Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #3

Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya

Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.

Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.

Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT

Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.

Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.

            Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.

Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]

Membina persahabatan serumpun…

            Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.

Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.

 Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding  School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh. 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

When the Ocean Met with Mountain: Srawung Seni Borobudur

Pagi itu saya hampir saja saya tidak jadi berangkat ke Muntilan. Pasalnya, teman yang kemarin telah berjanji untuk mengantar ke Borobudur dengan kendaraannya bangun kesiangan. Saya sudah cemas ketika sepuluh panggilan ke telepon genggamnya tak kunjung dijawab. Di detik-detik terakhir Ia datang juga. Tanpa buang-buang waktu lagi gas segera ditancap memburu jarak Yogyakarta-Muntilan yang kami tempuh selama 45 menit.

Meski terlambat hampir dua jam dari waktu yang direncanakan, rasa kesal mendadak sirna setibanya di seminar terbuka Srawung Seni. Srawung Seni ialah sebuah pesta budaya. Perayaan kesenian yang tidak saja digelar oleh kalangan budayawan dan seniman, namun juga oleh para Indonesianis. Acara-acara yang digelar berupa seminar, lokakarya dan pertunjukan-pertunjukan yang mengawinkan seni dengan arkeologi, ketuhanan, dan mitos. Singkatnya, di acara ini semua kalangan bebas untuk menikmati hiburan kebudayaan langsung di situs bersejarah, Candi Borobudur. Acara ini juga sekaligus meresmikan Taman Srawung Seni.

Perhelatan akbar yang diprakarsai oleh Padepokan Lemah Putih dari Jawa Tengah ini mengangkat tema “Segara-Gunung”. Perkawinan kedua unsur tersebut, lautan dan gunung, hidup tidak hanya dalam kebudayaan Jawa, namun terdapat pula pada unsur-unsur kebudayaan nusantara lainnya. Sengaja memilih Candi Borobudur sebagai venue-nya, karena candi adalah bangunan yang tak lekang oleh waktu. Candi menyimpan seni, kosmologi, tata ruang dan mitos sebagai hasil dari tradisi-tradisi panjang yang melibatkan pelbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat. Di panggung Aksobhya yang berlatarkan bangunan berusia seribu duaratus tahun ini, sekitar 150 seniman atau kelompok kesenian, budayawan dan cendekiawan dari Indonesia, Asia, Europa, Australia, Amerika Selatan serta Utara membagikan masing-masing pusaka budayanya melalui seminar dan pertunjukan.

Seminar di bawah naungan kapal Samuderaraksa

Selain di atas panggung, kegiatan berlangsung di Candi Pawon, di Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga Candi Borobudur sejak tanggal 20 hingga 29 April 2012. Karena masih berstatus sebagai mahasiswa (jelang) semester akhir, saya baru dapat menikmati pesta seni ini di hari penutupannya. Saya sedikit kecewa karena ketika tiba di Museum Samuderaraksa, presentasi mengenai La Galigo yang dibawakan oleh Bapak Andi Anton seorang budayawan Luwu telah usai. Ya, La Galigo yang merupakan karya sastra terbesar di dunia ini mendapat tempat di ruang seni dan mitos dalam Srawung Seni. Keindahan bahasa serta kekayaan makna yang dikandung La Galigo begitu memukau, epos besar ini tidak hanya berisi kisah namun juga berisi pelajaran-pelajaran tentang filosofi kehidupan. Keunikan cerita serta tradisi pendokumentasian naskah membuat peninggalan budaya dari Sulawesi Selatan ini menarik. Bapak Anton menguraikan banyak hal baru bagi para peserta diskusi (yang kebanyakan berasal dari luar Sulawesi dan luar negri) seperti konsep tomanurung, asal-muasal suku Bajo dalam versi La Galigo, tiga tingkatan dunia, serta sisi religiusitas naskah ini.

Setelah pembicaraan mengenai La Galigo usai, seminar dilanjutkan dengan bahasan tentang situs Muarajambi. Diskusi yang dimoderatori oleh Nina Pramono (Executive Director Pertamina Foundation) ini menghadirkan narasumber dari SvarnaDvipa Institute. Sebagai oknum-oknum yang terjun langsung ke lapangan, dengan gamblang narasumber-narasumber tersebut memaparkan apa itu situs Muarajambi dan isu seperti apa yang tengah berkembang. Muarajambi ialah nama dari sebuah kawasan yang kaya dengan tinggalan purbakala di Daeras Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Jambi. Sekurang-kurangnya terdapat 82 peninggalan berupa candi, menapo (reruntuhan bangunan kuno), kolam beserta kanal purba.

Situs yang diduga menyimpan kompleks percandian dengan luas tiga kali dari Borobudur ini merupakan anak kunci untuk mengungkap misteri Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya. Sayangnya, situs monumental ini terancam bahaya. Perusahaan tambang batubara serta perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Muarajambi berpotensi merusak kawasan cagar budaya ini. Contohnya, parit Candi Playangan yang 1,5 meter dari pabrik batubara tertutup limbah dan menghitam. Miris memang mengetahui situs Muarajambi yang kaya akan temuan arkeologi ini belum terdaftar sebagai kawasan cagar budaya. Usaha-usaha penyelamatan dengan peran dari masyarakat mulai dilakukan, salah satunya melalui petisi #SaveMuaraJambi lewat twitter. Penduduk sekitar situs juga telah membentuk sebuah aliansi dengan SvarnaDvipa institut yang disebut Dwarapala-Muja, Penjaga Muarajambi.

Tarian Dayak Kontemporer karya Deddy Luthan

Dari pulau Sumatera, bahasan beralih ke Kalimantan. Kisah tentang budaya dan sejarah ternyata tak kalah tragis di sana. Bapak Deddy Luthan, seorang koreografer yang juga pecinta budaya Dayak menyajikan potret kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, Modang dan Benuak. Asal-usul suku Dayak di pulau berjuluk Baruna ini masih simpangsiur. Secara umum suku Dayak diduga berasal dari Yunnan Selatan yang bermigrasi ke Borneo secara bertahap. Meskipun bukan bangsa pelaut, dengan perahu-perahu kecil mereka menuju Asia Tenggara karena pada masa itu luasnya lautan masih terjangkau oleh teknologi sederhana. Masyarakat Dayak yang kehidupannya berorientasi pada hutan belakangan berpindah habitasi. Pembalakan hutan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab menghancurkan sendi-sendi kebudayaan serta lingkungan tradisional mereka. Hati saya terenyuh ketika disuguhkan gambar beberapa anggota keluarga Dayak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil, sementara siluet di belakang mereka nampakkan pabrik-pabrik perusak hutan.

Selain materi di atas, masih banyak lagi bahasan-bahasan spektakuler di Srawung Seni Segara Gunung ini. Yang paling menarik ialah pengalaman spiritual Elisabeth Inandiak yang menghubungkannya dengan garis emosional masa lalu antara Sumatera, India, dan Tibet. Elisabeth Inandiak dikenal sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Perancis dan usahanya menerjemahkan Serat Centhini dari Bahasa Jawa Klasik ke dalam Bahasa Indonesia.

Elisabeth yang fasih berbahasa Indonesia mendapat semacam ilham saat berkunjung ke Tibet dan dihantui inspirasi untuk menemukan keterkaitan antara kedamaian yang Ia rasakan saat berada di Jawa (Indonesia) dan Tibet. Ia mendapatkan jawaban setelah menemukan referensi mengenai Atisha, seorang misionaris Buddha asal India yang pernah belajar agama di Sumatera lalu menyebarkan ajarannya di Tibet. Petualangan spiritual Elisabeth memburu Atisha mengantarkannya kepada usaha pengembalian abu sang mahaguru dari pemerintah Republik Rakyat Cina ke tangan masyarakat Tibet pada tahun 1978 dan rahasia di balik lirik lagu Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan.

Seminar hari itu ditutup dengan tampilan Seni Pitutur, kelompok seni masyarakat sekitar Candi Borobudur yang melibatkan partisipasi para Indonesianis. Malamnya panggung Aksobhya dimeriahkan oleh Anak-Anak Borobudur dan Oppie Andaresta; tari klasik Bharatanatyam dari India, seni gerak oleh Jessica Gamez dari Mexico, dan masih banyak lagi. Walau tidak dapat mengikuti jalannya penutupan Taman Srawung Seni Segara Gunung hingga akhir, saya cukup senang. Transfer ilmu dan informasi di bawah naungan kapal Samuderaraksa yang “dihidupkan” kembali dari sebuah relief abad ke-8 Masehi melahirkan banyak inspirasi buat saya. Terlebih lagi pada kesempatan ini saya juga dapat berkenalan dengan banyak budayawan, para Indonesianis serta mempromosikan La Galigo for Nusantara Project lewat flyer sederhana.

Tahun depan, pesta seni ini akan digelar di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Penyerahan api abadi dari Bupati Magelang kepada Bupati Sigi menandai estafet Srawung Seni Segara Gunung 2012 ke Srawung Seni Megalitik 2013. Semoga acara ini dapat lebih meriah, lebih terbuka kepada masyarakat umum, serta lebih sensasional lagi. Sampai jumpa tahun depan!

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Cina untuk We Cudai – Part II

 Setelah pada tulisan sebelumnya team kami menyoroti kemungkinan lokasi Ale Cina = Tiongkok berdasarkan Riwayat Kelantan dan arah pelayaran Sawerigading, di tulisan kali ini kami akan memaparkan bukti-bukti lainnya. Stereotype kebangsaan, mitos lokal, serta peninggalan sejarah di Selayar ternyata menyajikan bukti-bukti mengejutkan terkait lokasi negri Cina.

  • Stereotype We Cudai Terhadap Sawerigading

“Tuanku, aku tak menyembunyikan perasaanku, aku tak ingin menjadi milik orang Luwu, seketiduran dengan orang Bajo dan satu sarung dengan orang yang bukan senegeriku: I Mettang, I Menrokoli dari negeri Selayar itu. Orang yang dipenuhi badannya bulu dan kumisnya panjang yang dapat membakar seluruh badannya, apabila berkata-kata ucapannya terputus-putus, tak jelas apa yang diucapkannya, tak terdengar apa yang dibicarakannya, tak teratur makannya, tak ditenun sarung dan pakaiannya, tak terlihat asap apinya, tak disaksikan tanah tempat kelahirannya, makanan di kampungnya hanyalah ular.” (Naskah X halaman 39)

“Dengarlah kataku, We Tenriesang! Jika engkau yang menginginkan orang Luwu itu, maka engkau sajalah yang kawin dengan Mettang dan Menrokoli itu. apabila rumah tanggamu telah baik maka tinggalkanlah suamimu itu. Kelak apabila perkawinanmu telah baik maka pilihlah malam tertentu untuk pindah ke tempat orang Wangkang itu. Apabila harta bendanya yang kau inginkan maka janganlah aku ini yang engkau susahkan.” (Naskah X halaman 75)

Apa yang Anda bayangkan ketika membaca dialog berisi penolakan We Cudai terhadap lamaran Sawerigading di atas? We Cudai yang belum pernah bertemu langsung dengan Sawerigading termakan oleh desas-desus dari dayang-dayangnya tentang perawakan orang-orang Luwu. Tidak hanya itu, We Cudai juga menyebut suku bangsa Bajo dan Selayar yang berasal dari daratan Sulawesi secara derogatif, serta menegaskan status mereka sebagai orang Wangkang (perahu). Jika benar Ale Cina terletak di Sulawesi Selatan, bagaimana mungkin penghuni Ale Cina memiliki gambaran yang kabur serta memandang rendah bangsa sesamanya?

Figurin gadis pemusik dari era Dinasti Tang. Sumber: http://english.cri.cn/6566/2009/04/03/1301s471106.htm

Terlepas dari penggalan kisah yang memaparkan bagaimana Settia Bonga –dengan penuh kekesalan karena dikalahkan Sawerigading– memerintahkan nelayan-nelayan di sekitar Ale Cina untuk menyebarkan desas-desus negatif mengenai Pangeran Luwu ini, teks La Galigo menyajikan fakta bahwa kedua negri yang terpisahkan oleh samudera raya sebenarnya tidak saling kenal satu sama lain. Lazimnya, stereotype kesukuan yang sifatnya negatif melekat kepada orang-orang asing dari daerah yang tidak diketahui. Hal ini akan menjadi masuk akal ketika Ale Cina berlokasi jauh dari Ale Luwu, dan kedua daerah tersebut terdiri atas penduduk dengan kebangsaan yang berbeda. Dialog di atas wajar dilontarkan oleh seorang putri raja jika kerajaan Annam kita anggap sebagai Ale Cina. Karena telah ratusan tahun berada di bawah kekuasaan Dinasti Tang yang berperadaban maju, masyarakat Annam memandang rendah orang-orang berperahu dari kepulauan Melayu.

Asumsi belaka kah dugaan stereotype penduduk Annam kepada bangsa Luwu? Ada bukti sejarah menarik mengenai cara pandang penduduk Cina pada zaman Dinasti Tang terhadap orang-orang kepulauan nusantara. Berikut ini kutipan dari buku Ancient China karangan Edward Schafer, terbit tahun 1970 oleh penerbit Time Inc., Belanda;

“The few Chinese traders who braved these remote waters in foreign ships became accustomed to the black and malicious (as they thought) faces of the Indonesians.” (Beberapa pedagang Cina yang cukup berani untuk melayari perairan terpencil ini dengan menggunakan perahu-perahu asing menjadi terbiasa terhadap (dalam bayangan mereka) orang-orang hitam dan barbar dari Indonesia).

“The dark-skinned, wavy-haired men of Cambodia and Malaya were called “ghosts”, “goblins”, and “demons” in some Tang books.” (Orang berkulit hitam dan berambut ikal dari Kamboja dan Malaya dijuluki “hantu”, “siluman”, dan “setan” di dalam beberapa buku zaman Dinasti Tang).

Secara gamblang buku ini menyajikan fakta mengenai kehidupan masyarakat Cina dan jajahannya di abad ke-8 Masehi. Uraian di dalam buku Schaffer amat sesuai dengan ejekan We Cudai yang dialognya diabadikan dalam naskah La Galigo. Bagi seorang bangsawan seperti We Cudai memiliki stereotype buruk terhadap pendatang dari kepulauan nusantara amatlah masuk akal, karena pada zamannya seperti itulah masyarakat memandang mereka.

  • Kondisi Budaya Annam dan Mitos “Tomanurung”

Hingga hari ini, seorang bangsawan atau raja di Sulawesi Selatan harus dapat merunut silsilah leluhur mereka ke tokoh-tokoh yang namanya termaktub dalam epos La Galigo atau kepada sosok manusia gaib yang disebut sebagai Tomanurung. Siapakah Tomanurung ini? Tidak ada yang tahu pasti, karena kemunculan mereka pun tiba-tiba. Yang jelas para Tomanurung ini muncul beruntun pada berbagai wilayah di Sulawesi Selatan di abad ke-15 Masehi. Mereka dianggap sebagai keturunan dewa yang mewujudkan diri di bumi untuk membangun peradaban manusia. Wah, mirip dengan hipotesis ilmuwan Barat yang mengatakan bahwa manusia dipandu oleh alien atau makhluk asing dari langit untuk membangun peradaban ya!

Ragam hias kuno yang menunjukkan bentuk peralihan dari buaya menjadi naga pada fragmen tanah liat di Bac Ninh, Vietnam. Sumber: http://vnexplore.net/index.php?news=33/

Batara Guru, sebagai keturunan dewa sekaligus manusia pertama di muka bumi memiliki nama asli La Togeq Langiq, yang terjemahannya berarti “Sang Putra Langit”. Sebagai putra sulung dari pasangan Datu PatotoE dan Datu Palingeq, Ia yang paling bijaksana sekaligus paling mumpuni kesaktiannya. Para penguasa Annam juga memiliki gelar serupa. Mereka mengadopsi abisheka kaisar-kaisar Cina kuno yang menganggap diri mereka keturunan dewa. Raja-raja Annam menggelari diri mereka sebagai “Tianzi” alias Son of Heaven. Dengan kata lain, raja-raja Annam di Indocina mempercayai bahwa diri mereka pun keturunan Tomanurung, atau orang-orang langit. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan lokal mereka mengenai asal-muasal bangsa Yuwana.

Alkisah, samudera yang luas membentang di bumi ini dikuasai oleh ras naga. Seorang raja naga yang bernama Lac Long Quan memunculkan dirinya ke atas daratan dan jatuh cinta dengan seorang wanita (bidadari) yang turun dari kerajaan langit, Au Co. Pernikahan Lac Long Quan dan Au Co ini menghasilkan 100 orang putra, dimana 50 di antaranya berkuasa di pegunungan sedangkan 50 sisanya berkuasa atas lautan. Putra tertua mereka menjadi raja pertama di tanah Annam yang terletak di delta Sungai Merah sekarang ini.

Ilustrasi Loc Long Quan, Au Co, dan putra mereka Raja Hung. Sumber: http://holiday.yeudoi.net/2010/11/gio-to-hung-vuong-103-am-lich.html

Mitos Annam di atas mengandung unsur-unsur yang sama dengan riwayat asal mula manusia di Sulawesi Selatan. Batara Guru yang berasal dari langit turun ke bumi dan menikah dengan We Nyiliq Timoq yang berasal dari Peretiwi. Dewa-dewa penghuni Peretiwi ketika akan muncul ke permukaan bumi biasanya mengambil penyamaran (larukodo) dalam bentuk buaya. Buaya sebagai penguasa air juga dikenal pada mitos-mitos kuno Annam, hanya saja ketika pengaruh Cina masuk, sosok buaya digantikan oleh naga. Dari keturunan Batara Guru & We Nyiliq Timoq lahirlah raja-raja yang memerintah di atas dunia (bahkan hingga Senrijawa dan Maccapaiq).

  • Mitos Nekara Kembar dan Kebudayaan Dongson

Di Selayar, terdapat sebuah nekara raksasa yang memiliki hiasan kodok serta diukir dengan ornamen-ornamen berbentuk gajah, burung, pohon sirih, dan ikan. Gong yang terbuat dari logam ini dipercaya sebagai nekara terbesar sekaligus tertua di dunia. Ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang petani pada tahun 1686, sejak saat itulah nekara ini dijadikan sebagai arayang atau pusaka kerajaan Bontobangun. Legenda lokal mempercayai bahwa nekara tersebut dibawa oleh Sawerigading ke Selayar. Nekara tersebut juga diyakini memiliki pasangan di negri Cina, “istri”-nya, yaitu nekara Ngoc Lu di Hanoi, Vietnam.

Nekara Selayar. Sumber: Wikipedia

Nekara dengan karakteristik yang ada di Pulau Selayar tersebut digolongkan sebagai model Heger I. Persebaran nekara di Indonesia mengikuti jalur perdagangan laut yang ditempuh sebelum tahun Masehi, mulai dari Tanah Melayu hingga ke Papua. Nekara-nekara tersebut dipercaya dibuat antara tahun 500 sampai 100 SM di Vietnam Utara atau Cina Selatan. Pembuatan nekara berkembang pesat seiring dengan kebangkitan Kebudayaan Dongson di delta Sungai Merah (Annam kuno) sekitar tahun 1000 SM hingga 1 SM. Masyarakat Dongson tergolong sebagai bangsa Austronesia yang hidup melalui pertanian dan peternakan. Mereka juga terkenal sebagai pelaut ulung yang mengarungi Laut Cina Selatan. Kemahiran masyarakat Dongson dalam mengolah perunggu nampak dari beranekaragamnya perkakas mereka yang terbuat dari logam.

Apabila kita mengaitkan mitos lokal mengenai nekara Sawerigading dengan bukti-bukti sejarah kebudayaan Dongson, maka anggapan bahwa Ale Cina terletak di Indocina menjadi semakin kuat. Hubungan melalui laut antara Luwu dan Annam dengan Selayar sebagai pulau transit menjelaskan kehadiran nekara raksasa buatan Vietnam di sana. Bukankah pelaut-pelaut tangguh Sawerigading yang mendayung Welenrenge berasal dari Selayar dan Waniaga (Bira)? Jika Ale Cina terletak di Pammana, lantas bagaimana relevansi kesejarahan nekara Sawerigading yang jelas-jelas dibuat di Dongson itu?

Nekara Ngoc Lu, Vietnam. Sumber: Wikipedia

Selain dugaan di atas, ada pula usaha untuk mengaitkan gong nekara Selayar dengan Genderang Manurung yang disebut-sebut di dalam teks La Galigo. Genderang Manurung atau Genderang Emas (Genrang Mpulaweng) ini diturunkan oleh Dewata dari langit, kemudian diangkut ke dalam kapal Sawerigading. Genderang Manurung ditabuh sebagai tanda peringatan, metode komunikasi, maupun untuk keperluan upacara adat. Nekara yang dikait-kaitkan dengan Sawerigading merupakan satu-satunya bentuk alat musik pukul yang sesuai dengan gambaran mengenai Genderang Manurung ini. Nekara ini juga dianggap sakral, dipercaya memiliki kekuatan magis sehingga identik dengan peran Genderang Manurung anugerah dari langit.

Setelah membaca penjelasan-penjelasan dari team kami, apakah Sobat Lontara sudah dapat menyimpulkan dimana letak negri Cina-nya Putri We Cudai? Untuk masing-masing teori, tidak ada yang 100% betul-betul yakin. Apakah benar area di sekitar Danau Tempe merupakan lokasi yang dituju oleh Sang Pangeran Luwu? Atau negri Annam yang subur dan berbukit-bukit di Indocina sana? Kepingan puzzle terakhir untuk melengkapi jawaban-jawaban di atas belum dapat ditemukan hingga saat ini.

Kisah-kisah yang tertuang dalam La Galigo pun banyak yang menganggapnya sebagai dongeng semata, tidak usah dibuktikan kesejarahannya karena tidak pernah benar-benar terjadi. Anakroniksme muncul ketika kita membicarakan lokasi daerah-daerah yang disebut di dalam teksnya. Demikian pula terhadap perkiraan kurun waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Namun, epos besar ini menyimpan gambaran akan cara pandang leluhur kita terhadap kehidupan. Mereka memiliki cara sendiri dalam memandang dunia. Dengan membaca, menelaah, serta melestarikan La Galigo, kita telah menghidupkan kembali warisan dari nenek moyang yang jaraknya terpisah ribuan tahun. Entah benar pernah terjadi atau tidak, sejarah dan kisah-kisah masa lalu adalah pembelajaran berharga untuk mereka yang hidup di masa depan.

 

Referensi:
Ancient China, Edward Schafer. Time Inc. Nederland. 1970.
Cinta, Laut dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo, Nurhayati Rahman.La Galigo Press. 2006.
La Galigo, Dul Abdul Rahman. Diva Press. 2012.
La Galigo ( Episode Mutiara Tompoq Tikkaq), Idwar Anwar. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2004.
La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin. 2003.
Manusia Bugis, Christian Pelras. Penerbit Nalar. 2006.