Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Batik Lasem, Akulturasi Tionghoa dan Jawa

Lasem adalah sebuah kecamatan yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa, lebih tepatnya di Kabupaten Rembang. Kota ini dikenal dengan sebutan “Little Tiongkok”. Hal ini dapat dilihat dari bangunan bangunan tua yang berada di daerah ini. Detail-detail pada bangunan-bangunan tersebut didominasi oleh arsitektur  Cina. Selain di kenal dengan nama Little Tiongkok, Lasem ini juga di kenal dengan batiknya.

Batik lasem terkenal karena keunikan motif dan coraknya. Pada batik Lasem ini kamu dapat menyaksikan akulturasi antara kebudayaan Jawa dan Cina. Menurut sejarah, batik pertama kali dikenal di Lasem melalui seorang anak buah kapal Laksamana Cheng Ho yang bernama Bi Nang Un dengan isteri yang bernama Ibu Na Li Ni. Mereka datang ke Lasem  pada tahun 1400-an. Keduanya menetap di daerah Jolotundo. Bi Nang Un adalah seorang ahli bertukang, terutama dalam membuat  kerajinan dari tembaga dan ukiran. Sedangkan istrinya, ibu Na Li Ni, menularkan seni penulisan di atas kain menjadi seni tulis batik. Dahulunya seni lukis batik ini sudah ada di Jawa, jauh sebelum kedatangan kedua tokoh tersebut, namun karena sifatnya yang tidak komersil maka batik belum terlalu dikenal.

Batik di Lasem mulai kedengaran gaungnya setelah kedatangan saudagar minuman keras dari Tiongkok pada tahun 1600-an, Pengusaha dari Tiongkok ini adalah seorang ahli gambar dan ahli kaligrafi, dialah  yang memberikan gambar-gambar motif China ke dalam batik Lasem.

Batik Lasem merupakan batik pesisir. Hal ini dikarenakan secara geografis  letaknya berada di pesisir. Pada zaman dahulu. kota yang berada di  pesisir Utara Pulau Jawa adalah kota kota pelabuhan yang besar. Di kota kota pelabuhan ini, akulturasi antara masyarakat pribumi dan para pedagang yang berasal dari negara-negara asing dengan mudahnya  terjadi. Berhubung pedagang dari Cina yang mendominasi kehidupan komersil di Lasem, maka pengaruh  budaya Cina dengan mudah bisa kita temui di batik Lasem ini. Hal ini bisa dilihat dari motif motif yang ada pada batik Lasem tersebut seperti: motif bambu, bunga  seruni, bunga teratai, motif kelelawar (bien fu), Naga dan Burung Pheonix (Burung Hon)  adalah beberapa dari sekian banyak motif batik yang ada.

Karena motif Tionghoa inilah maka batik Lasem berbeda dengan batik Forstenlanden. Fostenlanden ini adalah batik dengan  motif kerajaan. Seperti batik yang berasal dari Solo, Yogyakarta ,Banyumas, dan Wonogiri. Motif batik ini bersifat geometris. Pada zaman Belanda, Lasem merupakan lima besar daerah penghasil batik. Lima besar itu antara lain Solo, Yogya, Pekalongan, Banyumas, dan Lasem. Bahkan pada zaman dahulu, batik dari Lasem ini merambah beberapa daerah di Indonesia, seperti Manado, Sumatera bahkan sampai ke Malaysia, Singapura, Brunei dan Suriname. Kepopuleran batik Lasem di Suriname ini dibawa oleh orang-orang Jawa yang bekerja untuk Belanda.

Selain pencampuran motif  dari Cina, di Lasem ini terdapat motif khas lainnya yaitu motif Latoan dan Batu Pecah/Kricak. Latoan merupakan tanaman khas yang banyak terdapat di sekitar pantai yang dapat dimakan sebagai urap. Karena banyak terdapat  di Lasem maka motif ini digunakan sebagai motif batik. Selain  latoan, terdapat motif batu pecah, motif ini memiliki nilai sejarah. Pada zaman dahulu, pada saat Gubernur Jenderal Daendels membuat jalan dari Anyer sampai dengan Panurukan sepanjang 1000 km, para Bupati diminta menyerahkan para pemuda sebagai pekerja paksa mereka.  Mereka berfungsi sebagai tenaga kerja pemecah batu.  Pada  zaman tersebut penyakit epidemik seperti malaria dan infulensa mewabah menyerang Rembang. Banyak korban berjatuhan di Rembang dan Lasem. Dampak peristiwa tersebut adalah kesedihan mendalam bagi masyarakat Lasem. Kesedihan ini lalu dicitrakan dalam bentuk motif batu pecah. Keindahan motif ini membuat daerah lain menirunya juga.

Warna khas dari batik Lasem ini adalah  warna merah darah (getih pitik) ayam, hijau botol bir dan warna biru tua. Selain itu, batik Lasem juga dikenal dengan sebutan “Batik Tiga Negeri.” Sebutan ini didapatkan dari  proses pewarnaan batik. Terdapat tiga kali proses pewarnaan dalam pembuatan Batik Lasem ini.

Proses- proses itu diawali oleh pewarnaan  merah, lalu dimasukkan klorotan agar lilin nya hilang, dicampur dengan  tanah, lalu dimasukkan ke dalam pewarna  biru dan yang terakhir adalah warna  coklat. Semua proses tersebut dilakukan dalam satu rumah. Secara istilah, Batik Tiga Negeri itu, warna merahnya dari Lasem, biru dari Pekalongan dan Coklat (soga) berasal dari Solo.

Selain motif-motif tradisional di Lasem, sekarang berkambang motif baru pada batik Lasem. Motif ini dikembangkan oleh sesepuh masyarakat Tionghoa yang bernama Sigit Wicaksono yang  memiliki nama China  Nyo Tjen Hian . Beliau  seorang pengusaha Batik yang  bermerek Batik Sekar Kencana. Beliau sekarang berumur 84 tahun.

Beliau mengembangkan  motif  baru yang menggunakan huruf Tionghoa. Proses penciptaan motif ini adalah  pada saat malam tahun baru China. Dalam perenungannya, beliau mendapatkan semacam ilham untuk  membuat motif yang baru dalam batik. Akhir dari proses perenungan ini lahirlah motif baru. Motif ini berupa kata-kata mutiara dalam aksara  Cina, filosofi yang  terkandung di dalam motif ini adalah empat penjuru samudera semuanya adalah sama; bakti anak terhadap orang tua murid kepada guru, dan rakyat kepada pemerintah. Agar bisa bergabung  dengan filosofi Jawa,  beliau menuliskan motif ini ke dalam sebuah batik yang bermotifkan Sekar Jagat. Sekar jagat itu sendiri artinya adalah Bunga Dunia.

Selain itu beliau juga menciptakan motif dengan tulisan Tinghoa Hek Sia Ping An Wang Se Ruk I yang artinya “seisi rumah sentosa segala macam usaha seusai dengan apa yang dikehendaki”. Masih  ada beberapa motif batik bertuliskan filosofi Tionghoa lain yang beliau ciptakan. Awalnya beliau ragu dengan motif ini. Apakah bisa di terima di masyarakat apa tidak. Namun, pada saat pameran batik di Rembang, sambutan yang sangat meriahlah yang beliau dapatkan. Sekarang batik ini laku keras.

Batik Lasem dapat dikatakan sebagai bukti akulturasi antara masyarakat Cina dan Pribumi. Proses ini sudah berlangsung ratusan tahun dan karena akulturasi nya ini lah maka batik Lasem dikatakan batik yang unik.

 

Bayu Amde Winata, pria kelahiran Pekanbaru, Riau ini sekarang berdomisili di Yogyakarta. Kegemaran menulisnya tersalurkan dengan menjadi kontributor di Majalah Digital infobackpacker.com dan Lontara Project. Ingin kenal lebih jauh dengan Bayu? Ia dapat dihubungi via email di winatabayu@ymail.com