Categories
Featured Lontara Project

Perayaan World Heritage Day 2016

Makassar World Heritage Day 2016 Empat tahun Komunitas Lontara Project memperingati Perayaan World Heritage World (Hari Pusaka Dunia). Dalam tahun keempat ini, LP mempersembahkan WHD dengan mengangkat tema Warisan Budaya Takbenda dan Konservasi yang difokuskan pada warisan dalam lingkup wilayah Sulawesi Selatan. Mari kita membangun kesadaran akan warisan nenek moyang kita yang ada di sekitar. Lihat lebih dekat, karena dari akar budaya kita kembali. Ayo turut berpartisipasi dengan daftarkan diri teman-teman segera mungkin karena kuota peserta terbatas. RM. Makassar Tempo Doeloe Jl. Bonerate No 11A Makassar (Samping gedung Societeit De Harmonie 17 April 2016, 13.00 – 17.00 wita ProgramPresentasi: Sosialisasi Warisan Budaya TakBenda, Berbagi Komunitas, Studi Kasus dan Konservasinya, Pameran Barang antik, Pertunjukan Sinrilik dan Diskusi sejarah.
Categories
101 La Galigo Featured Galigoku

Senja di Desa Lemo-Lemo

Di tengah hiruk pikuk Kota Makassar sulit bagi kita untuk menemukan cerita kehidupan warga apalagi berbaur dengan mereka untuk menemukan makna dari sebuah cerita. Cerita kehidupan warga hanya ada di pelosok-pelosok negeri. Di sanalah ada berbagai ragam kehidupan yang masih tersimpan rapi dalam setiap langkah yang berdebu. Meski perjalananku kali ini ke Bulukumba bukanlah yang pertama kalinya, perjalanan ini merupakan kesempatan pertamaku untuk hidup berbaur ditengah-tengah warga pedesaan dan belajar menemukan makna dari kehidupan mereka.

Hari itu, Jumat tanggal 27 Februari 2015, kurang lebih 30 orang berpartisipasi dalam kegiatan “ Heritage Trail: Experience Of Phinisi”. Acara ini mengajak para pemuda mengenal budaya Sulawesi Selatan dengan hidup bersama warga di desa dan melakukan konservasi warisan budaya di Dusun Kajang serta Kapal Phinisi. Hari pertama, kami berkunjung ke salah satu desa di Kabupaten Bulukumba, yaitu Desa Lemo-Lemo, kurang lebih 6 jam dari Kota Makassar. Dalam perjalanan kupandangi setiap sudut Kota Makassar yang semakin hari tenggelam dalam era modernitas. Bus yang kami tumpangi semakin menjauh, menyisakan puncak gedung-gedung yang sekali-kali terlihat dari jendela.

Dalam perjalanan , kami berbagi keceriaan dan cerita. Beberapa teman mengisahkan tentang sejarah Sulawesi Selatan, yang seolah-olah mengajak kita mengarungi masa lalu. Walau perjalanan sangat melelahkan,aku tetap berusahadan terus membuka mata agar tidak ada yang terlewati dari proyeksi alam yang jauh membentang. Panoram pun mulai memanjakan mata dan di depanku terbentang-bentang jalan lurus yang disisinya dihiasi oleh hamparan padi yang menghijau. Bus yang kami tumpangi terasa sangat kecil ketika melintasi hamparan pedesaaan yang luas ini. Dari Bulukumba, kami harus menempuh satu jam perjalanan lagi untuk menuju Desa Lemo-Lemo. Sore menjelang dan sinar matahari mulai menyelinap di antara dahan-dahan pohon. Kira-kira pukul lima lewat kami pun sampai di Desa Lemo-Lemo.

Perjalanan menuju Desa Lemo-Lemo

Malam pertama kegiatan Heritage Trail dihabiskan untuk menghibur warga Desa Lemo-Lemo, yakni memutar beberapa film dokumenter yang menceritakan ekspedisi “NKRI” dan “Penyebaran Islam di Sulawesi Barat”. Warga nampak sangat antusias menikmati tayangan tersebut seolah-olah baru pertama kalinya. Ini adalah kesempatan pertama kami dengan warga setempat untuk berbaur dan merasakan dinginnya angin malam yang bersiul membelai daun di dahan pepohonan. Nyiur daun kelapa yang tumbuh di sepanjang pantai di tengah larutnya malam membuat suasana kehidupan di Desa Lemo-Lemo semakin tenang. Cahaya pelita mengintip dari celah-celah dinding dan bising kendaraan yang menabuh gendang telinga para penduduk kota tak akan terdengar sampai disini.

Badanku terlentang diatas papan untuk beristirahat melewati malam yang panjang. Meski sebagian dari teman-teman mulai mengayuh ke alam mimpi, aku masih tetap terjaga. Muncul sejuta pertanyaan : inikah rasanya hidup di pedesaan yang jauh dari keramaian? Walau ada rasa gelisah, aku tetap berusaha untuk beristirahat untuk mempersiapkan diri esok hari.

Aku bersama anak-anak di Desa Lemo-Lemo

Hari menjelang pagi, sinar matahari menyelinap di jendela dapur. Bersama keluarga Pak Said, kami mulai sibuk menyiapkan sarapan. Pagi ini kami mempunyai kesempatan untuk belajar menggunakan peralatan dapur yang tampak sederhana, salah satunya tungku yang menggunakan kayu bakar. Bagi saya, memasak dengan menggunakan kompor tradisional sangatlah berat, tetapi bagi istri Pak Said nampak mudah saja.

Istri Pak Said menggunakan tungku kayu bakar untuk memasak

Nun jauh disana, hamparan pasir putih yang terhempas oleh ombak membuatku ingin tinggal lebih lama di Desa Lemo-Lemo. Pemandangan pagi ini memberikanku pemahaman baru tentang kehidupan karena baru kali ini aku bersentuhan langsung dengan alam. Kehidupan warga di Desa Lemo-Lemo mengajarkan banyak hal tentang kesederhanaan dan ketekunan hidup yang mereka jalani meskipun sarana di pedesaan mereka belum tersentuh oleh pembangunan.

Pengalaman yang kami rasakan di Lemo-Lemo hanyalah sebuah potongan kecil dari bagian kehidupan warga desa yang utuh. Paling tidak, jika kita pahami, terdapat sejuta makna kehidupan yang sebenarnya ketika kita mampu menyatu dengan alam dan hidup dalam kesederhanaan. 

 


Anna Asriani de Sausa
atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung denganpara Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

 

Categories
101 La Galigo Featured

CITA-CITA GELAP GULITA

ada satu jalan yang panjang hampir tak bercabang

tempatku berguru ilmu baru

tempatku melepas rindu dengan pesisir yang baru

mata adalah indera paling aktif saat aku mulai bersetubuh dengan atmosfirnya

 

aku datang sebagai teh kering siap seduh

aku bimbang mencari tempat menyatu

kemudian mereka datang membawa pemanis, air panas, dan cangkir-cangkir kegembiraan

separuh malam habis terlahap wajah-wajah yang perlahan melepas beban-bebanku

 

aku berani meletakkan kata baru di kamus bahasaku

untuk mereka

jika ada kata kata yang lebih tinggi diatas bijaksana

kuartikan sebagai hal langka

 

ada keluh tentang janji rupanya

janji tak pernah tumbuh subur kecuali jagungnya

janji tak pernah merekah kecuali bibir-bibir bidadarinya

janji tak pernah bersahabat kecuali mereka yang selalu berkerabat, sangat-sangat dekat

 

sudah sekian musim

mereka lelah dan memilih diam kembali

meneruskan imaji dalam kepala tentang keterbatasan menuju kesudahan

dan hidup normal dalam anggapan

 

airmata tidak betah bersemayam lama-lama; mendesak keluar agar ikut merasa

kepada nama-nama yang sepantasnya untuk mereka

sebuah tanah begitu hidup tak disadari betapa kaya

yang seharusnya membuka mata sambil melangkah kesana

 

adakah jalan mengairi hati-hati kering yang ditunjuk? di dalam ruang sejuk

atau paling tidak lembaplah matanya

 

 

Lemolemo, 28 Februari 2015

Andi Muhammad Hikmatyar Ibrahim, dipanggil Tyar. Senang berwisata kuliner dan berpetualang sambil menulis. Telah jatuh cinta pada puisi serta prosa sejak duduk di bangku SMP dan mulai belajar secara otodidak. Penggemar hampir segala jenis musik. Penabuh drum dari salah satu band lokal Makassar. tyaribrahim.tumblr.com adalah halaman yang paling setia memeluk segala isi kepalanya