Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Butet Manurung : Superhero Rimba

Siapa yang tidak kenal Butet Manurung? Wanita keren ini tampak perkasa ketika dirinya tengah diliput di layar kaca. Tampilannya terkesan ‘liar’, mengingat pekerjaan mulianya sebagai pengajar anak-anak rimba di pedalaman Jambi. Ketika beberapa hari lalu saya -ditemani seorang sahabat bernama Izna- berkesempatan menghadiri seminar The Jungle School – A Homework Free Diary yang diselenggarakan oleh Makassar International Writers Festival 2012, imajinasi ‘pengajar liar; yang kami harap-harapkan itu buyar. Di sana, saya bertatap muka langsung dengan Mbak Butet, dengan sesosok “Manurung”‘.

Mengenakan dress batik, Mbak Butet kelihatan lebih feminin daripada style yang biasa saya lihat di foto-foto: berkemben sarung dan duduk di tengah anak-anak yang sedang belajar. Namun rambut ikal dan kulitnya yang khas langsung meyakinkan kami bahwa Ia adalah orang yang sama. Hanya saja, Mbak Butet yang sekarang lebih kurus, katanya habis terserang malaria sampai kehilangan bobot 10 kg.

Sebenarnya kami agak penasaran, dari mana nama “Manurung” diperoleh Mbak Butet. Bukankah dalam La Galigo kita cukup familiar dengan kata “To Manurung” (orang yang turun dari langit)? Apakah beliau juga memiliki darah Sulawesi? Belakangan kami baru tahu bahwa di Sumatera Utara (daerah asal Mbak Butet), marga Manurung pun lazim dikalangan masyarakat Batak. Terlepas dari itu, beliau memang bisa diibaratkan sebagai “Manurung” di tengah rimba. Datang k esana membawa perubahan yang membantu komunitas adat setempat agar lebih mandiri menghadapi kepentingan-kepentingan materialistik yang memasuki kampung mereka.

Gadis-gadis dari Sokola Pesisir

Dibuka oleh penampilan penari-penari cilik dari Sokola Pesisir yang kelihatan masih malu-malu, seminar tersebut mulai pukul 16.30 WITA. Dimoderatori oleh Ahmad Fuadi, pengarang buku best-seller “Negeri 5 Menara” yang sempat difilmkan beberapa waktu yang lalu, presentasi semakin menarik karena dibumbui cerita-cerita unik Mbak Butet mengenai pengalamannya sejak tahun 1999 “masuk hutan”.

Konon, untuk menembus pergaulan Orang Rimba, sulitnya minta ampun. Kesulitan bahasa dan kebiasaan menjadi jurang pemisah yang sangat lebar agar mereka dapat saling berbaur. Sampai-sampai pengucapan yang kurang sempurna memaksa Mbak Butet rela diubah namanya menjadi “Bontet” oleh penduduk lokal.

Kami tertawa jika mendengar kisah-kisah luar biasa itu. Bagaimana seharusnya kita belajar dari kesederhanaan Orang Rimba yang “mengasihani” sistem kepemilikan masyarakat perkotaan. Kita yang dengan tegas melabeli kepunyaan kita dan hanya sedikit orang yang masih mau berbagi. Anak-anak rimba ini bingung melihat ada mobil Merci yang kosong, sementara di sebelahnya orang-orang berdesakan di dalam bus. Dengan kepolosan itu seharusnya kita malu; ego benar-benar merusak  mental masyarakat. Padahal Tuhan lah pemilik segala apa yang ada di bumi ini.

Seiring melonjaknya kebutuhan kita akan kayu, hal yang sama mendesak para logger untuk mengikis hutan-hutan yang merupakan rumah mereka. Bagi Orang Rimba, itu bukan sekedar hutan, namun juga sekolah yang mengajarkan luhurnya alam kepada manusia. Mbak Butet bahkan pernah berlari 9 jam karena diburu senapan oleh seorang logger yang sadar ketika foto mereka diambil. Kerjasama dengan pemerintah membuat perusahaan-perusahaan raksasa ini merasa berkuasa menebas kayu maupun orang-orang yang berani mengangkat masalah ini ke permukaan.

***

Sokola Pesisir didirikan pada tahun 2003 dan kini memiliki banyak cabang. Sokola Pesisir Mariso yang kita kenal di Sulawesi Selatan pun merupakan buah usaha dari Mbak Butet dkk. Saat ini mereka sedang mencari tenaga sukarelawan untuk ditempatkan di Flores dan Kajang (satunya lagi saya lupa). Informasi lebih jelas bisa dilihat di website resmi sokola.org.
Kata Mbak Butet, untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi membantu orang lain, kita harus berani tampil menjadi diri kita sendiri. Bermula dari mimpi dan khayalan, untuk menjadi keren tidak perlu repot-repot menjadi jagoan dengan kekuatan super. Dengan berguna bagi sesama, lakukanlah pekerjaan yang kita cintai. Mudah-mudahan kita bisa merasa “cukup” dan menepis keinginan-keinginan yang takkan terbatas. Banyak hal lain yang lebih penting untuk dibenahi ketimbang memenuhi angan-angan materi.

Kalau dikait-kaitkan dengan Lontara Project, saya jadi lebih semangat. Setidaknya kami berempat, nahkoda utamanya, masih satu bahasa. Yang paling penting lagi adalah kami tidak berkeliaran kemana-mana menggunakan cawat. Hehehe…
Bersyukurlah!

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Navigasi Bugis di Mata Antropolog Amerika

Suku Bugis sedari dulu memang terkenal sebagai pelaut ulung. Dengan bermodalkan bintang-bintang di langit dan kepandaian membaca alam, mereka mengarungi samudera dan melintasi berbagai benua. Tidak heran, kemampuan ini mengundang decak kagum dari berbagai pihak. Beberapa waktu yang lalu, tim Lontara Project sempat mewawancarai Prof. Eugene E. Ammarell, seorang antropolog ramah dan rendah hati asal Amerika Serikat yang sangat tertarik akan sistem navigasi Bugis ini. Yuk, simak kisahnya!

Prof. Eugene E. Ammarell

Prof. Eugene E. Ammarell atau yang akrab disapa Pak Gene sudah bertahun-tahun meneliti tentang sistem navigasi di Indonesia. Beliau bahkan telah menelurkan sebuah buku berjudul Bugis Navigation (1999), salah satu buku dengan penjelasan terlengkap tentang sistem navigasi Bugis. Mantan direktur Southeast Asian Studies di Universitas Ohio ini pernah tinggal lama di Pulau Balo-Baloang, sebuah pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang letaknya jauh di selatan hampir mendekati Madura, demi kepentingan riset kebudayaan maritim suku Bugis-Makassar. Terbiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat membuat beliau mengerti cukup banyak bahasa Bugis. Sepanjang wawancara pun, sesekali Pak Gene melontarkan beberapa kata dalam bahasa Bugis, yang terdengar khas karena masih bercampur dengan aksen Amerika-nya. Kedatangan beliau kali ini, selain untuk mengunjungi Pulau Balo-Baloang, juga untuk memberikan kuliah umum tentang “Shared Space, Conflicting Perceptions, and the Destruction of an Indonesian Fishery” di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Perkenalannya dengan kebudayaan maritim memiliki sejarah yang cukup panjang. Pak Gene percaya bahwa pertemuannya dengan kebudayaan ini merupakan sebuah ‘serendipity’. Pada awalnya, beliau belajar tentang astronomi Amerika dan Eropa. Suatu hari, beliau menghadiri sebuah diskusi. Di diskusi itu beliau menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang astronomi di Indonesia yang bahkan belum pernah dibicarakan atau ditulis oleh orang-orang sebelumnya. Beliau kemudian mulai mencari tahu banyak hal mengenai navigasi, salah satunya adalah navigasi Polinesia. Kebetulan, beliau bertemu dua orang berbeda yang kemudian menjadi awal perkenalannnya dengan navigasi Bugis.

Pertama, kolega beliau  di Peace Corps, seorang wanita dari Malaysia, namun berdomisili di Amerika Serikat. Selama dua tahun, Pak Gene pernah tinggal di Malaysia dan mengajar sains dan matematika sebagai bagian dari program Peace Corps yang beliau ikuti. Koleganya ini pernah berlayar selama setahun dengan menggunakan perahu Bugis dalam rangka penelitian post-doctoral nya tentang studi ekonomi. Pak Gene kemudian menanyakan berbagai hal mengenai sistem navigasi. Satu kalimat yang Ia ingat dengan pasti dari mulut koleganya itu ialah“Buginese people are good navigators”. Kedua, koleganya yang sedang belajar di Kalimantan. Beliau mengambil kelas darinya dan menanyakan tentang suku Dayak yang mempelajari bintang. Dari koleganya tersebut, beliau mengetahui bahwa suku Dayak mempelajari bintang untuk pertanian. Ketiganya kemudian mengajukan hibah untuk melakukan studi kecil-kecilan tentang astronomi di Dayak dan astronomi di Bugis.

Setelah setengah bulan di Kalimantan, mereka akhirnya ke Makassar. Pelabuhan Paotere adalah tempat yang mereka tuju. Di sana mereka melihat sebuah lambo, sebuah perahu niaga jarak jauh, yang menarik perhatian. Walaupun kecil, lambo tersebut masih baru dan terlihat bagus. Mereka pun menghampiri lambo tersebut dan berbicara dengan kaptennya, seorang pria bernama Pak Razak, untuk menggali informasi. Pak Razak yang pemalu tidak banyak bercerita, namun beliau mengenalkan Pak Gene dan koleganya kepada temannya, Pak Syarifuddin, yang juga merupakan seorang kapten perahu.

Berbeda dengan Pak Razak, Pak Syarifuddin senang berbicara dan memberi tahu mereka banyak hal. Beliau juga memiliki perahu kecil, namun bermesin. Kebetulan ketika itu, Pak Syarifuddin akan berlayar ke Bima, tapi harus transit dulu di Pulau Balo-baloang. Nah, di sinilah awal perkenalan Pak Gene dengan Pulau Balo-Baloang. Pak Gene dan koleganya ingin berlayar menggunakan perahu Bugis tanpa mesin,

“We want to sail on a real Bugis ship”, katanya.

Akhirnya mereka menyasar perahu pak Razak yang memang masih menggunakan layar. Pak Razak sudah mengingatkan bahwa pelayaran akan memakan waktu yang lama dan perjalanannya belum tentu disukai oleh mereka. Namun, pak Gene dan koleganya tetap nekat untuk berlayar. Benar saja, mereka membutuhkan waktu selama tiga hari untuk sampai di Pulau Balo-Baloang. Namun, Pak Gene tidak menyesal karena pemandangan yang beliau liat selama berlayar sangat indah, It was beautiful on the boat,” ujarnya.

Pelayaran tersebut hanyalah permulaan dari banyak pelayaran yang dilakukannya. Beberapa waktu kemudian, atas permintaan beliau, Pak Syarifuddin membawanya berlayar selama lima minggu lagi. Dari perjalanan itu, Pak Gene terkesan sekaligus menyadari bahwa betapa sulit menjalani pekerjaan sebagai pelaut. Mereka bisa saja berada di lautan selama beberapa minggu dan mereka harus menemukan jalan pulangnya kembali. Menurut beliau, hal tersebut tidak mudah dilakukan, butuh keterampilan khusus.

Pak Gene bersama tim Lontara Project
Pak Gene sedang berbincang dengan koleganya

Ditanya mengenai perbedaan mendasar antara navigasi Barat dan navigasi Bugis. Pak Gene mengutarakan bahwa navigasi barat pada umumnya mekanis, sangat bergantung pada Global Positioning System (GPS), kompas magnetik, dan sebagainya. Navigasi barat sangat matematis. Jadi, begitu alat-alat tersebut tidak bekerja, para pelaut tidak bisa berbuat apapun. Sebaliknya, navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, pergerakan cuaca, dan kemampuan membaca laut.

“I’ve never studied Western navigation very much. I think I understand Bugis navigation better.” aku Pak Gene.

Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia, terutama pelaut Bugis-lah yang membuat Pak Gene selalu merasa terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Mereka telah begitu baik kepada beliau dan telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Selain belajar banyak tentang navigasi, Pak Gene juga belajar tentang arti berbagi dari masyarakat Indonesia. Menurutnya, itulah yang menjaga keseimbangan harmoni dalam masyarakat kita.

Sebenarnya, tim Lontara Project masih ingin berbincang lebih lama dengan Pak Gene. Namun, ternyata waktu tidak memungkinkan. Pak Gene harus segera bersiap untuk kunjungan berikutnya ke Pulau Balo-Baloang. Nah, Sobat Lontara, kalau Pak Gene saja yang bukan orang Indonesia asli bisa begitu tertarik dengan keunikan tradisi kita, kenapa kita tidak? Kita bangsa yang kaya loh. Jangan malu mengkaji sistem budaya kita sendiri.

 

PS: Dua minggu setelah wawancara bersama dengan Pak Gene dilakukan, tim Lontara Project yang sedang berada di Makassar yaitu Ahlul, Maharani dan Nirwan sempat bertemu dengan Pak Gene, sebelum beliau berangkat menuju Pulau Balo-Baloang. Pada kesempatan itu kami berbincang lagi dengannya dan dijanjikan untuk diberi buku “Navigasi Bugis”, masterpiece beliau. Sekarang, buku berjumlah 326 halaman itu menjadi inspirasi bagi kami untuk terus mengkaji dan mencintai budaya Indonesia sebagaimana janji kami kepadanya. Terima kasih, Pak Gene!

Pak Gene bersama Tim Lontara Project di Makassar
Tim Lontara Project sedang berbincang dengan Pak Gene

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Malaysia #3

Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya

Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.

Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.

Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT

Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.

Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.

            Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.

Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]

Membina persahabatan serumpun…

            Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.

Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.

 Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding  School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh.