Dari kanan : Josefhina Chitra (Tampah Ragam), Oni Ardiansyah (DKV ITHB), Galih Mulya Nugraha (Epic Java), Ran (Lontara Project), dan Setia yang untungnya sudah duluan pulang sehingga fotonya tidak ada. hihihii
Dihubungkan oleh teknologi dan walaupun beberapa kali sempat tertunda, alhamdulillah kami akhirnya bisa berkumpul di Cihampelas Walk untuk sekedar berdiskusi ringan mengenai topik seputar kebudayaan. Saya datang agak terlambat menemui tiga orang yang rupanya sudah duduk manis, disusul oleh Daeng Oni beberapa saat kemudian. Latar belakang yang hampir sama membuat obrolan terasa menyenangkan, dimulai dari perkenalan masing-masing. Kemudian pembicaraan mengalir begitu saja, kami mulai mengenal satu sama lain.
Ada Jo dari Jakarta yang aktif dengan kegiatan Tampah Ragam, semacam komunitas konservasi kreatif seperti Lontara Project, namun lebih sasarannya lebih luas. Gadis yang sementara ini berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung, mengaku masih sibuk menggali informasi dan wadah kreasi yang efektif untuk memperkenalkan hasil-hasil budaya dari seluruh Indonesia.
Juga Mang Galih, sang arsitek yang asyik dengan proses pembuatan film dokumenter non-narasi mengenai perjalanan menelusuri jejak budaya mulai dari Jawa Timur hingga Jawa Barat, yakni Epic Java (trailernya bisa dilihat di youtube) yang terinspirasi dari film bergenre serupa besutan sutradara Ron Fricke, Baraka (1992). Epic Java juga akan memperlihatkan betapa luar biasanya keragaman alam dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Tak kelupaan, Daeng Oni yang berasal dari Bugis namun kini menetap di Bandung dan baru saja menyelesaikan tugas akhirnya di bidang Desain Komunikasi Visual (DKV) dengan mengambil tema La Galigo untuk kemudian dikiaskan dalam bentuk ilustrasi.
Kalau saya dan Setia hanya bertemu untuk urusan kaos I UPS La Galigo.
Nah, lima orang ini berencana akan mengadakan diskusi rutin di sekitaran Bandung, sambil mengajak sobat-sobat Lontara Project maupun siapa saja yang berminat untuk berpartisipasi dalam gerakan konservasi budaya. Semoga dengan dilakukannya kegiatan ini, bisa menghasilkan karya-karya baru dalam rangka pelestarian dan sebagai media untuk mengekspresikan diri para insan kreatif di Indonesia.
Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna Salu atau yang biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Lontara Pattodioloang Mandar
Berbeda dengan sepupu-sepupunya seperti Bugis-Makassar dan Toraja, informasi seputar kebudayaan Mandar di internet maupun lewat buku-buku amatlah terbatas. Saya sendiri yang berdarah setengah Mandar dan seumur-umur hidup di perantauan mengetahui Mandar hanya dari cerita-cerita singkat ayah saya saja. Menyedihkannya, kosakata Bahasa Inggris dan Spanyol saya jauh lebih kaya daripada pemahaman akan Bahasa Mandar. Yang melekat di kepala saya tentang Mandar ialah jejeran pohon kelapa di kebun keluarga di Polewali, bau peappi, perahu Sandeq, dan ilmu hitam.
Suatu hari di bulan April yang kadang basah kadang cerah, saya menikmati liburan semester dengan pulang ke Makassar dan mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam pasca renovasi. Setelah puas berkeliling, saya dan adik Rafika Ramli memutuskan untuk iseng ke perpustakaan di pojok belakang benteng ini. Perpustakaannya bagus, sayang kurang terawat dan koleksi bukunya pun tidak begitu banyak. Ada meja tua Belanda yang masih kuat serta buku-buku sejarah dan budaya yang tergolong langka di sana. Rak-rak bukunya di tata mengelilingi ruangan. Mata saya yang sedari tadi menelusuri judul-judul buku di rak tua nan berdebu itu seketika membelalak ketika membaca “LONTARA PATTODILOANG DI MANDAR”.
Terus terang, buat saya sebagai seorang pecinta budaya dan pendalam La Galigo, hal-hal yang berbau lontar itu fascinating. Apalagi ini lontar yang berasal dari Mandar, daerah dimana ekspresi budayanya kurang terekspos di panggung nasional. Setelah memutuskan untuk memfoto-kopi naskahnya, saya pun pulang. Salinan naskah tersebut ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Drs. M. T. Azis Syah pada masa almarhum Prof. DR. H. A. Amiruddin masih menjabat sebagai gubernur. Naskah asli lontaraq ini ditemukan pertama kali pada tahun 1982 dalam keadaan menyedihkan karena kumal dan robek-robek sehingga banyak bagiannya yang hilang. Bentuknya bergulung, dan apabila dibentangkan panjangnya bisa sampai 30 meter! Almarhum Drs. Muhammad Salim (penerjemah dua naskah pertama La Galigo di Leiden) merupakan tokoh penting yang memiliki andil dalam menyelamatkan naskah ini. Beliau membantu memperbaiki dan mengopi naskahnya sedemikian rupa sehingga bentuknya yang tadi memanjang dapat menjadi lembaran dan diberi nomer halaman.
Lontaraq ini kemudian dilengkapi bagian-bagiannya yang hilang oleh Bapak Muhammad Salim dengan menggunakan lontaraq-lontaraq sejenis yang diolah dari kepingan lontar yang juga mulai hancur. Wah, tragis sekali ya kondisi harta karun budaya di negara kita. Dengan sabar dan telaten Bapak Muhammad Salim menyusun kembali lontaraq ini sehingga dapat dibaca (meskipun pada beberapa bagian terdapat sobekan-sobekan yang hilang dan sudah tidak dapat ditolong lagi). Usia naskah ini telah berumur lebih dari 200 tahun. Ditulis pada abad ke-18 Masehi, sebagaimana tertera dalam halaman 71 naskah: ri 26 Nopember 1800, ri 15 September 1801 dan seterusnya. Bahan tulisannya berasal dari naskah lontaraq dan tradisi lisan yang berumur jauh lebih tua lagi. Naskah ini berbahasa Mandar Pantai dan Pegunungan kuno dengan campuran Bahasa Bugis dan Makassar. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan naskah ini ialah ditemukannya berlembar-lembar halaman berisi ilustrasi yang –bagi saya– untuk ukuran zaman itu tergolong rapi, cantik, dan luarbiasa unik! Ilustrasi-ilustrasi ini tidak hanya terletak di pinggiran atau sela-sela naskah, namun menghiasi kertas dengan penuh. Ilustrasi-ilustrasinya berhubungan dengan cerita yang dituliskan di halaman sebelum atau sesudahnya.
Ruang Perpustakaan Benteng Fort Rotterdam, Makassar
Mitos Todipanurung di Mandar
Ketika membaca foto-kopi naskah ini, khususnya pada bagian asal-muasal penghuni Mandar Pesisir dan Kondosapata, saya menemukan banyak hal menarik yang mengingatkan saya akan epos besar La Galigo. Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang Tomanurung (lontar ini menggunakan terminologi “Todipanurung”, namun dalam terjemahan istilah yang dipakai Bapak Azis ialah Tomanurung) atau orang yang turun dari langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. Tomanurung ini ada dua orang; To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan kemudian melahirkan seorang putra bernama To Banua Pong (“Orang Kampung Tua”). To Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan sepupu sekalinya (?) dan menurunkan lima orang anak.
Kelima anak To Banua Pong ini antara lain; I Landoq Beluaq sebagai anak perempuan sulung, I Laso Keppang, I Landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq secara harfiah berarti “Si Rambut Panjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelai rambutnya yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel si Putri Berambut Panjang dari Jerman, ya. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, Ia justru dibebaskan untuk menikah dengan sang pangeran lalu pergi menuju ke selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Paqdroang tinggal di Bittuang.
Paqdorang memperisterikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir empat bersaudara: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai di situ, sehingga di situlah perahu Pongkapadang berlabuh. Dalam versi Kondosapata, Pongkapadang mengembara hingga tiba di pesisir pantai Ulu Manda’, Mamuju yg kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut Ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu Ia angkat sebagai isteri dan Ia beri nama Torije’ne’ (Bahasa Makassar: to=manusia, ri=dari, je’ne’=air). Torije’ne’ ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya dengan Torije’ne’, Pongkapadang mendapat tujuh orang anak dan sebelas orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata; Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.
Putri-Putri Bangsawan Mandar dalam pakaian Tari Pattuduq. Sumber: Wikipedia
Todipanurung di Mandar dan Tomanurung di Bugis
Kisah di dalam Lontar Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsur yang berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia di bumi diawali oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi (lautan).
Karakter Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang keluar dari bambu”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Tomanurung dan Totompoq dalam La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambu betung, sehingga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bambu). We Nyiliq Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan To TompoE ri Busa Empong alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautan. Perbedaan antara kedua mitos ini terletak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo tokoh laki-laki ialah Ia yang menetas dari bambu betung, maka di dalam versi Lontara Pattodioloang Ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buih ialah seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang Ia justru berjenis kelamin laki-laki. Perlu dicatat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.
Sebagian sumber sejarah Mandar, sebagaimana yang disarikan oleh Drs. Anwar Sewang, konon menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara yang dimaksud di sini bisa berarti putra Batara Lattuq dari perempuan lain selain permaisurinya, We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai karakter penamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bambu betung” dan “manusia yang muncul dari busa-busa di lautan” inilah generasi maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sistem-sistem nilai.
Hal yang menarik dari mitos Todipanurung ialah; pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode sianre bale tauwwe, bermunculan banyak Tomanurung di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada Tomanurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu; To Kombong di Wura dan To Bisse di Tallang. Tomanurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar biasa lah yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti Pongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia Todilaling, Tomepayung, dan lain sebagainya.
Siti KDI dalam balutan Baju Pokkoq, busana khas Mandar
Sebenarnya ada sosok Tomanurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri Tonisesse di Tingalor. Akan tetapi, Ia tidak dapat digolongkan ke dalam kategori Tomanurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. Tonisesse di Tingalor merupakan putri seorang dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih menari untuk upacara kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa Mandar: Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam perut ikan.
Ketika dibelah, Ia menemukan sang putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias yang berasal dari sang putri sebagai pusaka. Sang putri di bawa kepada raja Pamboang lalu dinikahkan dengan putra mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, Tonisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari Ia tengah bernyanyi untuk bayinya, sang suami datang dan meminta sang putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, sang suami tetap memaksa. Dengan berat hati, Tonisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah Ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil di atap rumah mereka membuka dan tiba-tiba Tonisesse di Tingalor melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis Ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan Tonisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.
Kesamaan budaya antara Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif lokal, serta adat-istiadat. Perbedaan yang ada antara keempat etnis serumpun ini janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi aset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Saya bangga sebagai seorang putra daerah dengan campuran darah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, bahkan Jawa dan Melayu. Karena dengan mengakui, menjaga serta mengkaji semuanya tanpa membeda-bedakan, saya dapat menjadi orang Indonesia sesungguhnya.
Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut sama mendaratkan)!
Siapa yang tidak kenal Butet Manurung? Wanita keren ini tampak perkasa ketika dirinya tengah diliput di layar kaca. Tampilannya terkesan ‘liar’, mengingat pekerjaan mulianya sebagai pengajar anak-anak rimba di pedalaman Jambi. Ketika beberapa hari lalu saya -ditemani seorang sahabat bernama Izna- berkesempatan menghadiri seminar The Jungle School – A Homework Free Diary yang diselenggarakan oleh Makassar International Writers Festival 2012, imajinasi ‘pengajar liar; yang kami harap-harapkan itu buyar. Di sana, saya bertatap muka langsung dengan Mbak Butet, dengan sesosok “Manurung”‘.
Mengenakan dress batik, Mbak Butet kelihatan lebih feminin daripada style yang biasa saya lihat di foto-foto: berkemben sarung dan duduk di tengah anak-anak yang sedang belajar. Namun rambut ikal dan kulitnya yang khas langsung meyakinkan kami bahwa Ia adalah orang yang sama. Hanya saja, Mbak Butet yang sekarang lebih kurus, katanya habis terserang malaria sampai kehilangan bobot 10 kg.
Sebenarnya kami agak penasaran, dari mana nama “Manurung” diperoleh Mbak Butet. Bukankah dalam La Galigo kita cukup familiar dengan kata “To Manurung” (orang yang turun dari langit)? Apakah beliau juga memiliki darah Sulawesi? Belakangan kami baru tahu bahwa di Sumatera Utara (daerah asal Mbak Butet), marga Manurung pun lazim dikalangan masyarakat Batak. Terlepas dari itu, beliau memang bisa diibaratkan sebagai “Manurung” di tengah rimba. Datang k esana membawa perubahan yang membantu komunitas adat setempat agar lebih mandiri menghadapi kepentingan-kepentingan materialistik yang memasuki kampung mereka.
Gadis-gadis dari Sokola Pesisir
Dibuka oleh penampilan penari-penari cilik dari Sokola Pesisir yang kelihatan masih malu-malu, seminar tersebut mulai pukul 16.30 WITA. Dimoderatori oleh Ahmad Fuadi, pengarang buku best-seller “Negeri 5 Menara” yang sempat difilmkan beberapa waktu yang lalu, presentasi semakin menarik karena dibumbui cerita-cerita unik Mbak Butet mengenai pengalamannya sejak tahun 1999 “masuk hutan”.
Konon, untuk menembus pergaulan Orang Rimba, sulitnya minta ampun. Kesulitan bahasa dan kebiasaan menjadi jurang pemisah yang sangat lebar agar mereka dapat saling berbaur. Sampai-sampai pengucapan yang kurang sempurna memaksa Mbak Butet rela diubah namanya menjadi “Bontet” oleh penduduk lokal.
Kami tertawa jika mendengar kisah-kisah luar biasa itu. Bagaimana seharusnya kita belajar dari kesederhanaan Orang Rimba yang “mengasihani” sistem kepemilikan masyarakat perkotaan. Kita yang dengan tegas melabeli kepunyaan kita dan hanya sedikit orang yang masih mau berbagi. Anak-anak rimba ini bingung melihat ada mobil Merci yang kosong, sementara di sebelahnya orang-orang berdesakan di dalam bus. Dengan kepolosan itu seharusnya kita malu; ego benar-benar merusak mental masyarakat. Padahal Tuhan lah pemilik segala apa yang ada di bumi ini.
Seiring melonjaknya kebutuhan kita akan kayu, hal yang sama mendesak para logger untuk mengikis hutan-hutan yang merupakan rumah mereka. Bagi Orang Rimba, itu bukan sekedar hutan, namun juga sekolah yang mengajarkan luhurnya alam kepada manusia. Mbak Butet bahkan pernah berlari 9 jam karena diburu senapan oleh seorang logger yang sadar ketika foto mereka diambil. Kerjasama dengan pemerintah membuat perusahaan-perusahaan raksasa ini merasa berkuasa menebas kayu maupun orang-orang yang berani mengangkat masalah ini ke permukaan.
***
Sokola Pesisir didirikan pada tahun 2003 dan kini memiliki banyak cabang. Sokola Pesisir Mariso yang kita kenal di Sulawesi Selatan pun merupakan buah usaha dari Mbak Butet dkk. Saat ini mereka sedang mencari tenaga sukarelawan untuk ditempatkan di Flores dan Kajang (satunya lagi saya lupa). Informasi lebih jelas bisa dilihat di website resmi sokola.org. Kata Mbak Butet, untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi membantu orang lain, kita harus berani tampil menjadi diri kita sendiri. Bermula dari mimpi dan khayalan, untuk menjadi keren tidak perlu repot-repot menjadi jagoan dengan kekuatan super. Dengan berguna bagi sesama, lakukanlah pekerjaan yang kita cintai. Mudah-mudahan kita bisa merasa “cukup” dan menepis keinginan-keinginan yang takkan terbatas. Banyak hal lain yang lebih penting untuk dibenahi ketimbang memenuhi angan-angan materi.
Kalau dikait-kaitkan dengan Lontara Project, saya jadi lebih semangat. Setidaknya kami berempat, nahkoda utamanya, masih satu bahasa. Yang paling penting lagi adalah kami tidak berkeliaran kemana-mana menggunakan cawat. Hehehe… Bersyukurlah!