Categories
101 La Galigo Featured

Grand Launching LP : Behind the Scenes


Apa saja yang terjadi sebelum hari Grand Launching LP?

Perbedaan domisili tidak membuat kami menyerah. Bermodal nekat dan sedikit uang saku, saya “terbang” dari Makassar, disusul oleh Fit dan Andrew dua hari kemudian dengan menggunakan kereta api, meluncur dari Jakarta. Salah seorang anggota tim kami yang bernama Setia Negara BT benar-benar membuat B(e)T(e) karena berhalangan hadir (beliau mengungkapkannya dengan riang gembira).

Kami semua dirumahkan di tempat kosan Ahlul dengan menggunakan mode silent on, akan tetapi bau bangkai pasti tercium juga. Maka dari itu, tak lupa kami berterima kasih kepada Ny. Karmono, sang ibu kos yang memaklumi kegiatan ini berlangsung, juga tak lupa pula haturan thank you buat penghuni kos lainnya yang kami hantui selama beberapa hari: tabe` padasalama`!

Jelang hari H jadwal makan dan tidur kami jadi tak menentu. Semuanya sibuk berdiskusi, menyusun bahan untuk presentasi Grand Launching Jumat mendatang. Namun sibuk bukan berarti kami tak sempat jalan-jalan menikmati kota Jogjakarta yang sedang dilanda musim hujan loh 😀. Minggu pagi kami duduk menikmati sarapan di pasar kaget Sunday Morning UGM, merasakan cultural experience ala Jogja yaitu ditodong banci ngamen yang enggan meninggalkan tempat duduk tanpa sereceh dua receh derma dari pengunjung lesehan. Setelah kenyan, kami naik taksi menuju Malioboro dan Pasar Soping – berharap tingkah norak kami (baca : Ahlul) tidak menarik perhatian siapapun disana. Puas cuci-cuci mata, kunjungan kami lanjutkan ke Benteng Vredeburg. Uniknya, di sana kami mendapati sepasang calon mempelai yang sedang berpose pre-wedding dengan tema perjuangan dan kepahlawanan (Bayangin aja gimana kira-kira). Jadi pengen.. (loh?!).

Keseruan tidak berakhir sampai di situ. Pagi-pagi sebelum akhirnya bisa “menjarah” ruang duduk I.Boe.Koe (tentu dengan seizin Bos Muhidin dan pihak-pihak terkait – MATUR NUWUN!), tak lupa kami menyambangi Kraton Jogjakarta. Kami sebagai delegasi Lontara Project dibuat terkagum-kagum dengan isi tempat bersejarah itu. Mulai dari pelayanan para abdi dalem, kebersihan tempat, dan dokumentasi properti kekratonan, walaupun ada beberapa hal yang mengundang rasa miris, akan tetapi tetap menginspirasi kami bagaimana caranya melestarikan budaya Indonesia, karena dibandingkan dengan tempat serupa di wilayah lain negara kita ini, Kraton Jogja masih lima kali lebih baik!

***

Alun-Alun Selatan Kraton Jogja menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah bagi masa depan budaya Indonesia. Siang itu, dengan mengenakan kaos print Lontara Project, kami berempat menunggu dengan harap-harap cemas. Sebab ada sebuah insiden rahasia yang terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Kami khawatir jika acara ini tidak mendapat respon dengan semestinya, atau kemungkinan paling baik adalah tumpahnya orang-orang yang datang menyaksikan peresmian terbentuknya Lontara Project.

Hujan turun, namun tak menyurutkan langkah orang-orang keren yang rela menyempatkan diri untuk hadir. Kami yakin, kualitas satu dari mereka menyamai kuantitas lima orang yang datang secara bersamaan. Jadi kalau dihitung secara kasat mata, ada sekitar 15 orang yang duduk menyaksikan presentasi kami. Tapi secara kualitas, ya.. bisa dibilang ada lima ratus orang disana. Hahahaha.. Kami positive thinking loh ya…

Harapan-harapan baru yang lahir dari pertemuan itu sungguh menggetarkan sanubari (ceileh). Niat kami semua adalah tulus dan mulia : membangkitkan gelora budaya Indonesia yang selama ini terkesan statis dan jalan di tempat. Sulawesi adalah Indonesia. Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Papua, juga beribu-ribu pulau lainnya adalah Indonesia. Semangat yang sama akan kami tularkan kepada kalian semua, sebagai bagian dari Bhineka Tunggal Ika.

Kita berbeda tapi tetap satu jua!

Maka dari itu, kami mengucapkan terima kasih banyak, kepada semua orang yang terlibat dimulai hari lahirnya Lontara Project hingga tulisan ini dibaca. Yang mau kami repotkan selama di Jogyakarta : Muhidin M. Dahlan (I.Boe.Koe cs), Eka Magdalena, Anggita Paramesti, dan keluarga di Jetis. Belum lagi anggota Lontara Music Project yang ikut meramaikan : Muhammad Yusuf dan Rahmat Dwi Putranto, serta dengan direkrutnya sahabat baru kami Muhammad Ulil Ahsan, Muh. Alif Chaeran, Muhammad Sofyan Syahrir, Ocha La Parembai, Rani Fardani, Muhammad Fajrin, Hijrah Aulia, Abraham Utama Sembiring, Dito dan Randy Taufik. Nantikan kumpulan foto-foto selama grand launching berlangsung!

Kuru Sumange`!

Categories
101 La Galigo

Pemesanan Kaos ‘I Uncover La Galigo”

Sudah pesan kaos? Nah, saatnya untuk memperhatikan beberapa hal berikut:

  • Bagi Sobat Lontara yang telah memesan kaos, silakan transfer ke nomer rekening BNI 0147477907 a.n Sri Maharani Budi, sejumlah harga kaos IDR 60000 + ongkir dari Bandung. Untuk ongkir bisa cek di website TIKI.

  • Setelah mentransfer, silakan konfirmasi nama, tanggal transfer, jumlah uang, dan alamat pengiriman via SMS ke nomer 0856 2417 1563 atau email ke fitt@lontaraproject.com

  • Transfer akan kami tunggu hingga tanggal 7 Mei 2012. Jika ingin membatalkan pesanan, segera konfirmasi via SMS, email, ataupun media sosial lainnya (Twitter/Facebook).

Penjualan kaos ini murni bertujuan untuk lebih mengakrabkan generasi muda dari Sabang hingga Merauke dengan La Galigo. Keuntungan yang kami dapatkan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek Lontara Project selanjutnya. Terima kasih atas dukungannya! 😀

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Mencari Cina untuk We Cudai – Part II

 Setelah pada tulisan sebelumnya team kami menyoroti kemungkinan lokasi Ale Cina = Tiongkok berdasarkan Riwayat Kelantan dan arah pelayaran Sawerigading, di tulisan kali ini kami akan memaparkan bukti-bukti lainnya. Stereotype kebangsaan, mitos lokal, serta peninggalan sejarah di Selayar ternyata menyajikan bukti-bukti mengejutkan terkait lokasi negri Cina.

  • Stereotype We Cudai Terhadap Sawerigading

“Tuanku, aku tak menyembunyikan perasaanku, aku tak ingin menjadi milik orang Luwu, seketiduran dengan orang Bajo dan satu sarung dengan orang yang bukan senegeriku: I Mettang, I Menrokoli dari negeri Selayar itu. Orang yang dipenuhi badannya bulu dan kumisnya panjang yang dapat membakar seluruh badannya, apabila berkata-kata ucapannya terputus-putus, tak jelas apa yang diucapkannya, tak terdengar apa yang dibicarakannya, tak teratur makannya, tak ditenun sarung dan pakaiannya, tak terlihat asap apinya, tak disaksikan tanah tempat kelahirannya, makanan di kampungnya hanyalah ular.” (Naskah X halaman 39)

“Dengarlah kataku, We Tenriesang! Jika engkau yang menginginkan orang Luwu itu, maka engkau sajalah yang kawin dengan Mettang dan Menrokoli itu. apabila rumah tanggamu telah baik maka tinggalkanlah suamimu itu. Kelak apabila perkawinanmu telah baik maka pilihlah malam tertentu untuk pindah ke tempat orang Wangkang itu. Apabila harta bendanya yang kau inginkan maka janganlah aku ini yang engkau susahkan.” (Naskah X halaman 75)

Apa yang Anda bayangkan ketika membaca dialog berisi penolakan We Cudai terhadap lamaran Sawerigading di atas? We Cudai yang belum pernah bertemu langsung dengan Sawerigading termakan oleh desas-desus dari dayang-dayangnya tentang perawakan orang-orang Luwu. Tidak hanya itu, We Cudai juga menyebut suku bangsa Bajo dan Selayar yang berasal dari daratan Sulawesi secara derogatif, serta menegaskan status mereka sebagai orang Wangkang (perahu). Jika benar Ale Cina terletak di Sulawesi Selatan, bagaimana mungkin penghuni Ale Cina memiliki gambaran yang kabur serta memandang rendah bangsa sesamanya?

Figurin gadis pemusik dari era Dinasti Tang. Sumber: http://english.cri.cn/6566/2009/04/03/1301s471106.htm

Terlepas dari penggalan kisah yang memaparkan bagaimana Settia Bonga –dengan penuh kekesalan karena dikalahkan Sawerigading– memerintahkan nelayan-nelayan di sekitar Ale Cina untuk menyebarkan desas-desus negatif mengenai Pangeran Luwu ini, teks La Galigo menyajikan fakta bahwa kedua negri yang terpisahkan oleh samudera raya sebenarnya tidak saling kenal satu sama lain. Lazimnya, stereotype kesukuan yang sifatnya negatif melekat kepada orang-orang asing dari daerah yang tidak diketahui. Hal ini akan menjadi masuk akal ketika Ale Cina berlokasi jauh dari Ale Luwu, dan kedua daerah tersebut terdiri atas penduduk dengan kebangsaan yang berbeda. Dialog di atas wajar dilontarkan oleh seorang putri raja jika kerajaan Annam kita anggap sebagai Ale Cina. Karena telah ratusan tahun berada di bawah kekuasaan Dinasti Tang yang berperadaban maju, masyarakat Annam memandang rendah orang-orang berperahu dari kepulauan Melayu.

Asumsi belaka kah dugaan stereotype penduduk Annam kepada bangsa Luwu? Ada bukti sejarah menarik mengenai cara pandang penduduk Cina pada zaman Dinasti Tang terhadap orang-orang kepulauan nusantara. Berikut ini kutipan dari buku Ancient China karangan Edward Schafer, terbit tahun 1970 oleh penerbit Time Inc., Belanda;

“The few Chinese traders who braved these remote waters in foreign ships became accustomed to the black and malicious (as they thought) faces of the Indonesians.” (Beberapa pedagang Cina yang cukup berani untuk melayari perairan terpencil ini dengan menggunakan perahu-perahu asing menjadi terbiasa terhadap (dalam bayangan mereka) orang-orang hitam dan barbar dari Indonesia).

“The dark-skinned, wavy-haired men of Cambodia and Malaya were called “ghosts”, “goblins”, and “demons” in some Tang books.” (Orang berkulit hitam dan berambut ikal dari Kamboja dan Malaya dijuluki “hantu”, “siluman”, dan “setan” di dalam beberapa buku zaman Dinasti Tang).

Secara gamblang buku ini menyajikan fakta mengenai kehidupan masyarakat Cina dan jajahannya di abad ke-8 Masehi. Uraian di dalam buku Schaffer amat sesuai dengan ejekan We Cudai yang dialognya diabadikan dalam naskah La Galigo. Bagi seorang bangsawan seperti We Cudai memiliki stereotype buruk terhadap pendatang dari kepulauan nusantara amatlah masuk akal, karena pada zamannya seperti itulah masyarakat memandang mereka.

  • Kondisi Budaya Annam dan Mitos “Tomanurung”

Hingga hari ini, seorang bangsawan atau raja di Sulawesi Selatan harus dapat merunut silsilah leluhur mereka ke tokoh-tokoh yang namanya termaktub dalam epos La Galigo atau kepada sosok manusia gaib yang disebut sebagai Tomanurung. Siapakah Tomanurung ini? Tidak ada yang tahu pasti, karena kemunculan mereka pun tiba-tiba. Yang jelas para Tomanurung ini muncul beruntun pada berbagai wilayah di Sulawesi Selatan di abad ke-15 Masehi. Mereka dianggap sebagai keturunan dewa yang mewujudkan diri di bumi untuk membangun peradaban manusia. Wah, mirip dengan hipotesis ilmuwan Barat yang mengatakan bahwa manusia dipandu oleh alien atau makhluk asing dari langit untuk membangun peradaban ya!

Ragam hias kuno yang menunjukkan bentuk peralihan dari buaya menjadi naga pada fragmen tanah liat di Bac Ninh, Vietnam. Sumber: http://vnexplore.net/index.php?news=33/

Batara Guru, sebagai keturunan dewa sekaligus manusia pertama di muka bumi memiliki nama asli La Togeq Langiq, yang terjemahannya berarti “Sang Putra Langit”. Sebagai putra sulung dari pasangan Datu PatotoE dan Datu Palingeq, Ia yang paling bijaksana sekaligus paling mumpuni kesaktiannya. Para penguasa Annam juga memiliki gelar serupa. Mereka mengadopsi abisheka kaisar-kaisar Cina kuno yang menganggap diri mereka keturunan dewa. Raja-raja Annam menggelari diri mereka sebagai “Tianzi” alias Son of Heaven. Dengan kata lain, raja-raja Annam di Indocina mempercayai bahwa diri mereka pun keturunan Tomanurung, atau orang-orang langit. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan lokal mereka mengenai asal-muasal bangsa Yuwana.

Alkisah, samudera yang luas membentang di bumi ini dikuasai oleh ras naga. Seorang raja naga yang bernama Lac Long Quan memunculkan dirinya ke atas daratan dan jatuh cinta dengan seorang wanita (bidadari) yang turun dari kerajaan langit, Au Co. Pernikahan Lac Long Quan dan Au Co ini menghasilkan 100 orang putra, dimana 50 di antaranya berkuasa di pegunungan sedangkan 50 sisanya berkuasa atas lautan. Putra tertua mereka menjadi raja pertama di tanah Annam yang terletak di delta Sungai Merah sekarang ini.

Ilustrasi Loc Long Quan, Au Co, dan putra mereka Raja Hung. Sumber: http://holiday.yeudoi.net/2010/11/gio-to-hung-vuong-103-am-lich.html

Mitos Annam di atas mengandung unsur-unsur yang sama dengan riwayat asal mula manusia di Sulawesi Selatan. Batara Guru yang berasal dari langit turun ke bumi dan menikah dengan We Nyiliq Timoq yang berasal dari Peretiwi. Dewa-dewa penghuni Peretiwi ketika akan muncul ke permukaan bumi biasanya mengambil penyamaran (larukodo) dalam bentuk buaya. Buaya sebagai penguasa air juga dikenal pada mitos-mitos kuno Annam, hanya saja ketika pengaruh Cina masuk, sosok buaya digantikan oleh naga. Dari keturunan Batara Guru & We Nyiliq Timoq lahirlah raja-raja yang memerintah di atas dunia (bahkan hingga Senrijawa dan Maccapaiq).

  • Mitos Nekara Kembar dan Kebudayaan Dongson

Di Selayar, terdapat sebuah nekara raksasa yang memiliki hiasan kodok serta diukir dengan ornamen-ornamen berbentuk gajah, burung, pohon sirih, dan ikan. Gong yang terbuat dari logam ini dipercaya sebagai nekara terbesar sekaligus tertua di dunia. Ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang petani pada tahun 1686, sejak saat itulah nekara ini dijadikan sebagai arayang atau pusaka kerajaan Bontobangun. Legenda lokal mempercayai bahwa nekara tersebut dibawa oleh Sawerigading ke Selayar. Nekara tersebut juga diyakini memiliki pasangan di negri Cina, “istri”-nya, yaitu nekara Ngoc Lu di Hanoi, Vietnam.

Nekara Selayar. Sumber: Wikipedia

Nekara dengan karakteristik yang ada di Pulau Selayar tersebut digolongkan sebagai model Heger I. Persebaran nekara di Indonesia mengikuti jalur perdagangan laut yang ditempuh sebelum tahun Masehi, mulai dari Tanah Melayu hingga ke Papua. Nekara-nekara tersebut dipercaya dibuat antara tahun 500 sampai 100 SM di Vietnam Utara atau Cina Selatan. Pembuatan nekara berkembang pesat seiring dengan kebangkitan Kebudayaan Dongson di delta Sungai Merah (Annam kuno) sekitar tahun 1000 SM hingga 1 SM. Masyarakat Dongson tergolong sebagai bangsa Austronesia yang hidup melalui pertanian dan peternakan. Mereka juga terkenal sebagai pelaut ulung yang mengarungi Laut Cina Selatan. Kemahiran masyarakat Dongson dalam mengolah perunggu nampak dari beranekaragamnya perkakas mereka yang terbuat dari logam.

Apabila kita mengaitkan mitos lokal mengenai nekara Sawerigading dengan bukti-bukti sejarah kebudayaan Dongson, maka anggapan bahwa Ale Cina terletak di Indocina menjadi semakin kuat. Hubungan melalui laut antara Luwu dan Annam dengan Selayar sebagai pulau transit menjelaskan kehadiran nekara raksasa buatan Vietnam di sana. Bukankah pelaut-pelaut tangguh Sawerigading yang mendayung Welenrenge berasal dari Selayar dan Waniaga (Bira)? Jika Ale Cina terletak di Pammana, lantas bagaimana relevansi kesejarahan nekara Sawerigading yang jelas-jelas dibuat di Dongson itu?

Nekara Ngoc Lu, Vietnam. Sumber: Wikipedia

Selain dugaan di atas, ada pula usaha untuk mengaitkan gong nekara Selayar dengan Genderang Manurung yang disebut-sebut di dalam teks La Galigo. Genderang Manurung atau Genderang Emas (Genrang Mpulaweng) ini diturunkan oleh Dewata dari langit, kemudian diangkut ke dalam kapal Sawerigading. Genderang Manurung ditabuh sebagai tanda peringatan, metode komunikasi, maupun untuk keperluan upacara adat. Nekara yang dikait-kaitkan dengan Sawerigading merupakan satu-satunya bentuk alat musik pukul yang sesuai dengan gambaran mengenai Genderang Manurung ini. Nekara ini juga dianggap sakral, dipercaya memiliki kekuatan magis sehingga identik dengan peran Genderang Manurung anugerah dari langit.

Setelah membaca penjelasan-penjelasan dari team kami, apakah Sobat Lontara sudah dapat menyimpulkan dimana letak negri Cina-nya Putri We Cudai? Untuk masing-masing teori, tidak ada yang 100% betul-betul yakin. Apakah benar area di sekitar Danau Tempe merupakan lokasi yang dituju oleh Sang Pangeran Luwu? Atau negri Annam yang subur dan berbukit-bukit di Indocina sana? Kepingan puzzle terakhir untuk melengkapi jawaban-jawaban di atas belum dapat ditemukan hingga saat ini.

Kisah-kisah yang tertuang dalam La Galigo pun banyak yang menganggapnya sebagai dongeng semata, tidak usah dibuktikan kesejarahannya karena tidak pernah benar-benar terjadi. Anakroniksme muncul ketika kita membicarakan lokasi daerah-daerah yang disebut di dalam teksnya. Demikian pula terhadap perkiraan kurun waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Namun, epos besar ini menyimpan gambaran akan cara pandang leluhur kita terhadap kehidupan. Mereka memiliki cara sendiri dalam memandang dunia. Dengan membaca, menelaah, serta melestarikan La Galigo, kita telah menghidupkan kembali warisan dari nenek moyang yang jaraknya terpisah ribuan tahun. Entah benar pernah terjadi atau tidak, sejarah dan kisah-kisah masa lalu adalah pembelajaran berharga untuk mereka yang hidup di masa depan.

 

Referensi:
Ancient China, Edward Schafer. Time Inc. Nederland. 1970.
Cinta, Laut dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo, Nurhayati Rahman.La Galigo Press. 2006.
La Galigo, Dul Abdul Rahman. Diva Press. 2012.
La Galigo ( Episode Mutiara Tompoq Tikkaq), Idwar Anwar. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2004.
La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin. 2003.
Manusia Bugis, Christian Pelras. Penerbit Nalar. 2006.