Categories
Featured Kareba-Kareba Lontara Project Photos

Keluarga Baru LGMP

Selamat bergabung dalam La Galigo Music Project 🙂

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berikut nama-nama personil baru La Galigo Music Project :

1. Rezha Bayu Oktavian Arief (fisipol UGM)
2. Rera Tianingtyas (FBS UNY)
3. Aulia Jasmine Oktofani (vokasi sasing UGM)
4. Christine Inten Permaga Abu (vokasi mandarin UGM)
5. Bernard Nainggolan (Instipram)
6. David Sitompul (FH UGM)
7. Arya Dirga M. Noer (T.Sipil UMY)
8. Ariska Januar Aksan (Fisipol UMY)
9. Edwin A. Indriantoro (FEB UGM)

WE UPS! LA GALIGO!!!

Categories
101 La Galigo Featured Liputan Old Stuff Good Stuff

Para Penggerak Zaman Kota Makassar

Kita sudah sering mendengar nama-nama tokoh-tokoh Sulawesi Selatan khususnya mereka yang tumbuh besar di kota Makassar. Nama-nama seperti Andi Pangeran Pettarani, Andi Mattalatta, Jendral Yusuf dan sebagainya. Setidak-tidaknya, pemuda Kota Daeng pasti pernah melihat patung-patung pahlawan yang terletak di Jalan Penghibur (di dekat Pantai Losari). Di sana ada tokoh-tokoh seperti Syekh Yusuf, Sultan Hasanuddin dan sebagainya. Kali ini saya akan menulis tentang beberapa tokohh yang mempunyai peran penting baik itu dalam pendirian universitas, pemerintahan, politik maupun beberapa sekolah di kota Makassar.

 
Dari tahun 1930 hingga tahun 1950 kota Makassar adalah sebuah kota penuh gairah yang dihuni oleh berbagai macam etnis seperti Bugis, Ambon, Minahasa, Minangkabau, Jawa, Tionghoa dan sebagainya. Berdasarkan data yang diperoleh dari sensus penduduk (pertama kali diadakan tahun 1930) kota Makassar memiliki jumlah penduduk sebanyak 83.144 (Burhaman Djunedding, Pesta Demokrasi di Daerah Bergolak: Politik Tingkat Lokal Dan Pemilihan Umum 1955Di Sulawesi Selatan. Yogjakarta, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada, 2010, hlm. 63.) Dengan jumlah warga sebanyak itu, Makassar pastinya sangat membutuhkan banyak wadah untuk pendidikan, administrasi, dan lain sebagainya

Penduduk kota ini berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia yang mempunyai semangat, keinginan untuk perkembangan kota Makassar.  Beberapa dari mereka ada yang diutus dari pemerintah pusat pada tahun 1950an sebagai pekerja, namun cinta terhadap kota Makassar lah yang membuat mereka kemudian menetap di kota ini. Mereka-mereka itulah yang mendirikan sekolah-sekolah dan universitas di Kota Makassar. Maka dari itu saya menulis tentang tokoh-tokoh tersebut. Mari simak satu per satu!

 
H. Sewang Daeng Muntu
H. Sewang Daeng Muntu dilahirkan di Makassar pada tahun 1903. Kemudian pada tahun 1905 Belanda mengasingkan beliau bersama dengan orang tuanya ke Sumatra Utara. Masa kecilnya pun dihabiskan di daerah tersebut, termasuk pendidikannya. Dalam masa pendidikan itu pula beliau belajar agama Islam, tepatnya di Sekolah Melayu. Pada tahun 1926 setelah menamatkan sekolahnya, beliau kembali ke Sulawesi dan mulai berkecimpung dalam perkumpulan Muhammadiyah. Pada tahun 1038 beliau akhirnya berhasil menjadi konsultan P.B Muhammadiyah untuk Sulawesi. pada masa pendudukan Jepang, H. Sewang Daeng Muntu pernah menjadi salah satu anggota Sukai Gi In dan Minseibu Sanjo (Badan Penasehat Minseibu). Pada masa pemerintahan N.I.T, beliau juga terpilih dan berhasil menjadi anggota parlemen dalam Fraksi Progresif yang diketuai oleh A. Mononutu. Selanjutnya, ketika Partai Politik Islam Masjumi di Sulawesi terbentuk, beliau pun tampil sebagai pemuka yang aktif di Pimpinan Wilayah dan salah satu yang memperjuangan perguruan Islam atau Universitas Muslim Indonesia Makassar, awal berdirinya pada tahun 1953 hingga diresmikannya 1954. Dalam Sumber ( Kumpulan Klipping Koran, Tokoh-Tokoh Masjumi dalam Pemilihan Umum. Jakarta. Dewan Dakwah Islam Indonesia. hal. 7)

 

 

Nazaruddin Rahmat


Naziruddin Rahmat berasal dari Sumatra Barat. Kepindahannya ke Sulawesi merupakan bagian dari penugasan Departemen Agama. Beliau merupakan kepala Jabatan Penerangan agama Provinsi Sulawesi. Perhatiannya terhadap pendidikan Islam di Sulawesi, khususnya Makassar membuatnya berfikir untuk mendirikan sebuah Universitas berbasis Islam yaitu Universitas Muslim Indonesia. Beliau pula yang memperjuangkan berdirinya Universitas Muslim Indonesia. Naziruddin Rahmat menghadap ke Gubernur Sulawesi dan walikota Kota Makassar, hingga para bupati-bupati Gowa dan Bone pada tahun 1953 untuk menyampaikan tujuannya. (dalam sumber wawancara dengan Umar Syihab pada tanggal 14-Juni-2012.)

 
Sutan Muhammad Yusuf Samah

Sutan Muhammad Yusuf Samah berasal dari Sumatra Barat. Kedatangannya ke Sulawesi bersamaan dengan Naziruddin Rahmat dan menjabat sebagai pegawai Jabatan Penerangan agama Provinsi Sulawesi di bawah pimpinan Naziruddin Rahmat. Selama perjalanan karirnya di Sulawesi, beliau aktif dalam PSII dan membuatnya terpilih menjadi ketua DPR Kota Makassar pada tahun 1952. Dalam sumber (Sidang DPR Kota Besar Golongan Minoriteit Bentuk fraksi Kerakjatan”, Pedoman Rakyat, Rabu 14 Januari 1954, hal. 1.) Tahun 1954 tercatat bahwa beliau mulai aktif dalam Yayasan Universitas Muslim Indonesia dan merupakan salah satu tokoh yang menandatangani akte Yayasan Universitas Muslim Indonesia. Beliau juga merupakan pengurus Wakaf Yayasan Universitas Muslim Indonesia.

 
Muhammad Noor

Muhammad Noor lahir di Bulukumba pada tanggal 14 April 1905. Beliau menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat selama 6 tahun kemudian melanjutkannya di pesantren selama 3 tahun. Tahun 1919-1927 beliau bekerja di kantor Adatgemeenschap Gantarang. Kemudian tahun 1927-1930 bekerja di kantor Landrente Makassar sebagai Opnemer. Selain itu, beliau juga pernah menjadi guru pada standaardschool. Beliau adalah seorang mubaligh Islam dan aktivis organisasi Muhammadiyah di Sulawesi. Di masa pendudukan Jepang, organisasi ini dibekukan (1942-1944). Beliau beralih ke Kantor Dagang Mitsui Bussan Kaisha Tjabang Bulukumba dan dipercaya sebagai Kepala. Tahun 1946 pada bulan Februari, Muhammad Noor ditangkap dan dipenjarakan oleh NICA (Netherlands Indische Civil Administration) di Selayar, kemudian dipindahkan ke Makassar. Tahun 1948 beliau dibebaskan dan ikut dalam Pimpinan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR) di Makassar. Setelah itu beliau mendirikan Partai Masyumi cabang Makassar pada tanggal 10 oktober 1949 dan menjabat sebagai ketua Umum Wilayah Masyumi Sulawesi. Tahun 1951 beliau bekerja di kantor Penerangan Agama Provinsi Sulawesi. Tahun 1952 terpilih menjadi anggota DPD dan tahun 1955 menjadi ketua DPR Kota Besar Makassar. Dalam Sumber (Kumpulan Klipping Koran, Tokoh-Tokoh Masjumi dalam Pemilihan Umum. Jakarta. Dewan Dakwah Islam Indonesia, hal. 38.)

Muhammad Noor juga merupakan pejuang pendirian Universitas Muslim Indonesia Kota Makassar.

 

Andi Patiwiri

Andi Patiwiri berasal dari Sidenreng Rappang, lahir pada tahun 1915. Ayahnya bernama A. La Inding, ibunya bernama Hj. A. Mattingara. Andi Patiwiri seorang saudagar di Kota Makassar. Aktif dalam organisasi NU bersama-sama dengan K.H Muhammad Ramly. Beliau juga merupakan seorang ulama Islam di Kota Makassar. Andi Patiwiri salah satu dari lima orang yang menghadap ke notaris Pendirian Universitas Muslim Indonesia dan mewakafkan beberapa bahan bangunan pada kampus satu UMI yang hari ini letaknya berhadapan dengan TVRI, di Jalan Kakatua. (sumber: wawancara bersama cucu Andi Patiwiri yakni Andi Kumala Djabir SE)

 

La ode Manarfa
La Ode Manarfa lahir di Kulisusu pada tanggal 22 Maret 1916. Beliau anak dari Sri Sultan Buton ke-38, yakni La Ode Muh. Falihi Qaimuddin, dan Ibunya Wa Ode Aziza. Jenjang pendidikan beliau berawal dari bersekolah di HIS Bau-bau Pada tahun 1924. Ayah La Ode Manarfa mengirim beliau ke HIS Kota Makassar dan di Makassarlah beliau tamatkan studinya. Sesudah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah MULO di Kota Makassar tahun 1936-1938. Lalu sekolah di Batavia Centrum tahun tahun 1938-1940. Setamatnya dari Batavia Centrum, beliau bersekolah di Den Haag Belanda pada tahun 1948. Terakhir, tahun 1953 beliau bersekolah di Vereeniging Fakultaten Universitas Leiden. Beliau pernah menjadi pegawai diperbantukan pada kementrian dalam negeri di Jakarta tahun 1955. Di Tahun 1957-1959 menjabat sebagai Bupati Sulawesi Tenggara di Bau-Bau dan anggota Konstituante Bandung, dan tahun 1960: Pendidikan Militer Angkatan Darat kodam Hasanuddin Makassar. Pada tahun 1962 menjabat Seskoad Angkatan III Bandung, lalu tahun 1959-1964 kantor Gubernur Sulawesi di Makassar, dan 1964-1967 kantor Gubernur Sulawesi Tenggara di Kendari. Pernah menjadi Ketua DPRD Kendari di tahun 1967-1971.  Sebelum wafat, di tahun 1988-2002 beliau memegang jabatan selaku Rector Universitas Dayanu di Bau-Bau. (sumber: La Ode Muhammad Sjamsul Qamar, “Drs. H. L a Ode Manarfa yang satya kenal”. Manuskrip, Juni 1992)

Masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berperan penting di Kota Makassar, tetapi semuanya butuh penelitian yang lebih dalam lagi. Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini bahwa pada tahun 1950-an untuk mendirikan suatu universitas itu atau sekolah di kota Makassar, persaudaraan antaretnis berperan sangat erat. Meskipun berbeda partai dan organisasi mereka bisa menyatukan ide dan gagasan bersama. Sayangnya, hari ini perbedaan justru menjadi masalah di kota kita. Padahal sangat jelas bahwa di Makassar lah beragam etnis itu dulunya bisa bersatu untuk mendirikan universitas serta sekolah-sekolah.

 

Anna Asriani de Sausa, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini   merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

 

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Sepupu Sawerigading dari Filipina

Agen kita, Louie Buana menemukan banyaknya bukti yang mengindikasikan kedekatan hubungan masa lalu antara Sulawesi dengan negara asal penyanyi pop Christian Bautista ini. Filipina ternyata menyimpan sejarah persahabatan dengan Indonesia yang terentang sejak zaman La Galigo (pra-14 Masehi) hingga ke era Kesultanan Makassar.

Selama ini, ketika berbincang mengenai negara jiran acapkali pikiran kita langsung tertuju kepada Malaysia, Singapura maupun Brunei Darussalam saja. Negara-negara tetangga tersebut, karena adanya keterikatan ekonomi yang cukup kuat, juga karena sejarah masa lalu yang saling kait-mengait dengan Indonesia membuat kita merasa akrab dan hangat dengan mereka. Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka pernah berkata bahwa dari segi silsilah, kesembilan sultan yang memerintah di Malaysia berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau. Kata “Melayu” bahkan telah sejak lama disebut-sebut dalam naskah La Galigo yang merupakan karya sastra sekaligus ensiklopedia masa lalu manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam di abad XVII. Di dalam salah satu episode La Galigo yang berjudul Mula Jajareng We Cimpau Nariabbeyang I La Galigo ri We Cudai, terdapat istilah Dangkang Malaju dan Dangkang Patani yang berarti pedagang dari negeri Minangkabau atau Melayu yang membawa bermacam-macam jenis barang.

Namun, tahukah Sobat Lontara bahwa ternyata Filipina yang jarang sekali terlintas di benak kita sebagai negara tetangga di masa lalu memiliki peran yang signifikan, bahkan menjadi bagian dari sejarah tanah air? Sebenarnya sudah sejak era kerajaan Sriwijaya dan Mataram Kuno terbina hubungan langsung antara Indonesia dan Filipina. Tidak hanya dengan Sumatera dan Jawa, salah satu hubungan antara Filipina dan Indonesia yang paling intens juga terungkap di Pulau Sulawesi. Sulawesi Utara yang letaknya tepat berada di selatan Mindanao dan di sebelah rantai Kepulauan Sulu jelas sudah tidak asing lagi dalam interaksinya dengan negeri jiran yang satu itu. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan keterkaitan antara jazirah Sulawesi bahagian selatan dengan Filipina.

Tausug, Taugiq dan Orang Bajo
Di “Provinsi” Wilayah Otonomi Muslim Mindanao, tepatnya di Sulu terdapat sebuah daerah yang bernama Luuk. Nama ini sekilas mengingatkan kita akan Luwu yang berada di Sulawesi Selatan, sebuah kerajaan kuno yang menjadi sentra kisah La Galigo. Tidak hanya itu, penduduk lokal Sulu bahkan menyebut diri mereka dengan nama Tausug alias orang-orang Sug. Nah, sekali lagi, hal ini mengingatkan kita dengan Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis menyebut diri mereka sendiri sebagai Tau Ugiq atau Taugiq, julukan yang konon diambil dari nama La Sattumpugiq, Datu ri Cina ayah mertua Sawerigading (tokoh utama dalam epos La Galigo). Selain nama yang mirip, baik orang-orang Tausug maupun Taugiq sama-sama memiliki reputasi sebagai penjelajah samudera dan bajak laut yang disegani di Nusantara.

Alkisah, orang-orang Tausug ini telah menjalankan perdagangan mutiara hingga ke Jambi dan Laut Cina Selatan sejak zaman dulu kala. Menurut beberapa catatan, orang-orang Bajau Laut juga telah hadir di Pulau Taguima (Pulau Basilan) dan bekerjasama dengan Orang Taguimaha sebagai penyelam mutiara. Orang-orang Bajo terkenal memiliki hubungan yang amat dekat dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, sebagaimana tercantum dalam naskah La Galigo dan lontaraq (kronik sejarah) kerajaan Gowa. Bahkan konon salah satu Karaeng Gowa dikabarkan pernah menikah dengan seorang gadis Bajo sehingga di garis keturunan raja-raja Makassar pun juga terdapat darah Bajo. Menurut almarhum Prof. Mattulada, masyarakat di Sulu banyak pula yang bergelar Opu (gelar kebangsawanan Bugis yang berasal dari Luwu) dan mengakui nenek moyangnya berasal dari Sung. Sung ini diperkirakan ialah Ussuq, tempat kerajaan pertama Bugis dinasti Sawerigading. Salah satu di antara tokoh Filipina dengan gelar ini adalah Opu Mastura, seorang pejabat setingkat Menteri yang menjabat di era 1980-an.

Pusaka Gowa Asal Filipina
Perdagangan mutiara menyebabkan orang-orang Tausug melebarkan sayap mereka untuk menaklukkan Pulau Panay, Manila dan Luzon, Cebu (kata asalnya Sug Bu), Butuan, Kalamianes, Visaya (naungan Sriwijaya) hingga Mindanao. Pada tahun 1368 Tausug pernah menyerang Raja Brunei yang bernama Awang Alak Betatar karena telah mencuri dua biji mutiara Sulu. Tumbuhnya Sulu sebagai sebuah kekuatan politik kemudian mengundang pula perhatian dari orang-orang Bugis untuk berlayar ke sana.

Orang-orang Bugis ini disebut kaum Baklaya dalam Bahasa Tausug. Hubungan baik terbina di antara kedua bangsa, salah satu buktinya ialah melalui perkawinan antara Sultan Badaruddin I dari Sulu dengan seorang wanita Bugis asal Soppeng. Konon, pakaian perang atau baju zirah milik Raja Bugis asal Wajo, Sulawesi Selatan yaitu La Salewangeng To Tenriruwa (1715–1736) tersimpan di Filipina. Baju perang kuno ini dapat teman-teman lihat di National Museum Of The Philippines, Rizal Park Avenue Manila, Filipina. Alkisah, setelah membantu Sultan Kudarat melawan invasi penjajah Spanyol tahun 1728, La Salewangeng To Tenriruwa kemudian menikah dengan seorang putri bernama Dayang Maharleka Sari dan kemudian menetap di Cagayan De Oro, di sebuah istana yang sekarang telah menjadi Balai Polisi Republik Filipina. source

Kebangkitan Makassar sebagai sebuah kerajaan maritim yang kekuasaanya meliputi sebagian besar kawasan Indonesia Timur pada abad ke-17 bersamaan pula dengan berseminya kekuatan Kesultanan Sulu. Di kala itu, Kesultanan Sulu dan Makassar memiliki reputasi sebagai pusat perdagangan budak terbesar di Nusantara hingga tahun 1800. Hubungan dekat antara kedua kerajaan ini ditandai oleh kehadiran sebuah benda pusaka yang perannya amat vital bagi status raja yang akan dilantik. Kerajaan Gowa (yang disebut dengan Makassar sejatinya adalah kombinasi antara dua kerajaan kembar yaitu Gowa dan Tallo) memiliki kalompoang (regalia) yang salah satunya berupa sebuah kalung emas bernama Kolara atau Rante Manila. Menurut situs web resmi Warisan Budaya Indonesia, Rante Manila adalah kalung pemberian dari kerajaan Sulu pada abad ke XVI di masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntung Tumappa’risi Kalonna, sekitar tahun 1510-1546.

Rante Manila, Pusaka Kerajaan Gowa saat akan dimandikan di upacara Accera Kalompoang. Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/11/setelah-sriwijaya-dan-majapahit-ada-kerajaan-gowa-469993.html

Benda dengan berat 270 gram ini merupakan benda pusaka kerajaan Gowa yang terpelihara dengan baik dan senantiasa dijunjung tinggi sebagai perlambang kejayaan kerajaan Gowa di masa lampau. Benda ini juga selalu diikut sertakan dalam upacara membersihkan regalia yang biasa disebut dengan nama accera kalompoang. Bentuk Kolara telah menjadi inspirasi para pengrajin tradisional Makassar untuk meniru bentuk dan fungsi benda tersebut, sebagai perhiasaan yang digunakan pengantin tradisional Makassar. Kehadiran Kolara sebagai salah satu kalompoang kerajaan Gowa sebenarnya menurut penulis pribadi tergolong unik. Perhiasan ini dihormati sedemikian rupa, seperti halnya penghormatan terhadap Mahkota Salokoa yang konon diturunkan dari langit oleh Dewi Tumanurunga ri Tamalate dan Pedang Sudanga milik Karaeng Bayo yang konon berasal dari dasar samudera.
Profesor Mattulada pernah menulis artikel menarik terkait fenomena kalompoang Gowa yang berasal dari Filipina ini untuk kepentingan acara Second Workshop on Malay Sultanates and Malay Culture di Makassar pada tahun 1978. Artikel tersebut berjudul The Significance of Kalompoang in The Existence of The Bugis-Makassar Sultanates. Pada salah satu bagian artikel tersebut beliau menulis bahwa ada beberapa macam tipe dan fungsi kalompoang, salah satunya:

The kalompoang was considered as symbol of strength, unity and friendship. They are flags, creese, sword, spear, shield and other war equipments; ornaments like ring, bracelets, necklace etc; and clothes like dress, songkok, sarong and so on.
This kalompoang shows the friendship between one country and the others.
In Gowa, the kalompoang collection shows the relation of friendship between the kingdom of Gowa and foreign countries, for example The Philippines with its rante manilaya (manila-chain), the British kingdom with its written golden plate, and different kingdoms in Indonesia like the Javanese and some others.

 

Filipina dalam La Galigo
Kurang afdhol rasanya jika kita tidak membongkar keterkaitan antara Filipina dan Indonesia dalam La Galigo. Lho, memangnya ada? Yup, sekurang-kurangnya ada dua nama tempat berlokasi di Filipina yang digambarkan memiliki hubungan dengan Sawerigading, Sang Putra Mahkota dari Kerajaan Luwu.

Dalam penjelajahan Sawerigading berlayar menuju ke negeri Cina untuk melamar Putri We Cudai, ia harus berhadapan dengan tujuh perompak ganas yang berasal dari Mancapaiq (Majapahit), Wulio (Buton), Jawa ri Aja (Jawa bahagian barat), Jawa ri Lauq (Jawa bahagian timur), Malaka, dan Apung. Setelah itu, ia melanjutkan pelayaran hingga kemudian bertemu dengan Tejjoq Risompa, pamannya yang menjadi penguasa negeri teluk besar Wewang Nriwuq di Selat Makassar. Menyusuri Selat Makassar, perahu Sawerigading terus naik mencari arah menuju Cina hingga kemudian bertemu dengan To Palinrungi I La Pewajo, Datuna Pao (penguasa negeri bernama Pao). I La Pewajo yang terhitung masih sepupu dua kali Sawerigading ini menyambutnya dengan ramah di tengah laut dan menunjukkannya arah ke negeri Cina.

Pada episode Pelayaran Sawerigading ke Negeri Maloku, diceritakan pula tentang sebuah negeri bernama Matasoloq yang dilewati Sawerigading dalam rangka menuju Maluku. Sawerigading tidak singgah di sana, namun ia melihat di bandar Matasoloq saat itu ramai oleh pedagang yang datang dari Patani dan Dammaq (Demak?). Di episode yang sama letak Matasoloq, Mallatunrung, Marasangi dan Maloku digambarkan saling berdekatan. Almarhum Fachruddin Ambo Enre di dalam disertasinya yang terkenal yaitu pembahasan naskah La Galigo episode Ritumpanna Welenrengnge meyakini bahwa Matasoloq (kadang-kadang juga sering ditulis ‘Soloq’ saja) yang dimaksud di sini ialah Sulu sedangkan Pao adalah Davao di Filipina Selatan. Adapun yang disebut Mallatunrung ialah Sulawesi Utara dan Marasangi ialah Sangir.

Filipina, ternyata tidak seasing yang kita kira. Tidak hanya mereka dahulu telah menjalin persahabatan yang diagungkan oleh pendahulu-pendahulu bangsa, namun bahkan diakui pula sebagai bahagian dari sebuah keluarga besar rumpun Nusantara. Indonesia dan Filipina yang sama-sama berupa negara kepulauan menyimpan banyak kemiripan yang menakjubkan, baik dari segi bahasa maupun keanekaragaman budaya. Sawerigading telah menegaskan makna kekeluargaan yang dimiliki oleh kedua bangsa dan bahkan dengan penuh kehangatan memanggil I La Pewajo dari Davao dengan seruan “kaka”, yang dituakan, sejak ratusan tahun yang lalu.

Taro aq ri tu ri nawa-nawa kaka Pewajo/ kupaccokong ri paricitta/ sompa makkeda I La Pewajo/ keruq jiwamu To Marajae/ cabbeng sumangeq to ri Langiqmu/ na i o kenneng ri tu maeloq/ le ri patudang ri nawa-nawa/ nasekkoqe pajung mpulaweng/ nalaleng iaq ga le temmaeloq/ le patudakko ri nawa-nawa
Berkata Sawerigading: “Simpanlah aku di hatimu kakak Pewajo/ biar mekar hati sanubariku”/ menyembah sembari berkata I La Pewajo/ “Kur semangat jiwamu wahai orang besar/ kemarilah semangat langitmu/ engkau sendiri yang menginginkan/ kusimpan dalam hati/ yang dinaungi payung emas/ apakah pantas jika saya tak mau/ menyimpanmu di dalam hatiku?”

 

Sumber:
All About Money: Maritime Trade in Makassar and West Java, Around 1775, Gerrit Knaap, http://end-of-empires-south-east-asia.wikispaces.com/file/view/All+about+Money-+Maritime+Trade+in+Makassar+and+West+Java,+around+1775.pdf 
Ayam Jantan Tana Daeng, Nasaruddin Daeng Koro, Ajuara: 2005
Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo, Nurhayati Rahman, La Galigo Press: 2006
Kesultanan Sulu, http://www.tausug-global.blogspot.com/
Raja-Raja di Malaysia Berdarah Bugis, Antara News, http://www.antaranews.com/berita/67980/raja-raja-di-malaysia-berdarah-bugis
Ritumpanna Welenrengnge, Fachruddin Ambo Enre, Yayasan Obor Indonesia: 1999