Categories
Comics Galigo Gallery

La Galigology Comic Series #3: “Kapan La Galigo Mulai Ditulis?”

Setelah sekian lama nggak ketemu dengan Meong Mpaloe dan Miko-Miko, di episode kali ini mereka ingin berbagi informasi tentang kapan La Galigo mulai dituliskan. Yuk simak penjelasan dari dua kucing legendaris ini!

to be continued…

Anggraeni Wulandari, seorang penggemar WWF, The Sims, dan Donkin Donuts. Gadis yang punya nama     beken Ren Midyardigan a.k.a. Xpica ini hobi menggambar dan main video game. Penuh bakat, Ia tak  banyak bicara dan mengekspresikan dirinya lewat gambar. Ingin tahu lebih banyak tentangnya silakan  kunjungi http://xpica.deviantart.com/

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Bugis of Sabah: A Story of Migration

This writing is based on the author interview with Mohd Safar Abdul Halim, the third generation of Bugis migrant in Sabah, Malaysia. The Bugis community are best known as sailors, fishermans, merchants and also paid warriors to fight against the pirates of the Sulu Sea by the Sultanate of Sulu. They once also known as “the most energetic and successful cultivator of coconuts” in Tawau. The strong nature of family relationship in Bugis culture has made them one of the most-closely-connected-to each other ethnic group in eastern part of Malaysia. This is the story of their preservation toward ancestor’s tradition, although separated thousand miles away from their original homeland in South Sulawesi, Indonesia.

The Bugis people started to migrate to Tawau, Sabah in 1880. They decided to sail and settle in Sabah because the region was rich of potentials such as fertile soil for farm, and also British Petroleum Company and Japanese lodging company that require a lot of labor. It is known that wherever the Bugis people took abode, the surrounding area will be profited by their creativity to open businesses. The Bugis then hold important place in the economic life of Sabah, they even created job field for the locals. The new generation of Bugis in Sabah has enjoyed the benefit of education by government, many of them are studying until university level. They even hold significant role in the state’s ministries. A lot of the Bugis people in Sabah nowadays are already mixed through marriages with local people such as Dusun, Murut, Iban, Kadazan, and others.

The Bugis who’s migrated to Sabah brought a set of adat law and traditions. The Bugis of Sabah really take a great care of their traditional values, which can be seen from the way they embraces the system of pangaderreng such as adeq, wari, siriq, rappang, and saraq. It is important for Bugis-Sabah that their well-educated children should be raised and adorned with those values. Although lately not so many Bugis generations undersand the philosophy of their traditions, they still perform it, out of respect, to their parents.

Some important cultural expressions related to daily life are still performed by Bugis of Sabah. Important traditional ceremony such as maccera tasiq and mendeq bola is still widely celebrated. This tradition is seen as a way to strengthen their identity. Moreover, these ceremonies become cultural attraction that invite people from different ethnic group in Sabah to come and enjoy the proceedings. Another cultural element that could still be traced from Bugis of Sabah is the preservation of traditional culinary. Dishes such as  burasa, burasa koa, burasa pulu, sokko, palopo, bilundra. ketupat pulut, tumbu, masak likku, tapai, beppa sawalla, bandang-bandang, bandang mallojo, barongko, baulu pecak, katiri salah. kuek bangkek, barobbo and others. Those dishes show uniqueness of Bugis culture, which is very much appreciated by the locals.

Bugis family in Sabah

Although not so many of them lasted with the ability to speak Bugis language anymore, they are still curious and longing to see long-distance relatives from Indonesia. They see their preserved culture as identity to strengthen brotherhood with the Indonesians, especially people of South Sulawesi.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Tana Toraja nan Mistik dan Menarik

Sobat Lontara tentu sudah pernah mendengar nama “Tana Toraja” sebelumnya bukan? Nah, daerah yang kental akan kebudayaan Proto-Melayunya di jantung Pulau Sulawesi ini menyimpan banyak sekali keunikan yang dapat membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Bersama Bali, Toraja menjadi ujung tombak destinasi turisme internasional kita. Mari berkenalan dengan Tana Toraja lewat tulisan ini!

Nama Toraja berasal dari “to” yang berarti orang, dan “riaja” yang berarti daratan atau gunung. Nama ini diberikan oleh orang-orang Bugis Sidenreng yang tinggal di daratan rendah untuk menyebut orang-orang di pegunungan. Ada pula versi yang mengatakan bahwa Toraja berasal dari kata “to” dan “maraya” (bangsawan). Pada tahun 2001 yang lalu, setelah melalui beragam penelitian dan seminar akhirnya UNESCO menetapkan kebudayaan masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan sebagai situs World Heritage. Alam pegunungan yang membuat suku Toraja cukup terisolasi dari dunia luar ternyata mampu meramu sebuah khazanah kebudayaan yang membuat dunia terkagum-kagum.

Barisan Tongkonan

Kebudayaan Suku Toraja yang tergolong Melayu Tua alias Proto-Melayu ini memang unik dibandingkan dengan kebudayaan suku-suku lain yang ada di sekitarnya. Konon, nenek moyang orang Toraja berasal dari Indo-Cina. Mereka berlayar ke Sulawesi antara tahun 2.500-1.500 SM. Pemukiman awal suku ini berada di daerah Bambapuang, Rura, Mengkendeq, Rantepao, Sangalla, Makale, lalu terus masuk hingga ke pelosok Sulawesi Tengah. Tondoq Lepongan Bulan Tana Matariq Allo (Negri yang bulat bagaikan bulan dan matahari) ialah sebuah nama kuno yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk menyebut negeri Toraja.

Salah satu keunikan Toraja dapat langsung kita temukan dari bentuk rumah adatnya: Tongkonan. Tongkonan merupakan manifestasi dari bentuk perahu Austronesia yang digunakan leluhur bangsa Toraja menyeberangi samudera ribuan tahun lalu. Tongkonan dibangun dengan menghadap Utara-Selatan. Utara ialah ulunna langiq atau kediaman Puang Matua, sedangkan selatan ialah arah polloqna langiq atau tempat roh-roh. Budaya Toraja tidak mengenal sistem tulisan. Oleh sebab itulah konsep sosial dan agama mereka “ditulis” pada kayu Tongkonan dalam bentuk ukiran yang mengandung simbol-simbol. Simbol-simbol ini disebut passuraq.

Di samping seni arsitektur, upacara adat kematian orang Toraja pun menarik untuk kita simak. Jika pada suku-suku lain tradisi kelahiran dan pernikahan dirayakan secara besar-besaran, maka masyarakat Toraja justru merayakan kematian secara extravaganza. Perayaan Rambu Soloq dan Rambu Tukaq telah hidup sebelum agama Kristen masuk ke Toraja, bahkan hingga zaman modern. Kedua perayaan tersebut merupakan bagian dari Aluq To Dolo, kepercayaan tradisional Toraja yang menggambarkan keseimbangan antara manusia dan alam. Di dalam Aluq To Dolo, dewa tertinggi disebut dengan nama Puang Matua. Istilah ini kemudian diadopsi oleh gereja untuk menyebut nama Tuhan Allah. Masyarakat Toraja memang mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katolik.

Perayaan Lovely December 2008 di Rantepao, kota pariwisata Toraja

Masih tentang perayaan kematian, di Toraja terdapat kuburan batu karang bernama Londa, letaknya di desa Tikuna Malenong sekitar 5 km dari Rantepao. Di kuburan batu tersebut diletakkan tau-tau atau boneka kayu yang bentuknya disesuaikan dengan perawakan orang yang telah meninggal. Pada setiap upacara kematian, kerbau memiliki peran yang cukup signifikan. Kerbau dihargai dengan sangat tinggi oleh masyarakat Toraja, apalagi kerbau jenis albino (tedong bonga). Pengorbanan kerbau pada ritual adat di Toraja merupakan simbol kepasrahan sekaligus ketulusan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bagaimana hubungan antara Toraja dengan suku-suku lainnya? Bahasa Toraja memiliki banyak sekali kesamaan dengan bahasa tetangga mereka, orang Massenrenpulu (Enrekang, Luwu). Begitu pula dengan Bahasa Bugis yang ternyata memiliki lebih banyak kesamaan dengan Bahasa Toraja (45%) ketimbang dengan Bahasa Makassar (40%). Di daerah Mamasa, Sulawesi Barat, masyarakat Toraja yang disebut dengan nama Pitu Ulunna Salu telah sejak zaman dahulu mengingat perjanjian adat dengan suku Mandar sebagai satu kesatuan.

Atraksi menarik lainnya dari Toraja yang dapat teman-teman nikmati ketika berkunjung ke sana ialah Tari Pagelluq. Tari Pagelluq dari Toraja merupakan tari syukur panen. Dahulu penarinya adalah gadis-gadis bangsawan. Gerakan tangan penarinya yang lincah meliuk-liuk ke atas namun kaki tidak boleh terangkat menggambarkan; orang Toraja boleh bebas melihat dunia kemana pun mereka pergi, tetapi kaki harus terpancang  kuat di tanah (ingat selalu akan tradisinya). Terbukti, hari ini Kampung Rama di kota Makassar terkenal sebagai tempat kediaman orang Toraja perantauan. Meskipun telah hijrah dari kampung halamannya, teman-teman masih dapat menyaksikan sebuah atap Tongkonan besar yang menghiasi gerbang masuk menuju Kampung Rama dengan megahnya. Simbol bahwa identitas mereka sebagai manusia Toraja takkan pernah tergantikan.