Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

HUSIN BIN ISMAIL: Cendekiawan Melayu-Bugis yang Terlupakan

Husin bin Ismail, nama yang jarang terdengar di kalangan dunia sastra Melayu. Tapi, tahukah Sobat Lontara, sastrawan klasik keturunan Bugis ini merupakan penyalin sekaligus pengarang naskah Melayu yang paling produktif di jamannya. Simak penuturan Prof. Nurhayati Rahman yang mencoba untuk menguak kisah maestro yang terlupakan ini…

Istana Sultan Malaka, Malaysia. Sumber: Wikipedia

Penyebaran etnis Melayu ke seluruh wilayah Nusantara terjadi karena dua faktor, pertama melalui perdagangan. Mereka berlayar dan mendatangi daerah-daerah pantai dan bandar-bandar niaga yang besar untuk berdagang. Dari daerah-daerah tersebut mereka juga membeli berbagai hasil bumi dan dibawa ke kampung halamannya. Kedua, melalui penyebaran agama Islam. Orang Melayu terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang pertama di Nusantara. Mereka sangat kuat dan taat dalam menjalankan syariat agama. Suku bangsa ini pulalah yang telah melahirkan ulama-ulama besar yang kemudian menyebar ke pelosok-pelosok Nusantara untuk berdakwah dan menyebarkan Islam. Melalui kontak itulah mereka berhasil meng-Islamkan daerah-daerah tujuan mereka, termasuk meng-Islamkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Puncak imigrasi terbesar orang Melayu terjadi saat runtuhnya kerajaan Malaka pada tahun 1511 yang ditandai oleh pendudukan Portugis di Malaka. Lalu pada tahun 1605 Malaka diblokade oleh Belanda yang menyebabkan banyak orang Melayu merantau ke pelosok Nusantara termasuk ke Sulawesi Selatan. Mula-mula mereka berimigrasi secara besar-besaran ke pelosok Nusantara lalu menetap dan membangun komunitas Melayu di rantau. Saat itulah terjadi kontak budaya secara intens antara orang Melayu dengan penduduk setempat.

Istana Tamalate Gowa, Sulawesi Selatan

Dalam catatan resmi kerajaan Gowa/Tallo, kronik Gowa menyebutkan bahwa orang-orang Melayu yang pertama datang ke Sulawesi Selatan adalah Nakhoda Bonang , yang datang pada tahun 1525 di bandar niaga Kerajaan Gowa. Mereka diberi tempat yang khusus oleh raja Gowa. Sejak saat itu, orang-orang Melayu mendapat kedudukan yang cukup istimewa dalam struktur Kerajaan Gowa. Berbagai jabatan yang berkaitan dengan urusan perniagaan dan urusan sekretariat kerajaan diurus oleh orang Melayu. Sejak saat itu pula, gelar-gelar seperti syahbandar, nakhoda (dalam Bugis dan Makassar disebut pabeang)  melengkapi kosa kata orang-orang Bugis dan Makassar.

Hubungan itu semakin intens setelah kedatangan tiga ulama besar dari negeri Melayu,  yaitu: Datok Ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal), Datok Patimang (Sulaiman Khatib Sulung), dan Datok Di Tiro (Abdul Jawab Khatib Bungsu). Pada tanggal 22 September 1605 ketiga ulama ini berhasil mengislamkan dua kerajaan terbesar di Indonesia Timur itu, yaitu Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabbiah dan Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Mannyonri. Hari itu merupakan momen awal bagi ditetapkannya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan Gowa dan Tallo yang selanjutnya menyebar ke berbagai kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan sampai di Indonesia Timur.

Ketika Belanda datang maka peranan orang Melayu semakin signifikan di tanah Bugis/Makassar. Ia menjadi perantara Belanda dengan raja-raja di Makassar berkat kepiawaiannya dalam bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu, yang ketika itu menjadi lingua franca di Nusantara. Berbagai jabatan dalam struktur kerajaan Gowa/Tallo pun dipegang oleh orang Melayu termasuk jabatan sekertaris kerajaan.

***

Sementara itu penyebaran orang Bugis di Nusantara – termasuk ke Semenanjung Malaya – juga telah berlangsung cukup lama bahkan ratusan tahun yang lampau. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penyebutan Melayu di dalam naskah La Galigo, karya Bugis terpanjang di dunia yang oleh para ahli telah menempatkannya sebagai karya sastra Bugis Purba yang telah ada jauh sebelum Islam datang di Sulawesi Selatan. La Galigo oleh para ahli diperkirakan telah ditulis sejak abad ke-7-14 M, itu berarti hubungan orang Bugis dan Melayu telah berlangsung sepanjang abad tersebut.

Tema-tema utama dalam La Galigo, adalah pelayaran, perantauan, perniagaan, dan kekuasaan di laut. Ternyata tema-tema itu telah baku dalam kebudayaan Bugis yang memang sejak zaman dulu dikenal sebagai bangsa pelaut dan perantau. Mereka membangun pemukiman-pemukiman baru di rantau dan membentuk komunitas-komunitas orang Bugis di perantauannya, termasuk di dalamnya Opu Daeng Parani bersaudara di negeri Melayu.

Puncak imigrasi orang Bugis-Makassar terbesar terjadi ketika penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang merupakan bukti kekalahan diplomatis, politis, dan kekuasaan  orang Makassar terhadap Belanda. Ketidakpuasan terjadi di kalangan para elit politik yang menyebabkan mereka melakukan  eksodus besar-besaran ke Nusantara, termasuk Daeng Mangalle sepupu Sultan Hasanuddin yang sangat kecewa dan melakukan eksodus ke Ayuthia pada abad ke-18.

Dari dua uraian di atas – kedatangan orang Melayu di tanah Bugis dan kedatangan orang Bugis-Makassar di tanah Melayu –  menyebabkan terjadinya pertemuan dua budaya besar yang berassimilasi dan berakulturasi sekaligus memunculkan ras yang berdarah Bugis-Makassar dan Melayu.

Tampilnya orang Melayu-Bugis ini memberikan warna dan peta baru dalam percaturan politik, budaya, dan intelektual yang unik di Nusantara. Menurut Mukhlis Paeni, percampuran darah Bugis yang dikenal sebagai cendekia dan pemberani serta darah Melayu yang dikenal sebagi seniman dan intelektual, menyebabkan tampilnya ras baru yang merupakan percampuran Bugis-Melayu dengan ciri utamanya: memiliki intelektual yang tinggi dan pemberani.

Di bidang seni dan kepengarangan misalnya, di Barat Nusantara kita akan bertemu  Raja Ali Haji dengan karya-karyanya yang spektakuler seperti gubahan Gurindam Dua Belas, Tuhfat Al-Nafis, dan menyusun Kamus dan Tata Bahasa Melayu. Di Timur Nusantara, kita akan bertemu Retna Kencana Colliq Pujie, aristokrat Bugis yang berketurunan Melayu. Ia yang menyalin, menyusun, dan mengedit 12 jilid naskah La Galigo yang ada di Perpustakaan Leiden Belanda, yang kemudian ditetapkan sebagai karya sastra terpanjang di dunia dan ditetapkan di UNESCO sebagai “Memory of the World”. Ia pulalah yang mengarang beberapa buku sejarah dan kebudayaan seperti La Toa, Sejarah Tanete, dan menerjemahkan berbagai karya sastra Melayu ke dalam bahasa Bugis, yang keseluruhan karyanya ini tersebar di berbagai perpustakaan dan muzium di dunia.

***

Dalam tulisan ini, saya coba memperkenalkan salah seorang cendekia Melayu-Bugis dari Singapore, yang sebagian sumber data tulisan di bawah ini diambil dari hasil penelitian DR. Roger Tol, yang diberinya judul:”Pengembaraan Sawerigading ke Washington DC: Memperkenalkan Husin bin Ismail Seorang Bugis Terpelajar di Singapore, 2003 dalam buku Menelusuri Jejak Warisan sastra Dunia, Makassar:Pusat Studi La galigo Universitas Hasanuddin). .

Berbeda dengan pengarang dan cendekia Melayu lainnya, Husin bin Ismail adalah tokoh unik yang senyap dari gegap gempita pemberitaan. Namanya  hampir-hampir tidak dikenal padahal ia adalah salah satu pengarang terbaik, penyalin produktif, sekaligus penerjemah naskah-naskah terkemuka di dalam dunia Melayu.

Karya-karyanya tersebar di berbagai perpustakaan di dunia, seperti di Library of Congress dan Harvard University Amerika,  di London, serta Belanda dan Roger Tol memperkirakan juga pasti terdapat salinan tangan Husin bin Ismail di Perpustakaan Nasional Jakarta koleksi H.von de Wall, karena Husin bin Ismail pernah berteman dengannya. Karena itu, menurut Roger Tol:

“Husin Bin Ismail adalah penyalin naskah Melayu yang paling produktif di seluruh dunia ditinjau dari sejumlah naskah yang masih selamat (2003:65) bukan saja dari segi kuantitas, tapi dari segi kualitas dan teknik penyalinan, beliau adalah seorang yang unik yang mengungguli kebanyakan penyalin lainnya (2003:66).

Meskipun begitu, beliau hampir-hampir tidak dikenal di dalam dunia Melayu, namanya tenggelam oleh popularitas Abdullah bin Abd.Kadir Munsyi teman sejawatnya , yang diketahui tempat dan  tanggal lahirnya, karya-karyanya, dan meninggalnya. Husin bin Ismail sama sekali tidak ada informasi tentang kehidupannya yang misterius, satu-satunya yang dapat dijadikan informasi adalah: 1) informasi ilmuan asing seperti dari Alfred North, Charles Wilkes, dan 2) dari karya-karyanya.

Pada tahun 1838-1848 Amerika melakukan ekspedisi besar-besaran di wilayah Pasifik dan Antartika yang disebutnya United States Exporing Expedition. Ekspedisi  ini dipimpin oleh Charles Wilkes, makanya ekspedisi ini lebih popular disebut Wilkes Expedition. Dalam waktu 2 tahun Wilkes menerbitkan ekspedisi resminya dalam 5 jilid besar yang diberinya judul: Narrative of the United States Exploring Expedition, During the Years 1838, 1839, 1840, 1841, 1842. Yang menarik dari ekspedisi ini adalah ketika tiba di Singapore pada bulan februari 1842 yang disambut oleh Alfred North seorang pendeta Amerika yang bertugas di Singapore. Dalam laporan itu antara lain Wilkes mengatakan:

“Dari Tuan North kami peroleh sejumlah naskah Melayu dan Bugis yang amat langka. Konon pada zaman sekarang tidak terdapat koleksi naskah yang lebih besar, terutama sejak koleksi naskah Sir Stamford  Raffles telah hilang. Beberapa naskah ditulis dengan indah sekali” (dalam Tol 2003:62).

Ada dua informasi yang sangat penting dalam kutipan di atas, yakni selain mengumpulkan sejumlah  koleksi naskah Melayu yang banyak juga terdapat koleksi naskah Bugis.

Library of Congress - Washington DC

Ternyata naskah-naskah tersebut dibuat dan disalin  oleh dua kolega Alfred North, yakni: 1) Abdullah bin Abd.kadir Munsyi dan 2) Husin Bin Ismail. Keduanya bekerja di Mission Press of Singapore yang dipimpin oleh Alfred North  pada tahun 1838-1843 dan keduanya bertugas untuk menyalin naskah, membantu di bidang cetak buku litograf, dan yang paling penting keduanya mengajar pula orang Inggeris dan Amerika. Abdullah mengajar bahasa Melayu dan Husin mengajar bahasa Bugis. Ia kemudian meminta bantuan kedua orang ini untuk menyalin beberapa naskah, yang kemudian ia  persembahkan kepada ketua ekspedisi di Singapore pada bulan Februari tahun 1842. Paket itu kemudian tersimpan di dua tempat, yaitu: 1) Library of Congres dan 2) Harvard University Library.

 

Dari 15 naskah Melayu di Washington, tujuh naskah disalin oleh Abdullah sendiri, selebihnya oleh Husin bin Ismail. Dua naskah Hikayat Abdullah disalin oleh Husin bin Ismail, yang satu tersimpan di Washington dan satunya lagi tersimpan di Cambridge.

Pada kolopon naskah yang di Washington terdapat  tulisan di bagian terakhir naskah yang berbunyi: Al-Fakir Husin Bin Ismail dan juga terdapat catatan lepas Alfred North yang berbunyi:

“This copy is taken the autograph by Husin, a Bugis, who writes a good Malay hand.

“”Salinan ini diambil langsung dari naskah otograf oleh Husin, seorang Bugis, yang mahir menulis huruf Melayu” (Tol: 2003 64).

Dalam ilmu filologi pada  penyusunan silsilah sebuah naskah: otograf itu bermakna tulisan asli dari pengarang, arketif adalah salinan langsung dari tulisan  pengarang, sedangkan hiparketif salinan dari salinan yang biasanya merupakan penyimpan naskah tertua. Kalau benar demikian maka dipastikan Hikayat Abdullah bukan saja disalin oleh Husin Bin Ismail tapi kemungkinan besar ia pula turut mengarang naskah tersebut. Karena itu Roger Tol menyatakan kekecewaannya (2003:65):

“Yang agak mengecewakan adalah bahwa Husin satu kali pun tidak disebut di dalam Hikayat Abdullah, karangan rekannya di Mission Press, Abdullah Bin Abdul kadir Munsyi”

Di dalam naskah koleksi Library of Congress terdapat 10 naskah dengan tulisan Bugis dan bahasa Bugis. Ke-10 naskah tersebut ditulis oleh Husin karena tulisannya sama dan  dibuktikan melalui kolopon naskah serta catatan dari North sebagai berikut:

1)      Jilid VIII terdapat tulisan: Guru La using punna okiq e artinya: Guru Husin yang punya tulisan.

2)      Jilid IX yang mengandung empat terjemahan dari bahasa Melayu, tiap terjemahan berakhir dengan sebuah kolofon yang menyebutkan Husin sebagai penerjemah: Guru La Useng punnae okiq e sureq Malaju ripakkedadai I sureq Ogiq artinya: penulisan terjemahan ini dari bahasa melayu ke dalam bahasa Bugis oleh Guru Husin.

3)      Dalam beberapa naskah terdapat catatan dari North yang menyebutkan bahwa naskah tersebut: disalin oleh Husin seorang Bugis terpelajar di Singapore (jilid VII, VIII, IX, X).

4)      Empat naskah Melayu di Inggeris (lihat Ricklefs dan Voorhoeve 1977:119,161-2) Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Indera Putera menyebutkan penyalinnya: Enci’ Husin Bin Ismail, dan Enci’ Husin di Tanah Merah.

5)      Di dalam perpustakaan SOAS di London  terdapat Syair Harith Fadilah dan Hikayat Syahi Mardan yang menyebutkan keduanya disalin oleh Al-Husin bin Ismail orang Bugis To Belawa.

***

Beberapa informasi dari luar teks (Wilkes dan Alfred North) serta informasi dari dalam teks (kolofon) dapat dijadikan rujukan untuk merekonstruksi garis besar tentang kehidupan dan karya Husin bin Ismail. Husin adalah orang Melayu yang berketurunan Bugis dari Belawa, Wajoq (Sekarang kabupaten Wajo, 4 jam perjalanan dari Makassar). Husin tinggal dan menetap di Tanah Merah, Singapore.

Beliau seorang guru (Guru La Huseng). Dalam budaya Bugis, seorang guru adalah cerdik pandai yang bukan saja mengajar secara formal di sekolah-sekolah tapi juga menjadi tempat bertanya orang kepadanya tentang segala hal baik yang berkaitan dengan ilmu dunia maupun ilmu akhirat.

Kepandaiannya itu  diakui oleh North, seorang bangsa asing yang punya standar tertentu untuk menetapkan seseorang sebagai  terpelajar. Dalam berbagai catatannya ia menyebut Husin sebagai “Bugis terpelajar”. Dalam dunia akademik terdapat standar akademik dan  hierarkhi untuk menyebut kadar  ketinggian ilmu seseorang dengan penyebutan yang berbeda. Seorang professor biasanya dalam ujian terbuka untuk disertasi dipanggil  “yang amat terpelajar” dan untuk Doktor dipanggil dengan sapaan “terpelajar”. Adanya pengakuan dari orang asing ini dengan menyebutnya sebagai orang Bugis terpelajar membuktikan akan kadar intelektual yang dimiliki oleh Husin bin Ismail yang tinggi. Itu pula sebabnya sehingga beliau bersama koleganya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dipercaya mengajar orang asing. Abdullah mengajar bahasa Melayu dan Husin mengajar bahasa Bugis.

Lukisan Arung Palakka di Museum La Galigo, Benteng Rotterdam

Di samping sebagai guru, baik dalam pengertian sebagai “guru tradisional orang Bugis” maupun dalam pengertian “guru” dan “terpelajar” bagi orang Barat, ia pun dipercaya untuk menyalin dan menulis naskah-naskah Melayu dan Bugis. Tulisan itu kini bertaburan di berbagai perpustakaan terkemuka di dunia yang menjadi rujukan dan referensi utama bagi berbagai ilmuan dalam menulis dan merekonstruksi sejarah di Asia Tenggara, khsusnya Indonesia, Malaysia, dan Singapore.

Selain sebagai penyalin, Husin juga seorang penerjemah. Penerjemah di sini dapat dimaknai penerjemahan dua arah, yakni penerjemahan dari naskah Melayu ke bahasa dan tulisan Bugis atau sebaliknya penerjemahan naskah dan bahasa Bugis ke dalam bahasa Melayu..

Di samping sebagai penulis, penyalin, dan penerjemah ia juga mengabdikan hidupnya untuk kepentingan publikasi di Mission Press Singapore bersama koleganya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Cukup lama ia bekerja di sini, yakni sepuluh tahun (1834-1843). Tak terhitung betapa banyak buku tentang karya-karya kebudayaan Melayu dan Bugis yang telah dicetak dan disebarkan di seluruh dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun mereka bekerja.

Meskipun demikian, nasib Husin bin ismail tidaklah seberuntung dengan kawannya Abdullah bin Abd.Kadir Munsyi, yang sangat terkenal, tersanjung, dan dipuja di dunia. Demikian pula, nasib guru Husin tenggelam oleh kemilau dan kebesaran penulis seangkatannya yang berdarah Melayu-Bugis  yakni Raja Ali Haji. Banyak ilmuan dunia yang mengatakan keheranannya, padahal baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas tulisannya mengungguli penulis-penulis Melayu lainnya.

Guru Husin telah menyelamatkan begitu banyak karya-karya besar Melayu dan yang tak kalah pentingnya juga menyelamatkan karya-karya sastra Bugis penting termasuk sekaliber La Galigo. Lima jilid episode La Galigo yang merupakan salinan tangannya di Library of Congress, yang ditulis di Tanah Merah, Singapore sampai sekarang tidak banyak yang tahu dan belum pernah diteliti, ditranskripsi dan diterjemahkan. Orang-orang terpaku dengan La Galigo dengan orang Bugis yang ada di Sulawesi Selatan, tak sedikit pun pernah terlintas dalam benak mereka bahwa Husin yang hidup pada abad ke-19, seangkatan dengan Colliq Pujie (penyalin La Galigo yang terkenal yang salinannya sekarang ada di Belanda), adalah keturunan Bugis di tanah Melayu yang turut andil dalam menyelamatkan warisan dunia tersebut.

Karena itu, di sinilah keunikan Guru Husin, melampaui Raja Ali haji dan Abdullah, karena ia bukan saja ahli tentang bahasa dan kebudayaan Melayu tapi juga ahli tentang bahasa Bugis, menguasai konvensi penulisan huruf Bugis dan faham tentang budaya Bugis. Tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai belahan dunia adalah saksi bisu tentang kebesaran nama Husin bin Ismail.

“Jika kita membandingkan riwayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Husin bin Ismail, ternyata nasib kedua rekan dan penyalin naskah ini sangat berbeda. Sudah pada masa hidupnya Abdullah menjadi seseorang yang termasyuhur yang tanggal kelahiran dan kematiannya diketahui, sedangkan Husin menjadi seorang yang kehidupannya tetap semacam misteri. Tanggal lahir dan wafatnya tidak diketahui. Hanya buah tangan Husin yang masih ada sebagai wakil suatu pengabdian  pada sastra dan bahasa Melayu dan Bugis yang tak tertandingi”.(Tol:2003:67).

Selama hampir dua 2 abad meninggalnya, tak pernah terdengar sedikit pun suara-suara nyaring yang menyapanya, khususnya dari kalangan dunia Melayu. The inspiring men itu telah menghembuskan nafasnya di tanah Melayu yang tempatnya antah berantah, tulang-belulangnya telah termakan tanah tapi karyanya tetap menjadi saksi bisu tentang kebesarannya.

 

Kuala Lumpur, 30 Desember 2011

 

 

 Prof.DR. Nurhayati Rahman, Senior Research Fellow Akademi pengajian Melayu UM. Pakar La Galigo keturunan Bone-Soppeng ini telah banyak menulis buku, mengadakan penelitian, serta mempromosikan budaya Sulawesi Selatan di Indonesia dan dunia internasional. Setelah menyelesaikan gelar S1 di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, beliau melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana UNPAD hingga mendapat predikat program Cumlaude dari Pascasarjana Universitas Indonesia.  Tahun 1999 beliau dipercaya sebagai editor penerbitan terjemahan naskah La Galigo jilid II di Leiden. 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

“Pucuk yang Terpuji” Penyelamat La Galigo dari Negri Tanete

La Galigo mungkin sudah punah termakan zaman, jika tidak ada wanita  ini yang menyalinnya.

Colliq Pujie, Penyalin ke-12 jlid naskah La Galigo yang kini berada di Leiden. (Sumber: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003)

Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Namanya amat khas Bugis (dan sulit dibaca, hehe). Retna Kencana Colliq Pujie (‘Pucuk yang terpuji’) ialah nama kecil yang menjadi panggilannya, sedangkan Arung Pancana Toa ‘Raja Pancana Tua’ adalah sebuah gelar. Matinroe ri Tucae  ‘yang tidur di Tucae’ merupakan nama anumerta yang disematkan oleh orang-orang setelah Ia “ditidurkan” oleh Yang Maha Esa.

Colliq Pujie adalah wanita bangsawan berdarah Bugis-Melayu. Ketika banyak perempuan (bahkan dari kalangan aristokrat) lain di Indonesia yang tidak mendapatkan akses ke pendidikan, Colliq Pujie tumbuh menjadi seorang cendekiawati yang penuh kreatifitas. Ia cerdas dan dikaruniai dengan banyak kemampuan. Bahasa dan sastra Bugis merupakan keahliannya. Ia mengerti bahasa La Galigo yang pada zamannya pun sudah tidak dituturkan lagi. Dalam urusan kerajaan, dia diberi amanat tulis-menulis surat resmi untuk ayahnya, La Rumpang, raja di Tanete. Aktifitas kerajaan lebih banyak dikontrol oleh Colliq Pujie sebab ayahnya hampir tidak pernah tinggal di istana karena diintimidasi oleh Belanda. Sampai-sampai Ia digelari Datu Tanete karena memainkan peranan utama di kerajaan. Wow, hebat ya!

Penikahannya dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung Ujung) menganugerahinya tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama  La Makkawaru, dan yang perempuan bernama Siti Aisyah  We Tenriolle dan I Gading. Pada tahun 1852, suaminya meninggal dunia. Ia menetap di Tanete bersama ayahnya.

Pertemuannya dengan Matthes diawali dengan keinginan Matthes untuk mempelajari bahasa Bugis yang menurutnya lebih susah dari bahasa Makassar. Tahun 1852, Matthes yang tinggal di Makassar mengunjungi daerah-daerah Bugis, seperti Maros, Pangkajene, dan Tanete. Di Tanete dia berkenalan dengan Colliq Pujie. Tidak banyak yang mereka bicarakan pada pertemuan pertama tersebut. Matthes pun kembali ke Makassar.

Tahun 1855, La Rumpang, ayah Colliq Pujie, meninggal dunia. Dia digantikan oleh We Tenriolle, putri Colliq Pujie, yang kemudian dilantik sebagai Datu Tanete. Pewarisan tahta kepada putri Colliq Pujie adalah permintaan pribadi La Rumpang sebab dia tidak ingin tahtanya jatuh kepada La Makkawaru, putra Colliq Pujie, yang memiliki tingkah laku yang buruk. Selang dua tahun, terjadi pertengkaran antara Datu Tanete dan anggota keluarganya, termasuk ibunya. Hal ini terjadi karena ternyata putri Colliq Pujie tersebut bekerja sama dengan Belanda. Colliq Pujie yang notabene merupakan penentang kuat kekuasaan Belanda sangat marah dan melakukan perlawanan. Khawatir akan pengaruh dan kharisma Colliq Pujie yang begitu kuat, Belanda akhirnya mengucilkannya ke Makassar dengan uang tunjangan seadanya.

Naskah Bergambar Sureq Galigo Kolekasi Andi Makkarate. (Sumber: La Galigo Menelusui Jejak Warisan Dunia, 2003)

Sejak saat itu, Colliq Pujie menetap di Makassar hingga pada tahun 1859 dia diizinkan kembali ke Tanete atas permintaan putrinya. Selama di Makassar itulah dia membantu Matthes dalam menyalin naskah La Galigo. Matthes berhasil mengumpulkan cukup banyak naskah La Galigo dari hasil perjalanannya ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Beberapa ada yang dipinjamnya, beberapa ada yang diberikan sukarela, dan beberapa ada yang disalinnya sendiri karena empunya tidak ingin meminjamkan atau memberikan. Colliq Pujie pun turut membantu dengan pengetahuannya tentang bahasa dan sastra Bugis.

Kerja sama antara Colliq Pujie dan Matthes berlangsung selama 20 tahun. Ya, 20 tahun! Kebayang kan betapa banyak dan panjangnya naskah La Galigo yang harus disalin Colliq Pujie ke atas kertas. Bahkan sebenarnya, diperkirakan itu baru 1/3 dari keseluruhan naskah La Galigo. Banyak naskah La Galigo yang tidak sempat disalin ke atas kertas karena hilang ataupun rusak.

Tidak hanya Matthes yang dibantu oleh Colliq Pujie, dia juga membantu Ida Pfeiffer dan A. Lighvoed. Ida Pfeiffer adalah seorang etnolog dari Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan pada tahun 1853, sedangkan A. Lighvoed adalah seoarang peneliti asing yang ingin menyusun catatan peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan pada tahun 1870.

Colliq Pujie meninggal pada tanggal 11 November 1876. Selain naskah La Galigo yang disalinnya, Colliq Pujie juga menghasilkan berbagai macam karya sastra. Tahun 1852, dia menulis “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut “Lontaraqna Tanete”. Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K.Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette. Kemudian dia juga menulis Sureq Baweng, suatu syair yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis dan pernah diterbitkan oleh Matthes. Colliq Pujie juga menulis beberapa elong (sejenis pantun Bugis) dan tulisan tentang kebudayaan dan upacara Bugis. Karya-karya Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden, Belanda, serta di Yayasan Matthes Makassar.

Colliq Pujie memang tidak begitu dikenal di luar daerah Sulawesi Selatan (bahkan mungkin banyak lho teman-teman lokal kita di Sulsel yang tidak mengetahui sosoknya!). Belajar dari pengalaman hidup dan semangatnya untuk terus berkreasi, Colliq Pujie bisa dijadikan role-model untuk gadis-gadis jaman sekarang. Pada zamannya dulu novel belum dikenal, apalagi buku yang ditulis oleh perempuan, namun Ia sudah dapat menciptakan karya-karya sastra yang bermutu tinggi. Keterbatasannya di pengasingan justru membuatnya terus semangat berkarya. Colliq Pujie adalah pesan bagi generasi muda perempuan Indonesia untuk menjadi mandiri, bersahaja, dan smart!

 

Referensi

I La Galigo: Menurut Naskah NBG 188 yang Disusun oleh Arung Pancana Toa Jilid I. Jakarta: Penerbit Djambatan 1995.

Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, Fachruddin AE dengan bantuan Nurhayati Rahman

Redaksi: Sirtjo Koolhof, Roger Tol