Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

La Galigo, The Lord of The Rings-nya Indonesia

Demam film-film kolosal-fantasi sekelas The Lord of The Rings trilogi ternyata belum usai. Setelah sukses dengan tiga film sebelumnya,  sutradara Peter Jackson tidak kekeringan ide. Ia segera mengambil buku karangan J.R. Tolkien lainnya –The Hobbit– untuk digarap. Desember lalu, dunia dihebohkan sekali lagi oleh para Tolkien-mania dengan kemunculan Bilbo Baggins dalam petualangan besarnya menolong bangsa kurcaci merebut kembali kampung halaman dari tangan si naga jahat. Petualangan Bilbo Baggins inilah yang konon melatari lahirnya epik besar Frodo Baggins, sang keponakan dalam The Lord of The Rings Series.

Sebagai orang Indonesia kita seharusnya bangga lho karena jauh sebelum Tolkien kepikiran untuk membuat kisah kolosal macam The Silmarillion-The Hobbit-The Lord of The Rings, nenek moyang kita udah duluan menciptakan epos besar macam La Galigo yang ceritanya nggak kalah fantastis. Efek-efek luarbiasa seperti mahluk-mahluk gaib, senjata-senjata hebat, petualangan menempuh bentang alam yang berbahaya, serta jalinan konflik yang saling menghubungkan antara karakter satu dengan yang lainnya pun terdapat dalam epos La Galigo. Nggak percaya? Mari simak tiga persamaan antara kisah fantasi terbaik sepanjang masa The Lord of The Rings dengan La Galigo, epos adiluhung leluhur bangsa yang telah hidup selama ratusan tahun berikut ini!

Middle Earth v. Alelino/Alekawa

Kosmologi The Lord of The Rings (LOTR) mengenal dunia tempat hidup bangsa manusia ini sebagai Middle Earth alias Dunia Tengah. Meskipun pada trilogi bukunya tidak pernah disebut-sebut bagaimanakah struktur alam semesta di dalam benak Tolkien, akan tetapi berdasarkan buku The Silmarillion (yang memuat kisah penciptaan Dunia Tengah) kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dunia LOTR sejatinya terdiri atas tiga tingkatan: Dunia Iluvatar (Sang Pencipta) yang berada jauh di luar batas-batas yang diketahui oleh bangsa elf dan manusia, Middle Earth, serta Underworld alias Dunia Bawah. Dunia Tengah selain dihuni oleh bangsa manusia juga dihuni oleh kaum elf (keturunan peri yang turun dari langit), kurcaci, hobbit (manusia kerdil), naga, dan banyak mahluk hidup fantasi lainnya. Bentang alam Dunia Tengah yang kita ketahui dari LOTR bentuknya amat sangat mirip dengan daratan Eropa hari ini. Yang demikian itu disebabkan karena Tolkien sendiri yang mengatakan bahwa Dunia Tengah adalah Eropa, meskipun Ia tidak mengikuti keseluruhan fitur-fitur Eropa modern (seperti menghilangkan bentuk Inggris dari Lautan Atlantik). Gondor kurang lebih terletak di Italia modern sekarang ini sedangkan Hobbiton, kota asal Bilbo dan Frodo Baggins, berada di dekat Oxford.

Peta Middle Earth versi Tolkien

Bagaimana halnya dengan La Galigo? Sepanjang episode-episodenya yang menegangkan, kita diberi insight bahwa orang Bugis kuno menganut konsep tiga lapis dunia dalam kosmologinya. Dunia menurut La Galigo terdiri atas tiga lapisan yaitu Boting Langiq, Ale Kawaq/Ale Lino, dan Buri Liu/Perettiwi. Boting Langiq dan Perettiwi menjadi tempat kediaman para dewa sedangkan Ale Lino alias Dunia Tengah menjadi tempat manusia beraktifitas. Segala keadaan yang terjadi di Dunia Tengah dikontrol oleh Boting Langiq dan Buri Liu, itulah sebabnya manusia yang hidup di Dunia Tengah harus tunduk dan patuh pada tatanan yang ditentukan oleh keduanya. Jika LOTR mengambil latar di Benua Eropa, maka La Galigo sesuai dengan kondisi geografis lahirnya cerita ini mengambil latar di Kepulauan Nusantara. Jangan heran jika kebanyakan latar La Galigo berada di laut, karena memang kontur Nusantara tertutup oleh perairan luas yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Nama-nama kerajaan yang dikunjungi Sawerigading bukanlah negeri antah-berantah yang ada dalam khayalan, namun kerajaan-kerajaan seperti Maloku, Siwa, Wolio, Maccapaiq (Majapahit), Senrijawa (Sriwijaya), Wadeng (Gorontalo), dan Sunraq (Sunda) pun masih dapat kita trace jejaknya hingga hari ini.

Galadriel v. We Tenri Abeng

Galadriel bersama Frodo dan Sam

Siapakah sosok wanita keibuan, bijaksana, penuh kasih namun pada saat yang bersamaan juga memiliki kekuatan yang luarbiasa di dalam LOTR? Yup, dialah Lady Galadriel, seorang elf yang menjadi penguasa negeri Lothlorien. Galadriel telah hidup lama di Dunia Tengah. Ia turut dalam banyak pertempuran besar selama tiga zaman. Kemampuannya dalam melihat masa depan membantu Frodo dalam perjalanannya memusnahkan Cincin Utama. Galadrieal banyak menolong sesama bangsa elf, dan bahkan manusia selama kekuasaan gelap Sauron berkuasa di Dunia Tengah.

Di dalam La Galigo, kita juga mengenal seorang figur wanita yang bijaksana, penuh kasih, memiliki kekuatan nan besar. Siapakah dia? Dialah pasangan saudari kembar emas Sawergading, We Tenri Abeng putri kerajaan Ale Luwu. Terlahir sebagai seorang bissu sejak lahir, We Tenri Abeng sering mengalami trans karena “disentuh” pasangan dewatanya, Remmang ri Langiq. Meskipun hidup disembunyikan di bagian tengah istana oleh kedua orang tuanya, We Tenri Abeng dengan sabar dan tulus ikhlas menjalani itu semua, demi sang kakak. Ketika Sawerigading mengamuk dan bahkan membunuh salah seorang sesepuh di istana karena keinginannya untuk menikahi sang adik, We Tenri Abeng muncul meredakan amarah sang kakak dengan kata-kata bijak. Dengan kekuatannya, We Tenri Abeng membuat Sawerigading dapat menyaksikan hologram wajah Putri Cina I We Cudai yang muncul di kuku-kuku jarinya. Tidak hanya itu, We Tenri Abeng pun bahkan terus membantu Sawerigading selama kesusahan demi kesusahan yang menimpanya di negeri Cina, termasuk melalui kekuatan meramalnya.

Pasukan Elf v. Pasukan Remmang ri Langiq

Pasukan Elf dari Lothlorien nan gagah perkasa

Bangsa elf adalah golongan makhluk istimewa yang hidup di Dunia Tengah sejak zaman dahulu kala. Mereka diciptakan lebih dahulu serta berusia lebih panjang daripada manusia. Tubuh mereka berkembang lebih cepat jika dibandingkan dengan manusia, itulah sebabnya banyak elf yang punya kekuatan fisik serta kecepatan di atas rata-rata. Bangsa elf menyukai hal-hal yang indah seperti sastra, musik, seni pembuatan senjata dan perhiasan, serta patung. Mereka juga adalah ras pemburu yang mahir serta memiliki kedekatan psikologis dengan hutan.

Di La Galigo, pasukan elf mungkin dapat kita bandingkan dengan pasukan dewa yang turun ke muka bumi. Remmang ri Langiq adalah seorang dewa di Boting Langiq yang telah ditakdirkan untuk menjadi pasangan bissu We Tenri Abeng. Ketika Sawerigading berangkat ke negeri Cina, Remmang ri Langiq turun ke istana Ale Luwu untuk menjemput sang calon istri menuju ke langit. Remmang ri Langiq amat mencintai sang istri, terbukti setelah We Tenri Abeng tinggal di Boting Langiq mereka tidak pernah sekejap pun berpisah. Suatu ketika Sawerigading berhadapan dengan La Tenrinyiwiq di tengah laut, seorang musuh yang amat kuat dan memiliki armada kapal sebesar gunung. Pasukan Sawerigading terdesak, sehingga ia pun meminta pertolongan kepada sang adik yang berada di Boting Langiq. We Tenri Abeng dengan hati yang dipenuhi kesedihan pun meminta kepada suaminya untuk turun ke bumi dan menolong sang kakak. Remmang ri Langiq turun bersama pasukan langitnya dan dengan gagah berani mengalahkan armada Wangkang Tana milik La Tenrinyiwiq dari Malaka. Tubuh mereka yang lebih gesit serta lebih kuat daripada manusia biasa dapat mengalahkan La Tenrinyiwiq. Pasukan Remmang ri Langiq tersebut terdiri atas prajurit dewa yang disebut “pemburu”, pasukan Peresola (makhluk halus) serta To Alebborang Pula Kalie alias bakteri-bakteri tak kasad mata yang dapat menimbulkan sensasi gatal di sekujur tubuh! Wow, bayangkan aja betapa serunya bertempuran tersebut 🙂

Appangara o Oddang Mpatara/ naripatteteng pabbaranie/ ata dewata le soloqe/ mupalluru i paddengngenge/ mupajappa i le setangnge/ peresolae mupallebbangngi/ To Alebboreng Pula Kalie/ mupattujungngi salangka musuq/ paddioloe tasialonrang/ mpali sanreseng La Tenrinyiwiq.

Memerintahlah engkau Oddang Mpatara/ supaya dikerahkan semua pasukan/ hamba dewa yang turun/ majukanlah para pemburu/ jelmakanlah setan-setan/ peresola, sebarkanlah/ To Alebborang Pula Kalie/ kau tebarkan tepat pada bahu musuh/ yang di depan kita, bertaruh/ dengan La Tenrinyiwiq

Demikian tadi tiga keistimewaan yang dimiliki oleh La Galigo dan karya fantasi yang paling dikenang sepanjang zaman, LOTR. Sebenarnya masih banyak lagi unsur-unsur fantasi menarik yang ada di La Galigo dan terdapat juga di LOTR seperti misalnya referensi terhadap Bahasa Sindarin (bahasa bangsa elf kelas tinggi yang diciptakan oleh Tolkien sendiri) dengan Bahasa Torilangiq Bissu (bahasa para dewa di langit yang hanya diketahui golongan bissu), keistimewaan senjata-senjata gaib yang ada di kedua cerita, serta mitos mengenai pohon pusaka bernama Welenrenge serta pohon Silmarillion dalam LOTR. Yang jelas, La Galigo oke banget deh Sobat Lontara, nggak kalah keren dengan LOTR! Malah yang membuat La Galigo lebih istimewa adalah karena usianya yang sudah tua dan karena berasal dari bangsa kita sendiri (bukan hasil adaptasi dari bangsa India, Cina atau Arab), bangsa Indonesia. So, bagi yang suka LOTR, nggak ada salahnya bagi kalian untuk mencoba membaca dan mencintai La Galigo juga 🙂

Referensi:
Nurhayati Rahman, Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, La Galigo Press.
David Colbert, The Magical Worlds of The Lord of The Rings, PT Gramedia Pustaka Utama.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Dari Rangkong Hingga Hieroglyph Toraja

Indonesia tak cuma kaya budaya. Alamnya menyimpan berjuta potensi luarbiasa. Kedekatan antara manusia dan alam membentuk suatu simbiosis yang oleh nenek moyang kita zaman dahulu kala diramu dalam ragam bentuk tradisi. Salah satunya adalah melalui tarian dan sistem tulisan. Penasaran bagaimana hewan seperti burung dapat mempengaruhi peradaban suku-suku di Indonesia? Yuk kita simak kisah serunya berikut ini!

Rangkong dan Panglima Burung

Burung rangkong atau enggang (Latin: Bucerus) merupakan fauna bangsa aves yang menjadi ciri khas Pulau Kalimantan. Satwa ini tergolong unik karena tubuhnya yang besar, bulunya yang berwarna-warni, corak ekornya nan anggun dan “tanduk” yang menarik perhatian di atas paruhnya. Indonesia termasuk beruntung karena dari sekian banyak spesies rangkong yang ada di dunia ini, sekitar 13 di antaranya berasal dari negera kita. Totalnya ada sembilan spesies rangkong di Sumatera, delapan spesies di Kalimantan (hampir sama dengan yang ada di Sumatera minus Rangkong Papan), serta empat spesies endemik lainnya di Sulawesi, Sumba dan Papua.

Keanekaragaman rangkong yang cukup tinggi di negara kita serta masih minimnya informasi mengenai kebiasaan hidupnya menjadikan burung ini sebagai satwa yang dilindungi. Sayangnya, belakangan ini cerita-cerita menyedihkan tentang perburuan rangkong marak terdengar. Konon per ekornya burung langka ini dihargai 2,5 juta rupiah! Apabila diperdagangkan di luar negeri, harganya bisa melejit hingga tiga kali lipatnya.

Kehadiran burung rangkong di hutan-hutan Kalimantan tidak hanya penting sebagai penyeimbang rantai makanan dan ekosistem hutan. Bagi masyarakat tradisional Dayak, rangkong ialah simbol kesucian, kekuatan dan juga kekuasaan. Burung ini tidak boleh diburu, apalagi dimakan. Komunikasi dengan arwah leluhur terjadi melalui perantaraan burung-burung ini. Bulu rangkong juga berarti keindahan dan keanggunan. Coba teman-teman perhatikan tari-tarian khas Suku Dayak. Pakaian penarinya yang indah berwarna-warni itu pasti dihiasi oleh ornamen bulu rangkong. Di tataran stratifikasi sosial, kepala rangkong hanya boleh dijadikan hiasan oleh para petinggi Dayak, orang biasa tidak boleh sembarangan mengenakannya.

Penulis berfoto bersama rangkong di Taman Safari Indonesia II

Misteri kultus rangkong tidak berhenti sampai di situ saja. Konon, roh alam yang menjadi pelindung Pulau Kalimantan dan masyarakat Dayak sering menampakkan diri dalam wujud seekor rangkong raksasa. Sosok yang oleh komunitas lokal dikenal sebagai Panglima Burung ini hanya menampakkan dirinya pada momen-momen tertentu saja, seperti saat keadaan genting atau terjadi peperangan. Panglima Burung dipercaya memiliki kekuatan gaib yang luarbiasa besar. Menurut cerita yang pernah penulis dengar, pada masa pemerintahan Presiden Megawati dulu sosok ini pernah memunculkan dirinya.

Saat sedang memberikan pidato pada kunjungannya di suatu tempat di tengah Kalimantan, tiba-tiba seekor burung rangkong raksasa terbang berputar-putar di atas ibu presiden. Burung rangkong raksasa itu lalu turun, mendarat persis di hadapan ibu Megawati, lalu berubah wujud menjadi seorang pria dengan pakaian prajurit Dayak lengkap. Ia memberikan salam kepada beliau selaku pemegang amanah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kembali berubah wujud menjadi rangkong raksasa, lalu terbang menghilang. Terlepas dari benar tidaknya peristiwa tersebut, yang jelas sosok rangkong diidentikkan dengan simbol kekuatan magis yang dimiliki oleh Sang Panglima Burung.

Aksara Burung-Burungan dari Makassar

Masih bicara tentang burung, kali ini kita menyeberang dari daratan Kalimantan ke tanah Sulawesi. Saya teringat akan sebuah sistem tulisan hasil kejeniusan masyarakat Makassar yang dikenal dengan nama “Jangngang-Jangngang” (dalam Bahasa Bugis: “Uki Manuk-Manuk”) alias “Burung-Burung”. Burung? Ya, bentuk aksara yang meliuk-liuk ini memang mirip dengan ragam gerakan burung ketika sedang mengangkasa. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi bagi orang-orang Makassar zaman kuno untuk menciptakan sistem tulisan serupa gerak kepakan sayap burung ini?

Aksara Jangngang-Jangngang menurut Fachruddin Ambo Enre diperkirakan muncul sekitar abad ke-8 hingga ke-14 Masehi. Pada saat yang bersamaan, aksara Kawi masih digunakan pula di daerah Jawa. Seorang pakar sejarah bernama Cense mengungkapkan bahwa sepertinya antara Sulawesi Selatan dan Jawa bagian timur (era itu ditandai dengan eksistensi kerajaan Hindu terkenal seperti Kediri dan Singosari) telah terbina hubungan yang lumayan intens. Buktinya ialah kemiripan yang nampak antara aksara Jangngang-Jangngang dan aksara Kawi. Bahkan sebahagian peneliti ada yang beranggapan bahwa sejatinya aksara Jangngang-Jangngang merupakan turunan dari aksara Kawi. Selain aksara Kawi, aksara Jangngang-Jangngang juga memiliki banyak kemiripan dengan aksara Kamboja. Hal ini tidak mengherankan sebab kerajaan orang-orang Makassar (Gowa) menjelang abad ke-16 telah membangun kekuatan maritim dan perdagangan internasional yang kuat, sehingga hubungan dengan negara-negara tersebut pun memungkinkan pula timbulnya pertukaran budaya.

Aksara Jangngang-Jangngang atau Huruf Burung-Burungan (kiri) di Kraton Tamalate, Gowa

Aksara Jangngang-Jangngang masih digunakan setidaknya hingga beberapa saat setelah Perjanjian Bongaya. Perjanjian yang menandai penguasaan VOC atas Kerajaan Gowa itu disalin dalam beberapa bahasa, termasuk salah satunya dengan Bahasa Makassar yang menggunakan aksara Jangngang-Jangngang. Aksara ini kehilangan popularitasnya di kalangan kerajaan dan penulisan sastra setelah Arung Palakka meluaskan penggunaan aksara Bugis atau yang hari ini kita kenal sebagai huruf Lontaraq Sulappaq Eppaq. Sebenarnya ada yang menarik ketika fitur burunglah yang dipilih sebagai inspirasi untuk menjadi sebuah model aksara. Mengapa bangsa pelaut seperti Makassar tidak mengambil bentuk ikan, gerakan ombak atau layar sebagai aksaranya?

Epos La Galigo mungkin bisa sedikit memberikan gambaran. Meskipun belum pernah ditemukan ada naskah La Galigo yang disalin dengan menggunakan aksara Jangngang-Jangngang, akan tetapi ruh dan memori atas cerita-ceritanya menjadi pondasi dalam kultur masyarakat Bugis-Makassar. La Galigo dalam berbagai episodenya kerap memunculkan tokoh bernama La Dunrung Sereng yang sejatinya merupakan seekor burung peliharaan Sawerigading. Nah, La Dunrung Sereng ini memiliki peran vital sebagai penghimpun informasi, dan pengirim kabar bagi tuannya. Tokoh lain dalam La Galigo seperti si bijaksana We Tenri Abeng juga dikisahkan memiliki beragam jenis burung yang biasa ia jadikan suruhan. Budaya menggunakan jasa burung sebagai sarana komunikasi sudah hidup di benak masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman La Galigo. Aksara Jangngang-Jangngang bisa jadi merupakan pengejawentahan dari peran burung sebagai penyedia informasi itu sendiri: media transfer ilmu pengetahuan dalam bentuk aksara atau tulisan kepada umat manusia.

Pasuraq: Menulis dengan Gambar

Dari rangkaian formasi beburungan yang terbang di atas lembaran lontar atau kertas untuk menyebar ilmu pengetahuan, kita singgah ke daerah pegunungan di jantung Sulawesi, tempat suku tua Toraja berada. Suku Toraja, salah satu dari tiga etnis penghuni jazirah Sulawesi bagian selatan merupakan salah satu suku penuh eksotisme dan esoterisme. Keindahan alam maupun misteri kebudayaannya sungguh tak dapat diuraikan dengan kata-kata; nenek moyang Toraja bahkan tidak menciptakan tulisan untuk merekam kearifan lokal adiluhung mereka. Tidak seperti orang Makassar yang menciptakan aksara Jangngang-Jangngang, orang Bugis yang menggunakan aksara Sulappaq Eppaq, atau orang Mandar yang mengadopsi sistem tulis Bugis, orang Toraja bercerita dengan gambar.

Di dunia ini, mungkin hanya orang Mesir Kuno dan Toraja yang mengenal sistem tulisan berupa hieroglyph. Hieroglyph merupakan sistem tulisan yang menggunakan simbol gambar alih-alih huruf sebagai sarana untuk bercerita. Tentunya teman-teman pernah melihat bagaimana dinding-dinding piramida dan kuil-kuil Fir’aun dipenuhi oleh beragam gambar-gambar indah yang menceritakan sejarah bangsa mereka, bukan? Kira-kira seperti itulah yang dulu juga dilakukan oleh nenek moyang orang Toraja. Hanya saja “tulisan” itu memenuhi dinding-dinding Tongkonan sebagai rumah adat mereka.

Salah satu bentuk pasuraq pada dinding Tongkonan. Sumber: toraja.net

Masih belum begitu banyak referensi yang ditulis berkaitan dengan pasuraq –nama sistem tulisan dalam bentuk gambar ini– akan tetapi berdasarkan informasi yang pernah penulis baca, secara etimologis  suraq berarti berita, tulisan atau gambaran. Mengapa? Sebab tradisi lisan amat kental dalam budaya Toraja, sehingga mereka sebenarnya tidak membutuhkan sistem tulisan seperti peradaban lain. Untuk mengekspresikan konsep agama, menceritakan sejarah nenek moyang serta kehidupan sosial maka diciptakanlah tradisi mengukir cerita di atas kayu ini.

Setiap ukiran memiliki nama dan maknanya sendiri. Sebagai contoh, tanaman dan hewan dari elemen air seperti kepiting dan kecebong biasanya menyimbolkan kesuburan. Kerbau melambangkan kekayaan, kebahagiaan dan kesejahteraan, sedangkan ikan biasanya mengindikasikan kerja keras serta kelincahan. Di samping ornamen-ornamen suraq yang berbentuk binatang, terdapat pula jenis-jenis suraq yang berbentuk pola-pola geometris dan motif-motif abstrak. Keseluruhan pola tersebut memiliki maknanya masing-masing. Sebuah tongkonan dapat berisi kisah siklus kehidupan seorang manusia mulai dari hidup hingga matinya atau sejarah suatu klan.

Masih ada banyak sekali teka-teki yang belum terpecahkan dalam pasuraq Suku Toraja. Demikian pula halnya dengan misteri kultus rangkong oleh masyarakat Dayak atau awal mula terciptanya aksara Jangngang-Jangngang pada Suku Makassar. Nah, sekarang giliran kita yang muda-muda untuk memecahkan itu semua. Bagaimana caranya? Tentunya dengan jalan mencari tahu tentang budaya kita sendiri. Jangan sampai generasi muda mendatang hanya akan mengenal rangkong dari gambaran di televisi (karena sudah punah), tidak tahu tentang aksara Jangngang-Jangngang atau bahkan tidak dapat lagi membaca makna-makna yang tertulis pada ukir-ukiran pasuraq di dinding Tongkonan. Budaya bangsa adalah jati diri kita. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi?

 

Makassar, 27 Desember 2012
Pukul 23:27

 

Referensi:

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrenge, Yayasan Obor.
http://omkicau.com/2012/12/19/pesona-rangkong-asli-indonesia-kenali-cintai-dan-hindari-sanksi/
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/14/mengenal-burung-enggang-khas-kalimantan-486065.html
http://punyannyuh.blogspot.com/2011/06/habitat-burung-rangkong-indonesia.html