Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Menemukan Persembunyian Sang Elang Bondol

Satwa Indonesia terancam! Aduh aduh… Di negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi seperti tanah air ini ternyata semakin banyak saja hewan-hewan endemik yang masuk ke dalam daftar binatang langka. Salah satunya adalah Elang Bondol. Mari simak petualangan kontributor kami Githa Anathasia dalam pencariannya menemukan persembunyian Elang Bondol…

Uhh, bau amis menyengat begitu kami memasuki kawasan Muara Angke Jakarta. Pagi itu, kami berencana mengunjungi salah satu pulau di Kep.Seribu yang bernama Pulau Kotok Besar, melalui penyeberangan dermaga Muara Angke. Rasa penasaran yang besar, membuat kami ingin mengunjungi pulau tersebut, berdasarkan info yang didapat bahwa di pulau tersebut terdapat tempat Konservasi Elang Bondol dan Elang Laut, yang keberadaanya di Indonesia khususnya sekitaran Jakarta sudah bisa dibilang hampir musnah.

Haliastur Indus atau Brahminy Kite nama spesies ini. Memiliki ukuran sedang (45 cm), berwarna putih dan coklat pirang. Elang bondol yang remaja berkarakter seluruh tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah putih keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga.Ujung ekor bundar.Iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, kaki dan tungkai kuning suram.
Ketika dewasa,karakter tubuhnya adalah,kepala, leher, dada putih. Sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang. Kontras dengan bulu primer yang hitam. Makanannya hampir semua binatang, hidup atau mati.Di perairan, makanannya berupa kepiting, dan di daratan memakan anak ayam, seranggan dan mamalia kecil. Memiliki sarang berukuran besar, yang terbuat dari ranting pada puncak pohon. Warna telurnya putih, sedikit berbintik merah, jumlah 2-3 butir.Perkembang biakan pada bulan Januari-Agustus, dan Mei-Juli.
Sekitar tahun 1989, elang bondol dan Salak Condet dijadikan sebagai maskot kota Jakarta. Hal itu bisa dilihat di kawasan Cempaka Putih. Di sana terdapat sebuah patung tegak berdiri, yakni patung “burung bondol membawa salak condet”. Kalau di India, dianggap sebagai representasi kontemporer Garuda, burung suci dari Wisnu.

Bahkan ada sebuah fabel yang berjudul Pulau Bougenville menceritakan seorang ibu yang meninggalkan anaknya di bawah pohon pisang sambil berkebun, dan si bayi melayang ke langit sambil menangis dan berubah menjadi Kaa’nang, yaitu elang bondol, dan kalungnya berubah menjadi bulu burung

Akhirnya jam 6.30 kapal kami berangkat dari Dermaga Muara Angke menuju Dermaga Pulau Kelapa. 3 Jam berlalu, sampailah kami di Pulau Kelapa. Kami dijemput oleh guide kami, menuju Pulau Kotok yang berjarak sekitar 15-20 menit.
Sampailah kami di Pulau Kotok Besar yang bila dilihat dari luar seperti hutan, tetapi di sisi lain pulau tersebut terdapat resort yang cukup mewah bagi para honeymooners atau mereka yg ingin menginap dengan cara yang berbeda.

Dua ekor elang bondol beraksi depan kamera

Memasuki pulau ini , kami disambut dengan bunyi nyaring hewan yang ternyata selama ini kami pertanyakan keberadaanya, yakni Burung Elang Bondol. Mereka berada dalam kandang yang terbuat dari jaring jaring besar. Didalam kandang itu terdapat sebuah bak besar untuk hewan hewan tersebut minum. Tetapi hey, kenapa ada yang pincang ya trus kok bulunya ada yang hilang..?.
Akhirnya pertanyaan itu terjawab, menurut penuturan Mas Fauzi volunteer yang bekerja untuk JALAN ternyata burung burung malang ini adalah hasil sitaan mereka dari para pembeli ilegal.

Di Pulau Kotok Besar ini, burung burung tersebut di rawat dan akhirnya dikembalikan ke alam liar. Sebelum dilepaskan, ada proses adaptasi dan recovery terlebih dahulu.
Banyak sekali Elang Bondol disini, dan kondisinya memprihatinkan. Ada yang jarinya patah, sayap terbangnya patah, bahkan ada yang pincang. Dan itu bukan karena mereka berburu mangsa, tetapi karena manusia tidak bertanggung jawab yang membeli mereka yang berharap dengan memperlakukan mereka seperti itu, mereka tidak bisa terbang lagi. Ih .. jahatnya manusia.

Diluar dari Pulau Kotok terdapat jaring besar yang langsung menghubungkan Elang dengan laut, ternyata tempat itu berfungsi untuk tempat adaptasi sebelum akhirnya dilepas liarkan.

Tak hanya Elang Bondol yang ada disini, ada Oneng sang Elang Laut Perut Putih yang cantik dengan warna bulu sayapnya keabuan.
Haliaeetus leucogaster, nama latin spesies ini. Dengan tubuh sebesar (70 cm). Elang yang saya lihat berukuran dewasa dengan warna kepala, leher, bagian bawah putih serta sayap, punggung, dan ekor abu-abu. Elang ini hobi bertengger di pohon pinggir perairan atau daerah karang. Menurut Fauzi, bila burung ini menangkap ikan di permukaan laut dengan tukikan tajam, tubuhnya hampir tidak basah. Sarangnya terbuat dari dahan dan ranting berlapis daun pada pohon tinggi. Dengan telur berwarna putih, dan berkembang biak di bulan Mei dan Juni. Sayangnya, Oneng sudah tidak bisa lagi terbang seperti semula karena sayapnya sudah patah.

Melihat kondisi spesies ini yang menjadi maskot Ibukota dari Indonesia, sungguh disesalkan. Butuh kepedulian kita untuk tetap melestarikannya, jangan sampai punah. Selain karena proses perkembang biakannya yang lambat, hewan ini juga rentan menjadi incaran para kolektor memiliki daya tarik yang menawan, dan memiliki harga jual yang tinggi. Siapa yang tidak tergiur?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kita mengunjungi lokasi Konservasi atau rehabilitasi satwa.

Jangan datang terlalu ramai; bila jumlah kunjungan kita terlalu banyak, hewan yang ada di lokasi tersebut akan panik, selain membahayakan mereka, juga membahayakan diri kita sendiri
Jangan sekali kali memberi makan mereka dengan makanan yang kita bawa. Animal feeding itu memiliki impact yang tidak baik bagi satwa yang berada di daerah Konservasi/rehabilitasi. Gak mau kan, begitu kita tinggalkan lokasi tersebut hewan hewan itu mencari-cari makanan yang kita bawa, bukan makanan asli mereka lagi.
Dont touch anything. Kuman paling gampang menular melalui sentuhan tangan.
Use your mask, kalau misalnya kita memang sedang flu supaya tidak tertular ke mereka, begitupun sebaliknya.
Pahami, Catat, dan Bagikan. Pahami mengenai hewan tersebut, Catat hal penting yang nantinya bisa kita Bagikan ke orang lain.
Bantu teman teman volunteer, dengan turut menjaga kebersihan lokasi konservasi dan mengumpulkan donasi untuk kebutuhan pemeliharaan hewan hewan tersebut.
Yang terpenting, jangan membeli satwa langka / dilindungi dari para penjual. Tingkat kepunahan akan tinggi saat konsumen banyak yang membelinya.

Sudah seharusnya kita bangga akan hewan asli negara kita sendiri, jangan sampai menyesal ketikan hewan hewan tersebut sudah punah, atau saat diakui oleh negara lain. Di saat hewan hewan itu ada di negara kita, sebesar apa kontribusi kita untuk mereka?

 

Githa Anathasia, seorang ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha diwilayah tersebut.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Fashion of Keraton Nusantara Part – II

Lanjutan dari Fashion of Keraton Nusantara Part – I

Apa jadinya ketika putri-putri yang hidup dalam dongeng dan cerita rakyat tiba-tiba muncul ke dunia nyata dan berlenggak-lenggok di atas catwalk bak supermodel? Bagaimana jika Roro Ireng dari era pewarangan, Roro Jonggrang dari zaman Mataram Hindu bertemu dengan Nyi Blorong dan Nyi Roro Kidul dari era kerajaan Jawa Pertengahan? Itulah yang terjadi di Jogja Fashion Week 2010. Kreatifitas berpadu selera seni yang tinggi telah berhasil menghidupkan kembali putri-putri dari negeri dongeng ini kehadapan kita semua! Penasaran? Yuk, simak ceritanya berikut ini!

RORO IRENG

Sobat Lontara tentunya kenal dengan tokoh dalam pewayangan Purwa yang bernama Wara Sumbadra kan? Istri Arjuna, Sang Panengah Pandawa ini konon kecantikannya merupakan setengah dari kecantikan kaum Hawa itu sendiri! Saking cantiknya, tak heran ia menjadi rebutan banyak ksatria dan bangsa raksasa, seperti Burisrawa. Konon, sebelum menjadi luarbiasa cantik, Sumbadra terlahir dengan kulit hitam legam dan rambut ikal. Ia sering diejek dengan sebutan Roro Ireng alias “The Black Lady“. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Roro Ireng tumbuh menjadi wanita yang cantik, anggun dan elegan. Kesantunan, kelemah-lembutan serta kesetiaannya lah yang membuat lelaki playboy setaraf Arjuna jatuh cinta!

Kali ini Roro Ireng tampil dengan busana hitam nan megah. Gaunnya yang luarbiasa besar itu (harus diangkat oleh dua orang setiap kali dia berjalan!) dibuat bergelombang-gelombang kecil, selintas mengingatkan kita akan “wedhus gembel” gunung Merapi. Meskipun di wajahnya banyak diberi hiasan kehitam-hitaman (face painting) seperti jelaga akan tetapi kesan elegan serta menawan tidak jauh darinya. Kulit modelnya yang sawo matang pun menambah keeksotisan sosok yang ia bawakan ini. Siapa bilang item itu kurang menarik? Kalau kata Malcolm X dulu sih black is beautiful!

NYI RORO KIDUL

Nyi Roro Kidul adalah sosok perempuan yang paling misterius dalam dunia gaib tanah air. Ia ditakuti sekaligus dicintai oleh masyarakat yang tinggal di pesisir selatan Pulau Jawa. Konon dulunya ia adalah seorang wanita yang gemar bertapa dan mendapatkan kesaktian luarbiasa. Ia tidak ingin menikah dengan pangeran-pangeran yang melamarnya, maka demi menghindari keramaian dunia, ia memutuskan untuk pergi ke pantai selatan dan bertapa di sana. Di pesisir itulah ia menjadi penguasa segala jenis lelembut dan makhluk-makhluk halus lainnya.

Nyi Roro Kidul berperan penting dalam suksesi kepemimpinan di Tanah Jawa. Tanpa restu darinya, niscaya Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram yang berarti merupakan kakek moyang dari bangsawan-bangsawan Yogya dan Solo pada hari ini) tidak akan dapat mendirikan kerajaannya sendiri. Bantuan oleh makhluk gaib sebagai restu atas kedaulatan seorang raja banyak ditemukan di dalam mitos-mitos Jawa klasik.

Di pagelaran fashion ini, Nyi Roro Kidul tampil dengan busana Jawa tradisional yang dimodifikasi. Tentu saja, warnanya hijau. Konon menurut mitos masyarakat yang tinggal di pesisir selatan, warna hijau merupakan warna milik sang ratu. Hijau ini kadang-kadang dihubung-hubungkan pula dengan warna ular gadung  (ular berwarna hijau yang merupakan salah satu endemik Pulau Jawa), warna zamrud lautan, dan bahkan hingga warna pakaian Retno Dumilah, istri Panembahan Senopati yang konon membuat cemburu sang penguasa laut selatan. Hiasan rambutnya selintas mengingatkan kita akan hiasan rambut yang biasa dipakai oleh penari-penari Bali dalam Tari Pendet. Kalung bros bersusun tiga yang ia kenakan di dada biasanya dipakai juga oleh permaisuri-permaisuri dari keraton Yogya dan Solo sebagai lambang ketinggian derajat mereka. Cantik ya!

 

NYI BLORONG

Dalam kepercayaan Jawa, Nyi Blorong adalah seorang panglima bangsa lelembut yang berkuasa di Pantai Selatan. Nyi Blorong digambarkan berwujud seperti seorang perempuan cantik namun tubuh bagian bawahnya (dari pinggang hingga kaki) menyerupai ekor ular. Di kalangan pencari pesugihan, Nyi Blorong menjadi idola bagi kaum Adam. Konon setiap penyembahnya akan diberikan emas yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya pasca mereka bercinta. Hiii… Ngeri juga ya! Nyi Blorong biasa mewujudkan diri dalam bentuk seorang wanita yang mengenakan perhiasan dan kebaya bersulam emas. Kecantikan Nyi Blorong akan semakin bertambah seiring dengan sempurnanya cahaya bulan purnama.

Sang desainer memilih warna emas kecoklatan sebagai perwujudan dari Nyi Blorong yang diperankan oleh gadis remaja untuk event ini. Mungkinkah inspirasinya datang dari warna sisik ular emas? Hmmm… bisa jadi. Pada rambut model yang disasak terdapat hiasan kepala berbentuk ular kobra bermata merah yang di atasnya terpancang dua batang dupa. Dua sayapnya (yang mungkin terinspirasi dari kepala kobra) terbuka lebar, memamerkan keanggunan. Di bagian belakang Sobat Lontara dapat menyaksikan ekor buatan yang terbuat dari kapuk dengan motif batik yang seakan-akan membentuk sisik ular. Pokoknya totalitas banget deh sang desainer!  Yang jelas Nyi Blorong yang satu ini jauh sekali dari kesan horor karena ia terus-menerus menabur senyum pada para penonton!

 

RORO JONGGRANG

Dikutuk menjadi batu tidak dapat menghentikan langkah putri dari kerajaan Ratu Boko ini untuk mengikuti Jogja Fashion Week! Yup, inilah dia Roro Jonggrang, sang putri cantik yang dikutuk menjadi batu pelengkap candi keseribu oleh Pangerang Bandung Bondowoso. Konon patung Dewi Durga yang berada di Candi Prambanan hari ini merupakan perwujudan dari sang putri yang dengan licik menolak lamaran sang pangeran dengan jalan membunyikan alu dan lesung demi mengusir makhluk-makhluk halus yang membantu pembangunan candi pada malam hari.

Roro Jonggrang tampil dengan hiasan rambut berwarna oranye yang luarbiasa tinggi! Kuku-kukunya yang panjang selintas mengingatkan kita akan hiasan kuku pada penari Lampung. Kulit modelnya dibuat hitam kusan, dengan beberapa aksen putih sehingga menimbulkan kesan seakan-akan dirinya terbuat dari batu. Pakaian yang ia kenakan terinspirasi dari desain pakaian Batari Durga, pakaian zaman Mataram Hindu (abad ke-8 Masehi). Nah, sang desainer berimprovisasi dengan menyematkan hiasan berbentuk seperti payung terkembang di punggung Roro Jonggrang. Hiasan tersebut kelihatannya menyimbolkan sayap, karena pola batik yang digunakan bercorak Mega Mendung atau awan-awanan. Kreatif!

 

Itulah tadi empat putri dalam dongeng-dongeng Jawa klasik yang dihidupkan kembali oleh kreatifitas desainer-desainer lokal Daerah  Istimewa Yogyakarta. Inspirasi bisa datang dari mana saja, bahkan dari cerita rakyat untuk anak-anak sekalipun! Apakah Sobat Lontara dari daerah lain mungkin termotivasi untuk melakukan hal yang sama? Melestarikan budaya itu amat menyenangkan lho!

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Di Bawah Kaki Merapi Kami Mandiri

Ada banyak kisah lain di balik misteri dan kemarahan Gunung Merapi. Gunung yang menjadi ikon Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta sumber inspirasi atas mitos-mitos dan legenda lokal ini ternyata juga merupakan “ibu kehidupan” bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Mari ikuti  rekam penelusuran Githa Anathasia yang berkunjung ke kaki Gunung Merapi dalam tulisan berikut! 

Perjalananku kali ini, berbarengan dengan teman teman yang inigin mempelajari mengenai Manajemen Bencana di Desa Ngargomulyo, Magelang. Sebelum menuju Desa ini, kami mampir terlebih dahulu ke Warung Makan Lombok Ijo yang memiliki menu special antara lain : Beras Merah Organik, Ayam Bakar Bacem, Daun Pepaya tumis dll.

Selesai menikmati menu menu tersebut, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Merapi. Dengan membayar Rp.8.000/orang, kami sudah bisa berkeliling museum Merapi, dan melihat pertunjukan film yang diputar di Museum ini, dengan judul “Di Bawah Kaki Merapi”. Film ini sendiri berisi informasi mengenai ke-Gunung Merapian. Mulai dari kejadian Pra, dan Pasca erupsi Merapi dari tahun ke tahun.

Didirikan tahun 2004, dan sempat ditutup karena Erupsi akhirnya kembali dibuka di tahun 2011, Museum in imemiliki segala informasi mengenai ke Gunung Merapian. Meskipun keadaan plafon dari Museum ini banyak yang berlubang, karena dampak erupsi 2010 yang lalu, tetap saja Museum ini ramai dikunjungi pengunjung.

Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang adalah  salah satu Desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Desa  yang berketinggian 735-900 mdpl ini adalah salah satu kawasan di lereng barat Merapi yang masih baik kondisi hutannya .  Meski hutan-hutan di desa lain di kawasan lereng barat banyak yang rusak karena pertambangan namun desa ini memiliki tekad untuk tetap mempertahankan kondisi hutan yang mereka miliki.

Desa ini termasuk desa yang kecil dengan 11 dusun. Dusun tersebut adalah Sabrang, Kembang, Tanen, Batur Ngisor, Batur Nduwur, Gemer, Tangkil, Ngandong, Karanganyar, dan Bojong. Hutan ini merupakan daerah tangkapan air yang penting di Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo, salah satunya adalah Sungai Blongkeng.


Tak cukup sampai disitu, desa ini pula memiliki BIOGAS, bahkan mereka mengklaim desa mereka sebagai desa pertama di Magelang yang memiliki BIOGASKetersediaan air yang melimpah sangat mendukung kegiatan pertanian di desa ini. Dengan jumlah penduduk sekitar 2.381 jiwa, hampir 90% nya adalah petani. Pertanian yang di kembangkan di daerah ini adalah persawahan basah dengan komoditas utama tanaman  padi. Disamping menanam padi mereka juga mengembangkan tanaman tegalan dengan jenis sayuran cabe, kubis, sawi, buncis, dan lain-lain. Sebagian petani ini masih mempertahankan pola pertanian tradisional dengan sistem pertanian organik.

Biogas ini sendiri dihasilkan oleh ternak mereka, yang dominan memiliki ternak sapi. Penggunaan BIOGAS bagi kehidupan sehari hari dirasa cukup membantu warga sekitar untuk memasak, atau aktivitas lain. Masyarakat Ngargomulyo yang sederhana  juga masih memiliki semangat gotong royong yang tinggi. Budaya sambatan(gotong-royong)  adalah salah satunya. Ketika sebuah keluarga membangun rumah maka para tetangga secara sukarela turut membantu.

Ngargomulyo  juga kaya akan kesenian daerah. Kesenian  yang telah mengakar antara lain Jantilan, Reog, Karawitan, Jaelantur, Angguk, Cakar lele, kuda lumping, topeng ireng dan lain-lain. Kebetulan pada saat kedatangan kami disana, disambut oleh Jathilan yang berjudul Ponorogo. Dimainkan oleh 8 orang lelaki dewasa, yang menari diatas kuda lumping terlihat begitu  semangat, meskipun matahari sedang terik bersinar.  Ada satu momen unik disini.

Entah darimana asalnya, aroma kemenyan begitu kuat menusuk hidung, tak maksud mencari darimana, kami berusaha menikmati sajian kesenian dari desa ini.

   

Makan siang kami pun, menggunakan makanan khas Desa Ngargomulyo, Soto Kampung. Begitu mereka menamai makanan tersebut. Isian soto tersebut, ada wortel kukus, telur, dan pootongan daging ayam. Sesuai bentuknya, kuliner ini wajib dinikmati bagi para pelancong yang datang ke desa ini.

Tak cukup hanya disitu, malam harinya kami diajak untuk menikmati kegiatan Karawitan. Bila ditanya, sudah sejak kapan, para pelaku kegiatan ini mengaku sudah sejak nenek buyut, mereka diwariskan kegiatan ini. Cukup malu, bagi saya bila melihat mereka yang sedang berlatih giat dimalam hari, sebagian besar adalah para manula dan hebatnya mereka rela pulang larut malam demi kegiatan ini.

Sambil mendengarkan 3 tembang berturut turut bahkan kami ikut belajar, lebih tepatnya mungkin merecoki kelompok Karawitan ini. Lirik jam tangan, sudah pukul 10 malam. Kami harus segera bergegas kembali ke penginapan masing masing dan beristirahat. Sayang cuaca kurang mendukung pagi itu, tapi syukurlah tak menyurutkan niat kami untuk menunggu Sunrise muncul dari balik Merapi.  Tak perlu menunggu lama, muncullah mentari itu.

Sempurna …

Setelah selesai kami hunting sunrise, kami memutuskan untuk memulai trekking  menuju Jurang Njero. Terletak di kawasan Taman Nasional  Gunung  Merapi, lokasi ini dulunya adalah lokasi bendungan yang berbentuk seperti Jurang, setelah terjadi erupsi lokasi ini menyisakan batu batuan besar, serta bentuk jurang yang semakin dalam dan berbatu. Tapi menghasilkan pemandangan fotografis yang menakjubkan, di apit oleh Gunung Merapi  dan Gunung Merbabu.

Dulu di lokasi ini terdapat sebuah prasasti yang ditandatangani oleh Alm. Bp. Soeharto, yang menandakan bahwa Bendungan ini telah selesai dibangun. Tetapi, sekarang prasasti ini hanya berupa batuan saja, karena tanda tangan yang asli sudah dipindahkan ke museum di Jogja.

Bagi yang suka dengan fotografi view landscape dari sini cukup menggiurkan.  Salah satu fotonya saya pampang disini.

Selesai mengunjungi lokasi ini, kami kembali menuju penginapan melalui jalur yang berbeda pada saat kami datang.  Jalur kami berakhir di Sungai Blongkeng, sambil diajak memetik selada air, dan menikmati segarnya udara serta air yang berasal dari pegunungan yang mengalir di kaki kami.

Perjalanan pun diakhiri sampai sini, kami kembali ke penginapan untuk selanjutnya menuju jakarta

Sungguh suatu liburan yang bukan hanya berwisata tapi juga mengedukasi orang lain untuk belajar mengenai pengalaman mengatasi bencana erupsi, dan bagaimana sebuah kelompok masyarakat bisa menginspirasi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian kan?

 

Githa Anathasia, Ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha diwilayah tersebut.