Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Perbandingan Mitos Todipanurung di Mandar dan Kisah Tomanurung Batara Guru dalam La Galigo

Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna Salu atau yang biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja (Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.  

Lontara Pattodioloang Mandar

Berbeda dengan sepupu-sepupunya seperti Bugis-Makassar dan Toraja, informasi seputar kebudayaan Mandar di internet maupun lewat buku-buku amatlah terbatas. Saya sendiri yang berdarah setengah Mandar dan seumur-umur hidup di perantauan mengetahui Mandar hanya dari cerita-cerita singkat ayah saya saja. Menyedihkannya, kosakata Bahasa Inggris dan Spanyol saya  jauh lebih kaya daripada pemahaman akan Bahasa Mandar. Yang melekat di kepala saya tentang Mandar ialah jejeran pohon kelapa di kebun keluarga di Polewali, bau peappi, perahu Sandeq, dan ilmu hitam.

Suatu hari di bulan April yang kadang basah kadang cerah, saya menikmati liburan semester dengan pulang ke Makassar dan mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam pasca renovasi. Setelah puas berkeliling, saya dan adik Rafika Ramli memutuskan untuk iseng ke perpustakaan di pojok belakang benteng ini. Perpustakaannya bagus, sayang kurang terawat dan koleksi bukunya pun tidak begitu banyak. Ada meja tua Belanda yang masih kuat serta buku-buku sejarah dan budaya yang tergolong langka di sana.  Rak-rak bukunya di tata mengelilingi ruangan. Mata saya yang sedari tadi menelusuri judul-judul buku di rak tua nan berdebu itu seketika membelalak ketika membaca “LONTARA PATTODILOANG DI MANDAR”.

Terus terang, buat saya sebagai seorang pecinta budaya dan pendalam La Galigo, hal-hal yang berbau lontar itu fascinating. Apalagi ini lontar yang berasal dari Mandar, daerah dimana ekspresi budayanya kurang terekspos di panggung nasional. Setelah memutuskan untuk memfoto-kopi naskahnya, saya pun pulang. Salinan naskah tersebut ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Drs. M. T. Azis Syah pada masa almarhum Prof. DR. H. A. Amiruddin masih menjabat sebagai gubernur. Naskah asli lontaraq ini ditemukan pertama kali pada tahun 1982 dalam keadaan menyedihkan karena kumal dan robek-robek sehingga banyak bagiannya yang hilang. Bentuknya bergulung, dan apabila dibentangkan panjangnya bisa sampai 30 meter! Almarhum Drs. Muhammad Salim (penerjemah dua naskah pertama La Galigo di Leiden) merupakan tokoh penting yang memiliki andil dalam menyelamatkan naskah ini. Beliau membantu memperbaiki dan mengopi naskahnya sedemikian rupa sehingga bentuknya yang tadi memanjang dapat menjadi lembaran dan diberi nomer halaman.

Lontaraq ini kemudian dilengkapi bagian-bagiannya yang hilang oleh Bapak Muhammad Salim dengan menggunakan lontaraq-lontaraq sejenis yang diolah dari kepingan lontar yang juga mulai hancur. Wah, tragis sekali ya kondisi harta karun budaya di negara kita. Dengan sabar dan telaten Bapak Muhammad Salim menyusun kembali lontaraq ini sehingga dapat dibaca (meskipun pada beberapa bagian terdapat sobekan-sobekan yang hilang dan sudah tidak dapat ditolong lagi). Usia naskah ini telah berumur lebih dari 200 tahun. Ditulis pada abad ke-18 Masehi, sebagaimana tertera dalam halaman 71 naskah: ri 26 Nopember 1800, ri 15 September 1801 dan seterusnya. Bahan tulisannya berasal dari naskah lontaraq dan tradisi lisan yang berumur jauh lebih tua lagi. Naskah ini berbahasa Mandar Pantai dan Pegunungan kuno dengan campuran Bahasa Bugis dan Makassar. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan naskah ini ialah ditemukannya berlembar-lembar halaman berisi ilustrasi yang –bagi saya– untuk ukuran zaman itu tergolong rapi, cantik, dan luarbiasa unik! Ilustrasi-ilustrasi ini tidak hanya terletak di pinggiran atau sela-sela naskah, namun menghiasi kertas dengan penuh. Ilustrasi-ilustrasinya berhubungan dengan cerita yang dituliskan di halaman sebelum atau sesudahnya.

Ruang Perpustakaan Benteng Fort Rotterdam, Makassar

Mitos Todipanurung di Mandar

Ketika membaca foto-kopi naskah ini, khususnya pada bagian asal-muasal penghuni Mandar Pesisir dan Kondosapata, saya menemukan banyak hal menarik yang mengingatkan saya akan epos besar La Galigo. Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang Tomanurung (lontar ini menggunakan terminologi “Todipanurung”, namun dalam terjemahan istilah yang dipakai Bapak Azis ialah Tomanurung) atau orang yang turun dari langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. Tomanurung ini ada dua orang; To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan kemudian melahirkan seorang putra bernama To Banua Pong (“Orang Kampung Tua”). To Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan sepupu sekalinya (?) dan menurunkan lima orang anak.

Kelima anak To Banua Pong ini antara lain; I Landoq Beluaq sebagai anak perempuan sulung, I Laso Keppang, I Landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq Beluaq secara harfiah berarti “Si Rambut Panjang”. Ia dikisahkan menikah dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelai rambutnya yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel si Putri Berambut Panjang dari Jerman, ya. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, Ia justru dibebaskan untuk menikah dengan sang pangeran lalu pergi menuju ke selatan, menjadi leluhur bangsa Makassar. Anak kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di Karonnangan, dan yang terakhir Paqdroang tinggal di Bittuang.

Paqdorang memperisterikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir empat bersaudara: I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur orang Mamasa, anak ketiga tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya sampai di situ, sehingga di situlah perahu Pongkapadang berlabuh. Dalam versi Kondosapata, Pongkapadang mengembara hingga tiba di pesisir pantai Ulu Manda’, Mamuju yg kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut Ia menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu Ia angkat sebagai isteri dan Ia beri nama Torije’ne’ (Bahasa Makassar: to=manusia, ri=dari, je’ne’=air). Torije’ne’ ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya dengan Torije’ne’, Pongkapadang mendapat tujuh orang anak dan sebelas orang cucu, sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata; Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah dan Selatan.

Putri-Putri Bangsawan Mandar dalam pakaian Tari Pattuduq. Sumber: Wikipedia

Todipanurung di Mandar dan Tomanurung di Bugis

Kisah di dalam Lontar Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsur yang berkembang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia di bumi diawali oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah bumi (lautan).

Karakter Todipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang “manusia yang keluar dari bambu”. Dari namanya, kedua karakter ini identik dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, Tomanurung dan Totompoq dalam La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambu betung, sehingga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bambu). We Nyiliq Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan To TompoE ri Busa Empong alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautan. Perbedaan antara kedua mitos ini terletak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La Galigo tokoh laki-laki ialah Ia yang menetas dari bambu betung, maka di dalam versi Lontara Pattodioloang Ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buih ialah seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang Ia justru berjenis kelamin laki-laki. Perlu dicatat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.

Sebagian sumber sejarah Mandar, sebagaimana yang disarikan oleh Drs. Anwar Sewang, konon menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara yang dimaksud di sini bisa berarti putra Batara Lattuq dari perempuan lain selain permaisurinya, We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai karakter penamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bambu betung” dan “manusia yang muncul dari busa-busa di lautan” inilah generasi maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sistem-sistem nilai.

Hal yang menarik dari mitos Todipanurung ialah; pasca masa-masa chaotic yang dikenal dengan periode sianre bale tauwwe, bermunculan banyak Tomanurung di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada Tomanurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna Salu; To Kombong di Wura dan To Bisse di Tallang. Tomanurung ini mampir ke muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban. Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar biasa lah yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya seperti Pongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia Todilaling, Tomepayung, dan lain sebagainya.

Siti KDI dalam balutan Baju Pokkoq, busana khas Mandar

Sebenarnya ada sosok Tomanurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri Tonisesse di Tingalor. Akan tetapi, Ia tidak dapat digolongkan ke dalam kategori Tomanurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. Tonisesse di Tingalor merupakan putri seorang dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika tengah berlatih menari untuk upacara kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa Mandar: Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang bernyanyi dari dalam perut ikan.

Ketika dibelah, Ia menemukan sang putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting) dan kuku-kuku hias yang berasal dari sang putri sebagai pusaka. Sang putri di bawa kepada raja Pamboang lalu dinikahkan dengan putra mahkota. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, Tonisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa. Suatu hari Ia tengah bernyanyi untuk bayinya, sang suami datang dan meminta sang putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, sang suami tetap memaksa. Dengan berat hati, Tonisesse di Tingalor lalu bernyanyi dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah Ia mulai bernyanyi untuk suaminya, celah kecil di atap rumah mereka membuka dan tiba-tiba Tonisesse di Tingalor melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis Ia terbang kembali ke kahyangan. Gerakan Tonisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.

Kesamaan budaya antara Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif lokal, serta adat-istiadat. Perbedaan yang ada antara keempat etnis serumpun ini janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi aset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Saya bangga sebagai seorang putra daerah dengan campuran darah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, bahkan Jawa dan Melayu. Karena dengan mengakui, menjaga serta mengkaji semuanya tanpa membeda-bedakan, saya dapat menjadi orang Indonesia sesungguhnya.

Malilu sipakaingaq, raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama mengapungkan, hanyut sama mendaratkan)!

 

Referensi:
Andi Syaiful Sinrang, 1980, Mengenal Mandar Sekilas Lintas, Penerbit Tipalayo Polemaju.
Drs. M. T. Azis Syah, 1993, Lontarak Pattodioloang di Mandar Jilid I, Taruna Remaja, Ujung Pandang.
Muhammad Ridwan Alimuddin, http://www.radar-sulbar.com/feature/lombeng-susu-dan-banua-batang/, diakses pada tanggal 3 Juli 2012.
http://mamasa-online.blogspot.com/
http://mustarimula.blogspot.com/2010/10/entografi-budaya-masyarakat-mandar.html
http://putra-mandar.web.id/artikel/sejarah-lahirnya-kondosapata-3.html

Categories
101 La Galigo Old Stuff Good Stuff

Yang Tersisa dari Mutiara Tompoq Tikkaq

Kalau saja seluruh kisah cinta keturunan Batara Guru (mulai dari Batara Lattuq yang dalam episode Mutiara Tompoq Tikkaq berlayar untuk menemukan tambatan hati yang belum pernah Ia lihat sekilas pun wajahnya) dijadikan buku atau film… Twilight bakalan lewat!!! Niscaya yang diteriakkan remaja gadis hari ini bukan lagi “EDWAAARD!!! JACOOOB!!!” melainkan “BATARA LATTUQ!!! MARRY MEEE…”.

Apa coba?

Jangan anggap remeh dulu, nenek moyang kita terbukti gila dalam berfantasi, ratusan tahun sebelum Stephanie Meyer bahkan. Mereka mampu menciptakan adegan cinta super-lebay dan sangat jeli dalam menceritakan hal-hal romantis (meskipun sebenarnya amat repetitif dalam mendeskripsikan detail). Berani jamin, kalau dibaca anak perempuan labil seperti fans Twilight, maka hiduplah mereka dalam khayalan romantisme ala lelaki Bugis jaman dulu.

Sparkling Gay vs Not-Sparkling Gay

Ya, nenek moyang kita memang hidup dalam cerita turun menurun bahwasanya dahulu pembesar negeri Bugis ini merupakan keturunan mahapenting, yakni To Manurung -para pewaris Bottiq Langiq dan Peretiwi yang kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Batara Lattuq. Batara Lattuq ialah calon raja selanjutnya yang akan menggantikan Batara Guru memerintah Kerajaan Ale Luwu dengan segala kebesaran dan kemasyhurannya. Beranjak dewasa, Batara Guru merasakan kegelisahan si perjaka Luwu yang telah tiba masanya untuk mempersunting seorang gadis. Namun dengan satu catatan mutlak : Perempuan ini haruslah memiliki garis keturunan dewa pula untuk menjaga kemurnian darah mulia mereka, yang digambarkan saat Batara Lattuq datang meminang We Datu Sengngeng (satu diantara dua bersaudara yang kecantikannya tiada tara – bahkan tidak ada yang lebih cantik lagi di atas Botting Langiq sana atau di bawah Bumi Peretiwi). We Adiluwuq yang merupakan kakak We Datu Sengngeng bahkan secara dramatis mengiris jarinya sendiri, memperlihatkan darah dewa-nya yang berwarna putih susu (bahkan dalam artian yang sebenarnya, jadi bukan istilah darah biru seperti pada bangsawan Jawa) kepada Batara Lattuq.

Singkat cerita, digambarkan pula bagaimana kerennya perahu (kalau di zaman sekarang mungkin bisa disamakan dengan mobil mewah ya) dan mahar Batara Lattuq yang langsung diturunkan oleh Datu Patotoqe, sang kakek yang menjadi penguasa Dunia Atas. Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mengangkut harta benda masuk ke dalam perahu yang extravagant, kehadiran ribuan perahu pendamping, ribuan pengayuh, ribuan dayang-dayang, dan segala jumlah ribuan lainnya demi mengarungi samudera berbulan-bulan menuju Kerajaan Tompoq Tikkaq, tempat We Datu Sengngeng berada.

Peta Pelayaran Batara Lattuq menuju Tompoq Tikkaq oleh F. Ambo Enre (Sumber: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Dunia, 2003)

Itu baru mula cerita.

Takkan habis rasanya berimajinasi akan keroyalan Kerajaan Luwu pada masa itu. Cerita-cerita tersebut mengindikasikan betapa kekayaan alam, bumi dan langit mampu menanggung kebutuhan berpesta selama berhari-hari dengan jamuan tak terhingga. Alam itu sendiri yang menjadi tuan rumah dan menjamu para hadirin.

Kerajaan Ale Luwu atau Tompoq Tikkaq kini tidak menyisakan apapun selain nama. Bahkan tak secuil pun kehormatan pada anak cucunya yang bisa dibanggakan. Kisah kemegahan keturunan dewata, kerajaan yang bersahabat dengan alam, dan segala keagungannya itu hanya tinggal naskah bisu dalam kesunyian di tengah temperatur dingin pada sebuah ruangan khusus di Leiden, Belanda. Sementara hanya segelintir orang yang menangisi dari tanah Bugis untuk menunggunya pulang, generasi muda Indonesia semakin lama semakin luntur dari kearifan lokal nenek moyang mereka.

Semoga kita masih bisa menyaksikan hari ketika Batara Lattuq menjadi sepopuler Edward Cullen. Suatu hari nanti, mudah-mudahan.

Categories
101 La Galigo Old Stuff Good Stuff

Kisah La Galigo dalam Tiga Paragraf

La Galigo Pelayaran ke Tanah Cina

Banyak yang penasaran dengan cerita yang dikisahkan dalam La Galigo. Namun berhubung tidak banyak terjemahan yang tersedia (serta belum lengkapnya usaha para ahli untuk menerjemahkan 12 volume manuskripnya), hanya sedikit yang mengetahui inti cerita naskah terpanjang di dunia ini. Di sini kami berusaha untuk merangkum ke-300.000 baris teksnya ke dalam tiga buah paragraf untuk Anda, pecinta La Galigo muda 🙂

Dahulu kala, orang Bugis memiliki kepercayaan tentang keberadaan dewa-dewi yang  mendiami tiga dimensi berbeda. Dimensi pertama ialah Boting Langiq (kerajaan langit) atau yang biasa disebut “dunia atas”. Ada Buriq Liu (kerajaan bawah laut) atau disebut juga Pérétiwi (dunia  bawah). Dimensi ketiga yang berada di antara keduanya ialah Alé kawaq, bumi yang kita tempati.

Dalam Naskah “Mula Tau” diceritakan bahwa Patotoé atau Dewa Tertinggi yang bertahta di  Boting Langiq mempunyai saudara perempuan bernama Sinauq Toja, dewi di Pérétiwi. Sinauq Toja kawin dengan Guru Ri Selleq dari Pérétiwi, sementara  Guru Ri Selleq juga mempunyai saudara perempuan bernama Datu Palinge. Datu  Palinge inilah yang menjadi istri Patotoé. Perkawinan Patotoé dengan Datu Palinge membuahkan beberapa anak. Salah satunya bernama La Togeq Langiq yang selanjutnya diutus ke bumi untuk menjadi penguasa di sana. La Togeq Langiq lebih dikenal dengan gelar Batara Guru di dalam naskah-naskah La Galigo. Batara Guru kemudian kawin dengan sepupunya dari Pérétiwi bernama Wé Nyiliq Timoq, dimana selanjutnya dari Wé Nyiliq Timoq lahirlah Batara Lattuq, ayah Sawérigading. Sawérigading inilah yang kemudian menjadi ayah I La Galigo (Nurhayati Rahman, 2006:13).

Sawérigading dikisahkan memiliki saudara kembar perempuan yang bernama Wé Tenriabéng, yang dipisahkan sejak lahir karena sebagai “Anak Kembar Emas”, ditakutkan mereka berdua akan saling jatuh cinta saat dewasa. Namun pada kenyataannya, Sawérigading bertemu dengan Wé Tenriabéng di sebuah jamuan makan tanpa sengaja, terjadilah apa yang ditakutkan selama ini. Singkat cerita, Sawérigading gagal meminang adik kandungnya sendiri karena hal itu sangat bertentangan dengan adat dan kebiasaan, dan akhirnya memutuskan berlayar menuju tanah Cina. Ditemani pengawal dan ajudan-ajudannya, Ia menemui Putri Cina bernama I Wé Cudai untuk dinikahi. Dari keseluruhan cerita, petualangan Sawérigading ke tanah Cina lah yang paling mendominasi dan menjadi topik hangat yang sering diperbincangkan oleh para peminat kisah La Galigo. Epik La Galigo adalah rangkaian cerita dari beberapa generasi keturunan Tomanurung (anak-cucu para dewa) yang berisi petualangan seru, magis, dan penuh dengan drama.