Categories
Featured Galigoku

Hidup Dari dan Untuk Budaya

Kemarin, setelah sekian lama tinggal di Bandung, dalam  suatu kesempatan yang sangat random dalam hidup, akhirnya saya berhasil juga mengunjungi dua tempat yang sudah sangat sejak lama ingin saya kunjungi  namun belum pernah kesampaian : Museum Geologi dan Saung Aklung Udjo.

Pertunjukan Wayang Golek

Walau kesannya katrok, saya tidak peduli. Bagaimana pun, saya cukup berbahagia mengunjungi Museum ketimbang bersenang-senang di Pusat Perbelanjaan. Cuman, mungkin karena terlalu banyak orang, saya jadi kurang menikmati, selain karena tugas utama saya adalah untuk mendokumentasikan kegiatan. Tetapi saat kami tiba di Angklung Udjo, semuanya berubah. Ditemani sebatang es lilin, awalnya saya hanya melihat-lihat suvenir yang tersedia di shop sebelum kami memasuki area panggung utama. Banyak yang unik-unik, tapi harganya agak mahal *bagi orang-orang yang pernah merasakan shopping experience di Jogja. Ternyata para mahasiswa asing yang kami temani juga seiya-sekata.

Setelah dibagikan sebuah kalung angklung kecil sebagai tanda telah membeli tiket masuk dan sebuah brosur mini yang bisa digunakan untuk mengambil konsumsi sebelum pertunjukan dimulai, kami duduk di sebuah tribun sederhana yang disusun membentuk huruf U mengitari panggung. Dibuka oleh dua orang MC cantik, kami disuguhi instrumen-instrumen ringan dari alat musik tradisional Sunda seperti gamelan, gong dan lain sebagainya. Saya membayangkan ada tempat seperti ini di setiap daerah di Indonesia. Sumatera hingga Papua, bukankah negara kita begitu kaya akan budaya? Saya jadi iri, kenapa Makassar tidak memiliki arena pertunjukan tradisional seperti ini.

Singkat kata, hingga beberapa jam kedepan, indera kami dimanjakan oleh kemampuan para pengisi acara yang atraktif dan memiliki segudang skill. Dari yang paling ingusan, yang usianya masih 2 tahun, hingga yang sudah dewasa. Kami tertawa melihat aksi para seniman-seniman cilik ini. Walau masih kecil mereka tak bisa dipandang sebelah mata.

Setelah tiga pertunjukan, muncul sosok yang saya nanti-nantikan. Kang Daeng Udjo. Perawakannya kecil, tapi saya rasa karakternya dan namanya telah memenuhi harapan para penonton. Siapa yang tak kenal, penerus Kang Udjo, maestro Angklung yang telah mengangkat alat musik khas Sunda ini mendunia. Daeng Udjo pun telah menggemakan nyaring bambu itu di Amerika, melahirkan rekornya sendiri dalam memimpin sekitar 5000 orang agar bermain angklung secara massal. Tahun depan, katanya, akan bermain di Cina, memecahkan lagi rekor untuk kedua kalinya. Subahanallah.

Saya kini tahu, bagaimana orang-orang hebat ini dikenal : Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, Butet Manurung, Daeng Udjo. Bukan penampilan fisik yang mereka bawa, tapi sesuatu yang maha penting yang terbentuk di kepala mereka. Tekad seteguh gunung, mimpi setinggi langit di angkasa. Caranya pun berbeda-beda, namun masing-masing dari mereka telah menggoreskan sejarah, khususnya bagi bangsa Indonesia. Kita bangga memiliki mereka, tapi bukan berarti garis itu putus hanya sampai di sekedar bangga saja. Harus ada tunas-tunas sejarah baru, baik dalam bidang budaya, kemanusiaan, agama, seni kreatif, apapun itu!

Kang Daeng Udjo

Sekali lagi saya iri, sekaligus senang. Agak sesak, kapan anak muda Indonesia memenuhi bangku penonton di panggung pertunjukkan budaya yang apik seperti ini. Seperti Saung Angklung Udjo dan orang-orang yang bergelut di dalamnya. Daeng Udjo dan para puteranya yang semangat melestarikan kearifan lokal dalam seni bermusik. Minggu depan giliran Jerman negeri yang akan mereka sambangi.

Hidup dari dan untuk budaya. Kuru sumangeq!

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Selayar II – Pulau Warisan La Galigo

Selama ini banyak yang bilang kalau tokoh-tokoh semacam Sawerigading, Batara Guru maupun We Cudai hanyalah khayalan  yang hidup dalam mitos La Galigo. Adapula yang benar-benar yakin akan keberadaan mereka, bahkan sampai-sampai merunut silsilah mereka hingga ke nama-nama yang disebutkan barusan. Salah satu penentu apakah seseorang benar-benar pernah hidup di muka bumi ini ialah keberadaan makamnya. Nah, kali ini ada cerita menarik dari Pulau Selayar mengenai makam We Tenri Dio, putri Sawerigading. Wah, ketika daerah lain di nusantara tidak memiliki situs makam yang berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam La Galigo, Selayar nun jauh di ujung selatan jazirah Sulawesi justru menyingkap probabilitas eksistensi salah satu karakter dari epos besar ini. Penasaran? Yuk, kita simak liputannya!

 

Flyer di atas merupakan hasil reportase Mahasiswa KKN-PPM UGM di Kepulauan Selayar Angkatan Pertama (2012) demi kepentingan promosi wisata dan pelestarian situs-situs sejarah.

Wahyu Putri Kartikasari, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bagian Hukum Pidana. Saat ini tengah  berjuang merampungkan studinya. Gadis kelahiran Magelang yang memiliki hobi minum kopi, makan es krim dan jalan- jalan ini juga merupakan seorang pecinta pantai dan pecinta kucing.

Yoshua Rendra, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Pemuda Bantul kelahiran 1991 ini pernah  menghabiskan masa kecilnya di Papua. Tidak banyak bicara, Yoshua senang jalan-jalan, makan dan nonton film.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Iluminasi Naskah Kuno: Ilustrasi yang Bercerita di dalam Naskah

Sembilan dari sepuluh orang yang ditanya tentang naskah kuno pasti akan langsung membayangkan kertas atau daun lontar berwarna kecoklatan dengan huruf purba yang meliuk-liuk hampir tak terbaca lagi. Tidak banyak yang tahu bahwa pujangga-pujangga maupun penyalin naskah-naskah kuno pada zaman dahulu tidak sekedar menorehkan tinta atau mengukir kalimat di atas kertas semata. Ada banyak naskah-naskah kuno beriluminasi yang dapat membuat kita tercengang atas keindahan seni hias yang penuh estetika di nusantara ini.

Apa sih iluminasi itu?

Menurut Mu’jizah dalam buku Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, iluminasi ialah ”istilah khusus dalam ilmu pernaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah”. Dengan kata lain, simpelnya naskah-naskah atau surat-surat beriluminasi dapat juga diartikan sebagai ‘naskah-naskah atau surat-surat bergambar’. Lalu, apa yang membuat naskah beriluminasi ini menarik? Sekarang coba deh perhatikan contoh naskah beriluminasi ini. Foto-foto berikut penulis ambil dari Simposium Internasional XIV Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada bulan lalu:

Menarik bukan? Naskah-naskah kuno tersebut bukan sekedar tulisan yang berisi hikayat, kronik, babad, fabel, atau petuah-petuah belaka. Pembuat maupun penyalin naskah ini paham betul dengan daya tarik gambar dan warna pada naskahnya, sehingga pada saat yang bersamaan naskah tersebut dapat diramu sebagai mahakarya sastra dan seni hias. Nah, uniknya lagi, iluminasi-iluminasi ini tidak hanya muncul pada naskah-naskah kuno saja. Kitab-kitab suci seperti Al-Quran dan surat-surat resmi kerajaan pun juga dihias sedemikian rupa untuk menunjukkan kebesaran serta keindahan obyek tulisannya. Tidak heran jika nusantara pernah mencetak pakar-pakar iluminasi pada masa kerajaan-kerajaan Islam klasik.

Iluminasi-iluminasi yang tertera pada naskah-naskah maupun surat-surat tersebut bukannya hiasan dengan warna-warni yang sedap dipandang mata belaka lho. Setiap pola yang tercipta memiliki maknanya tersendiri. Bahkan dari mana naskah kuno itu berasal juga dapat di-trace berdasarkan tipe atau ciri iluminasi yang dibubuhkan oleh penulisnya. Umumnya, setiap daerah memiliki ragam hiasnya masing-masing. Berikut ini contoh-contohnya, diambil dari http://quran-nusantara.blogspot.com:

Kitab Suci Alquran dengan gaya iluminasi Aceh
Quran kuno dari Singaraja, Bali

Wah, luar biasa ya nenek moyang bangsa ini! Tidak hanya memuarakan kearifan lokal atau menulis ayat-ayat suci di atas media tulis, mereka juga telah mengembangkan teknologi hias yang begitu indah! Uniknya lagi, motif-motif yang membingkai naskah kuno ini ternyata bukan sekedar ornamen biasa lho. Nenek moyang kita adalah orang-orang yang amat filosofis dan mementingkan makna di atas segalanya. Setiap lekuk atau pola pasti menyimpan arti. Hal ini nampak pada  manuskrip dari Minangkabau. Menurut penelitian yang diadakan oleh Universitas Andalas, hiasan matahari pada manuskrip Minangkabau umumnya merupakan simbol Tuhan dan bulan merupakan simbol Nur (cahaya) Nabi Muhammad. Iluminasi burung merupakan simbolisasi dari roh manusia, Pohon Sijratul Muntaha sebagai sumber regenerasi kehidupan, dan bingkai pintu sebagai simbol perhubungan atau komunikasi. Iluminasi naskah kuno ternyata juga menyampaikan cerita kepada pembacanya lho!

Penasaran dengan iluminasi naskah kuno? Tertarik ingin lebih banyak mengumpulkan informasi terkait peninggalan sejarah yang satu ini? Wajib! Sebagai generasi penerus bangsa, kita patut memberikan perhatian khusus atas kelestarian naskah-naskah kuno leluhur kita. Banyaknya naskah kuno yang rusak, hilang, tidak terawat di museum, hingga dijual ke pihak asing membuat bangsa kita kehilangan tidak benda peninggalan sejarah, namun juga informasi berharga yang tertera di dalamnya. Jangan sampai kita menjadi generasi yang kehilangan identitas karena kehilangan rekaman kearifan lokal dalam aksara kuno yang diwariskan oleh nenek moyang.

Peduli naskah kuno, peduli kelangsungan bangsa!