Menara Siger di Bandar Lampung. Sumber: indonesiacountry.com
Provinsi yang terletak di ujung paling selatan pulau Sumatera ini bak mutiara yang terpendam. Keindahan alam serta kekayaan budaya Lampung kurang terekspos di panggung budaya nasional. Simak cerita singkat Astri Agustina dalam lawatan singkatnya ke provinsi multikultural ini untuk pertama kali.
Meskipun terlahir di tengah keluarga Jawa (Ayah dari Probolinggo dan Ibu dari Surakarta) -menghabiskan sebagian besar masa hidup saya berada di Pulau Jawa, dan bangga terhadap kebudayaannya- saya memiliki ketertarikan dan keingintahuan yang tinggi terhadap atribut-atribut budaya dan sejarah, baik di wilayah dalam maupun luar negeri Saya sangat senang berkeliling mengunjungi berbagai wilayah, terutama daerah-daerah di Nusantara. Selain menghabiskan masa kecil di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saat ini saya sering mengadakan perjalanan kerja ke berbagai tempat. Di tengah-tengah keterkejutan kita akan buruknya taraf hidup gajah di habitatnya yang selama ini kita banggakan, Way Kambas, kali ini saya akan berbagi sedikit mengenai pengalaman saya ketika mengunjungi Lampung.
Kesan pertama yang saya dapatkan ketika beberapa bulan yang lalu mendarat di Bandar Udara Radin Inten Lampung adalah betapa panasnya Lampung. Udara panas terik khas wilayah laut layaknya Surabaya dan Jogjakarta. Tetapi, begitu memasuki kota Bandar Lampung, saya mengamati ada yang sangat menarik dari atap gedung-gedung di Lampung. Di ujung atap bangunan-bangun di kota Bandar Lampung, baik itu kantor pemerintahan, rumah penduduk, sampai ke rumah makan-rumah makan terdapat hiasan yang berbentuk seperti mahkota atau hiasan kepala mempelai wanita. Yang menarik dari hiasan tersebut, selain keberadaannya yang dimana-mana, adalah bentuk yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Berbentuk seperti bunga teratai yang memiliki lima kelopak berujung lincip dengan kelopak tengah yang berperan sebagai poros berbentuk paling besar seperti segitiga.
Tugu Siger di Bandar Lampung. Sumber: Wikipedia
Berangkat dari ketertarikan ini, maka saya pun bertanya ke tuan rumah, teman-teman saya yang berada di Lampung. Selain bahwa benda berbentuk mahkota itu disebut sebagai Siger, nyaris tidak ada yang mengetahui informasi lebih mendalam mengenai fungsi maupun makna dari keberadaan benda tersebut. Rupanya, menurut dugaan salah seorang teman, pengwajiban Pemerintah Lampung kepada warganya untuk memasang hiasan tersebut merupakan salah satu bagian dari kampanye budaya yang sedang digalakkan pemerintah. Pemerintah Lampung merasa bahwa generasi muda di sana nyaris kehilangan identitasnya. Sangat sedikit generasi muda yang menggunakan atau bahkan sekedar mengerti Bahasa Lampung asli yang dekat dengan Bahasa Melayu. Walaupun saya kemudian menjadi sedikit kecewa setelah mengetahui bahwa hiasan tersebut diwajibkan, bukanlah kesadaran pribadi warga Lampung, tetapi saya juga memahami apabila terkadang memang kesadaran harus dibina secara top-down, diawali dengan kebijakan pemerintah baru kemudian menjadi kesadaran individu. Lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?
Akibat rasa ingin tahu saya belum juga terpenuhi, maka kemudian saya melakukan riset online sederhana mengenai apa “Siger” ini. Sekali lagi, saya mendapatkan kekecewaan, mendapati ternyata Pemerintah Lampung yang katanya sedang menggalakkan kampanye pelestarian budaya, ternyata tidak menyediakan informasi yang memadai terkait “Siger” ini di laman resmi mereka. Informasi yang lengkap malah saya dapatkan dari blog-blog pribadi mereka yang ternyata merasakan ketertarikan yang sama ketika mengunjungi Lampung.
Hasil menyarikan berbagai blog pribadi tersebut, usut punya usut, rupanya Siger ini merupakan hiasan kepala mempelai wanita dalam pernikahan adat Lampung. Pemilihan Siger sebagai lambang Provinsi Lampung menjadi semakin menarik bagi saya karena Siger cenderung merepresentasikan feminitas. Lampung merupakan satu dari sedikit –jika bukan satu-satunya, karna saya tidak berani memberikan klaim atas hal yang belum saya teliti secara seksama- wilayah di Indonesia yang memilih “benda feminim” sebagai lambang wilayahnya. Bahkan, Minangkabau yang terkenal dengan budaya matrilinealnya pun lebih akrab dengan rencong yang cenderung bersifat maskulin (karena merupakan senjata-red).
Saya sungguh ingin memahami lebih dalam latar belakang historis maupun sosio-kultural dari pemilihan Siger sebagai lambang khas wilayah Lampung. Sayangnya, ketersediaan akses bagi saya terhadap referensi-referensi lengkap yang terpercaya masih sangat terbatas. Seandainya ada pembaca yang sudi menambah terbatasnya pengetahuan saya, bahkan mengkritisi sekalipun, saya tentu akan sangat senang.
Fight Cultural Illiteracy!
Astri Agustina Sidik, mahasiswi tahun akhir jurusan Hubungan Internasional UGM ini telah memiliki ketertarikan terhadap sejarah sejak mendapatkan pelajaran sejarah di SD. Biasa mengisi waktu luang dengan menonton film, jalan-jalan, berbelanja dan menambah pengetahuan tentang kultural-historis (membaca maupun diskusi). Aktif menjadi sukarelawan di Yayasan Bina Antarbudaya -Malang dan Yogyakarta- serta freelance pelatih maupun juri debat parlementer.
Amish community, located in Lancaster, was, umm, unbelievable. I can’t promise you that I will be able to project how cute the people are, or how beautiful the area is, through words, probably not even through pictures. Amish people were originally come from Zurich, Switzerland. Their story began with a man named Simons, who had a little different opinion with Lutheran, Simon thought that baptizing should be optional, so that the people would be more absorbing the meaning of baptizing. Simon and his fellow made a new sect called Menonite.
Among this Menonite, however, there were other disagreements. A guy named Jacob Amman thought that the Menonite followers were sway with worldliness very fast. He wanted to return the faith of the people to the old time, when there were not so much distractions. He wanted the people to stay plain, to translate the bible literally, to stay pure. Surprisingly, the Amish moved to America with the same reasons like many other religious believers, to run away from prosecution. Because of its different lifestyle, there were many Amish priests who were jailed or even executed.
At first I thought it will be like Baduy people in West Java, but turned out that the Amish are more flexible. They live in a huge huge huge farming area. Unlike Baduy, they aren’t isolate themselves. They live among the people. They can have their houses side by side with other people’s. They go to the store, selling things to people and buying from them. They mingle with other people. The kids go to school, but only for 8 years. They learn basic things such as english, math, history, geography and so on. But they will not go to higher education because they avoid the children knowing too much about the other world that it makes them leaving the Amish culture. Amish people refused to get the picture taken. Stacy and Debra had different thoughts about it. Debra said that the reason they don’t want any picture is because the sense of worldliness, but Stacy said that the Amish believe their soul would be taken away along with the pictures. But during our trip in the area, we are allowed to take pictures of their animals, their buggy horse, their houses et cetera, just not the people.
We are still a little bit confused with their technology restrictions though. Because they are not allowed to have telephones or televisions. Basically their houses arent hooked with electricity wire. But then, at one of the family’s house that we visited and we had our dinner with. The family served us with fresh bread and peanut butter, meat ball, chicken and mash potatoes, brownies and ice cream. And these meals couldnt be prepared or preserved without the helped of electricity. The meatball and chicken for example, definitely needs microwave. While ice cream needs to be kept in the fridge.
We also saw the fridge and the microwave. These equipments are apparantly ran using the diesel generator, so they are allowed to have that kind of electricity, but not having the wire connected to their houses. Saddie Mae, the Amish lady, was also telling us that she had a friend driving her to the market sometime. She is allowed to ride in the car, but not to drive it. I asked our tour guide, Jane, what was the border of what to do and not do, and she said that as long as the priest said that it is okay, then they are not in troubles. It is still confusing for me. But I guess, what is obvious in the middle of the paradox is the Amish’s detachment from the worldliness.
They might use some modern equipments, but they CAN live without it. Saddie Mae wouldnt mind if her friend cant give her a ride that day, she’ll still serve us meals withour her microwave. Amish community are basically surrounded by the modern world, you can find cafe and convinient stores nearby, and they meet tourists everyday-tourists wear fashionable clothes and show their camera and cellphones, but the Amish remain with their salad dress, strap pants, scooter and buggy horses. They are not tempted and rather to continue their simple and modest life. As Stacy said, their world might be small, but they want it that way.
We also went to the Islamic centre. I wasnt very excited at first, because we had so much about Islam since we started in Indonesia and in Michigan. But the guy we met, Pak Rizwan, was great and I liked him a lot. He came from Bahrain and just like most of the moslem who came from a country with moslem majority, he took his religion for granted. He was just like another teenager too, he was in the band and played Pink Floyd to Metalicca. And then he came to United States.
At first he said that he was pretty shy with his identity and rather not to show people about it, since he was worried that he will be treated differently. But then he decided that he wanted to learn about Islam from the very basis, and so he did, and he found that Islam is a very beautiful religion and now he dedicated himslef to be faithful. One of the very interesting parts that he mentioned was about the gender equality in Islam. What he emphasized was basically fact that men and women are created differently.
Man is physically stronger, while woman is weaker and more sensitive. But it doesnt mean that they are not equal. Each have different roles, different responsibilities and different previllages. In the Qur’an, man is responsible as the provider of the household. They have to provide foods, money, clothings and so on to her wife, her children, or even her other family members. It doesnt mean that women cant work. They can. In fact, if the women works and gets paycheck, the money is her absolute right and she doesnt need to share with anyone else including her husband. Meanwhile in husband’s money, there are included the wife’s right. This is one of the previlege that is own by women, and that to some extent, man has more responsibility. Islam does not put women as second class citizens.
So why is that we found many violations toward womens rights in Islamic country, using religious teaching as a shield? All I know is this is a major degradation in Moslem’s life. In the life of Prophet Mohammad, even in the era of 4 khalifah after he passed away, women enjoyed the chance to do what men did. They were actively involved in public. Siti Khadijah, Prophet’s wife, was a very succesful and rich merchant. In the leadership of Umar bin Khatab, a government officer who was responsible for the market conditioning also led by a women.
But after the Khalifah of Ali bin Abi Thalib, women started to be kept in the house. Some said that at the time, it was a sign of social prestige. The less likely your women to be seen in public, the more prestigious you are. Besides this odd cultural shifting, I also see that the discrimination toward women also happen because of the misconception about responsibility.
Men do have a big responsibilty to his wife and his family, it means that he needs to protect her and them and make sure that they are happy. This responsibility has absolutely different meaning with overpowering. Most people, not neccesary men, identify responsibility with previlages. Take our parliament member, for example, they feel the great importance of their role toward Indonesian society, that they used it as a vehicle to overpnd to take advantage. Greater responsibility does not justify you for being mean to people that you are responsible for. Responsibility means commitment.
Our discussion with Rizwan had to stop because we heard the adzan started to call people for prayer. I felt very touched. I went to pray. Cindhi was very happy and she hoped that I can continue to commit.
Anggita Paramesti, mahasiswi FISIPOL UGM yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS-YES ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Pada tahun 2011 Ia berangkat ke Mindanao, Filipina Selatan untuk mengikuti Silsilah Summer Course on Moslem-Christian Dialogue bersama komunitas lokal Zamboanga. Ketertarikannya pada isu-isu global seperti dialog antaragama, hak-hak minoritas, feminisme dan budaya membuat anak kedua dari dua bersaudara ini kritis terhadap kondisi di sekitarnya. Saat ini Gita bekerja sebagai Interpreter dan guru Bahasa Indonesia untuk pelajar asing di Realia Language and Cultural Center, Yogyakarta.
Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna Salu atau yang biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Lontara Pattodioloang Mandar
Berbeda dengan sepupu-sepupunya seperti Bugis-Makassar dan Toraja, informasi seputar kebudayaan Mandar di internet maupun lewat buku-buku amatlah terbatas. Saya sendiri yang berdarah setengah Mandar dan seumur-umur hidup di perantauan mengetahui Mandar hanya dari cerita-cerita singkat ayah saya saja. Menyedihkannya, kosakata Bahasa Inggris dan Spanyol saya jauh lebih kaya daripada pemahaman akan Bahasa Mandar. Yang melekat di kepala saya tentang Mandar ialah jejeran pohon kelapa di kebun keluarga di Polewali, bau peappi, perahu Sandeq, dan ilmu hitam.
Suatu hari di bulan April yang kadang basah kadang cerah, saya menikmati liburan semester dengan pulang ke Makassar dan mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam pasca renovasi. Setelah puas berkeliling, saya dan adik Rafika Ramli memutuskan untuk iseng ke perpustakaan di pojok belakang benteng ini. Perpustakaannya bagus, sayang kurang terawat dan koleksi bukunya pun tidak begitu banyak. Ada meja tua Belanda yang masih kuat serta buku-buku sejarah dan budaya yang tergolong langka di sana. Rak-rak bukunya di tata mengelilingi ruangan. Mata saya yang sedari tadi menelusuri judul-judul buku di rak tua nan berdebu itu seketika membelalak ketika membaca “LONTARA PATTODILOANG DI MANDAR”.
Terus terang, buat saya sebagai seorang pecinta budaya dan pendalam La Galigo, hal-hal yang berbau lontar itu fascinating. Apalagi ini lontar yang berasal dari Mandar, daerah dimana ekspresi budayanya kurang terekspos di panggung nasional. Setelah memutuskan untuk memfoto-kopi naskahnya, saya pun pulang. Salinan naskah tersebut ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Drs. M. T. Azis Syah pada masa almarhum Prof. DR. H. A. Amiruddin masih menjabat sebagai gubernur. Naskah asli lontaraq ini ditemukan pertama kali pada tahun 1982 dalam keadaan menyedihkan karena kumal dan robek-robek sehingga banyak bagiannya yang hilang. Bentuknya bergulung, dan apabila dibentangkan panjangnya bisa sampai 30 meter! Almarhum Drs. Muhammad Salim (penerjemah dua naskah pertama La Galigo di Leiden) merupakan tokoh penting yang memiliki andil dalam menyelamatkan naskah ini. Beliau membantu memperbaiki dan mengopi naskahnya sedemikian rupa sehingga bentuknya yang tadi memanjang dapat menjadi lembaran dan diberi nomer halaman.
Lontaraq ini kemudian dilengkapi bagian-bagiannya yang hilang oleh Bapak Muhammad Salim dengan menggunakan lontaraq-lontaraq sejenis yang diolah dari kepingan lontar yang juga mulai hancur. Wah, tragis sekali ya kondisi harta karun budaya di negara kita. Dengan sabar dan telaten Bapak Muhammad Salim menyusun kembali lontaraq ini sehingga dapat dibaca (meskipun pada beberapa bagian terdapat sobekan-sobekan yang hilang dan sudah tidak dapat ditolong lagi). Usia naskah ini telah berumur lebih dari 200 tahun. Ditulis pada abad ke-18 Masehi, sebagaimana tertera dalam halaman 71 naskah: ri 26 Nopember 1800, ri 15 September 1801 dan seterusnya. Bahan tulisannya berasal dari naskah lontaraq dan tradisi lisan yang berumur jauh lebih tua lagi. Naskah ini berbahasa Mandar Pantai dan Pegunungan kuno dengan campuran Bahasa Bugis dan Makassar. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan naskah ini ialah ditemukannya berlembar-lembar halaman berisi ilustrasi yang –bagi saya– untuk ukuran zaman itu tergolong rapi, cantik, dan luarbiasa unik! Ilustrasi-ilustrasi ini tidak hanya terletak di pinggiran atau sela-sela naskah, namun menghiasi kertas dengan penuh. Ilustrasi-ilustrasinya berhubungan dengan cerita yang dituliskan di halaman sebelum atau sesudahnya.
Ruang Perpustakaan Benteng Fort Rotterdam, Makassar
Mitos Todipanurung di Mandar
Ketika membaca foto-kopi naskah ini, khususnya pada bagian asal-muasal penghuni Mandar Pesisir dan Kondosapata, saya menemukan banyak hal menarik yang mengingatkan saya akan epos besar La Galigo. Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang Tomanurung (lontar ini menggunakan terminologi “Todipanurung”, namun dalam terjemahan istilah yang dipakai Bapak Azis ialah Tomanurung) atau orang yang turun dari langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. Tomanurung ini ada dua orang; To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan kemudian melahirkan seorang putra bernama To Banua Pong (“Orang Kampung Tua”). To Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan sepupu sekalinya (?) dan menurunkan lima orang anak.
Kelima anak To Banua Pong ini antara lain; I Landoq Beluaq sebagai anak perempuan sulung, I Laso Keppang, I Landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq secara harfiah berarti “Si Rambut Panjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelai rambutnya yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel si Putri Berambut Panjang dari Jerman, ya. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, Ia justru dibebaskan untuk menikah dengan sang pangeran lalu pergi menuju ke selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Paqdroang tinggal di Bittuang.
Paqdorang memperisterikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir empat bersaudara: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai di situ, sehingga di situlah perahu Pongkapadang berlabuh. Dalam versi Kondosapata, Pongkapadang mengembara hingga tiba di pesisir pantai Ulu Manda’, Mamuju yg kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut Ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu Ia angkat sebagai isteri dan Ia beri nama Torije’ne’ (Bahasa Makassar: to=manusia, ri=dari, je’ne’=air). Torije’ne’ ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya dengan Torije’ne’, Pongkapadang mendapat tujuh orang anak dan sebelas orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata; Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.
Putri-Putri Bangsawan Mandar dalam pakaian Tari Pattuduq. Sumber: Wikipedia
Todipanurung di Mandar dan Tomanurung di Bugis
Kisah di dalam Lontar Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsur yang berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia di bumi diawali oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi (lautan).
Karakter Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang keluar dari bambu”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Tomanurung dan Totompoq dalam La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambu betung, sehingga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bambu). We Nyiliq Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan To TompoE ri Busa Empong alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautan. Perbedaan antara kedua mitos ini terletak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo tokoh laki-laki ialah Ia yang menetas dari bambu betung, maka di dalam versi Lontara Pattodioloang Ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buih ialah seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang Ia justru berjenis kelamin laki-laki. Perlu dicatat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.
Sebagian sumber sejarah Mandar, sebagaimana yang disarikan oleh Drs. Anwar Sewang, konon menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara yang dimaksud di sini bisa berarti putra Batara Lattuq dari perempuan lain selain permaisurinya, We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai karakter penamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bambu betung” dan “manusia yang muncul dari busa-busa di lautan” inilah generasi maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sistem-sistem nilai.
Hal yang menarik dari mitos Todipanurung ialah; pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode sianre bale tauwwe, bermunculan banyak Tomanurung di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada Tomanurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu; To Kombong di Wura dan To Bisse di Tallang. Tomanurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar biasa lah yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti Pongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia Todilaling, Tomepayung, dan lain sebagainya.
Siti KDI dalam balutan Baju Pokkoq, busana khas Mandar
Sebenarnya ada sosok Tomanurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri Tonisesse di Tingalor. Akan tetapi, Ia tidak dapat digolongkan ke dalam kategori Tomanurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. Tonisesse di Tingalor merupakan putri seorang dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih menari untuk upacara kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa Mandar: Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam perut ikan.
Ketika dibelah, Ia menemukan sang putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias yang berasal dari sang putri sebagai pusaka. Sang putri di bawa kepada raja Pamboang lalu dinikahkan dengan putra mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, Tonisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari Ia tengah bernyanyi untuk bayinya, sang suami datang dan meminta sang putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, sang suami tetap memaksa. Dengan berat hati, Tonisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah Ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil di atap rumah mereka membuka dan tiba-tiba Tonisesse di Tingalor melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis Ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan Tonisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.
Kesamaan budaya antara Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif lokal, serta adat-istiadat. Perbedaan yang ada antara keempat etnis serumpun ini janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi aset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Saya bangga sebagai seorang putra daerah dengan campuran darah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, bahkan Jawa dan Melayu. Karena dengan mengakui, menjaga serta mengkaji semuanya tanpa membeda-bedakan, saya dapat menjadi orang Indonesia sesungguhnya.
Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut sama mendaratkan)!