Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode I – Mas Ka

Putra terduduk lunglai di matras merah. Keringatnya bercucuran, nafasnya terengah-engah, ia nampak frustasi. Di depannya berdiri seorang pria berkulit kuning langsat, berpakaian hitam-hitam, dengan ikat kepala khas Jawa, terkekeh-kekeh sambil memegangi perut besarnya yang tertutup ikatan kain putih yang berfungsi sebagai sabuk.

“He he he he… Ayo Putra… Apa kamu masih sanggup?”

Putra berdiri dengan susah payah, ia memasang kuda-kudanya.

“Ayo coba lagi Kangmas! Hup!”

Putra menyerang pria yang dipanggilnya ‘Kangmas’, yang adalah guru silatnya. Walaupun bertubuh tambun, bukan namanya seorang guru kalau memang ia tidak lihai. Badanya berkelit menghindari jurus-jurus Putra, tiba-tiba pukulan Putra dijepit oleh kedua lengan sang guru, lalu dia merendahkan kuda-kudanya membuat Putra kehilangan keseimbangan, dan sang guru memutar pinggangnya. Putra terlempar ke samping dan gubrak! Suara badan yang menghantam matras kembali terdengar untuk kesekian kalinya di malam itu.

Eeets, tunggu dulu, mungkin lebih baik kalau gua cerita kenapa gua bisa dalam situasi dan kondisi yang tertulis di atas kali ya.

Nama gua Putra, dan gua mungkin bisa masuk dalam kategori ‘not your average guy’. Gua tergila-gila dengan yang namanya Silat Tradisional, dan gua sudah berlatih silat sedari janin. Enggak kok, gua ga segila itu, tapi gua sudah latihan silat sejak gua berumur 11 tahun. Dan gua hanya belajar Silat tradisional, yang mengutamakan aspek filosofi dan ilmu-ilmu hampir terancam punah yang dipenuhi nilai-nilai luhur.

Mungkin beberapa dari kalian penasaran, apa sih bedanya Pencak Silat ‘biasa’ dan Silat Tradisional?

Well, let me clarify for you. Indonesia ini memiliki sekitar 600 aliran pencak silat berbeda. Silat di pandangan umum sekarang itu dibagi dua: Pencak Silat Olahraga, dan Silat Tradisional. Nah, Silat Tradisional inilah yang gua sangat gemari. Silat tradisional itu lebih ‘underground’. Mereka punya sistem pelatihan sendiri, teknik-teknik yang sangat khas, aspek tradisionalnya masih kental, dan hubungan guru-murid itu masih sangat pribadi, bahkan terkadang sakral. Kayak musik-musik indie aja, bukan major label, dan masing-masing punya warna yang unik yang menunjukkan identitas musikusnya. Maksud gua dari ‘aspek tradisional yang kental’ itu supaya kalian tahu aja kalau memang ada aliran-aliran silat yang ‘berbau mistis’, ‘potong ayam hitam’, ‘mandi air kembang’, dan segala macem ritualnya. Namanya tradisional, pasti ada gono-gononya.

Nah ini adalah cerita gua, cerita bagaimana gua bisa belajar silat dan apa yang gua pelajari dari silat-silat ini. Mungkin ini bisa dibilang jadi ‘jurnal keilmuan’ gua, curhatan gua akan silat, supaya Silat Tradisional itu tidak cuman “kampungan” di mata pemuda sekarang. Karena silat itu bukan hanya sekedar senggol,  bacok, tangkis,  tendang, pukul, atau jurus lemparan maut.

Tetapi silat itu juga termasuk seni dan cara menghidupi kehidupan kita yang sekali ini.

Perguruan Pertama: Tunggal Rasa

Bab I : Mas Ka

Semua itu berawal dari satu. Sepak terjang gua di dunia persilatan pun berawal dari satu perguruan, guru pertama gua. Dengan julukannya: “Si Jalu.”  Nah di sinilah ceritanya dimulai, “Si Jalu” ini akrab dipanggil “Mas Ka”. Karena sosoknya selalu pas sebagai sosok seorang ‘big brother’, dengan keramahannya yang khas dan selera humornya yang pas. Tidak pernah lupa, ilmu silatnya yang mantap.

Mas Ka ini badannya tinggi, berdada bidang, tampak muda, dan selalu fresh. Raut wajahnya susah ditebak, karena ketika diam, beliau akan terlihat dingin. Tetapi begitu disapa, senyuman beliau bisa dari kuping ke kuping. Penampilan kesehariannya tidak akan terlihat seperti jagoan silat sama sekali, tetapi lebih seperti atlit basket. Dengan celana jeans yang agak gombrong, dan kaos tim basket kesukaan. Beliau ini gemar sekali main basket, koleksi action figures dan komik, tidak lupa berlatih silat. Mas Ka ini pendengar yang baik, beliau bisa mengerti kapan harus tegas, dan kapan bisa bercanda. Pokoknya ‘big brother’ banget deh.

Bagaimana caranya sampai gua ini bisa ketemu sama Mas Ka? Nah semua itu berawal di acara 17 Agustusan di kompleks gua. Setelah beberapa lomba yang 17 Agustusan banget, kayak panjat pinang, makan kerupuk, guling-guling di lumpur (lho?), dan lain-lain, tibalah sebuah pertunjukkan silat. Pada saat itu, gua tidak di situ. Gua lupa lagi ngapain, tapi yang jelas lagi melakukan sesuatu yang penting (sehingga gua tidak datang ke acara 17 Agustusan kompleks gua. Meh.).

Tetapi,  Ayah gua ada di situ.

Dengan pengalamannya yang sudah setinggi-gunung-sedalam-lautan-seluas-pulau-Kalimantan ini, dia melihat bahwa aliran silat yang dipertontokan itu cocok buat gua.

Dengan keramahan ayah gua bak seorang begawan Jawa sakti ini, ia menghampiri Mas Ka yang sedang berjalan keluar gelanggang. Dan setelah mengenalkan dirinya, beliau memutuskan untuk ngobrol dengan Mas Ka, yang menurut versi beliau seperti ini:

Sang Ayah: “Halo Mas, wah ini aliran silat apa ya?”

Mas Ka: “Halo Mas, oh ini namanya Tunggal Rasa…”

Sang Ayah: “Wah bagus ya… Mas, kira-kira Mas Ka mau ajarin saya?”

Mas Ka: “Wah Mas, gimana kalau kita latihan sama-sama saja,  jadi dua-duanya saling berbagi ilmu…”

Gua ga percaya versinya beliau pada saat itu. Gua yang masih bocah singkong bau kencur itu (dan tukang khayal) berpikir seperti ini lebih cocok versinya:

Suasana tiba-tiba hening, dan ayah gua menghampiri Mas Ka

Sang Ayah: “Fu fu fu… Ilmu silat ini lumayan juga.”

Mas Ka: “Siapakah gerangan kisanak?”

Sang Ayah: “Aku adalah adipati Kalamangga. Apa kiranya kisanak mau menunjukkan kehebatan ilmu ini?”

Mas Ka: “Silahkan.”

Tapi sayangnya, tidak begitu kenyataannya.

But anyways, I’ll get to the gist of the story.

Pada zaman itu, ketika gua berumur 11 tahun, waktu senggang masih banyak. Setiap ada waktu kosong, gua akan menggowes sepeda menuju rumah Mas Ka dan latihan sampai ditelepon Ibu disuruh pulang. Sama sekali tidak kepikiran kalau latihan silat itu akan bikin sakti atau gimana, tetapi Mas Ka dengan suksesnya menanamkan benih cinta akan silat dalam hati, jiwa, dan jasmani gua. Gimana caranya sih menanamkan cinta silat ke anak umur 11 tahun? Reward System!

Setiap gua berhasil menuntaskan satu bentuk jurus, Mas Ka akan memberikan gua waktu istirahat yang lebih lama, dan setelah latihan, Mas Ka akan meminjamkan gua sebuah komik untuk dibaca setelah latihan! Gua senang sekali setiap tamat satu jurus, gua bisa minum es teh manis sambil baca komik. Dalam benak gua pada saat 11 tahun, hidup gua lengkap sudah.

Silat Tunggal Rasa ini adalah satu aliran yang sangat menarik, karena langkahnya (note: di banyak aliran silat Betawi, ‘jurus’ biasanya disebut sebagai ‘langkah’, dan langkah – footwork- dalam setiap ‘langkah’ ini pendek-pendek dan tidak berkuda-kuda rendah) sifatnya itu pendek dan praktis. Tunggal Rasa ini unik karena ini merupakan ramuan beberapa ilmu silat Betawi lainnya, sehingga menciptakan suatu bentuk yang sangat khas, praktis, sederhana, namun sangat ampuh.

Semua pengetahuan dasar gua akan silat itu diajarkan Mas Ka. Berlatih dengan beliau itu memang merupakan pengalaman yang gua enggak akan bisa lupa. Sekarang coba, mana ada guru silat yang bakal ngerti kalau kita ngobrolin Doraemon, atau serial anime apa gitu, dan bisa langsung nimpalin obrolan nya? Belajar sama Mas Ka ini memang salah satu pengalaman paling berkesan di hidup gua.

Untuk memberi sedikit gambaran tentang apa saja yang gua pelajar dan apa saja yang Mas Ka latih itu bisa dirangkum dalam beberapa poin:

  1. Keluarga selalu nomor satu
  2. Hormati orangtua dan para pendahulumu
  3. Sadarlah dalam bertutur kata dan bertindak
  4. Kalau mau sehat dan kuat, urusin badan
  5. Jangan pernah cari gara-gara.
  6. Kalau ketemu gara-gara, ajak ngobrol dulu baik-baik
  7. Kalau ngobrol baik-baik tidak ada gunanya, ladeni baik-baik.
  8. Hukum sebab-akibat itu berlaku di kehidupan dan dalam bersilat

Bentuk-bentuk latihan yang Mas Ka sajikan pun sangat khusus. Setiap orang yang berlatih bersama atau belajar dari Mas Ka akan mendapatkan beberapa bentuk latihan fisik yang mendasar, lalu dia akan diberi kebebasan untuk melanjutkan ke ‘spesialisasi’ tertentu: Pencak silat, Pernapasan (Tenaga Halus), atau Tenaga Dalam (Tenaga Keras).

Sebelum hilang fokus, mungkin teman-teman yang sedang membaca penasaran: “Kenapa sih judul bab 1 nya itu ada Ayam Pop-nya?” Ayam Pop ini juga merupakan bentuk dari “Reward System” yang Mas Ka aplikasikan. Jadi setiap kita menyelesaikan beberapa rangkaian jurus, beliau akan memberi tahu kami sekitar seminggu sebelumnya bahwa kami akan diuji.

Dalam perguruan silat tradisional, setiap guru yang ditanya: “Apa yang akan diuji?” Pasti akan terkekeh-kekeh dan menjawab dengan sederhana: “Ya apa yang sudah kamu pelajari.” Mas Ka pun begitu, tetapi ekspresi beliau akan lebih datar, dan mungkin tersenyum sambil menyipitkan mata licik. Ujiannya seperti apa, akan gua ceritakan lebih lanjut nanti, tetapi setiap kita selesai ujian, Mas Ka akan menyajikan Ayam Pop masakan ibunya yang super istimewa ini. Semua sakit dan lelah setelah ujian akan hilang sekejap ketika ayam pop sudah disajikan dipiring dengan nasi panas dan sambal hijau yang membuat lidah menari kegirangan.

 BERSAMBUNG…

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Fashion of Keraton Nusantara – Part I

Zaman sekarang, dunia fashion tanah air kebanyakan berkiblat ke Barat.  Sebelum booming K-Pop, Jepang dengan style Harajuku-nya juga sempat mewabahi generasi muda. Di tengah pertempuran ide dan kreatifitas untuk membuat diri terlihat indah hari ini, sayangnya fashion nusantara belum mendapatkan perhatian yang besar dari pemuda-pemudi bangsa (malah acapkali dilabeli “kampungan”). Padahal, fashion nenek moyang kita dulu bisa jadi inspirasi yang oke punya lho. Keluarga kerajaan di nusantara ini ternyata punya selera yang tinggi dalam mix and match budaya Timur dengan unsur-unsur estetika Barat, tentunya tanpa kehilangan filosofi di balik pakaian yang mereka kenakan. Penasaran seperti apa? Yuk kita lihat satu-satu!

I. Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari Kesultanan Aceh Darussalam

Ialah salah seorang wanita yang pernah memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai anak perempuan Sultan Iskandar Muda, tidak heran jika bakat kepemimpinan mengalir di darah wanita yang menjadi patron ulama besar Abdurrauf Singkil. Untuk ukuran wanita pada zamannya pun, track record-nya lumayan mengagumkan: ia punya hobi menulis sajak dan cerita serta mendukung proyek pembangunan perpustakaan di istana. Sosoknya sebagai seorang perempuan yang tegas dan cinta ilmu pengetahuan jauh dari stigma masyarakat Eropa terhadap kaum Hawa pada masa itu. Satu hal lagi yang perlu disaluti dari sang ratu, Ia menjadi penguasa Aceh pertama yang mengizinkan biarawan Fransiskan dari Eropa untuk membangun gereja di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan ilustrasi karya Sayyid Dahlan Al-Habsyi di atas, busana yang ia kenakan jelas mencerminkan pengaruh Timur Tengah dengan adanya kain penutup kepala  serta gamis bermodel Turki. Warna emas dan hijau yang mencirikan keagungan serta agama Islam mendominasi pakaiannya. Aksesoris dari permata seperti kalung, anting-anting, dan hiasan kepala bercorak-ukir menandakan kemajuan peradaban Aceh masa itu. Ada fakta menarik terkait aksesoris emas yang beliau gunakan. Penggunaan emas sebagai perhiasan utama di istana Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dimana menurut laporan Augustin de Beaulieu dari Prancis setiap penari istana mengenakan 20 kg emas di badannya! Trend emas ini dibuktikan dengan koleksi benda-benda peninggalan Kesultanan Aceh di Museum Nasional Kopenhagen yang terdiri atas selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan ikat pinggang dari perak. Wow, beliau adalah seorang ratu nan pintar, baik hati, terbuka dan kaya raya!

II. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta

Susuhunan Pakubuwono X – Kasunanan Surakarta (1893-1939)

Inilah raja terkaya dalam sejarah kerajaan Mataram (keraton Yoyakarta-Surakarta). Raja yang bergelar Sinuhun Wicaksana ini amat istimewa. Ia melakukan revolusi di bidang sosial dengan cara memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Setiap malam Jumat ia akan naik ke atas mobil Mercedes Benz 1905-nya (jangan lupa kalau ia juga raja pertama yang memiliki mobil pribadi di seluruh penjuru Jawa) dan membagi-bagikan uang kepada rakyat yang kurang mampu. Paku Buwono X mendapatkan bintang kehormatan dari Sri Maharaja Puteri Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid. Permaisurinya, Gusti Bandara Raden Ajeng Mur Sudarsinah merupakan putri Sultan Yogyakarta. Penikahan mereka menjadi sejarah karena setelah kerajaan Mataram pecah di tahun 1755 baru kali ini keraton Surakarta dan Yogyakarta kembali menjalin hubungan akrab.

Dalam lukisan ini Ia mengenakan jas hitam atau yang biasa disebut beskap berhiaskan banyak sekali lencana kehormatan. Warna beskap yang hitam menandakan bahwa busana ini tergolong sanes padinetenan atau pakaian yang hanya dikenakan pada upacara adat saja. Sunan Pakubuwono mengenakan kemeja sepinggang serta jarik yang dikencangkan oleh ikat pinggang. Beliau juga mengenakan sepatu atau sloop, yang dari namanya saja sudah jelas berasal dari pengaruh Belanda. Beliau mengenakan kuluk (topi/kopiah kebesaran) yang biasanya juga dikenakan oleh pengantin laki-laki Jawa. Sang istri tampil lebih tradisional dengan baju lengan panjang berbahan velvet atau beludru dengan hiasan benang emas yang hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan. Jarik dan rambut disanggul. Aksesoris yang ia kenakan ialah tiga susun bros (penanda bahwa beliau merupakan seorang permaisuri), kalung emas, anting-anting, lencana kehormatan, cincin (di kelingking, jari manis dan telunjuk), dan gelang (di kedua pergelangan tangan). Baik raja maupun ratu sama-sama memegang sehelai sapu tangan dengan kunci yang tergantung di bawahnya. Kunci tersebut merupakan kunci ruang pusaka kerajaan.

III. I Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng

I Gusti Ketut Jelantik – Patih Raja Buleleng, Bali (1849)

Patih muda yan terkenal gigih menentang penjajahan Belanda ini sejatinya berasal dari Karangasem. Ia terkenal karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan martabat kerajaan dan menolak tunduk pada Belanda. Beliau menyerukan puputan alias perang hingga titik darah penghabisan kepada seluruh warga Buleleng. Meskipun terpaksa mundur hingga ke Gunung Batur, Kintamani dan gugur di sana, nama Gusti Ketut Jelantik tetap hidup sebagai penyemangat warga Bali dalam menentang kekuasaan Belanda di Pulau Dewata. 

I Gusti Jelantik nampak begitu gagah pada foto yang diambil di Batavia tersebut. Pakaian yang dikenakan oleh beliau terdiri atas kemeja berkerah dan jas (?) lengan panjang bermotif, kain yang diikat setinggi ulu hati serta celana panjang corak Bali. Beliau juga mengenakan kain sebagai penutup kepala. Perhiasan yang dipakai hanyalah cincin pada jari kelingking dan telunjuk. Pengaruh Barat hampir tidak terlihat, pakaian Gusti Jelantik dapat digolongkan nyaris 100%  busana Bali asli. Berbeda dengan kraton Jawa, di Bali tidak ada motif-motif pakaian yang dikhususkan untuk bangsawan semata. Akan tetapi rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan untuk mengenakan kain tenun yang berhiaskan benang emas dan perak atau prada (ragam hias goresan cat emas). Selain hiasan prada, tenunan songket juga menjadi penanda pakaian bangsawan kelas atas. Ciri khas kain Bali yang biasanya berwarna-warni sayangnya tidak dapat kita nikmati dengan jelas pada foto hitam-putih I Gusti Jelantik.

IV. Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa MatinroE ri TucaE dari Kerajaan Tanete

Retna Kencana Colliq Pujie – Arung Pancana Toa (1812-1876)

Sosok perempuan inspiratif yang telah menyusun naskah La Galigo terpanjang di dunia ini adalah seorang sejarawan, budayawan dan novelis pada zamannya. Tidak hanya sampai di situ, kejeniusan beliau juga nampak dengan terciptanya aksara Bilang-Bilang yang idenya diambil dari bentuk aksara Lontaraq dan Arab. Wanita keturunan Johor-Bugis ini terkenal gigih dalam menghadapi Belanda yang bercokol di negeri Tanete (Kab. Barru, Sulawesi Selatan). Meskipun diasingkan selama bertahun-tahun dan tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seorang ratu, Colliq Pujie tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak tunduk pada penjajahan Belanda.

Pada foto di atas, beliau mengenakan baju model Melayu lengan panjang dengan motif geometris. Baju ini tergolong unik, coba saja perhatikan sambungan diagonal yang melintang dari pundak sebelah kiri beliau hingga perut sebelah kanan. Aksesoris yang ia gunakan antara lain dua cincin emas pada jari telunjuk dan jari manis, kalung, serta semacam sisir kecil yang disisipkan di rambut bagian atas serta sapu tangan. Nah, rambutnya mengkilap di foto ini hampir bisa dipastikan diolesi oleh minyak kelapa, tradisi yang hingga saat ini pun masih hidup di kalangan orang tua Bugis. Sarung yang beliau kenakan merupakan sarung dengan motif flora (pengaruh Melayu-Cina?), sayangnya keindahan sarung tersebut tidak kelihatan karena warnanya hitam-putih. Yang paling membuat penulis terkesima ialah sepatu bergaya India (Jutti) yang beliau gunakan! Sepatu dengan ujung melengkung ke atas seperti itu menandakan bahwa beliau tergolong up to date dengan dunia fashion pada zamannya.  Dikutip dari situs The Bata Shoes Museum:

In Northern India, the curled toe and open back is a common feature of footwear, as is the beautiful, intricate metallic embroidery, which today is still executed completely by hand.

Konon sepatu tipe Jutti atau Mojari ini pertama diciptakan pada masa Dinasti Mughal di India Utara, tepatnya di sekitar wilayah Punjab dan Rajasthan sekarang. Hanya kalangan orang kaya dan bangsawan yang dapat memakai sepatu berbentuk unik dengan motif-motifnya yang cantik ini karena biaya pembuatanya yang lumayan mahal. Sepatu tipe seperti ini digandrungi Barat ketika Eropa terserang oleh demam “Gila India” sekitar abad ke-17. Wah, ternyata Colliq Pujie tidak hanya seorang jenius secara intelektual, referensi fashion beliau pada masa itu pun telah berkelas internasional!

 

Berlanjut ke Fashion Keraton Nusantara – Part II

Referensi Gambar: 

http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/22/sultanah-safiatuddin-memimpin-berapa-lama-174008.html
http://www.bridgemanartondemand.com/image/646807/-pakubuwono-x
http://devry.wordpress.com/2010/10/27/a7789ef88d599b8df86bbee632b2994d/
http://www.balifornian.com/blog/2012/7/30/our-family-and-balis-royal-family-of-karangasem.html
http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/
http://sergapntt.wordpress.com/category/manggarai/

Categories
Galigo Gallery Photos

They UPS! La Galigo