Teman-teman punya kakek atau nenek yang hobi nyirih? Atau masih ada keluarga di kampung halaman kalian yang demen mengunyah tanaman unik ini? Jika iya, berarti kalian adalah sedikit dari mereka yang beruntung dapat menyaksikan tradisi berumur ribuan tahun asli bangsa Asia Tenggara!
Eh? Serius nyirih udah berlangsung selama ribuan tahun?
Daun Sirih
Tanaman sirih (Piper betle) dan tradisi mengunyah sirih diperkirakan berasal dari Asia Selatan serta Asia Tenggara. Ada juga yang mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari Cina dan India lalu menyebar ke daerah Asia lainnya. Penemuan kotak sirih bersama benda-benda prasejarah seperti pisau besi, mata kail perunggu, gelang, anting-anting berbentuk hewan dan arca di Sulawesi Selatan menandakan bahwa sirih telah dikonsumsi oleh penghuni nusantara sejak Zaman Logam. Saat ini belum ada penemuan resmi yang membuka tabir asal-mula diolahnya sirih dalam peradaban manusia. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang berada di sekitar wilayah penyebaran daun sirih, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini telah hidup setua masyarakat itu sendiri.
Di Vietnam, aktifitas mengunyah sirih merupakan “pembuka” dalam setiap forum resmi. Demikian pula di dalam lingkungan adat Melayu. Umumnya sirih dikunyah dengan pinang, kapur, kapulaga ataupun gambir. Di daerah Bengali (India) daun sirih malah biasanya dicampur dengan tobacco atau rempah-rempah lainnya. Istilah sekapur sirih yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai kata pengantar atau sambutan pun lahir dari kebiasaan menyuguhkan daun sirih dan kapur untuk para tetamu.
Daun sirih yang dapat dengan mudah tumbuh di pekarangan rumah, kebun, hutan, atau bahkan di pinggir jalan membuat tanaman ini kosmopolitan bagi masyarakat Asia Tenggara. Dalam film berjudul Yamada The Samurai of Ayutthaya (2010) kita mengetahui bahwa bangsa Thai pun menganggap nyirih sebagai bagian dari kebudayaan klasik mereka. Berlatar zaman Kerajaan Ayuthayya, samurai Jepang bernama Yamada yang terluka ditolong oleh seorang gadis Thailand di sebuah desa kecil. Sambil menunggu lukanya sembuh, Ia diperkenalkan cara untuk mengonsumsi daun sirih (yang disebut sebagai ‘tradisi khas kami’) oleh seorang anak kecil lokal. Kontan saja karena perbedaan kebudayaan antara Jepang dan Thailand Ia merasa tidak nyaman ketika mengunyah sirih untuk pertama kalinya (dan menjadi bahan guyonan anak kecil tadi). Oleh bangsa-bangsa di Asia Tenggara, daun sirih dipercaya memiliki banyak khasiat; mulai dari menyegarkan napas, membersihkan kotoran di tubuh, hingga sebagai obat perangsang.
La Galigo mungkin sudah punah termakan zaman, jika tidak ada wanita ini yang menyalinnya.
Colliq Pujie, Penyalin ke-12 jlid naskah La Galigo yang kini berada di Leiden. (Sumber: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003)
Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Namanya amat khas Bugis (dan sulit dibaca, hehe). Retna Kencana Colliq Pujie (‘Pucuk yang terpuji’) ialah nama kecil yang menjadi panggilannya, sedangkan Arung Pancana Toa ‘Raja Pancana Tua’ adalah sebuah gelar. Matinroe ri Tucae ‘yang tidur di Tucae’ merupakan nama anumerta yang disematkan oleh orang-orang setelah Ia “ditidurkan” oleh Yang Maha Esa.
Colliq Pujie adalah wanita bangsawan berdarah Bugis-Melayu. Ketika banyak perempuan (bahkan dari kalangan aristokrat) lain di Indonesia yang tidak mendapatkan akses ke pendidikan, Colliq Pujie tumbuh menjadi seorang cendekiawati yang penuh kreatifitas. Ia cerdas dan dikaruniai dengan banyak kemampuan. Bahasa dan sastra Bugis merupakan keahliannya. Ia mengerti bahasa La Galigo yang pada zamannya pun sudah tidak dituturkan lagi. Dalam urusan kerajaan, dia diberi amanat tulis-menulis surat resmi untuk ayahnya, La Rumpang, raja di Tanete. Aktifitas kerajaan lebih banyak dikontrol oleh Colliq Pujie sebab ayahnya hampir tidak pernah tinggal di istana karena diintimidasi oleh Belanda. Sampai-sampai Ia digelari Datu Tanete karena memainkan peranan utama di kerajaan. Wow, hebat ya!
Penikahannya dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung Ujung) menganugerahinya tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama La Makkawaru, dan yang perempuan bernama Siti Aisyah We Tenriolle dan I Gading. Pada tahun 1852, suaminya meninggal dunia. Ia menetap di Tanete bersama ayahnya.
Pertemuannya dengan Matthes diawali dengan keinginan Matthes untuk mempelajari bahasa Bugis yang menurutnya lebih susah dari bahasa Makassar. Tahun 1852, Matthes yang tinggal di Makassar mengunjungi daerah-daerah Bugis, seperti Maros, Pangkajene, dan Tanete. Di Tanete dia berkenalan dengan Colliq Pujie. Tidak banyak yang mereka bicarakan pada pertemuan pertama tersebut. Matthes pun kembali ke Makassar.
Tahun 1855, La Rumpang, ayah Colliq Pujie, meninggal dunia. Dia digantikan oleh We Tenriolle, putri Colliq Pujie, yang kemudian dilantik sebagai Datu Tanete. Pewarisan tahta kepada putri Colliq Pujie adalah permintaan pribadi La Rumpang sebab dia tidak ingin tahtanya jatuh kepada La Makkawaru, putra Colliq Pujie, yang memiliki tingkah laku yang buruk. Selang dua tahun, terjadi pertengkaran antara Datu Tanete dan anggota keluarganya, termasuk ibunya. Hal ini terjadi karena ternyata putri Colliq Pujie tersebut bekerja sama dengan Belanda. Colliq Pujie yang notabene merupakan penentang kuat kekuasaan Belanda sangat marah dan melakukan perlawanan. Khawatir akan pengaruh dan kharisma Colliq Pujie yang begitu kuat, Belanda akhirnya mengucilkannya ke Makassar dengan uang tunjangan seadanya.
Sejak saat itu, Colliq Pujie menetap di Makassar hingga pada tahun 1859 dia diizinkan kembali ke Tanete atas permintaan putrinya. Selama di Makassar itulah dia membantu Matthes dalam menyalin naskah La Galigo. Matthes berhasil mengumpulkan cukup banyak naskah La Galigo dari hasil perjalanannya ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Beberapa ada yang dipinjamnya, beberapa ada yang diberikan sukarela, dan beberapa ada yang disalinnya sendiri karena empunya tidak ingin meminjamkan atau memberikan. Colliq Pujie pun turut membantu dengan pengetahuannya tentang bahasa dan sastra Bugis.
Kerja sama antara Colliq Pujie dan Matthes berlangsung selama 20 tahun. Ya, 20 tahun! Kebayang kan betapa banyak dan panjangnya naskah La Galigo yang harus disalin Colliq Pujie ke atas kertas. Bahkan sebenarnya, diperkirakan itu baru 1/3 dari keseluruhan naskah La Galigo. Banyak naskah La Galigo yang tidak sempat disalin ke atas kertas karena hilang ataupun rusak.
Tidak hanya Matthes yang dibantu oleh Colliq Pujie, dia juga membantu Ida Pfeiffer dan A. Lighvoed. Ida Pfeiffer adalah seorang etnolog dari Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan pada tahun 1853, sedangkan A. Lighvoed adalah seoarang peneliti asing yang ingin menyusun catatan peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada tahun 1870.
Colliq Pujie meninggal pada tanggal 11 November 1876. Selain naskah La Galigo yang disalinnya, Colliq Pujie juga menghasilkan berbagai macam karya sastra. Tahun 1852, dia menulis “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut “Lontaraqna Tanete”. Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette. Kemudian dia juga menulis Sureq Baweng, suatu syair yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis dan pernah diterbitkan oleh Matthes. Colliq Pujie juga menulis beberapa elong (sejenis pantun Bugis) dan tulisan tentang kebudayaan dan upacara Bugis. Karya-karya Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden, Belanda, serta di Yayasan Matthes Makassar.
Colliq Pujie memang tidak begitu dikenal di luar daerah Sulawesi Selatan (bahkan mungkin banyak lho teman-teman lokal kita di Sulsel yang tidak mengetahui sosoknya!). Belajar dari pengalaman hidup dan semangatnya untuk terus berkreasi, Colliq Pujie bisa dijadikan role-model untuk gadis-gadis jaman sekarang. Pada zamannya dulu novel belum dikenal, apalagi buku yang ditulis oleh perempuan, namun Ia sudah dapat menciptakan karya-karya sastra yang bermutu tinggi. Keterbatasannya di pengasingan justru membuatnya terus semangat berkarya. Colliq Pujie adalah pesan bagi generasi muda perempuan Indonesia untuk menjadi mandiri, bersahaja, dan smart!
Referensi
I La Galigo: Menurut Naskah NBG 188 yang Disusun oleh Arung Pancana Toa Jilid I. Jakarta: Penerbit Djambatan 1995.
Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, Fachruddin AE dengan bantuan Nurhayati Rahman
Bagi teman-teman yang peduli dengan budaya… Yuk manfaatkan waktu liburan kalian dengan ikut pelatihan ini! Silakan check postingan berikut bagi yang berminat 🙂 Dua pendaftar pertama melalui Lontara Project bakal free-charge lho!
MADYA merupakan singkatan dari Masyarakat Advokasi Warisan Budaya, didirikan pada tanggal 9 Januari 2009 di Yogyakarta, oleh para generasi muda yang prihatin dengan perlakuan diskriminatif bangsa ini terhadap warisan budaya bangsanya sendiri. Berawal dari aktifitas pengrusakan situs Trowulan oleh oknum-oknum yang bernaung dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dengan dalih penyelamatan situs dan membangun Museum Pusat Informasi Majapahit (PIM). Ditambah bahwa persoalan-persoalan pengrusakan, pencurian, penghancuran situs, termasuk Harta Karun Bawah Laut, bukanlah merupakan kasus yang pertama kali terjadi. Tetapi kejadian ini telah berlangsung sejak lama dan terjadi di berbagai penjuru tanah air Indonesia tanpa ada keseriusan dan komitmen untuk menanganinya. Bahkan, karya budaya yang nyata-nyata merupakan hasil karya dari nenek moyang, yang secara geografis hidup di bumi Indonesia ini, diklaim milik negara lain, dibiarkan begitu saja. Keprihatinan-keprihatinan inilah yang kemudian menguatkan tekad untuk dibentuk sebuah wadah sebagai wahana mengkonsolidasikan diri untuk kegiatan-kegiatan advokasi terhadap warisan budaya.
Disadari bahwa dunia advokasi dalam upaya penyelamatan dan pelestarian warisan budaya merupakan hal yang baru. Untuk itulah dibutuhkan satu langkah strategis dan nyata mewujudkan hal tersebut melalui upaya pengembangan kapasitas dimulai dengan kegiatan PELATIHAN ADVOKASI WARISAN BUDAYA.
Diharapkan, dengan adanya pelatihan ini, peserta dapat memahami advokasi dan teknik atau strategi kerjanya serta manfaatnya bagi kebijakan maupun penyadaran publik.
Adapun kegiatan akan dilangsungkan pada: Hari : Jumat – Sabtu Tanggal: 10 – 11 Februari 2012 Tempat: Wism Yakes Kaliurang – Yogyakarta TERBUKA UNTUK UMUM
Pendaftaran dapat dilakukan melalui Sekretariat MADYA: Jl. Adisucipto, Ambarrukmo RT.07 RW.03 No. 377 (Kampung di depan Ambarrukmo Plasa), Catur Tunggal, Depok, Sleman – D.I. Yogyakarta 55281
atau email: madyaindonesia@yahoo.com; advokasiwarisanbudaya@gmail.com dan di cc ke: ika.junita.kartikasari@gmail.com
Pendaftaran paling lambat tanggal 7 Februari 2012. dengan biaya sebesar: Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah)
Bagi yang tidak dapat membayar full, Panitia menyediakan Subsidi dalam 3 Kategori yaitu: 1. Membayar 75 % atau Rp 75.000,- 2. Membayar 50 % atau Rp 50.000,- 3. Membayar 30 % atau Rp 30.000,- Peluang subsidi dapat diakses dengan mengirimkan permohonan mendapatkan subsidi atau keringanan biaya termasuk besaran yang diharapkan. Keputusan diterima atau tidaknya akan disampaikan oleh panitia melalui email berdasarkan pertimbangan yang rasional.
Jadwal Acara: 1. Perkenalan dan Membangun Komitmen Bersama Peserta 2. Pengertian Advokasi 3. Langkah dan Strategi Advokasi 4. Peraturan dan Kebijakan Pelestarian Warisan Budaya 5. Studi Kasus 6. Praktek Simulasi Advokasi Warisan Budaya 7. Sharing Permasalahan 8. Evaluasi dan Penutup
PS: TERBATAS HANYA UNTUK 25 ORANG Demikian informasi yang dapat kami sampaikan. ditunggu kehadirannya. Terimakasih.