Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Mukhlis PaEni: Sosok Dibalik Pengakuan UNESCO atas La Galigo

Sobat Lontara, udah pernah baca artikel kami tentang La Galigo sebagai Memory of the World UNESCO kan? Nah, beberapa waktu yang lalu tim Lontara Project sempat mewawancarai sosok dibalik penominasian La Galigo tersebut. Ya, beliau adalah Dr. Mukhlis PaEni. Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Sejarawan Indonesia dan Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia.

Pak Mukhlis PaEni

Pria lulusan program studi sejarah Universitas Gajah Mada ini amat mencintai kebudayaan Indonesia. Terbukti ketika ditemui di ruang kantornya, kami disambut oleh lukisan-lukisan yang kental akan budaya dan sejarah Indonesia. Selama wawancara kami juga ditemani oleh iringan musik instrumen khas Sulawesi Selatan. Rupanya koleksi musik tersebut diproduksi oleh Smithsonian Folkways Records, sebuah label rekaman nonprofit di bawah naungan Smithsonian Institution, museum nasional Amerika Serikat, yang bekerja sama dengan pemusik lokal. Koleksi musik ini juga disimpan di Library of Congress, Amerika Serikat. Nah, bagi Sobat Lontara yang sedang merantau ke negeri Paman Sam boleh banget nih dicek. Musik daerah juga bisa lintas-benua lho!

Saat ini, selain aktif menjadi pembicara di berbagai seminar, budayawan asal Sulawesi Selatan yang berdomisili di Jakarta ini aktif sebagai dosen pascasarjana di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Dedikasinya yang luarbiasa terhadap kebudayaan nasional membuatnya berani mengambil inisiatif untuk menominasikan hasil-hasil ekspresi kebudayaan Indonesia ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Beliau berprinsip, sebagai warga negara kita patut memperjuangkan identitas kebangsaan kita.

“Ya, kalau bukan kita siapa lagi? Mau nunggu yang lain gerak, baru gerak juga?”

Nah, sebagai badan yang peduli akan kelangsungan pelestarian budaya dunia, UNESCO memiliki berbagai macam program untuk ‘mengamankan’ hasil-hasil kebudayaan. Salah satunya adalah program Memory of the World yang fokus pada pengamanan dan pelestarian hasil kebudayaan berbentuk dokumen. Sebenarnya sebelum La Galigo, ada tiga warisan budaya Indonesia yang sempat dinominasikan oleh Pak Mukhlis sebagai Memory of the World.  Sayangnya, ketiga warisan itu ditolak dengan berbagai alasan, di antaranya karena tidak ada dampak atau relevansi internasionalnya. Ketiga warisan tersebut adalah kitab Negarakertagama, Babad Diponegoro, dan Repertoar Mak Yong dari Kepulauan Riau. Penolakan selama tiga kali berturut-turut ini tidak menyurutkan usaha Pak Mukhlis untuk mendaftarkan warisan Indonesia agar diakui oleh dunia. Pada tahun 2008 lalu, dengan penuh harapan La Galigo diajukan ke UNESCO. Akhirnya di tahun 2011 keluarlah pengumuman oleh UNESCO yang melegitimasi La Galigo sebagai Memory of The World!

Dalam penominasian La Galigo, Pak Mukhlis menggandeng Dr. Roger Tol, direktur utama KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. Beliau pernah terlibat dalam produksi edisi teks La Galigo dan telah melakukan berbagai riset tentang La Galigo. Keterlibatan Dr. Roger Tol juga disebabkan karena naskah asli La Galigo yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah La Galigo yang di Leiden inilah yang dinominasikan ke UNESCO sebab salah satu syarat penominasian adalah naskahnya harus konkret dan jelas tersimpan dimana.

Proses penominasian La Galigo, menurut Pak Mukhlis, tidak menemui kendala yang berarti, namun segala berkas dan data-data yang diminta memang telah harus siap dan jelas. Setelah diajukan, Pak Mukhlis harus menjelaskan langsung mengenai La Galigo di kantor pusat UNESCO di Paris, Perancis. Selain itu, harus juga diadakan seminar internasional yang membahas La Galigo di Indonesia. Selebihnya adalah tugas UNESCO untuk meneliti serta mengkaji kelayakan La Galigo sebagai salah satu dari sekian banyak Memory of the World. Setelah proses panjang yang berjalan selama dua tahun tersebut, hasil penantian ternyata berbuah positif.

Menurut Pak Mukhlis, kisah La Galigo ini mengandung banyak nilai-nilai kehidupan dan sudah menyinggung tentang teknologi walaupun berasal dari berabad-abad lalu. Beliau mengambil satu contoh dari episode Pelayaran Sawerigading ke Cina. Disitu disebutkan bahwa Sawerigading sebelum menemui We Cudai, dia menyuruh seekor burung nuri peliharaannya, La Dundungsereng, untuk melihat wajah We Cudai, apakah secantik seperti yang digambarkan oleh We Tenriabeng. La Dundungsereng ini memiliki kelebihan dalam ‘merekam’ gambar di kukunya. Alhasil, setelah melihat We Cudai, La Dundungsereng yang terpesona akan kecantikan We Cudai tidak bisa berkata apa-apa lagi kepada Sawerigading selain menunjukkan kecantikan We Cudai yang ‘terekam’ di kukunya. Penggalan cerita ini, menurut Pak Mukhlis, sangat luar biasa karena mengandung imajinasi yang tinggi untuk ukuran zamannya. Kelebihan La Dundungsereng tersebut bisa kita bandingkan dengan fungsi kamera atau perekam video di masa sekarang. Selain itu, dalam cerita La Galigo juga disebutkan tentang berbagai jenis kain, tarian, dan alat musik yang melambangkan kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut.

Setelah La Galigo, apa sepak terjang beliau selanjutnya? Sekarang, Pak Mukhlis berencana untuk menggarap lima naskah asli Sulawesi Selatan untuk dinominasikan sebagai Memory of the World. Kelima naskah tersebut adalah sebagai berikut.

  • Hukum Pelayaran dan Perdaganagn Amanagappa yang naskah aslinya sekarang tersimpan di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London.
  • Naskah-naskah ajaran Syekh Yusuf yang naskahnya sebagian tersimpan di Afrika Selatan dan Perpustakaan Nasional Indonesia. Ternyata, di Afrika Selatan, Syekh Yusuf diakui sebagai pahlawan nasional, loh.
  • Naskah Syair Perang Makassar yang sekarang tersimpan di Belanda.
  • Catatan Harian Raja-Raja Gowa yang sekarang terletak di Ballak Lompoa, Sungguminasa, Gowa.
  • Lontara Pattudiolo Mandar yang memiliki panjang sekitar 50 meter.

Penggarapan kelima naskah ini rencananya akan bekerja sama dengan para dosen di Univeristas Hasanuddin Makassar dan akan turut dibicarakan dalam workshop internasional La Galigo di Makassar pada bulan April ini. Yuk, mari kita doakan agar rencana beliau berjalan dengan lancar. Sekedar info, sejauh ini baru La Galigo yang diajukan oleh Indonesia dan dilegitimasi sebagai Memory of the World padahal Indonesia masih memiliki banyak dokumen yang layak untuk dinominasikan.

Selain rencana penggarapan kelima naskah tersebut, ternyata film La Galigo tengah digarap. Pak Mukhlis mengatakan bahwa sebenarnya proses penggarapannya telah dimulai sejak tahun 2010 dan kemungkinan besar akan diproduksi dalam bentuk animasi dan mengambil salah satu episode dari kisah La Galigo. Siapa sutradara dan casting-nya masih dirahasiakan. Tapi, yang jelas, proyek pembuatan film ini sepenuhnya dikerjakan oleh orang lokal.

Nah, gimana teman-teman? Ada yang terinspirasi untuk menominasikan dokumen berharga Indonesia untuk dijadikan Memory of the World?

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba

Passompeq Sulawesi Selatan di Timor Leste, Amerika Serikat, dan Singapura (Part 2)

Seberapa besar kesempatan seorang pemuda dari Makassar yang ikut Pertukaran Pelajar ke luar negri untuk bertemu dengan seorang asing pakar navigasi pelayaran ala suku Bugis?

Ketika terpilih dari sekian ribu pelajar SMA se-Indonesia untuk mendapat beasiswa ke Amerika Serikat selama setahun, bayangan saya akan negara adidaya itu adalah Patung Liberty, Presiden Bush, dollar, dan Hollywood. Saya tidak pernah membayangkan akan ditempatkan di sebuah kota kecil “terangker di Amerika” bernama Athens yang lokasinya berada di pelosok tenggara negara bagian Ohio. Saya tidak pernah membayangkan akan bertemu banyak sekali orang dan keluarga Indonesia yang berdomisili di sekitar Ohio University. Saya juga bahkan tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan sesosok pria bule setengah baya berkebangsaan Amerika yang fasih berbicara dalam Bahasa Bugis.

Bersama dengan sesama exchange students di Malam Kebudayaan

Adalah Bapak Gene Amarell, dosen di bagian Southeast Asian Studies di Ohio University, pria yang saya maksud fasih berbahasa Bugis tadi. Selintas tidak ada yang aneh dari bapak Gene. Beliau tergolong sehat untuk orang seusianya. Saya sering melihat beliau bersepeda dari rumah ke kampus karena kami tinggal di bukit yang sama. Pertama kali bertemu dengan beliau ialah ketika saya menemani host family saya berbelanja di toko bahan makanan organik. Orang tua host yang ternyata sudah pernah memperkenalkan diri saya sebagai seorang bocah pertukaran pelajar dari Makassar (sebelum tiba di Athens) dengan semangat mengajak saya mendekati Pak Gene. Seutas senyum terekah dari wajah cerah Pak Gene yang dengan ramah menyapa, “Aga kareba?”.

Pak Gene

Terus terang saya shock; disapa dengan aga kareba oleh seorang pria tua (bule pula) di negri Paman Sam? Wow, what a surprise! Pikir saya saat itu. Sekaligus tersanjung sebenarnya, betapa tidak, bahasa nenek moyang saya bisa menyeruak melintasi batas wilayah negara dan diucapkan oleh orang Amerika ini. Pak Gene, demikian sapaan saya kepada beliau, ternyata pernah tinggal lama di Sulawesi Selatan, tepatnya di Pulau Balobaloang. Beliau mengadakan riset mengenai traditional knowledge masyarakat lokal terkait pelayaran sederhana mereka mengarungi samudera. Bugis Navigation merupakan karya besar beliau di bidang antropologi dan bahari yang memaparkan data-data penelitian secara seksama.

Selain Pak Gene, ada satu lagi tokoh yang membuat saya terkagum-kagum dengan ke-Sulawesi Selatan-annya. Nama beliau ialah Syamsi Ali (jika ditulis dalam versi Bahasa Inggris akan menjadi Shamsi Ali), Imam besar Masjid Al-Hikmah, New York. Terlahir dengan nama Utteng Ali, Ia merupakan putra asli Bulukumba yang sudah sejak tahun 1996 menetap dan menjadi pembina kaum muslimin Indonesia di Amerika Serikat. Pribadi Imam Syamsi Ali yang terbuka, ramah dan progresif ini membuatnya dipercaya untuk memangku jabatan Imam besar di masjid terbesar New York dan diamanahi sebagai Director of The Jamaica Muslim Center. Ia juga dipuji karena langkahnya membina interfaith dialogue dengan komunitas Kristen dan Rabbi lokal.

Beliau yang fasih berbicara dalam Bahasa Bugis, Indonesia, Arab, Urdu dan Inggris ini membuat gebrakan pasca peristiwa 9/11 dengan membuka kelas-kelas pengajaran Islam untuk warga Amerika Serikat yang skeptis terhadap agama Islam. Suatu kehormatan yang besar dianugerahkan kepada beliau ketika Presiden George W. Bush mengundang ustad ini mewakili kaum muslim di Amerika melakukan safari doa di New York dan bahkan bersama-sama meninjau reruntuhan WTC. Saat ini Imam Syamsi Ali membawahi sekitar 800.000 jamaah kaum muslimin, dimana 2.000 di antaranya berasal dari Indonesia. Pada tahun 2006 Imam Syamsi Ali mendapatkan penghargaan dari New York Magazine sebagai salah satu dari tujuh tokoh rohaniawan paling berpengaruh di New York.

Imam Syamsi Ali

All People Initiatives, sebuah organisasi Nasrani yang bergerak di bidang pengumpulan informasi mengenai imigran-imigran di wilayah New York pernah mengeluarkan selebaran berisi data-data mengenai pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan di Amerika. Sejak awal tahun 1990-an, banyak perantau dari Sulawesi Selatan yang hijrah ke sana. Tekanan politik serta kekangan kebebasan di negara asal yang membuat mereka ingin mencari penghidupan di benua Amerika. Kebanyakan dari pendatang Bugis ini bermukim di area Elmhurst, Corona, dan Woodside di sekitar Queens. Tahun 2007 lalu, diperkirakan ada sekitar 70 keluarga Bugis di New York.

Ada teori unik yang menyebutkan kehadiran budaya dan orang Bugis di Amerika ternyata sudah berlangsung jauh sebelum ekspedisi Cheng Ho atau klaim Colombus. Di dalam buku “Ayam Jantan Tanah Daeng” disebutkan bahwa Museum Bahari Jakarta merekam bukti perahu pinisi adalah penjelajah dunia yang cikal-bakalnya sudah ada pada abad ke-7. Sebuah bangkai pinisi ditemukan di pesisir Acapulco, Mexico, dimana kayunya menyerupai kayu yang tumbuh di Teluk Bone. Masih di dalam buku yang sama, dikisahkan bahwa Andi Mappanyukki (Raja Bone) memaparkan bahwa nama Amerika berasal dari para pelaut Bugis yang tengah berteriak memohon angin bertiup saat mereka terombang-ambing di tengah lautan. Setelah berulang kali meneriakkan “ammirikko anging!” barulah angin besar datang dan mendamparkan mereka di daratan Amerika. Inilah yang kemudian dicatat oleh pelaut Barat yang kebetulan lewat sebagai nama benua baru tersebut.

Pikiran kita yang sejak kecil dijejali oleh teori bahwa Amerika berasal dari nama seorang wartawan Italia (Amerigo Vespucci) pasti akan langsung menolak teori yang tak punya dasar ilmiah itu. Namun bayangkan, jika ratusan tahun lalu para pasompeq Bugis sudah pernah berlayar hingga Madagaskar, Australia, dan kepulauan Pasifik, kenapa tidak mungkin bagi mereka untuk berlayar sampai benua Amerika? Ekspedisi Phinisi Nusantara dari Tanah Beru (Bulukumba) ke Vancouver, Kanada pada tahun 1986 membuktikan bahwa teknologi kapal kayu ala tradisi lokal pun berjaya melawan keganasan samudera raya.

Penulis di acara Indonesian Night 2008, Ohio University

Ketangguhan, keinginan yang keras, serta harapan untuk mengejar kemuliaan diwariskan oleh Sawerigading kepada putra-putri Sulawesi Selatan. Jika dulu Batara Lattuq berkeliling nusantara dan Sawerigading berlayar menuju Cina, maka di abad ke-21 ini migrasi Bugis ke Amerika lah yang semakin lama semakin meningkat. Entah dengan alasan untuk menuntut ilmu, menyiarkan agama, mencari peruntungan ekonomi, menghindari rasa malu atau lainnya. Para pasompeq dari Sulawesi Selatan ini bermukim di “New World” untuk memulai kehidupan baru sambil terus mengarahkan mata ke kampung halaman dengan penuh kerinduan.

 

Referensi:
http://www.masjidalhikmahnewyork.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79&Itemid=90&lang=in
http://www.shamsiali.com/
http://www.bcnychurchplanting.org/uploaded_files/Bugis%20Profile.pdf

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Cupcake Kecil yang Melestarikan Aksara Lontaraq

Zaman sekarang ini, menyelamatkan budaya dengan cara yang konvensional udah bukan musimnya lagi. Apa saja bisa dimanfaatkan sebagai media berkreasi. Cupcake sekalipun bisa jadi salah satunya. Yuk, simak kisahnya berikut ini.

Berawal dari keisengan, Winarni K Suprimardini atau yang akrab disapa Inart ini berhasil membuka usaha kue yang Ia namai Doubleyou Cakes. Meskipun menyandang gelar Sarjana Teknik Arsitektur, Inart tidak ragu untuk terjun ke bisnis kue ini. Inart yang memang senang bikin kue, pada awalnya hanya iseng mencoba berbagai resep untuk mengisi waktu luangnya. Bersama sang kakak, Ia rajin mempraktekkan resep-resep baru hingga akhirnya kepikiran untuk membuka sebuah usaha. Akhirnya, dengan modal Rp 50.000, Ia membuka Doubleyou Cakes pada tahun 2010. Jangan salah, walau terbilang baru, usaha Inart ternyata sudah menjangkau Balikpapan dan Surabaya lho.

Ide untuk membuat cupcake huruf Lontaraq dan Baju Bodo (baju adat Sulawesi Selatan) muncul ketika Inart terpilih untuk mewakili Makassar sebagai finalis kompetisi wirausaha yang diselenggarakan oleh salah satu bank nasional di Jakarta pada awal tahun 2012. Di ajang tersebut Inart menyaksikan bagaimana sebagian besar peserta datang dengan ciri khas daerahnya masing-masing, sekalipun yang berasal dari kategori industri. Tidak ingin menjadi biasa, Inart kemudian memutar otak agar dapat menampilkan ciri khas Makassar di dalam kuenya. Singkat cerita, muncul ide untuk membuat cupcake huruf Lontaraq. Ternyata, kreasi tersebut menarik perhatian banyak pengunjung dan peserta lainnya. “Mereka tertarik karena baru pertama kali melihat ada cupcake yang diatasnya ada bentuk seperti itu.” aku Inart.

Inart, Si Kreatif Pencetus "Cupcake Lontaraq"

Seiring dengan berjalannya waktu, ide lain pun muncul untuk membuat cupcake baju adat. Inart yang juga pernah menulis buku “Makassar dari Jendela Pete-Pete” berpikir bahwa selama ini panganan khas Makassar, seperti kacang disko atau otak-otak, terlalu umum dan kurang bervariasi. Turis lokal maupun internasional cenderung hanya membeli panganan itu-itu saja padahal sebenarnya Makassar masih mempunyai banyak cemilan yang dapat dijadikan oleh-oleh. Inilah yang menjadi target Inart selanjutnya,

Kita mau menjadi salah satu ikon oleh-oleh khas Makassar yang diingat dan akan dibawa pulang jika berkunjung ke Makassar. Ingat Makassar, ingat Doubleyou Cakes”.

Selain cupcake, Doubleyou Cakes juga membuat coklat, kue kering, dan kue ulang tahun. Inart mengaku saat ini timnya tengah berinovasi dengan resep kue kering yang menggunakan rempah khas Makassar, seperti jahe dan kayu manis.

Inart yang juga aktif di berbagai komunitas berharap dengan modal kreativitas, Makassar bisa jauh lebih berkembang.

Kalau kita punya potensi tunjukkan. La Galigo saja bisa terkenal sampai seluruh dunia, berarti kita punya sesuatu yang positif. Kita harus tunjukkan bahwa Makassar tidak seperti yang banyak diberitakan media massa dengan berbagai citra negatifnya.

Nah, tidak sulit kan untuk melestarikan budaya? Berbagai jalan bisa ditempuh. Tinggal kombinasikan hobi dan bakatmu, campur dengan sejumput kreativitas, lalu voila! Terciptalah beraneka cara pelestarian budaya ala kamu sendiri. Sejauh ini, pemasaran Doubleyou Cakes masih melalui media online. Bagi yang berminat mencoba, silakan kunjungi http://www.doubleyoucakes.com/.