Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Dari Rangkong Hingga Hieroglyph Toraja

Indonesia tak cuma kaya budaya. Alamnya menyimpan berjuta potensi luarbiasa. Kedekatan antara manusia dan alam membentuk suatu simbiosis yang oleh nenek moyang kita zaman dahulu kala diramu dalam ragam bentuk tradisi. Salah satunya adalah melalui tarian dan sistem tulisan. Penasaran bagaimana hewan seperti burung dapat mempengaruhi peradaban suku-suku di Indonesia? Yuk kita simak kisah serunya berikut ini!

Rangkong dan Panglima Burung

Burung rangkong atau enggang (Latin: Bucerus) merupakan fauna bangsa aves yang menjadi ciri khas Pulau Kalimantan. Satwa ini tergolong unik karena tubuhnya yang besar, bulunya yang berwarna-warni, corak ekornya nan anggun dan “tanduk” yang menarik perhatian di atas paruhnya. Indonesia termasuk beruntung karena dari sekian banyak spesies rangkong yang ada di dunia ini, sekitar 13 di antaranya berasal dari negera kita. Totalnya ada sembilan spesies rangkong di Sumatera, delapan spesies di Kalimantan (hampir sama dengan yang ada di Sumatera minus Rangkong Papan), serta empat spesies endemik lainnya di Sulawesi, Sumba dan Papua.

Keanekaragaman rangkong yang cukup tinggi di negara kita serta masih minimnya informasi mengenai kebiasaan hidupnya menjadikan burung ini sebagai satwa yang dilindungi. Sayangnya, belakangan ini cerita-cerita menyedihkan tentang perburuan rangkong marak terdengar. Konon per ekornya burung langka ini dihargai 2,5 juta rupiah! Apabila diperdagangkan di luar negeri, harganya bisa melejit hingga tiga kali lipatnya.

Kehadiran burung rangkong di hutan-hutan Kalimantan tidak hanya penting sebagai penyeimbang rantai makanan dan ekosistem hutan. Bagi masyarakat tradisional Dayak, rangkong ialah simbol kesucian, kekuatan dan juga kekuasaan. Burung ini tidak boleh diburu, apalagi dimakan. Komunikasi dengan arwah leluhur terjadi melalui perantaraan burung-burung ini. Bulu rangkong juga berarti keindahan dan keanggunan. Coba teman-teman perhatikan tari-tarian khas Suku Dayak. Pakaian penarinya yang indah berwarna-warni itu pasti dihiasi oleh ornamen bulu rangkong. Di tataran stratifikasi sosial, kepala rangkong hanya boleh dijadikan hiasan oleh para petinggi Dayak, orang biasa tidak boleh sembarangan mengenakannya.

Penulis berfoto bersama rangkong di Taman Safari Indonesia II

Misteri kultus rangkong tidak berhenti sampai di situ saja. Konon, roh alam yang menjadi pelindung Pulau Kalimantan dan masyarakat Dayak sering menampakkan diri dalam wujud seekor rangkong raksasa. Sosok yang oleh komunitas lokal dikenal sebagai Panglima Burung ini hanya menampakkan dirinya pada momen-momen tertentu saja, seperti saat keadaan genting atau terjadi peperangan. Panglima Burung dipercaya memiliki kekuatan gaib yang luarbiasa besar. Menurut cerita yang pernah penulis dengar, pada masa pemerintahan Presiden Megawati dulu sosok ini pernah memunculkan dirinya.

Saat sedang memberikan pidato pada kunjungannya di suatu tempat di tengah Kalimantan, tiba-tiba seekor burung rangkong raksasa terbang berputar-putar di atas ibu presiden. Burung rangkong raksasa itu lalu turun, mendarat persis di hadapan ibu Megawati, lalu berubah wujud menjadi seorang pria dengan pakaian prajurit Dayak lengkap. Ia memberikan salam kepada beliau selaku pemegang amanah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kembali berubah wujud menjadi rangkong raksasa, lalu terbang menghilang. Terlepas dari benar tidaknya peristiwa tersebut, yang jelas sosok rangkong diidentikkan dengan simbol kekuatan magis yang dimiliki oleh Sang Panglima Burung.

Aksara Burung-Burungan dari Makassar

Masih bicara tentang burung, kali ini kita menyeberang dari daratan Kalimantan ke tanah Sulawesi. Saya teringat akan sebuah sistem tulisan hasil kejeniusan masyarakat Makassar yang dikenal dengan nama “Jangngang-Jangngang” (dalam Bahasa Bugis: “Uki Manuk-Manuk”) alias “Burung-Burung”. Burung? Ya, bentuk aksara yang meliuk-liuk ini memang mirip dengan ragam gerakan burung ketika sedang mengangkasa. Apa sebenarnya yang menjadi motivasi bagi orang-orang Makassar zaman kuno untuk menciptakan sistem tulisan serupa gerak kepakan sayap burung ini?

Aksara Jangngang-Jangngang menurut Fachruddin Ambo Enre diperkirakan muncul sekitar abad ke-8 hingga ke-14 Masehi. Pada saat yang bersamaan, aksara Kawi masih digunakan pula di daerah Jawa. Seorang pakar sejarah bernama Cense mengungkapkan bahwa sepertinya antara Sulawesi Selatan dan Jawa bagian timur (era itu ditandai dengan eksistensi kerajaan Hindu terkenal seperti Kediri dan Singosari) telah terbina hubungan yang lumayan intens. Buktinya ialah kemiripan yang nampak antara aksara Jangngang-Jangngang dan aksara Kawi. Bahkan sebahagian peneliti ada yang beranggapan bahwa sejatinya aksara Jangngang-Jangngang merupakan turunan dari aksara Kawi. Selain aksara Kawi, aksara Jangngang-Jangngang juga memiliki banyak kemiripan dengan aksara Kamboja. Hal ini tidak mengherankan sebab kerajaan orang-orang Makassar (Gowa) menjelang abad ke-16 telah membangun kekuatan maritim dan perdagangan internasional yang kuat, sehingga hubungan dengan negara-negara tersebut pun memungkinkan pula timbulnya pertukaran budaya.

Aksara Jangngang-Jangngang atau Huruf Burung-Burungan (kiri) di Kraton Tamalate, Gowa

Aksara Jangngang-Jangngang masih digunakan setidaknya hingga beberapa saat setelah Perjanjian Bongaya. Perjanjian yang menandai penguasaan VOC atas Kerajaan Gowa itu disalin dalam beberapa bahasa, termasuk salah satunya dengan Bahasa Makassar yang menggunakan aksara Jangngang-Jangngang. Aksara ini kehilangan popularitasnya di kalangan kerajaan dan penulisan sastra setelah Arung Palakka meluaskan penggunaan aksara Bugis atau yang hari ini kita kenal sebagai huruf Lontaraq Sulappaq Eppaq. Sebenarnya ada yang menarik ketika fitur burunglah yang dipilih sebagai inspirasi untuk menjadi sebuah model aksara. Mengapa bangsa pelaut seperti Makassar tidak mengambil bentuk ikan, gerakan ombak atau layar sebagai aksaranya?

Epos La Galigo mungkin bisa sedikit memberikan gambaran. Meskipun belum pernah ditemukan ada naskah La Galigo yang disalin dengan menggunakan aksara Jangngang-Jangngang, akan tetapi ruh dan memori atas cerita-ceritanya menjadi pondasi dalam kultur masyarakat Bugis-Makassar. La Galigo dalam berbagai episodenya kerap memunculkan tokoh bernama La Dunrung Sereng yang sejatinya merupakan seekor burung peliharaan Sawerigading. Nah, La Dunrung Sereng ini memiliki peran vital sebagai penghimpun informasi, dan pengirim kabar bagi tuannya. Tokoh lain dalam La Galigo seperti si bijaksana We Tenri Abeng juga dikisahkan memiliki beragam jenis burung yang biasa ia jadikan suruhan. Budaya menggunakan jasa burung sebagai sarana komunikasi sudah hidup di benak masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman La Galigo. Aksara Jangngang-Jangngang bisa jadi merupakan pengejawentahan dari peran burung sebagai penyedia informasi itu sendiri: media transfer ilmu pengetahuan dalam bentuk aksara atau tulisan kepada umat manusia.

Pasuraq: Menulis dengan Gambar

Dari rangkaian formasi beburungan yang terbang di atas lembaran lontar atau kertas untuk menyebar ilmu pengetahuan, kita singgah ke daerah pegunungan di jantung Sulawesi, tempat suku tua Toraja berada. Suku Toraja, salah satu dari tiga etnis penghuni jazirah Sulawesi bagian selatan merupakan salah satu suku penuh eksotisme dan esoterisme. Keindahan alam maupun misteri kebudayaannya sungguh tak dapat diuraikan dengan kata-kata; nenek moyang Toraja bahkan tidak menciptakan tulisan untuk merekam kearifan lokal adiluhung mereka. Tidak seperti orang Makassar yang menciptakan aksara Jangngang-Jangngang, orang Bugis yang menggunakan aksara Sulappaq Eppaq, atau orang Mandar yang mengadopsi sistem tulis Bugis, orang Toraja bercerita dengan gambar.

Di dunia ini, mungkin hanya orang Mesir Kuno dan Toraja yang mengenal sistem tulisan berupa hieroglyph. Hieroglyph merupakan sistem tulisan yang menggunakan simbol gambar alih-alih huruf sebagai sarana untuk bercerita. Tentunya teman-teman pernah melihat bagaimana dinding-dinding piramida dan kuil-kuil Fir’aun dipenuhi oleh beragam gambar-gambar indah yang menceritakan sejarah bangsa mereka, bukan? Kira-kira seperti itulah yang dulu juga dilakukan oleh nenek moyang orang Toraja. Hanya saja “tulisan” itu memenuhi dinding-dinding Tongkonan sebagai rumah adat mereka.

Salah satu bentuk pasuraq pada dinding Tongkonan. Sumber: toraja.net

Masih belum begitu banyak referensi yang ditulis berkaitan dengan pasuraq –nama sistem tulisan dalam bentuk gambar ini– akan tetapi berdasarkan informasi yang pernah penulis baca, secara etimologis  suraq berarti berita, tulisan atau gambaran. Mengapa? Sebab tradisi lisan amat kental dalam budaya Toraja, sehingga mereka sebenarnya tidak membutuhkan sistem tulisan seperti peradaban lain. Untuk mengekspresikan konsep agama, menceritakan sejarah nenek moyang serta kehidupan sosial maka diciptakanlah tradisi mengukir cerita di atas kayu ini.

Setiap ukiran memiliki nama dan maknanya sendiri. Sebagai contoh, tanaman dan hewan dari elemen air seperti kepiting dan kecebong biasanya menyimbolkan kesuburan. Kerbau melambangkan kekayaan, kebahagiaan dan kesejahteraan, sedangkan ikan biasanya mengindikasikan kerja keras serta kelincahan. Di samping ornamen-ornamen suraq yang berbentuk binatang, terdapat pula jenis-jenis suraq yang berbentuk pola-pola geometris dan motif-motif abstrak. Keseluruhan pola tersebut memiliki maknanya masing-masing. Sebuah tongkonan dapat berisi kisah siklus kehidupan seorang manusia mulai dari hidup hingga matinya atau sejarah suatu klan.

Masih ada banyak sekali teka-teki yang belum terpecahkan dalam pasuraq Suku Toraja. Demikian pula halnya dengan misteri kultus rangkong oleh masyarakat Dayak atau awal mula terciptanya aksara Jangngang-Jangngang pada Suku Makassar. Nah, sekarang giliran kita yang muda-muda untuk memecahkan itu semua. Bagaimana caranya? Tentunya dengan jalan mencari tahu tentang budaya kita sendiri. Jangan sampai generasi muda mendatang hanya akan mengenal rangkong dari gambaran di televisi (karena sudah punah), tidak tahu tentang aksara Jangngang-Jangngang atau bahkan tidak dapat lagi membaca makna-makna yang tertulis pada ukir-ukiran pasuraq di dinding Tongkonan. Budaya bangsa adalah jati diri kita. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi?

 

Makassar, 27 Desember 2012
Pukul 23:27

 

Referensi:

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrenge, Yayasan Obor.
http://omkicau.com/2012/12/19/pesona-rangkong-asli-indonesia-kenali-cintai-dan-hindari-sanksi/
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/14/mengenal-burung-enggang-khas-kalimantan-486065.html
http://punyannyuh.blogspot.com/2011/06/habitat-burung-rangkong-indonesia.html
 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Selayar II – Pulau Warisan La Galigo

Selama ini banyak yang bilang kalau tokoh-tokoh semacam Sawerigading, Batara Guru maupun We Cudai hanyalah khayalan  yang hidup dalam mitos La Galigo. Adapula yang benar-benar yakin akan keberadaan mereka, bahkan sampai-sampai merunut silsilah mereka hingga ke nama-nama yang disebutkan barusan. Salah satu penentu apakah seseorang benar-benar pernah hidup di muka bumi ini ialah keberadaan makamnya. Nah, kali ini ada cerita menarik dari Pulau Selayar mengenai makam We Tenri Dio, putri Sawerigading. Wah, ketika daerah lain di nusantara tidak memiliki situs makam yang berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam La Galigo, Selayar nun jauh di ujung selatan jazirah Sulawesi justru menyingkap probabilitas eksistensi salah satu karakter dari epos besar ini. Penasaran? Yuk, kita simak liputannya!

 

Flyer di atas merupakan hasil reportase Mahasiswa KKN-PPM UGM di Kepulauan Selayar Angkatan Pertama (2012) demi kepentingan promosi wisata dan pelestarian situs-situs sejarah.

Wahyu Putri Kartikasari, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bagian Hukum Pidana. Saat ini tengah  berjuang merampungkan studinya. Gadis kelahiran Magelang yang memiliki hobi minum kopi, makan es krim dan jalan- jalan ini juga merupakan seorang pecinta pantai dan pecinta kucing.

Yoshua Rendra, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Pemuda Bantul kelahiran 1991 ini pernah  menghabiskan masa kecilnya di Papua. Tidak banyak bicara, Yoshua senang jalan-jalan, makan dan nonton film.

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Menikmati Sensasi Puncak Tertinggi Pulau Sulawesi

Sobat Lontara yang satu ini ingin berbagi kisahnya saat mencoba untuk menaklukkan Puncak Tertinggi di Pulau Sulawesi. Nggak perlu jauh-jauh ke Himalaya atau ke Grand Canyon, yuk nikmati keindahan panorama Indonesia kita yang luarbiasa ini dulu! Untuk foto-foto menarik yang Chaerul Anwar dapatkan selama perjalanan, bisa dilihat langsung di blog pribadi yang bersangkutan 🙂

Gunung Latimojong berada di wilayah kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan dan merupakan gunung tertinggi di pulau Sulawesi pada puncak tertingginya, yaitu puncak Rante Mario dengan ketinggian ±3478 mdpl.

Untuk mencapai titik awal pendakian (basecamp) bisa menggunakan transportasi mini bus dari terminal Regional Daya, Makassar menuju ke Pasar Baraka, Kabupaten Enrekang dengan biaya transportasi per-orang sekitar Rp60.000,- dengan waktu tempuh sekitar 7 Jam. Lalu melanjutkan perjalanan dengan mobil Jeep Off Road yang terdapat di pasar Baraka menuju ke dusun Latimojong, desa Karangan dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dan dengan biaya transportasi Rp35.000,- per-orang. Sedikit catatan, Khusus untuk pilihan menggunakan mobil off road menuju desa Karangan, dusun Latimojong, hanya bisa didapatkan pada hari pasar, yaitu pada hari senin dan hari kamis pagi. Sedangkan kembali dari dusun latimojong menuju ke Baraka pada hari Minggu dan hari Rabu pagi. Lewat hari itu bisa menempuh perjalanan dengan jalan kaki menuju ke dusun latimojong (basecamp) ataupun sebaliknya.

Perjalanan saya kali ini berlangsung pada tanggal 23 – 25 Agustus 2012 dan merupakan pendakian bersama yang terdiri dari rekan-rekan dari berbagai daerah dengan total anggota tim sebanyak 16 orang. Tim kami terdiri dari 3 orang dari Makassar (termasuk saya), 5 orang dari Jakarta, 3 Orang dari Kota Palopo, dan 5 orang dari Kabupaten Enrekang.

23 Agustus 2012

Saya dan rekan-rekan tim yang lain memulai perjalanan dari rumah salah seorang anggota tim yang terdapat di jalan poros Makassar – Enrekang. Untuk mencapai pasar Baraka kami menggunakan mobil truk dengan pertimbangan daya muatnya yang tinggi, karena selain mengangkut orang tentu saja harus mengangkut semua barang-barang utamanya keril (ransel besar yang biasanya dibawa mendaki gunung).

Perjalanan menuju pasar Baraka ditempuh sekitar 40 menit melewati jejeran pegunungan dengan pemandangan yang menurut saya sangat eksotis meskipun dengan jalan yang lumayan tidak rata. Setelah sampai di pasar dan setelah menitip beberapa barang di salah satu kontarakan teman yang kebetulan letaknya di dekat pasar. Beberapa barang sengaja tidak diikutkan dalam pendakian dengan pertimbangan disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya beberapa helai baju, celana dan Hardisk Portable yang selalu setia di dalam daypack saya. Berhubung hari pasar, saya dan beberapa rekan-rekan tim saya kemudian menyempatkan diri jalan-jalan di pasar sekaligus membeli kebutuhan pendakian seperti makanan, kopi, dll.

Kalau saya sendiri membeli dua botol air mineral, mengingat botol air mineral itu sangat penting selama pendakian sebagai tempat menyimpan air selama perjalanan dan juga membeli beberapa baterai cadangan untuk kamera pocket yang saya pegang (dalam kondisi dingin misalnya di daerah pegunungan, batere akan lebih cepat low batt).

Kab. Enrekang yang khas dengan buah salak

Setelah jalan-jalan dari pasar dan beristirahat sejenak, tim kami bersiap-siap untuk berangkat menuju ke Dusun Latimojong dengan menggunakan mobil Off Road. Yang membuat saya agak heran sekaligus lucu adalah mobil Off Road yang sepertinya hanya muat beberapa orang, ternyata mampu menampung sekitar 20-an orang termasuk barang-barangnya. Selain mengangkut tim kami yang berjumlah 16 orang, mobil off road ini juga mengangkut penduduk sekitar dari pasar beserta barang belanjaannya. Sumpah.. keren! 😀

Saya sendiri kebagian tempat duduk di depan. Di depan kaca depan mobil maksudnya..hehe. Namun ternyata menjadi berkah tersendiri buat saya karena bisa mengabadikan beberapa foto dengan leluasa selama perjalanan. Perjalanan dari pasar Baraka menuju ke dusun Latimojong didominasi oleh jalan tanah yang di beberapa bagian sangat tidak rata dan dengan jalur berkelok-kelok, menanjak, menurun dan melewati tebing gunung yang curam. Sesekali terdapat perumahan penduduk yang ditemukan di tepi jalan yang kami lewati.

Sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh pemandangan alam pegunungan, kebun salak, kebun cengkeh yang lagi musim, kebun kopi lagi yang berbuah dan tanaman jangka pendek seperti cabe merah yang berbuah lebat dan teratur rapi di lereng gunung yang kami lewati. Hal ini menjadi indikator tersendiri bahwa tanah di daerah ini sangatlah subur.

Situasi Desa Karangan, Dusun Latimojong

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam, akhrinya Jeep yang kami tumpangipun tiba di dusun Latimojong.  Sebagian dari anggota tim kami memilih istirahat dan shalat di masjid dekat basecamp (Rumah Pak Dusun) sedangkan sebagian yang lain memasak untuk makan siang anggota tim. Sekitar pukul 15:30, setelah beristirahat sejenak dan menikmati makan siang, kamipun memulai perjalanan dari Basecamp dengan target POS II karena di pos ini terdapat sumber air. Dan menurut rencana, tim kami akan bermalam di POS II ini.

POS 1 berada di balik gunung

Basecamp (perkampungan) –POS 1

Masih dihari yang sama dengan pemberangkatan, selepas adzan Dzuhur dan do’a bersama kamipun mulai perjalanan. Perjalanan menuju POS I dimulai dengan melewati area perkampungan menyusuri jalan setapak di lereng gunung, melewati perkebunan kopi dan beberapa sungai kecil.

Tantangan menuju POS I ini pada saat mendaki melewati kebun yang memiliki kemiringan yang cukup terjal sesaat sebelum tiba di POS I. Lumayan membuat kaki letih apalagi ditambah dengan beban bawaan yang lumayan berat. POS 1 berada di ketinggian ±1800 mdpl.

POS 1 – POS 2

Jalur menuju POS II melewati jalan setapak diantara pepohonan besar hutan. Tidak jarang melewati track yang cukup menanjak melewati tepian tebing. Track ini harus dilalui dengan hati-hati dengan memperhatikan setiap langkah. Dan sebaiknya tidak dilalui pada saat kondisi gelap utamanya bagi pendaki pemula yang belum terbiasa dengan track hutan dengan jalur sempit. Perjalanan dari basecamp hingga ke POS 2 memakan waktu ± 3 jam. Pos 2 sendiri merupakan lokasi perkemahan yang sangat ideal karena terdapat sumber air segar yang berlimpah, gak perlu bawa kulkas.. soalnya sudah dingin, hehe. Selain ketersediaan air, juga terdapat dinding alam dan goa yang melindungi tenda dari terjangan angin, dan yang paling berkesan adalah.. lokasinya yang subhanallah.. cantik! Di lokasi ini kita bisa tidur sambil menikmati suara air yang menenangkan pikiran.

Sumber air di dekat POS 2

24 Agustus 2012

Pagi hari sekitar pukul 07:00 pagi di POS 2, setelah packing barang dan perlengkapan (saya gak sempat sarapan karena keasyikan mengabadikan gambar), kami melanjutkan perjalanan dengan target POS 7.

POS 2 – POS 3 – POS 4

Menururt saya pribadi, jalur dari POS 2 menuju POS 4 adalah jalur yang paling menantang diantara semua jalur menuju puncak Gunung Latimojong. Track ini didominasi jalur menanjak dan hampir tidak terdapat jalur yang mendatar sejak melewati POS 2.  Di jalur ini kadang kita harus melalui track dengan kemiringan cukup terjal dan di lalui dengan memanfaatkan akar-akar kayu dan batu sebagai pijakan kaki. Hanya sesekali melalui jalanan datar, itupun hanya beberapa langkah kaki sebelum kembali bertemu dengan jalan menanjak (yaiyalah.. namanya juga menuju puncak).

Namun sambil jalan, kita bisa menikmati pemandangan hutan yang masih alami, kicauan burung, angrek-anggrek liar, bambu kecil, dan beberapa tanaman rotan yang tumbuh liar di sisi kiri dan kanan jalan. Sekedar tambahan, kita harus memenej konsumsi air sejak meninggalkan POS 2, karena air baru bisa ditemukan lagi di sekitaran POS 5.

POS 4 – POS 5

Jalur tetap menanjak (yaiyalah!), suhu udarapun terasa semakin dingin dan menusuk. Hal ini menjadi tanda bahwa posisi kami semakin berada di ketinggian. Jika di track sebelumnya saya hanya memakai kaos oblong sambil mendaki, kali ini saya memilih mengenakan jaket hoody untuk melawan suhu dingin pegunungan. Jalur menuju POS 5 sama seperti jalur-jalur sebelumnya, dilalui dengan menyusuri jalan setapak menanjak yang kadang berada di tepi jurang yang lumayan dalam. Di sisi kiri dan kanan jalan kita bisa menikmati lumut hijau yang seakan tumbuh menyelimuti batang pepohonan. Kadang jalur kami tembus dalam kondisi berkabut, sungguh sensasi yang luar biasa.. hehe. POS 5 ini berada di ketinggian ±2.678 mdpl.

Di POS 5 ini tim kami memutuskan untuk beristirahat sekaligus memasak dan makan siang berhubung di sekitar POS 5 ini terdapat sumber air. POS 5 merupakan lokasi istirahat yang cukup ideal karena selain terdapat sumber air juga merupakan dataran yang cukup luas. Namun di beberapa sumber menyebutkan bahwa di POS 5 ini kadang terjadi hal-hal mistis yang irasional, namun menurut saya pribadi, sepanjang gak berbuat macam-macam dan tetap berusaha saling menghargai sesama makhluk Tuhan, Insya Allah gak bakalan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lagian gunung mana sih di Indonesia yang gak memiliki ‘cerita’ mistis?

POS 5 – POS 6 – POS 7

Setelah beristirahat dan makan siang, kami-pun kembali melanjutkan pendakian. Di sekitar jalur pendakian, tanaman nampak semakin kerdil sebagai indikator posisi kami yang semakin tinggi dari permukaan laut. Sekedar menambah pengetahuan, hal ini mungkin bisa dijelaskan dengan melihat peta iklim “junghunh” yang berdasarkan ketinggian. Track dari POS 5 menuju POS 6 lumayan mendaki namun dengan jalur yang mulai agak terbuka karena tanaman yang mulai mengerdil dan melewati batu berlumut serta tanah yang mengeras. Sayangnya kami melewati track ini dalam kondisi yang cukup berkabut jadi tidak bisa menikmati pemandangan pegunungan dari ketinggian. Kami terus melanjutkan perjalanan menuju POS 7. Suhu semakin dingin, kabut semakin tebal hingga hanya menyisakan jarak pandang sekitar 10 meter dan sesekali angin bertiup membawa butiran-butiran air dingin dan menerpa kami. Dengan track yang masih cukup menanjak namun sesekali terdapat track yang cukup datar sekitar enam langkah sebelum kembali menanjak. Pepohonanpun terlihat semakin kerdil dibandingkan sebelumnya.

Jejeran pohon kerdil, menuju POS 6

Kami akhirnya tiba di POS 7 sekitar jam 17:00 sore.  Saya langsung memakai jaket tebal merah-abu-abu-ku yang bagian dalamnya berbahan polar untuk menangkal suhu dingin, sambil menunggu beberapa rekan saya yang lain yang sementara masih dalam perjalanan menuju ke POS 7. Karena menjelang gelap, kami yang sudah tiba duluan segera mendirikan tenda untuk beristirahat sebelum melakukan pendakian menuju puncak Rante Mario keesokan harinya.

POS 7 merupakan area yang cukup terbuka, dan dengan mudah dihantam angin dingin yang membawa butiran-butiran air dari kabut karena terletak di punggung pegunungan. POS 7 ini berada di ketinggian ±3100 mdpl (bandingkan dengan puncak Gunung Bawakaraeng yang hanya ±2830 mdpl).

Lokasi perkemahan kami di POS 7

Setelah makan malam, Malam hari diisi dengan bincang-bincang santai oleh mayoritas anggota tim sambil menikmati cemilan dan kopi. Saya sendiri memilih segera kembali ke dalam tenda dan beristirahat di dalam sleeping bag untuk me-recharge tubuh yang lumayan capek.

25 Agustus 2012

Menjelang pagi, mayoritas anggota tim sudah siap melanjutkan pendakian. Rencananya kami berada di puncak sekitar satu jam lalu segera kembali ke POS 7. Tenda, dan mayoritas perlengkapan ditinggalkan di POS 7 dan hanya membawa perlengkapan yang dibutuhkan sewaktu tiba di puncak, dalam hal ini terutama adalah Kamera.. hehe.

Sekitar jam 6 lewat, kami memulai pendakian meninggalkan POS 7 menuju puncak Rante Mario dengan menembus kabut pagi yang dingin. Masih terdapat track yang cukup mendaki . Sisanya lumayan landai serta track mendaki dengan tingkat kemiringan yang tidak terlalu terjal. Pohon-pohon kerdil masih dijumpai di sekitar jalur pendakian.

Tidak terlalu lama berjalan, akhirnya kami tiba di POS 8.

POS 8 merupakan dataran yang agak luas yang menyerupai waduk kering yang ditumbuhi rerumputan yang menurut cerita dulunya adalah helipad (landasan helikopter) yang digunakan pada saat antenna pemancar (radar) di yang ada di dekat lokasi POS 8 ini masih difungsikan pada era pemerintahan Orde Baru (katanya nih ya). Memang terlihat siluet antena yang menjulang ke atas di salah satu puncak gunung yang saya lihat saat berada di POS 8.

Kami melanjutkan menuju ke puncak. Track berupa jalanan berbatu dan tidak terlalu menanjak. Di track ini angin lumayan kencang karena berada di area terbuka dan merupakan punggung gunung. Suhu udarapun sangat dingin, jadi sebaiknya memakai jaket atau raincoat untuk menghalau angin dingin yang mengandung air.

Sekitar pukul 07:00 pagi kami akhirnya tiba di puncak Rante Mario yang memiliki ketinggian ±3475 mdpl (puncak tertinggi di pulau Sulawesi ).

foto bersama full team di triangulasi Puncak Rante Mario

Sebenarnya kami berharap bisa tiba di puncak dalam kondisi cerah supaya bisa melihat pemandangan sekeliling. Namun sayangnya yang kami dapatkan adalah kondisi berkabut. Setelah puas menikmati sensasi dan suasana puncak puncak tertinggi Sulawesi, sekitar pukul 08:10 pagi kami-pun memutuskan memulai perjalanan untuk turun dari puncak menuju ke POS 7 dalam kondisi gerimis untuk mengemasi barang sekaligus sarapan kemudian melangkah turun menuju Perkampungan Desa Karangan, dengan track menurun dalam kondisi gerimis.

Buat saya pribadi, pendakian kali ini sangat spesial. Selain karena gunung yang didaki merupakan gunung tertinggi di Sulawesi, yang berarti saya telah berdiri melebihi ketinggian tanah manapun di seluruh Sulawesi. Juga karena dalam pendakian kali ini begitu banyak track terjal yang berhasil dilalui, menerobos kabut dingin dan melewati hutan lebat hingga akhirnya berdiri di tanah tertinggi di Sulawesi.

Foto bersama sebelum meninggalkan Dusun Latimojong

Sebuah kesyukuran dan pengalaman menakjubkan tersendiri yang begitu sulit saya deskripsikan dengan rangkaian kata dalam tulisan. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan dan terima kasih untuk semua rekan-rekan yang menjadi rekan seperjalanan saya yang membuat pendakian ini menjadi terasa lebih spesial.

Sumber:
Blog 27cm oleh Chaerul Anwar