Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

“Pucuk yang Terpuji” Penyelamat La Galigo dari Negri Tanete

La Galigo mungkin sudah punah termakan zaman, jika tidak ada wanita  ini yang menyalinnya.

Colliq Pujie, Penyalin ke-12 jlid naskah La Galigo yang kini berada di Leiden. (Sumber: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003)

Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Namanya amat khas Bugis (dan sulit dibaca, hehe). Retna Kencana Colliq Pujie (‘Pucuk yang terpuji’) ialah nama kecil yang menjadi panggilannya, sedangkan Arung Pancana Toa ‘Raja Pancana Tua’ adalah sebuah gelar. Matinroe ri Tucae  ‘yang tidur di Tucae’ merupakan nama anumerta yang disematkan oleh orang-orang setelah Ia “ditidurkan” oleh Yang Maha Esa.

Colliq Pujie adalah wanita bangsawan berdarah Bugis-Melayu. Ketika banyak perempuan (bahkan dari kalangan aristokrat) lain di Indonesia yang tidak mendapatkan akses ke pendidikan, Colliq Pujie tumbuh menjadi seorang cendekiawati yang penuh kreatifitas. Ia cerdas dan dikaruniai dengan banyak kemampuan. Bahasa dan sastra Bugis merupakan keahliannya. Ia mengerti bahasa La Galigo yang pada zamannya pun sudah tidak dituturkan lagi. Dalam urusan kerajaan, dia diberi amanat tulis-menulis surat resmi untuk ayahnya, La Rumpang, raja di Tanete. Aktifitas kerajaan lebih banyak dikontrol oleh Colliq Pujie sebab ayahnya hampir tidak pernah tinggal di istana karena diintimidasi oleh Belanda. Sampai-sampai Ia digelari Datu Tanete karena memainkan peranan utama di kerajaan. Wow, hebat ya!

Penikahannya dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung Ujung) menganugerahinya tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama  La Makkawaru, dan yang perempuan bernama Siti Aisyah  We Tenriolle dan I Gading. Pada tahun 1852, suaminya meninggal dunia. Ia menetap di Tanete bersama ayahnya.

Pertemuannya dengan Matthes diawali dengan keinginan Matthes untuk mempelajari bahasa Bugis yang menurutnya lebih susah dari bahasa Makassar. Tahun 1852, Matthes yang tinggal di Makassar mengunjungi daerah-daerah Bugis, seperti Maros, Pangkajene, dan Tanete. Di Tanete dia berkenalan dengan Colliq Pujie. Tidak banyak yang mereka bicarakan pada pertemuan pertama tersebut. Matthes pun kembali ke Makassar.

Tahun 1855, La Rumpang, ayah Colliq Pujie, meninggal dunia. Dia digantikan oleh We Tenriolle, putri Colliq Pujie, yang kemudian dilantik sebagai Datu Tanete. Pewarisan tahta kepada putri Colliq Pujie adalah permintaan pribadi La Rumpang sebab dia tidak ingin tahtanya jatuh kepada La Makkawaru, putra Colliq Pujie, yang memiliki tingkah laku yang buruk. Selang dua tahun, terjadi pertengkaran antara Datu Tanete dan anggota keluarganya, termasuk ibunya. Hal ini terjadi karena ternyata putri Colliq Pujie tersebut bekerja sama dengan Belanda. Colliq Pujie yang notabene merupakan penentang kuat kekuasaan Belanda sangat marah dan melakukan perlawanan. Khawatir akan pengaruh dan kharisma Colliq Pujie yang begitu kuat, Belanda akhirnya mengucilkannya ke Makassar dengan uang tunjangan seadanya.

Naskah Bergambar Sureq Galigo Kolekasi Andi Makkarate. (Sumber: La Galigo Menelusui Jejak Warisan Dunia, 2003)

Sejak saat itu, Colliq Pujie menetap di Makassar hingga pada tahun 1859 dia diizinkan kembali ke Tanete atas permintaan putrinya. Selama di Makassar itulah dia membantu Matthes dalam menyalin naskah La Galigo. Matthes berhasil mengumpulkan cukup banyak naskah La Galigo dari hasil perjalanannya ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Beberapa ada yang dipinjamnya, beberapa ada yang diberikan sukarela, dan beberapa ada yang disalinnya sendiri karena empunya tidak ingin meminjamkan atau memberikan. Colliq Pujie pun turut membantu dengan pengetahuannya tentang bahasa dan sastra Bugis.

Kerja sama antara Colliq Pujie dan Matthes berlangsung selama 20 tahun. Ya, 20 tahun! Kebayang kan betapa banyak dan panjangnya naskah La Galigo yang harus disalin Colliq Pujie ke atas kertas. Bahkan sebenarnya, diperkirakan itu baru 1/3 dari keseluruhan naskah La Galigo. Banyak naskah La Galigo yang tidak sempat disalin ke atas kertas karena hilang ataupun rusak.

Tidak hanya Matthes yang dibantu oleh Colliq Pujie, dia juga membantu Ida Pfeiffer dan A. Lighvoed. Ida Pfeiffer adalah seorang etnolog dari Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan pada tahun 1853, sedangkan A. Lighvoed adalah seoarang peneliti asing yang ingin menyusun catatan peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada tahun 1870.

Colliq Pujie meninggal pada tanggal 11 November 1876. Selain naskah La Galigo yang disalinnya, Colliq Pujie juga menghasilkan berbagai macam karya sastra. Tahun 1852, dia menulis “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut “Lontaraqna Tanete”. Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette. Kemudian dia juga menulis Sureq Baweng, suatu syair yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis dan pernah diterbitkan oleh Matthes. Colliq Pujie juga menulis beberapa elong (sejenis pantun Bugis) dan tulisan tentang kebudayaan dan upacara Bugis. Karya-karya Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden, Belanda, serta di Yayasan Matthes Makassar.

Colliq Pujie memang tidak begitu dikenal di luar daerah Sulawesi Selatan (bahkan mungkin banyak lho teman-teman lokal kita di Sulsel yang tidak mengetahui sosoknya!). Belajar dari pengalaman hidup dan semangatnya untuk terus berkreasi, Colliq Pujie bisa dijadikan role-model untuk gadis-gadis jaman sekarang. Pada zamannya dulu novel belum dikenal, apalagi buku yang ditulis oleh perempuan, namun Ia sudah dapat menciptakan karya-karya sastra yang bermutu tinggi. Keterbatasannya di pengasingan justru membuatnya terus semangat berkarya. Colliq Pujie adalah pesan bagi generasi muda perempuan Indonesia untuk menjadi mandiri, bersahaja, dan smart!

 

Referensi

I La Galigo: Menurut Naskah NBG 188 yang Disusun oleh Arung Pancana Toa Jilid I. Jakarta: Penerbit Djambatan 1995.

Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, Fachruddin AE dengan bantuan Nurhayati Rahman

Redaksi: Sirtjo Koolhof, Roger Tol

 

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Menebar Budaya, Menuai Bisnis

Siapa bilang anak Makassar itu kasar dan doyannya cuma jotos-jotosan? “Muda, bisnis, dan budaya” adalah kata kunci yang tepat untuk menggambarkan tiga orang pemudi asal Sulawesi Selatan ini. Mereka berhasil membuktikan bahwa Makassar nggak selamanya all about kekerasan dan tawuran. Berbekal keberanian, kreatifitas, dan sedikit modal, mereka berbisnis sambil memanfaatkan kearifan lokal. Uniknya lagi, mereka mampu untuk membungkus kebudayaan dalam bentuk yang lebih casual. Penasaran? Yuk berkenalan dengan mereka 🙂

Ayu Azhariah

Dara yang terlahir tanggal 25 Desember 1988 ini memang luabiasa. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswi S1 Akuntansi dan Sastra Jepang Universitas Hasanuddin, Ia masih sempat untuk menjadi volunteer di lokal chapter AFS Bina Antarbudaya Makassar dan aktif di Ikatan Mahasiswa Akuntansi. Tidak hanya itu, ternyata Ia juga berbisnis pulsa elektronik! Seakan belum cukup untuk mewadahi ekspresi kewirausahaan mandirinya, belakangan ini Ia menemukan sebuah bisnis baru. Bisnis alat kosmetik tradisional ala suku Bugis-Makassar: Ba’da Lotong.

Apa sih yang membuatnya begitu getol berbisnis di bangku kuliah? Awalnya memang hanya sekedar untuk mengisi waktu luang. Ekonomi sebagai background keilmuannya seakan-akan menuntut untuk diaplikasikan secara nyata. Keterlibatannya dalam berbisnis Ba’da Lotong pun berawal dari dukungan bibi salah seorang temannya. Ia menyatakan sanggup menerima tawaran berbisnis Ba’da Lotong di tengah maraknya kosmetik-kosmetik asing. Masih menurut gadis yang biasa dipanggil Ua ini, Ba’da Lotong memiliki segmentasi pasar tersendiri karena belum ada orang yang berjualan produk sejenis berbentuk kemasan rapi. Apalagi kosmetik ini tergolong barang tradisional yang sudah langka digunakan (dahulu hanya gadis bangsawan Bugis yang memakainya), selain karena ribet kalau harus diproduksi sendiri. Ba’da Lotong yang berarti Lulur Hitam ini tidak mengandung bahan-bahan kimia karena komposisinya terdiri atas beras, air dan jeruk nipis. Apabila secara rutin dioleskan ke tubuh, Ba’da Lotong berkhasiat memutihkan dan memperhalus kulit lho!

Ua mengaku senang memasarkan Ba’da Lotong. Produk ini merupakan produk tradisional, jadi sambil berbisnis bisa sambil memperkenalkan budaya daerah kepada teman-teman. Ada kepuasan tersendiri di dalam dirinya karena berhasil mempromosikan lulur hitam ini kepada generasi muda yang dulunya hanya mendengar cerita-cerita mengenai ramuan kecantikan dari orang tua mereka. Sasaran Ua dalam memasarkan Ba’da Lotong ialah kaum Hawa, khususnya dara-dara Bugis-Makassar. Tetapi, Ia mengaku masih tersendat  beberapa hal dalam memasarkan Ba’da Lotong. Pertama, karena awam dalam hal bisnis, jika ada pesanan dari luar Makassar terkadang Ia bingung bagaimana dengan sistem pembayarannya. Selain itu karena Ia juga tergolong pemakai baru produknya, Ia takut mengungkapan keunggulan-keunggulan yang belum pernah Ia rasakan sendiri. Wah, ini nih yang patut ditiru pemuda dan pebisnis zaman sekarang: jujur apa adanya dengan produk mereka sendiri 🙂

Diandra Sabrina

Menjadi seorang “doctorpreuner”, itulah yang dicita-citakan oleh alumni SMA Negeri 17 Makassar ini. Meskipun sekarang tengah berstatus sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hasanuddin, Ia lihai memanfaatkan waktu luangnya untuk merambah dunia bisnis. Tidak tanggung-tanggung, Diandra yang pernah tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat sebagai siswi pertukaran pelajar AFS ini berhasil mengemas kain tradisional khas Sulawesi Selatan dengan apik sehingga menjadi incaran para remaja gadis pecinta sepatu.Keinginan Diandra untuk berbisnis sepatu tidak muncul dengan tiba-tiba. Awalnya Ia diajak teman untuk mengikuti lomba wirausaha di kampus.

Konsep berupa “sepatu modis berbalutkan kain Sutera Sengkang” ternyata berhasil  mengusung mereka menjadi pemenang. Bisnis yang Ia jalankan bersama empat orang lainnya ini (Nadia, Niny, Putri dan Chai) kemudian mereka lanjutkan karena prospeknya bagus. Dengan ide-ide kreatif, mereka berhasil menangkap antusisame gadis-gadis muda yang tidak bisa hanya memiliki sepasang sepatu dan memadukannya dengan daya tarik keunikan sepatu handmade. Mereka juga memanfaatkan momen ini untuk sekaligus mengembangkan Sutera Sengkang sebagai kain khas Sulawesi Selatan. Alhasil, lahirlah Ewako Shoes dengan jargon mereka “put some silk on your pretty feet.”

Produk sepatu handmade memang marak belakangan ini, akan tetapi yang mengombinasikannya dengan kain Sutera Sengkang baru Ewako Shoes. Di samping itu, produksinya pun terbatas,  jadi nggak pasaran. Ewako Shoes tidak memproduksi sepatu bermotif atau berbentuk sama dua kali. Diandra mengaku bahwa setelah terjun di Ewako Shoes Ia  jadi tahu lebih banyak tentang ilmu bisnis dan link pun menjadi lebih luas. Namun, satu hal yang membuatnya bangga adalah Ia dapat melestarikan sekaligus mempromosikan kebudayaan khas daerah kepada remaja-remaja lainnya. Kendala-kendala yang Ia hadapi dalam berbisnis dengan kearifan lokal ini antara lain ialah jadwal kuliah yang padat, serta bisnis serupa yang semakin banyak banyak saingannya. Selain itu, bahan baku utama berupa Sutera Sengkang masih belum terlalu banyak dikenal oleh masyarakat dibandingkan batik, produksinya pun masih terbatas. Tapi jangan khawatir, all shoe lovers, Ewako Shoes telah menyiapkan rancangan sepatu unik-sepatu unik lainnya di masa mendatang. Penasaran dengan produk-produk mereka? Silakan kunjungi http://ewakoshoes.webs.com/.

Marlisa Supeno

Manessa Ethnicbags, demikian nama merek dagang usaha yang dirintis oleh Marlisa Supeno. Gadis yang pernah mewakili Indonesia dalam ajang WSDC 2001 di Afrika Selatan ini menuturkan bahwa sejak masih duduk di bangku kuliah Ia telah terbiasa mencari penghasilan sendiri. Berjualan fashion item seperti baju, tas dan sepatu, diakuinya sebagai hobi.

Produk yang Ia produksi di Manessa Ethnicbags berupa tas Tenun Sengkang. Sedikit banyak Ia terinspirasi dari keindahan corak dan warna tenun sengkang itu sendiri, selain karena semakin  maraknya trend tas etnik. Kepopuleran tas batik di pasaran membuatnya tergerak agar tenun sutera sengkang juga bisa mendapat tempat yang baik di kalangan masyarakat. Menurut dara yang akrab dipanggil Ica ini,  bisnis yang Ia jalankan juga merupakan salah satu perwujudan dari idealismenya untuk melestarikan kekayaan budaya Sulawesi Selatan. Wah, sambil menyelam minum air ya!

Manfaat yang Ia dapat selama berbisnis tas etnik selain keuntungan finansial, yang paling utama adalah jaringan, dan semakin dikenal luasnya Tenun Sengkang. Kendati demikian, karena Ica menjalankan bisnis ini secara part time, pengelolaannya belum bisa maksimal. Ia belum sempat bertemu dengan pihak-pihak ataupun instansi-instansi terkait di Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan produknya. Ia berharap, seluruh segmen masyarakat dapat menjadi target konsumen Manessa Ethnicbags. Keinginan terbesarnya ialah agar masyarakat luas dapat semakin cinta terhadap produk lokal Indonesia. Tiga kata yang tepat untuk menggambarkan produk-produk rancangan Marlisa Supeno? Ethnic, stylish, and fabulous! Yuk lihat koleksi-koleksi cantiknya di http://www.facebook.com/manessa.ethnicbags

 

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

La Galigo as Memory of The World: Pengakuan UNESCO untuk Indonesia

Penasaran, mengapa La Galigo dikategorikan oleh UNESCO sebagai Memory of The World? Yuk baca tulisan Fitria Sudirman untuk lebih mengetahui seluk-beluk penghargaan terhadap kebudayaan ini!

 Suatu dokumen warisan bernilai universal memang sudah sepantasnya dihargai dan dilindungi. Kita tidak mau kan peninggalan-peninggalan sejarah suatu bangsa raib, entah kemana rimbanya. Padahal peninggalan-peninggalan tersebut bisa menjadi salah satu media untuk menelusuri jejak peradaban manusia. Untuk itu, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya menghadirkan “Memory of the World”.

Apa sih Memory of the World itu? Memory of the World merupakan salah satu program UNESCO yang dimulai pada tahun 1992. Program ini adalah suatu inisiatif internasional untuk melindungi warisan dokumenter dari berbagai bahaya, seperti bahaya kerusakan akibat waktu dan kondisi iklim, kerusakan yang disengaja maupun tidak disengaja, hingga bahaya dilupakan oleh bangsanya sendiri. Ibaratnya Memory of the World ini adalah polisi yang memastikan warisan tersebut aman dan masih dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Nah, apa saja sih yang dapat digolongkan sebagai warisan dokumenter? Macam-macam, bisa berupa dokumen, naskah atau manuskrip, tradisi lisan, audio-visual, arsip perpustakaan, dan arsip-arsip bernilai universal lainnya. Setiap organisasi atau individu dapat menominasikan warisan dokumenter yang dianggapnya layak untuk didaftarkan dalam Memory of the World. Setiap warisan dokumenter yang didaftarkan akan diseleksi oleh suatu badan pengurus yang dikenal sebagai Komite Penasihat Internasional, atau International Advisory Committee (IAC), yang keempatbelas anggotanya ditunjuk langsung oleh Direktur Utama UNESCO. Bagi yang lulus seleksi mereka akan dimasukkan ke dalam suatu daftar yang disebut Memory of the World Register.

Lalu, apa yang menjadi standar kelayakan suatu nominasi? IAC menetapkan beberapa kriteria sebagai berikut:

  • Pengaruh – Warisan tersebut haruslah memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya terhadap budaya nasional suatu bangsa, tetapi juga terhadap budaya dunia.
  • Waktu – Warisan tersebut harus mencerminkan suatu periode perubahan penting yang berkaitan dengan dunia atau memiliki kontribusi terhadap pemahaman dunia pada suatu poin penting dalam sejarah.
  • Tempat – Warisan tersebut harus mengandung informasi penting mengenai lokalitas atau daerah tertentu yang telah berkontribusi untuk perkembangan besar dalam dunia sejarah dan budaya.
  • Masyarakat – Dokumen tersebut harus memiliki suatu asosiasi spesial dengan kehidupan atau karya seseorang atau masyarakat yang telah membuat kontribusi luar biasa untuk sejarah dunia atau budaya.
  • Subyek – Warisan tersebut harus mendokumentasikan suatu subjek penting atau tema utama sejarah dunia atau budaya dalam cara yang luar biasa.
  • Bentuk dan Gaya – Dokumen tersebut harus mewakili bentuk atau gaya yang tidak biasa.
  • Nilai sosial – Warisan tersebut harus memiliki nilai budaya, sosial, dan spiritual yang melampaui budaya nasional tertentu.

Selain kriteria-kriteria di atas, terdapat juga dua kriteria tambahan yang bersifat meningkatkan standar penilaian, yaitu

  • Integritas – Dokumen tersebut harus memiliki tingkat integritas atau kesempurnaan yang tinggi.
  • Kelangkaan – Dokumen tersebut harus unik atau langka, hanya ada satu di dunia ini.

Saat ini, terdapat 238 warisan dokumenter yang terdaftar dalam Memory of the World Register, termasuk La Galigo. Adalah Dr. Mukhlis PaEni dari Indonesia dan Dr. Roger Tol dari Belanda yang berinisiatif untuk menominasikan La Galigo ke dalam Memory of the World pada tahun 2008. Dr. Mukhlis PaEni adalah seorang peneliti yang berasal dari Sulawesi Selatan. Beliau telah melakukan berbagai penelitian mengenai La Galigo dan membuat sebuah katalog manuskrip Sulawesi Selatan, termasuk naskah-naskah La Galigo. Dr. Roger Tol juga merupakan seorang peneliti yang telah banyak melakukan penelitian mengenai La Galigo. Beliau bekerja di  KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dan terlibat dalam produksi edisi-edisi teks La Galigo. Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya pada tahun 2011, UNESCO mengakui La Galigo sebagai “Memory of the World” atas negara Indonesia dan Belanda. Yeay!          

Nah, pengakuan ini pasti ada dasarnya dong. Sebagai suatu karya sastra yang bisa dikategorikan the hidden cultural treasure, La Galigo memang memenuhi kriteria yang membuatnya pantas menjadi Memory of the World.

La Galigo telah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi tradisi oral di masyarakat Bugis Sulawesi Selatan hingga pada akhirnya ditulis di atas daun lontar setelah masyarakat Bugis mengenal huruf lontarak. Banyak pendapat mengenai kapan hal ini terjadi, namun pada umumnya berpendapat bahwa La Galigo mulai dituliskan sebelum abad ke-16 yaitu sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan mengingat kisah La Galigo yang masih bercerita tentang dewa-dewa dan tidak mengandung unsur Islam. Barulah pada abad ke-17 La Galigo mulai disalin di atas kertas ketika orang Belanda datang membawa peradabannya. Terbagi menjadi 12 volume manuskrip yang terdiri dari kurang lebih 300.000 baris teks dan 6000 halaman folio membuat La Galigo menjadi epik terpanjang di dunia mengalahkan kisah Mahabharata sekalipun. Ini belum termasuk teks-teks yang hilang dimakan zaman dan bagian-bagian episode lainnya yang tidak sempat diceritakan oleh Bissu, pemegang tradisi oral, karena telah meninggal dunia. Gaya penulisannya indah, menggunakan bahasa Bugis Kuno (yang sudah tidak digunakan lagi sekarang) dalam aksara Lontarak. Bersetting di Sulawesi Selatan pada periode pra-Islamisasi, La Galigo mengisahkan mitos penciptaan ras Austronesia yang menjadi salah satu bagian dari sejarah peradaban manusia. Nilai budaya, sosial, dan spiritual ditunjukkan secara eksplisit dan implisit melalui kejadian-kejadian dan penokohan karakter-karakternya. Lalu, apakah ada karya sastra lain yang seperti La Galigo ini? Hmm… Jawabannya tidak ada!

Ada banyak penelitian tentang La Galigo semenjak akhir abad lalu, sayangnya kebanyakan merupakan hasil peneliti asing. B.F. Matthes, misalnya, adalah seorang peneliti Belanda yang merupakan orang pertama yang melakukan penelitian sistematis terhadap La Galigo. Beliau bahkan membuat kamus Bugis-Belanda yang memuat banyak contoh bahasa yang digunakan dalam La Galigo pada tahun 1874. Kamus ini hingga sekarang dapat dikatakan sebagai sumber bahasa La Galigo yang paling penting.

Hanya segelintir orang Indonesia yang mengetahui La Galigo. Sebagian besar warga Makassar terbilang cukup familiar dengan namanya karena dipakai sebagai nama kafe dan jalan. Namun, tidak banyak yang mengetahui dan menyadari bahwa La Galigo sebenarnya adalah peninggalan sejarah yang sangat berharga. Jika ditanyakan ke-10 orang pemuda, mungkin hanya 1 orang saja yang bisa menjawab benar pertanyaan tentang La Galigo. Kita mungkin cukup sibuk dengan globalisasi hingga melupakan hal-hal lokal, padahal justru hal-hal seperti itulah yang membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Begitu ada negara lain aja yang mencaplok budaya lokal kita, baru deh ketar-ketir seperti orang kebakaran jenggot. So, marilah kita pelihara budaya kita, dunia saja sudah mengakuinya sebagai Memory of The World!

Referensi:

Zon, Dato’ Habibah. UNESCO MEMORY OF THE WORLD PROGRAMME: The Asia-Pacific Strategy. April 17 1999.  11 Dec. 2011. <http://web.archive.org/web/20050228192535/http://www.geocities.com/seapavaa/whatsnew/memory.htm>