Categories
101 La Galigo Old Stuff Good Stuff

Belajar Hubungan Internasional Dari Suku Bugis-Makassar

Kamu mahasiswa Hubungan Internasional? Atau, kamu berminat untuk belajar diplomasi? Baca dulu dong artikel menarik kami yang mengupas “hubungan internasional” melalui perspektif nusantara ini!

Indonesia sebelum dijajah oleh Belanda merupakan kumpulan kepulauan yang di dalamnya terdapat beranekaragam kerajaan dan suku bangsa. Kira-kira, kamu bisa membayangkan bentuk negara kita seperti Benua Eropa dewasa ini. Nusantara yang luasnya dari Sabang sampai Merauke setara dengan jarak dari London ke Teheran ini terpecah-pecah ke dalam berbagai macam kesatuan adat. Begitu menyeberangi suatu wilayah, maka yurisdiksi, bahasa dan kebudayaannya pun juga telah berubah. Seandainya dulu kamu adalah seorang pedagang beras dari Mataram (Jawa) dan berlayar ke Sriwijaya (Palembang), kamu sudah dapat digolongkan berpartisipasi dalam “kegiatan bisnis mancanegara” lho!

Naskah Bergambar yang Bercerita Tentang Pelayaran Sawerigading ke Tana Cina untuk Melamar I We Cudai (koleksi Andi Makkaratte). Source: La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, 2003

Banyak suku bangsa asli nusantara yang gemar berinteraksi dengan budaya asing. Di Sumatera, bangsa Melayu dan Minangkabau masyhur dengan konsep merantaunya. Falsafah yang dipegang teguh oleh Urang Minang agar dapat beradaptasi dan survive di negri rantau adalah “dimano bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang”. Ada juga orang-orang Bajo (Suku Laut) yang menghabiskan sisa hidup mereka dengan melayari perairan Indonesia dari ujung barat hingga ke ujung timur. Mereka sebisa mungkin menghindari hubungan langsung dengan daratan. Politik antarkerajaan kuno berada di luar interest mereka, mengingat semangat hidup suku ini yang menjunjung tinggi kebebasan. Tidak heran jika mereka dijuluki sebagai sea-gypsies oleh Sejarawan Laut Indonesia, almarhum Adrian B. Lapian. Di antara bangsa-bangsa petualang tersebut, Suku Bugis-Makassar memiliki konsep Hubungan Internasional (HI) yang tergolong unik.

Orang Bugis-Makassar perantauan mengenal istilah “Malekke’ Dapureng” atau Memindahkan Dapur. Disebabkan oleh mobilitas sebagai pedagang dan pelaut amat tinggi, tidak heran jika banyak pelayar Bugis-Makassar tinggal di negri rantau hingga bertahun-tahun. Pelayaran untuk kembali ke negri tempat asal mereka tentunya memakan ongkos dan waktu yang lama, satu-satunya cara agar dapat terus bertahan dalam jaringan bisnis internasional itu adalah dengan berpindah habitasi yang disimbolkan dengan “berpindah dapur”. Konsekuensinya, lahirlah perkampungan-perkampungan Bugis di tanah asing, dimana pada koloni-koloni tersebut mereka tetap hidup dengan menganut prinsip-prinsip adat mereka sendiri.

Konsep Malekke’ Dapureng amat membantu di dalam mewujudkan stabilitas imigran Bugis di negri seberang agar mereka dapat dengan nyaman mempertahankan nilai-nilai dasar kebudayaan mereka seperti di kampung halaman. Akan tetapi, para pemukim Bugis-Makassar ini tidak lantas kemudian bertingkah laku semena-mena di negara asing yang menerima mereka. Local genius alias kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassar nampak dengan hadirnya pepatah “kegisi monro sore lopie, kositu tomallabu sengereng” (dimana perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan). Mereka berbaur dengan bangsa lokal, mengadopsi nilai-nilai baru dan membangun kehidupan melalui proses asimilasi yang berkelanjutan. Agar dapat mempelancar persatuan antara imigran Bugis-Makassar dengan komunitas baru, kaum pendatang ini dibekali tiga buah prinsip yang dikenal dengan nama Tellu Cappaq atau Tiga Ujung oleh nenek moyang mereka. Apa saja sih ketiga ujung tersebut?

 

Cappa Lila atau Ujung Lidah

Kue Bugis, Sarung Bugis, Muara Angke dan Badik Makassar sering terdengar di luar Sulawesi Selatan. Mengapa makanan tradisional yang populer di Sumatera diberi nama Kue Bugis? Jika ditanya kepada anak muda sekarang pasti jarang ada yang bisa menjawabnya. Suku Bugis-Makassar menempatkan “ujung lidah” sebagai metode pertama dan utama dalam berinteraksi dengan masyarakat asli tempat dimana mereka bermukim. Para imigran ini terbukti telah mempraktekkan diplomasi meskipun tidak pernah mempelajari teorinya secara formal. Komunikasi lisan menjadi kunci mereka agar dapat berhubungan dan hidup damai dengan komunitas lokal. Walhasil, tak heran jika perkembangan budaya daerah setempat pun saling bertautan dengan kehadiran orang-orang Bugis-Makassar. Nama-nama tersebut disematkan secara kultural oleh penduduk lokal yang telah familiar dan akrab dengan budaya Bugis-Makassar. Coba perhatikan nama Pante Macassar di Timor-Timur atau Bugis Street di Singapore. Kedua-duanya dikaitkan dengan pusat atau lalu lintas bisnis yang dipelopori oleh orang Bugis-Makassar!

 

Cappa Laso atau Ujung (maaf) Kelamin

Ternyata ada banyak sekali keturunan dari suku Bugis-Makassar yang berada di luar daratan Sulawesi! Siapa sangka kalau ternyata tokoh seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah cucu dari Karaeng Galesong? Siapa sangka jika ternyata Sultan Johor, Sultan Pahang dan Sultan Selangor di Malaysia sekarang ini adalah keturunan dari bangsawan Luwu bernama Opu Daeng Cella? Dan siapa sangka bahwa Perdana Menteri Tun Abdul Razak yang juga merupakan salah satu pelopor berdirinya ASEAN ternyata memiliki darah ningrat dari Kerajaan Gowa dan bergelar La Tatta Ambarala Daeng Manessa? Untuk menghindari perselisihan antarkomunitas yang berbeda adat-istiadatnya, membangun hubungan kekerabatan merupakan metode terbaik. Pernikahan terbukti manjur dalam melanggengkan kekuasaan maupun membangun suatu dinasti baru. Di Aceh, permaisuri pertama Sultan Iskandar Muda yang berhasil membawa kesultanannya menuju zaman keemasan bernama Sendianak Daeng Mansur. Di Kampong Serangan, Denpasar sejak tahun 1700-an banyak terdapat keturunan Bugis-Makassar yang telah berkawin-mawin dengan penduduk Bali sehingga menghasilkan kombinasi nama yang unik seperti Made Yusuf dan Wayan Abdullah.

 

Cappa Kawali atau Ujung Senjata

Tidak banyak disebutkan di dalam pelajaran sejarah, akan tetapi di Thailand pada masa Raja Narai (Kerajaan Siam) pernah terjadi pemberontakan berdarah yang dipimpin oleh seorang panglima dari Sulawesi Selatan bernama Pangeran Daeng. Duta Besar Prancis untuk Siam pada abad ke-17 melaporkan kejadian tersebut dan menggambarkan orang-orang Makassar yang telah dikepung oleh pasukan Siam dan Prancis atas pemberontakan mereka sebagai pasukan yang mengerikan. Mereka lebih memilih untuk mati sambil menerkam beberapa orang sekaligus daripada menyerah. Mereka digambarkan sebagai sang pemberani dari suku-suku yang ada di belahan dunia Timur karena tidak bakal memberi ampun dalam berperang. Pada tahun 1740 keganasan serupa terjadi di Selat Malaka. Berikut ini cuplikan yang digambarkan oleh sejarawan Melayu pada sebuah pantun:

          “Yaitu anak raja Bugis terbilang,

            Lima beradik jadi hulubalang,

            Dimana masuk tiadalah malang,

            Nama yang mulia tiada hilang.

 

            Tujuh konon perahu perangnya,

            Cukup dengan alat senjatanya,

            Serta dengan andre’ gurunya,

            Beberapa juak-juak sertanya.

 

            Juaknya bukan sembarang orang,

            Anak dayang-dayang perangainya garang,

            Berani bertikam sama seorang,

            Sementelahnya biasa di medan perang.

            Ke sebelah barat berlayarlah baginda,

            Ke negri Riau bangsawan muda,

            Lima beradik kakanda adinda,

            Sampai ke Riau Raja Kecil pun ada.”

Di pulau Jawa, pasukan Bugis-Makassar pun terkenal karena keahlian mereka dalam berperang. Tak heran pada beberapa kesempatan sejarah, mereka disewa oleh Belanda maupun oleh Pangeran Trunajaya untuk memperkuat pertahanan negrinya. Hingga hari ini masih dapat kita temukan resimen Serdadu Bugisan dan Dhaengan di Kraton Ngayogyakarta Hardiningrat. Kampung Bugisan dan Daengan yang terletak di kota Yogyakarta pun tidak terlepas dari fakta sejarah peranan keberanian orang-orang Bugis-Makassar ini dalam mengabdikan kemampuan bertarung mereka kepada Sultan. Wuih, serem juga ya!

Seberapa relevankah metode Hubungan Internasional yang dipraktekkan oleh suku Bugis-Makassar melalui konsep Tellu Cappaq? Meskipun belum pernah diadakan penelitian mendetail mengenai pengaplikasian prinsip ini di dalam kehidupan masyarakat Bugis atau Makassar diaspora, akan tetapi kenyataan bahwa pemukiman keturunan bangsa pelaut ini tersebar dari Sabang sampai Merauke memberikan kita sebuah gambaran kesuksesan.

Seorang tua bernama Haji Madussila konon memegang teguh prinsip-prinsip lokal tersebut. Ia yang berasal dari Kec. Maniangpajo, Kab. Wajo Sulawesi Selatan pernah merantau ke Pontianak (1933-1941), kemudian ke Batu Pahat, Johor (1941-1973), ke Tembilahar, Riau (1973-1980), hingga terakhir bermukim di Lampung. Uniknya lagi, baru-baru ini Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui akun @usembassyjkt mengungkap bahwa presentase etnis Bugis-Makassar cukup banyak di antara masyarakat Indonesia yang tengah merantau di negri Paman Sam itu. Ingin membuktikan falsafah Tellu Capaq ala Bugis-Makassar? It’s your turn! 😉

 

 

Referensi:
Kesumah, Andi Ima, Migrasi & Orang Bugis, Ombak, Yogyakarta: 2004
Koro, Nasaruddin, Ayam Jantan Tanah Daeng, Ajuara, Jakarta: 2006

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Surviving Folklores

It was a cloudy December 12, 2011. Earlier in the morning, I planned to go to an exhibition related to indigenous oral tradition. Although that day wasn’t the best monday leisure of mine, I still decided to attend the event considering the rareness of its topic.  So, amidst class traffic and capricious rain, I went to Alphabeta Journal’s Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation. It was one of my very inspiring afternoon.

The exhibition was held at LIR Space which is located on Bachiro area, Yogyakarta. My first impression was “what an unique venue!”. LIR Space maybe hasn’t enjoyed that much publication or customers, since they just started to roll the dice this July. But the atmosphere is so familiar and unique. They uses 3 in 1 (bookstore-boutique-cafe) concept and surrounding it with Butterbeer from Harry Potter; Homemade Ginger Ale and Picnic Sandwich of Enid Blyton’s classic; Pippi Long Stocking’s Pancake; and Afternoon Tea Set that come straight out of Alice in Wonderland story on their menu’s lists. All of sudden, I found myself on childhood backyard again.

Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation is an appreciation toward tales and folklores in Indonesia, by Alphabeta Journal. The exhibition was divided into two chapters: the first is visual exhibition through drawings and paintings, and the second is the audio interpretation. Eight young artists were participated on the visual interpretation. Their wildest imagination let go their skills to sweep the canvas, telling the chosen folklores. You can see how these talented artists defined their own version of some well-known fairytales, such as Lutung Kasarung, The Prince and Mosquito, Slugs and Deer, and many more. However, the folklores are not merely picturesque in an easy way; most of the paintings are strikingly sophisticated and abstract. You will enjoy them as combination of fetterless craft and deep philosophical thoughts. On Sunday, December 18 the audio interpretation began. Stop Lichten, a local band brought their musical performance to tell the visitors about childhood fairytales using modern tones. The exhibition was opened from December 12 until 24, 2011.

The Author (left). And his friend (right).

Although I didn’t find any La Galigo interpretation being showed on both visual and audio exhibition, I found a South Celebes folklore from Bone, Putri Tadampalik and the Bull. It is a very famous story, taken from Pau-Pau Rikadong or the collection of advices and proverbs of The Bugis. The story goes long before Islamic belief infiltrate The Kingdom of Luwu. An exquisite yet so generous princess called Her Grace Tadampalik is the daughter of Datu Luwu (the king). One day, out of nowhere she suffered of inexplicable skin diseases (maja’ uli) which turned her face ugly and her body smelly. The councils of Luwu asked the Datu to expell her from the kingdom, in hope that the skin diseases would not infect the king’s subjects. Brokenhearted by the decision, the Datu of Luwu himself then commanded Her Grace Tadampalik to broad on a small bamboo raft with several lady-in-waiting. She followed the river stream, and finally landed on a jungle.

She decided to live there with her attendants and spent most of her time praying to Dewata with great patient. One day, when she was alone on the yard, a big albino bull came and licked her skin. The bull’s saliva magically cured the disease. After healed Princess Tadampalik, the bull suddenly disappeared. Her Grace was very grateful, but she remained to stay in that remote place rather than come back to Luwu. The story continues with the visit of prince from The Kingdom of Bone and his hunting team near Tadampalik’s abode. Shortly told, the prince met Tadampalik, he found out that she was actually the daughter of King Luwu, married her, and then ruled the Kingdom of Bone together.

Visual Interpretation of Princess Tadampalik and The Bull

Folklores were told by parents to their children orally, from generation to generation. Saving folklores or traditional values through modern package like this exhibition is very important. Many kids nowadays are more familiar with Disney Characters or Japanese Anime rather than their ancestors-made stories. Internet, smartphone, and games also contributes on causing the lackness of interest toward old tales. Alphabeta Journal has proven that as youngsters we could still enjoy globalization and beautiful folklores from our fathers side by side. This Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation is an homage to oral tradition, and a jar of creativity for youth thru music and art. Let’s be inspired! Let’s spread this spirit!

 

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

La Galigo, Now and Then

There are so many things that could happen as the time goes by, and changes can’t be avoided. As an ancient manuscript, La Galigo has experienced a lot of different things through ages. Then and now, what happened to La Galigo?

Then

  • Hundreds of years ago, many Buginese people considered La Galigo as a sacred literature. The manuscripts were even wrapped in a clean piece of white cloth and placed in an appropriate place. Putting it on the floor or in a dirty room is a big NO. People at that time highly respected it. They would burn incense before holding or reading it.
  • Lines from the manuscripts were read and sung in many traditional occasions such as wedding. The wedding couple would feel really blessed when it was sung in their wedding. If it is compared to a nowadays wedding, the lines sung would be those songs sung in a reception to present a solemn atmosphere.
  • La Galigo was believed as a bad luck repellent. People would read it when they move to a new house. In Buginese tradition, there is a traditional ceremony held when a family enters a new house. The purpose is to avoid bad luck so the family will have a good time living in it.
  • When a person was sick, La Galigo was read with a hope that he would recover soon. This is probably due to the story of La Galigo that tells about a character named Opunna Luwuq who had a kind of shade which if it is spread to the whole country, diseases would disappear.
  • Not to mention, La Galigo also contains a lot of knowledge essential to royal family that it was used as a reference before a traditional ceremony was held. The royal family would search for information regarding the preparations and make sure that they were doing it in a right way. La Galigo contains a story about kingdoms and provides detail explanations about certain traditional ceremonies conducted by the royal family as the story developed.
  • Apart from its serious functions in Buginese community, La Galigo was also an entertainment for them. When people are sad, they would read or sing it.

 

La Galigo Theatre in Italy by Robert Wilson. Source: Bali Purnati

Now

  • Buginese people almost completely forget about La Galigo. So sad it is. The whole nation probably completely does not know or even never have heard about it. La Galigo manuscripts are now kept in Makassar, Jakarta, and Leiden. Leiden Univeristy Library, Netherlands, owns the most complete collection. Manuscripts are placed in a special place with a certain temperature to keep them from decaying. It is such an irony, though. Its own homeland does not even have its complete manuscripts.
  • UNESCO has acknowledged La Galigo as Memory of the World under the name of Indonesia and The Netherlands in 2011. It was because the effort of Dr. Mukhlis PaEni from Indonesia and Dr. Roger Tol from The Netherlands who nominate La Galigo to be registered as Memory of The World in 2008. Three years has been passed, and finally La Galigo is in the list.
  • La Galigo has been adapted into theatrical performance by Robert Wilson, an American director and playwright. He has been interested in experimental and innovative cultural works since he began working. On his cold hands, La Galigo has become such an inspiration and performed in international stage since 2004. World admit it as one of the best theatrical performances. Its world premiere took place in Singapore, and received a round of applause. After performing in Asia, Europe, Australia, and the United States, La Galigo was finally shown in Fort Rotterdam, Makassar, for three consecutive days, April 22-24 2011.

Despite to what happened then and now to La Galigo, it is still remain the same. It is still the world hidden cultural treasure that is long for discovery and preservation.