kedua, pada bagian hulu Keris Bugis, garis pangkalnya sedikit miring. Ini berbeda dengan hulu Keris Jawa yang pada umumnya bergaris pangkal lurus. Ketiga, gandik atau pegangan pada keris Bugis jauh lebih bengkok daripada keris Jawa. Gandik keris Bugis hampir membentuk huruf “L”. Perbedaan yang terakhir, Keris Bugis memiliki beberapa pamor-pamor khusus yang tidak terdapat pada keris-keris Jawa.

Perbedaan Keris Bugis dan Keris Jawa

Pada dasarnya Keris Bugis dan Keris Jawa amatlah mirip. Hanya saja pada beberapa keris Bugis,luk-nya tidak begitu kentara (malah ada gajang yang bentuknya lurus, hampir mirip badik). Beda lagi dengan alameng. Alameng Luwu terkenal sebagai senjata yang secara fisik mirip pedang panjang berwarna hitam. Sepintas ada kesan seram ketika melihat bentuknya yang lurus, tajam, dan berkilat-kilat itu. Sedangkan untuk badik (di Luwu disebut dengan nama kawali), senjata yang satu ini masih populer di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Bentuk pegangan badik mempunyai ciri tersendiri, demikian pula dengan alur besinya yang berpangkal ramping (Makassar: bilah), “menggendut” di tengah (battang), lalu kembali meruncing di ujungnya (cappaq). Di daerah-daerah tertentu  ketiga senjata tersebut terkadang berbeda dari bentuk umumnya. Hal ini disebabkan karena adanya proses interaksi yang menimbulkan akulturasi dan asimilasi kebudayaan Sulawesi Selatan dengan kebudayaan suku bangsa lain di nusantara selama berabad-abad.

pamor langka pada bilah keris

Iwan Sumantri, seorang arkeolog Universitas Hasanuddin yang menulis buku berjudul “Kedatuan Luwu” mengungkap sebuah fakta yang mencengangkan perihal Keris Bugis. Luwu ternyata sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Terbukti dari penyebutan nama “kota Luwu” dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca (Pupuh 14/4). Terlepas dari kontroversi mengenai keabsahan kekaisaran Majapahit dalam memancangkan kedaulatannya di bumi Sulawesi, Luwu dikenal sebagai pemasok besi pamor berkualitas tinggi ke Tanah Jawa. Seorang tokoh bernama Mpu Luwuk tercatat dalam sejarah Majapahit sebagai pembuat keris terbaik di seantero Wilwatikta. Berdasarkan penelitian, daerah di sekitar Danau Matano, kabupaten Luwu mengandung bijih besi dan nikel dengan jumlah yang sangat besar.

Di sekitar lokasi danau tersebut kini banyak ditemukan titik-titik bekas pembakaran dan peleburan besi yang menyisakan tanah-tanah gosong. Kala itu, bahan baku besi yang mengandung nikel di bawa ke Ussu (ibukota Kedatuan Luwu) untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam peralatan. Salah satunya yang paling terkenal dan menjadi komoditas perdagangan utama orang Luwu dengan Majapahit adalah keris. Menurut cerita, keris-keris yang berpamor besi dari Luwu ini memiliki ketajaman yang luarbiasa. Lambang Daerah Luwu hingga hari ini pun masih menyertakan sebilah keris yang dipercaya oleh penduduk sebagai Keris Bungawari. Keris Bungawari merupakan arayang atau benda pusaka yang turun dari langit untuk raja-raja Luwu. Sayangnya, sekarang keris tersebut telah hilang. Menurut cerita yang beredar, keris tersebut diambil oleh kompeni dan dibawa ke negri Belanda.

Bagaimana kaitan senjata keris dengan La Galigo? Sureq Galigo menceritakan episode kelahiran Sawerigading dan saudari kembarnya We Tanri Abeng dari rahim We Datu Sengngeng dengan amat menakjubkan. Setelah tujuh hari lamanya We Datu Sengngeng mengejan rahim untuk mengeluarkan kedua bayi kembar itu, Sawerigading muncul dengan berpakaian perang lengkap dan bermahkota. Sawerigading terlahir sambil membawa sebilah keris emas pusaka dari Datu PatotoE, Sang Penguasa Langit. Keris emas tersebut merupakan simbol legitimasi atas darah Tomanurung yang Ia warisi dari Batara Guru. Penggunaan keris sebagai senjata juga tergambar di berbagai adegan pertempuran La Galigo. Istilah Bessi to Ussu yang disebut berulang kali dalam teks kuno tersebut turut menjadi saksi atas kemashyuran lokasi geografis pembuatannya.

Keris Bugis memiliki tempat tersendiri di khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Senjata ini berevolusi bersama dengan perkembangan zaman. Senjata ini juga mempengaruhi perkembangan alat tempur sejenis di Jawa, Malaysia, Thailand Selatan, Riau, Bali dan Sumbawa. Keris Bugis yang menyimpan makna historis dan filosofis ini adalah warisan yang perlu digali lebih dalam lagi. Sebagai sebuah adikarya masyarakat Bugis, keris-keris tersebut memberikan sumbangsih yang memperkaya keragaman persenjataan di nusantara kuna. Sebagai sebuah artefak, keris-keris Bugis di pameran itu telah sukses menjayakan kembali masa lampau di tengah bisingnya kehidupan kota Jakarta.