Categories
101 La Galigo Featured Liputan

When the Ocean Met with Mountain: Srawung Seni Borobudur

Pagi itu saya hampir saja saya tidak jadi berangkat ke Muntilan. Pasalnya, teman yang kemarin telah berjanji untuk mengantar ke Borobudur dengan kendaraannya bangun kesiangan. Saya sudah cemas ketika sepuluh panggilan ke telepon genggamnya tak kunjung dijawab. Di detik-detik terakhir Ia datang juga. Tanpa buang-buang waktu lagi gas segera ditancap memburu jarak Yogyakarta-Muntilan yang kami tempuh selama 45 menit.

Meski terlambat hampir dua jam dari waktu yang direncanakan, rasa kesal mendadak sirna setibanya di seminar terbuka Srawung Seni. Srawung Seni ialah sebuah pesta budaya. Perayaan kesenian yang tidak saja digelar oleh kalangan budayawan dan seniman, namun juga oleh para Indonesianis. Acara-acara yang digelar berupa seminar, lokakarya dan pertunjukan-pertunjukan yang mengawinkan seni dengan arkeologi, ketuhanan, dan mitos. Singkatnya, di acara ini semua kalangan bebas untuk menikmati hiburan kebudayaan langsung di situs bersejarah, Candi Borobudur. Acara ini juga sekaligus meresmikan Taman Srawung Seni.

Perhelatan akbar yang diprakarsai oleh Padepokan Lemah Putih dari Jawa Tengah ini mengangkat tema “Segara-Gunung”. Perkawinan kedua unsur tersebut, lautan dan gunung, hidup tidak hanya dalam kebudayaan Jawa, namun terdapat pula pada unsur-unsur kebudayaan nusantara lainnya. Sengaja memilih Candi Borobudur sebagai venue-nya, karena candi adalah bangunan yang tak lekang oleh waktu. Candi menyimpan seni, kosmologi, tata ruang dan mitos sebagai hasil dari tradisi-tradisi panjang yang melibatkan pelbagai pengetahuan budaya dan kepekaan masyarakat. Di panggung Aksobhya yang berlatarkan bangunan berusia seribu duaratus tahun ini, sekitar 150 seniman atau kelompok kesenian, budayawan dan cendekiawan dari Indonesia, Asia, Europa, Australia, Amerika Selatan serta Utara membagikan masing-masing pusaka budayanya melalui seminar dan pertunjukan.

Seminar di bawah naungan kapal Samuderaraksa

Selain di atas panggung, kegiatan berlangsung di Candi Pawon, di Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Karmawibhangga Candi Borobudur sejak tanggal 20 hingga 29 April 2012. Karena masih berstatus sebagai mahasiswa (jelang) semester akhir, saya baru dapat menikmati pesta seni ini di hari penutupannya. Saya sedikit kecewa karena ketika tiba di Museum Samuderaraksa, presentasi mengenai La Galigo yang dibawakan oleh Bapak Andi Anton seorang budayawan Luwu telah usai. Ya, La Galigo yang merupakan karya sastra terbesar di dunia ini mendapat tempat di ruang seni dan mitos dalam Srawung Seni. Keindahan bahasa serta kekayaan makna yang dikandung La Galigo begitu memukau, epos besar ini tidak hanya berisi kisah namun juga berisi pelajaran-pelajaran tentang filosofi kehidupan. Keunikan cerita serta tradisi pendokumentasian naskah membuat peninggalan budaya dari Sulawesi Selatan ini menarik. Bapak Anton menguraikan banyak hal baru bagi para peserta diskusi (yang kebanyakan berasal dari luar Sulawesi dan luar negri) seperti konsep tomanurung, asal-muasal suku Bajo dalam versi La Galigo, tiga tingkatan dunia, serta sisi religiusitas naskah ini.

Setelah pembicaraan mengenai La Galigo usai, seminar dilanjutkan dengan bahasan tentang situs Muarajambi. Diskusi yang dimoderatori oleh Nina Pramono (Executive Director Pertamina Foundation) ini menghadirkan narasumber dari SvarnaDvipa Institute. Sebagai oknum-oknum yang terjun langsung ke lapangan, dengan gamblang narasumber-narasumber tersebut memaparkan apa itu situs Muarajambi dan isu seperti apa yang tengah berkembang. Muarajambi ialah nama dari sebuah kawasan yang kaya dengan tinggalan purbakala di Daeras Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Jambi. Sekurang-kurangnya terdapat 82 peninggalan berupa candi, menapo (reruntuhan bangunan kuno), kolam beserta kanal purba.

Situs yang diduga menyimpan kompleks percandian dengan luas tiga kali dari Borobudur ini merupakan anak kunci untuk mengungkap misteri Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya. Sayangnya, situs monumental ini terancam bahaya. Perusahaan tambang batubara serta perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Muarajambi berpotensi merusak kawasan cagar budaya ini. Contohnya, parit Candi Playangan yang 1,5 meter dari pabrik batubara tertutup limbah dan menghitam. Miris memang mengetahui situs Muarajambi yang kaya akan temuan arkeologi ini belum terdaftar sebagai kawasan cagar budaya. Usaha-usaha penyelamatan dengan peran dari masyarakat mulai dilakukan, salah satunya melalui petisi #SaveMuaraJambi lewat twitter. Penduduk sekitar situs juga telah membentuk sebuah aliansi dengan SvarnaDvipa institut yang disebut Dwarapala-Muja, Penjaga Muarajambi.

Tarian Dayak Kontemporer karya Deddy Luthan

Dari pulau Sumatera, bahasan beralih ke Kalimantan. Kisah tentang budaya dan sejarah ternyata tak kalah tragis di sana. Bapak Deddy Luthan, seorang koreografer yang juga pecinta budaya Dayak menyajikan potret kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, Modang dan Benuak. Asal-usul suku Dayak di pulau berjuluk Baruna ini masih simpangsiur. Secara umum suku Dayak diduga berasal dari Yunnan Selatan yang bermigrasi ke Borneo secara bertahap. Meskipun bukan bangsa pelaut, dengan perahu-perahu kecil mereka menuju Asia Tenggara karena pada masa itu luasnya lautan masih terjangkau oleh teknologi sederhana. Masyarakat Dayak yang kehidupannya berorientasi pada hutan belakangan berpindah habitasi. Pembalakan hutan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab menghancurkan sendi-sendi kebudayaan serta lingkungan tradisional mereka. Hati saya terenyuh ketika disuguhkan gambar beberapa anggota keluarga Dayak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil, sementara siluet di belakang mereka nampakkan pabrik-pabrik perusak hutan.

Selain materi di atas, masih banyak lagi bahasan-bahasan spektakuler di Srawung Seni Segara Gunung ini. Yang paling menarik ialah pengalaman spiritual Elisabeth Inandiak yang menghubungkannya dengan garis emosional masa lalu antara Sumatera, India, dan Tibet. Elisabeth Inandiak dikenal sebagai seorang Indonesianis berkebangsaan Perancis dan usahanya menerjemahkan Serat Centhini dari Bahasa Jawa Klasik ke dalam Bahasa Indonesia.

Elisabeth yang fasih berbahasa Indonesia mendapat semacam ilham saat berkunjung ke Tibet dan dihantui inspirasi untuk menemukan keterkaitan antara kedamaian yang Ia rasakan saat berada di Jawa (Indonesia) dan Tibet. Ia mendapatkan jawaban setelah menemukan referensi mengenai Atisha, seorang misionaris Buddha asal India yang pernah belajar agama di Sumatera lalu menyebarkan ajarannya di Tibet. Petualangan spiritual Elisabeth memburu Atisha mengantarkannya kepada usaha pengembalian abu sang mahaguru dari pemerintah Republik Rakyat Cina ke tangan masyarakat Tibet pada tahun 1978 dan rahasia di balik lirik lagu Gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan.

Seminar hari itu ditutup dengan tampilan Seni Pitutur, kelompok seni masyarakat sekitar Candi Borobudur yang melibatkan partisipasi para Indonesianis. Malamnya panggung Aksobhya dimeriahkan oleh Anak-Anak Borobudur dan Oppie Andaresta; tari klasik Bharatanatyam dari India, seni gerak oleh Jessica Gamez dari Mexico, dan masih banyak lagi. Walau tidak dapat mengikuti jalannya penutupan Taman Srawung Seni Segara Gunung hingga akhir, saya cukup senang. Transfer ilmu dan informasi di bawah naungan kapal Samuderaraksa yang “dihidupkan” kembali dari sebuah relief abad ke-8 Masehi melahirkan banyak inspirasi buat saya. Terlebih lagi pada kesempatan ini saya juga dapat berkenalan dengan banyak budayawan, para Indonesianis serta mempromosikan La Galigo for Nusantara Project lewat flyer sederhana.

Tahun depan, pesta seni ini akan digelar di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Penyerahan api abadi dari Bupati Magelang kepada Bupati Sigi menandai estafet Srawung Seni Segara Gunung 2012 ke Srawung Seni Megalitik 2013. Semoga acara ini dapat lebih meriah, lebih terbuka kepada masyarakat umum, serta lebih sensasional lagi. Sampai jumpa tahun depan!

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan Lontara Project

Ketika Musik Daerah Bergema di Model United Nations

Kamis, 3 Mei 2012. Di Borobudur Hall Hotel Inna Garuda Yogyakarta, La Galigo Music Project beraksi. Acara Jogja International Model United Nation (JOINMUN) yang diselenggarakan oleh UGM ini merupakan kali pertama tim musik yang berada di bawah naungan LONTARA PROJECT tampil perdana di muka publik. Acara ini dihadiri oleh delegasi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri. Penampilan La Galigo Music Project yang menyuguhkan perkawinan antara musik kontemporer dengan irama etnik dari berbagai daerah berhasil menyihir peserta JOINMUN.

Sebagai penampil pertama di acara malam itu, tiga buah lagu dari  La Galigo Music Project seakan membangkitkan semangat dan antusiasme para delegasi. Suasana Borobudur Hall mendadak sunyi ketika lampu tiba-tiba mati. Gelapnya ruangan diisi oleh lantunan sinden dari para penyanyi. Beberapa saat kemudian lampu nyala redup dan dimulailah gemuruh musik yang indah sebagai bagian dari alur lagu Ininnawata. Lagu pertama yang dibawakan ialah Ininnawata, sebuah lagu pengantar tidur dari suku Bugis yang dipadu dengan Are You Sleeping Brother John versi blues.

Team La Galigo Music Project setelah tampil di JOINMUN

Lagu kedua yang baru diciptakan merupakan senjata pamungkas untuk membawa para peserta tenggelam dalam suasana musiknya. Lagu ini berjudul Mantra, dimana di dalamnya dilantunkan lirik mantra dari beberapa daerah dan dikolaborasikan dengan syair musik nan indah. Kembali cahaya ruangan yang redup mengantarkan suasana mistis dari lagu Mantra. Alhasil, lagu ini menyihir para peserta JOINMUN yang hadir dan memberikan tepuk tangan yang meriah seusai bait terakhir dilantunkan.

Lagu ketiga sekaligus lagu penutup ialah Kelong Sulawesi (Nyanyian Sulawesi). Nyanyian yang didominasi lagu daerah dari pulau Sulawesi ini berhasil membuat para peserta terhanyut, menikmati indahnya musik pengiring lagu. Nyanyian ini tidak biasa terdengar di telinga para delegasi asing khususnya. Namun dengan polesan kreasi musik kontemporer anak-anak La Galigo Music Project membuat lagu ini nyaman di telinga para delegasi yang hadir.

aksi panggung La Galigo Music Project

Penampilan La Galigo Music Project pada acara JOINMUN kali ini memberikan kesan tersendiri bagi para delegasi maupun panitianya. Berdasarkan testimoni delegasi dari Rusia yang diterima oleh pembawa acara pada malam itu, dia amat terkesan dengan penampilan La Galigo Music Project. Antusisme para delegasi malam itu menunjukkan kesan puas terhadap apa yang telah La Galigo Music Project sajikan. Hal ini merupakan suntikan semangat bagi La Galigo Music Project untuk terus berkreasi melestarikan budaya lewat kampanye I Speak La Galigo.

Lagu-lagu La Galigo Music Project dapat didownload melalui link-link di bawah ini:

Download Ininnawata

Download Kelong Sulawesi

 


Muhammad Ulil Ahsan Arif, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang masih duduk di semester enam Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/

Categories
101 La Galigo Featured

Grand Launching LP : Behind the Scenes


Apa saja yang terjadi sebelum hari Grand Launching LP?

Perbedaan domisili tidak membuat kami menyerah. Bermodal nekat dan sedikit uang saku, saya “terbang” dari Makassar, disusul oleh Fit dan Andrew dua hari kemudian dengan menggunakan kereta api, meluncur dari Jakarta. Salah seorang anggota tim kami yang bernama Setia Negara BT benar-benar membuat B(e)T(e) karena berhalangan hadir (beliau mengungkapkannya dengan riang gembira).

Kami semua dirumahkan di tempat kosan Ahlul dengan menggunakan mode silent on, akan tetapi bau bangkai pasti tercium juga. Maka dari itu, tak lupa kami berterima kasih kepada Ny. Karmono, sang ibu kos yang memaklumi kegiatan ini berlangsung, juga tak lupa pula haturan thank you buat penghuni kos lainnya yang kami hantui selama beberapa hari: tabe` padasalama`!

Jelang hari H jadwal makan dan tidur kami jadi tak menentu. Semuanya sibuk berdiskusi, menyusun bahan untuk presentasi Grand Launching Jumat mendatang. Namun sibuk bukan berarti kami tak sempat jalan-jalan menikmati kota Jogjakarta yang sedang dilanda musim hujan loh 😀. Minggu pagi kami duduk menikmati sarapan di pasar kaget Sunday Morning UGM, merasakan cultural experience ala Jogja yaitu ditodong banci ngamen yang enggan meninggalkan tempat duduk tanpa sereceh dua receh derma dari pengunjung lesehan. Setelah kenyan, kami naik taksi menuju Malioboro dan Pasar Soping – berharap tingkah norak kami (baca : Ahlul) tidak menarik perhatian siapapun disana. Puas cuci-cuci mata, kunjungan kami lanjutkan ke Benteng Vredeburg. Uniknya, di sana kami mendapati sepasang calon mempelai yang sedang berpose pre-wedding dengan tema perjuangan dan kepahlawanan (Bayangin aja gimana kira-kira). Jadi pengen.. (loh?!).

Keseruan tidak berakhir sampai di situ. Pagi-pagi sebelum akhirnya bisa “menjarah” ruang duduk I.Boe.Koe (tentu dengan seizin Bos Muhidin dan pihak-pihak terkait – MATUR NUWUN!), tak lupa kami menyambangi Kraton Jogjakarta. Kami sebagai delegasi Lontara Project dibuat terkagum-kagum dengan isi tempat bersejarah itu. Mulai dari pelayanan para abdi dalem, kebersihan tempat, dan dokumentasi properti kekratonan, walaupun ada beberapa hal yang mengundang rasa miris, akan tetapi tetap menginspirasi kami bagaimana caranya melestarikan budaya Indonesia, karena dibandingkan dengan tempat serupa di wilayah lain negara kita ini, Kraton Jogja masih lima kali lebih baik!

***

Alun-Alun Selatan Kraton Jogja menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah bagi masa depan budaya Indonesia. Siang itu, dengan mengenakan kaos print Lontara Project, kami berempat menunggu dengan harap-harap cemas. Sebab ada sebuah insiden rahasia yang terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Kami khawatir jika acara ini tidak mendapat respon dengan semestinya, atau kemungkinan paling baik adalah tumpahnya orang-orang yang datang menyaksikan peresmian terbentuknya Lontara Project.

Hujan turun, namun tak menyurutkan langkah orang-orang keren yang rela menyempatkan diri untuk hadir. Kami yakin, kualitas satu dari mereka menyamai kuantitas lima orang yang datang secara bersamaan. Jadi kalau dihitung secara kasat mata, ada sekitar 15 orang yang duduk menyaksikan presentasi kami. Tapi secara kualitas, ya.. bisa dibilang ada lima ratus orang disana. Hahahaha.. Kami positive thinking loh ya…

Harapan-harapan baru yang lahir dari pertemuan itu sungguh menggetarkan sanubari (ceileh). Niat kami semua adalah tulus dan mulia : membangkitkan gelora budaya Indonesia yang selama ini terkesan statis dan jalan di tempat. Sulawesi adalah Indonesia. Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Papua, juga beribu-ribu pulau lainnya adalah Indonesia. Semangat yang sama akan kami tularkan kepada kalian semua, sebagai bagian dari Bhineka Tunggal Ika.

Kita berbeda tapi tetap satu jua!

Maka dari itu, kami mengucapkan terima kasih banyak, kepada semua orang yang terlibat dimulai hari lahirnya Lontara Project hingga tulisan ini dibaca. Yang mau kami repotkan selama di Jogyakarta : Muhidin M. Dahlan (I.Boe.Koe cs), Eka Magdalena, Anggita Paramesti, dan keluarga di Jetis. Belum lagi anggota Lontara Music Project yang ikut meramaikan : Muhammad Yusuf dan Rahmat Dwi Putranto, serta dengan direkrutnya sahabat baru kami Muhammad Ulil Ahsan, Muh. Alif Chaeran, Muhammad Sofyan Syahrir, Ocha La Parembai, Rani Fardani, Muhammad Fajrin, Hijrah Aulia, Abraham Utama Sembiring, Dito dan Randy Taufik. Nantikan kumpulan foto-foto selama grand launching berlangsung!

Kuru Sumange`!