Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Menebar Budaya, Menuai Bisnis

Siapa bilang anak Makassar itu kasar dan doyannya cuma jotos-jotosan? “Muda, bisnis, dan budaya” adalah kata kunci yang tepat untuk menggambarkan tiga orang pemudi asal Sulawesi Selatan ini. Mereka berhasil membuktikan bahwa Makassar nggak selamanya all about kekerasan dan tawuran. Berbekal keberanian, kreatifitas, dan sedikit modal, mereka berbisnis sambil memanfaatkan kearifan lokal. Uniknya lagi, mereka mampu untuk membungkus kebudayaan dalam bentuk yang lebih casual. Penasaran? Yuk berkenalan dengan mereka 🙂

Ayu Azhariah

Dara yang terlahir tanggal 25 Desember 1988 ini memang luabiasa. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswi S1 Akuntansi dan Sastra Jepang Universitas Hasanuddin, Ia masih sempat untuk menjadi volunteer di lokal chapter AFS Bina Antarbudaya Makassar dan aktif di Ikatan Mahasiswa Akuntansi. Tidak hanya itu, ternyata Ia juga berbisnis pulsa elektronik! Seakan belum cukup untuk mewadahi ekspresi kewirausahaan mandirinya, belakangan ini Ia menemukan sebuah bisnis baru. Bisnis alat kosmetik tradisional ala suku Bugis-Makassar: Ba’da Lotong.

Apa sih yang membuatnya begitu getol berbisnis di bangku kuliah? Awalnya memang hanya sekedar untuk mengisi waktu luang. Ekonomi sebagai background keilmuannya seakan-akan menuntut untuk diaplikasikan secara nyata. Keterlibatannya dalam berbisnis Ba’da Lotong pun berawal dari dukungan bibi salah seorang temannya. Ia menyatakan sanggup menerima tawaran berbisnis Ba’da Lotong di tengah maraknya kosmetik-kosmetik asing. Masih menurut gadis yang biasa dipanggil Ua ini, Ba’da Lotong memiliki segmentasi pasar tersendiri karena belum ada orang yang berjualan produk sejenis berbentuk kemasan rapi. Apalagi kosmetik ini tergolong barang tradisional yang sudah langka digunakan (dahulu hanya gadis bangsawan Bugis yang memakainya), selain karena ribet kalau harus diproduksi sendiri. Ba’da Lotong yang berarti Lulur Hitam ini tidak mengandung bahan-bahan kimia karena komposisinya terdiri atas beras, air dan jeruk nipis. Apabila secara rutin dioleskan ke tubuh, Ba’da Lotong berkhasiat memutihkan dan memperhalus kulit lho!

Ua mengaku senang memasarkan Ba’da Lotong. Produk ini merupakan produk tradisional, jadi sambil berbisnis bisa sambil memperkenalkan budaya daerah kepada teman-teman. Ada kepuasan tersendiri di dalam dirinya karena berhasil mempromosikan lulur hitam ini kepada generasi muda yang dulunya hanya mendengar cerita-cerita mengenai ramuan kecantikan dari orang tua mereka. Sasaran Ua dalam memasarkan Ba’da Lotong ialah kaum Hawa, khususnya dara-dara Bugis-Makassar. Tetapi, Ia mengaku masih tersendat  beberapa hal dalam memasarkan Ba’da Lotong. Pertama, karena awam dalam hal bisnis, jika ada pesanan dari luar Makassar terkadang Ia bingung bagaimana dengan sistem pembayarannya. Selain itu karena Ia juga tergolong pemakai baru produknya, Ia takut mengungkapan keunggulan-keunggulan yang belum pernah Ia rasakan sendiri. Wah, ini nih yang patut ditiru pemuda dan pebisnis zaman sekarang: jujur apa adanya dengan produk mereka sendiri 🙂

Diandra Sabrina

Menjadi seorang “doctorpreuner”, itulah yang dicita-citakan oleh alumni SMA Negeri 17 Makassar ini. Meskipun sekarang tengah berstatus sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hasanuddin, Ia lihai memanfaatkan waktu luangnya untuk merambah dunia bisnis. Tidak tanggung-tanggung, Diandra yang pernah tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat sebagai siswi pertukaran pelajar AFS ini berhasil mengemas kain tradisional khas Sulawesi Selatan dengan apik sehingga menjadi incaran para remaja gadis pecinta sepatu.Keinginan Diandra untuk berbisnis sepatu tidak muncul dengan tiba-tiba. Awalnya Ia diajak teman untuk mengikuti lomba wirausaha di kampus.

Konsep berupa “sepatu modis berbalutkan kain Sutera Sengkang” ternyata berhasil  mengusung mereka menjadi pemenang. Bisnis yang Ia jalankan bersama empat orang lainnya ini (Nadia, Niny, Putri dan Chai) kemudian mereka lanjutkan karena prospeknya bagus. Dengan ide-ide kreatif, mereka berhasil menangkap antusisame gadis-gadis muda yang tidak bisa hanya memiliki sepasang sepatu dan memadukannya dengan daya tarik keunikan sepatu handmade. Mereka juga memanfaatkan momen ini untuk sekaligus mengembangkan Sutera Sengkang sebagai kain khas Sulawesi Selatan. Alhasil, lahirlah Ewako Shoes dengan jargon mereka “put some silk on your pretty feet.”

Produk sepatu handmade memang marak belakangan ini, akan tetapi yang mengombinasikannya dengan kain Sutera Sengkang baru Ewako Shoes. Di samping itu, produksinya pun terbatas,  jadi nggak pasaran. Ewako Shoes tidak memproduksi sepatu bermotif atau berbentuk sama dua kali. Diandra mengaku bahwa setelah terjun di Ewako Shoes Ia  jadi tahu lebih banyak tentang ilmu bisnis dan link pun menjadi lebih luas. Namun, satu hal yang membuatnya bangga adalah Ia dapat melestarikan sekaligus mempromosikan kebudayaan khas daerah kepada remaja-remaja lainnya. Kendala-kendala yang Ia hadapi dalam berbisnis dengan kearifan lokal ini antara lain ialah jadwal kuliah yang padat, serta bisnis serupa yang semakin banyak banyak saingannya. Selain itu, bahan baku utama berupa Sutera Sengkang masih belum terlalu banyak dikenal oleh masyarakat dibandingkan batik, produksinya pun masih terbatas. Tapi jangan khawatir, all shoe lovers, Ewako Shoes telah menyiapkan rancangan sepatu unik-sepatu unik lainnya di masa mendatang. Penasaran dengan produk-produk mereka? Silakan kunjungi http://ewakoshoes.webs.com/.

Marlisa Supeno

Manessa Ethnicbags, demikian nama merek dagang usaha yang dirintis oleh Marlisa Supeno. Gadis yang pernah mewakili Indonesia dalam ajang WSDC 2001 di Afrika Selatan ini menuturkan bahwa sejak masih duduk di bangku kuliah Ia telah terbiasa mencari penghasilan sendiri. Berjualan fashion item seperti baju, tas dan sepatu, diakuinya sebagai hobi.

Produk yang Ia produksi di Manessa Ethnicbags berupa tas Tenun Sengkang. Sedikit banyak Ia terinspirasi dari keindahan corak dan warna tenun sengkang itu sendiri, selain karena semakin  maraknya trend tas etnik. Kepopuleran tas batik di pasaran membuatnya tergerak agar tenun sutera sengkang juga bisa mendapat tempat yang baik di kalangan masyarakat. Menurut dara yang akrab dipanggil Ica ini,  bisnis yang Ia jalankan juga merupakan salah satu perwujudan dari idealismenya untuk melestarikan kekayaan budaya Sulawesi Selatan. Wah, sambil menyelam minum air ya!

Manfaat yang Ia dapat selama berbisnis tas etnik selain keuntungan finansial, yang paling utama adalah jaringan, dan semakin dikenal luasnya Tenun Sengkang. Kendati demikian, karena Ica menjalankan bisnis ini secara part time, pengelolaannya belum bisa maksimal. Ia belum sempat bertemu dengan pihak-pihak ataupun instansi-instansi terkait di Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan produknya. Ia berharap, seluruh segmen masyarakat dapat menjadi target konsumen Manessa Ethnicbags. Keinginan terbesarnya ialah agar masyarakat luas dapat semakin cinta terhadap produk lokal Indonesia. Tiga kata yang tepat untuk menggambarkan produk-produk rancangan Marlisa Supeno? Ethnic, stylish, and fabulous! Yuk lihat koleksi-koleksi cantiknya di http://www.facebook.com/manessa.ethnicbags

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Surviving Folklores

It was a cloudy December 12, 2011. Earlier in the morning, I planned to go to an exhibition related to indigenous oral tradition. Although that day wasn’t the best monday leisure of mine, I still decided to attend the event considering the rareness of its topic.  So, amidst class traffic and capricious rain, I went to Alphabeta Journal’s Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation. It was one of my very inspiring afternoon.

The exhibition was held at LIR Space which is located on Bachiro area, Yogyakarta. My first impression was “what an unique venue!”. LIR Space maybe hasn’t enjoyed that much publication or customers, since they just started to roll the dice this July. But the atmosphere is so familiar and unique. They uses 3 in 1 (bookstore-boutique-cafe) concept and surrounding it with Butterbeer from Harry Potter; Homemade Ginger Ale and Picnic Sandwich of Enid Blyton’s classic; Pippi Long Stocking’s Pancake; and Afternoon Tea Set that come straight out of Alice in Wonderland story on their menu’s lists. All of sudden, I found myself on childhood backyard again.

Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation is an appreciation toward tales and folklores in Indonesia, by Alphabeta Journal. The exhibition was divided into two chapters: the first is visual exhibition through drawings and paintings, and the second is the audio interpretation. Eight young artists were participated on the visual interpretation. Their wildest imagination let go their skills to sweep the canvas, telling the chosen folklores. You can see how these talented artists defined their own version of some well-known fairytales, such as Lutung Kasarung, The Prince and Mosquito, Slugs and Deer, and many more. However, the folklores are not merely picturesque in an easy way; most of the paintings are strikingly sophisticated and abstract. You will enjoy them as combination of fetterless craft and deep philosophical thoughts. On Sunday, December 18 the audio interpretation began. Stop Lichten, a local band brought their musical performance to tell the visitors about childhood fairytales using modern tones. The exhibition was opened from December 12 until 24, 2011.

The Author (left). And his friend (right).

Although I didn’t find any La Galigo interpretation being showed on both visual and audio exhibition, I found a South Celebes folklore from Bone, Putri Tadampalik and the Bull. It is a very famous story, taken from Pau-Pau Rikadong or the collection of advices and proverbs of The Bugis. The story goes long before Islamic belief infiltrate The Kingdom of Luwu. An exquisite yet so generous princess called Her Grace Tadampalik is the daughter of Datu Luwu (the king). One day, out of nowhere she suffered of inexplicable skin diseases (maja’ uli) which turned her face ugly and her body smelly. The councils of Luwu asked the Datu to expell her from the kingdom, in hope that the skin diseases would not infect the king’s subjects. Brokenhearted by the decision, the Datu of Luwu himself then commanded Her Grace Tadampalik to broad on a small bamboo raft with several lady-in-waiting. She followed the river stream, and finally landed on a jungle.

She decided to live there with her attendants and spent most of her time praying to Dewata with great patient. One day, when she was alone on the yard, a big albino bull came and licked her skin. The bull’s saliva magically cured the disease. After healed Princess Tadampalik, the bull suddenly disappeared. Her Grace was very grateful, but she remained to stay in that remote place rather than come back to Luwu. The story continues with the visit of prince from The Kingdom of Bone and his hunting team near Tadampalik’s abode. Shortly told, the prince met Tadampalik, he found out that she was actually the daughter of King Luwu, married her, and then ruled the Kingdom of Bone together.

Visual Interpretation of Princess Tadampalik and The Bull

Folklores were told by parents to their children orally, from generation to generation. Saving folklores or traditional values through modern package like this exhibition is very important. Many kids nowadays are more familiar with Disney Characters or Japanese Anime rather than their ancestors-made stories. Internet, smartphone, and games also contributes on causing the lackness of interest toward old tales. Alphabeta Journal has proven that as youngsters we could still enjoy globalization and beautiful folklores from our fathers side by side. This Spoken Belief: Audio-Visual Interpretation is an homage to oral tradition, and a jar of creativity for youth thru music and art. Let’s be inspired! Let’s spread this spirit!

 

Categories
101 La Galigo Liputan

Keris Bugis, Menginspirasi Keragaman Nusantara

Sekitar jam 10 pagi, saya dan Fitria menyelinap keluar dari Wisma Handayani di Jalan RS Fatmawati Jakarta Selatan untuk mencari taksi ke arah Jakarta Pusat. Sejak kemarin kami menginap di wisma tersebut guna membantu proses seleksi tahunan pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program Youth Exchange and Study (disingkat YES). Suatu kehormatan bagi kami berdua yang terhitung alumni YES untuk dapat sedikit bantu-bantu demi keberlanjutan program ini. Nah, kebetulan di tengah-tengah waktu kosong Seleksi YES ada pameran Keris Bugis dan Serumpunnya sekaligus launching buku “Senjata Pusaka Bugis” di Bentara Budaya Kompas. Keris Bugis? Hmm… Produk kebudayaan yang jarang diekspos media. Kesempatan lowong yang cuma sebentar itu jelas tidak akan saya sia-siakan untuk menggali dan mendapatkan informasi lebih dalam lagi.

Sesampainya di Bentara Budaya, kami bertemu dengan Diku, salah seorang rekan yang masih berstatus sebagai mahasiswi di FISIPOL Universitas Indonesia. Dia juga berasal dari Makassar (meskipun berdarah murni Jawa) semangat ke-Sulawesi Selatan-an Diku tak ada bandingannya. Kami berkeliling di sayap kanan galeri Bentara Budaya yang ternyata digunakan sebagai tempat kolektor-kolektor keris nusantara memamerkan atau menjual koleksi keris mereka. Kami mendapatkan banyak informasi berharga tentang dunia perkerisan dari pengalaman orang-orang yang berkecimpung langsung di dalamnya. Salah satu info menarik yang kami dapatkan adalah metode awam untuk membedakan pamor yang terbuat dari besi meteor (bintang jatuh) dan pamor yang terbuat dari besi biasa. Keris yang pamornya berasal dari batu meteor umumnya memiliki corak-corak khas, corak alami yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Keris dengan pamor dari besi meteor dipercaya lebih kuat dan memiliki daya magis. Selain itu, kami juga diajari bagaimana cara mengeluarkan keris yang benar, membedakan jenis keris Jawa dengan keris dari daerah lainnya, menentukan periodesasi keris berdasarkan ornamennya (dengan memperhatikan unsur Hindu-Buddha atau Islam yang terpatri di hulu keris), dan memaknai hiasan warangka (sarung keris) yang ternyata disesuaikan dengan karakter pemiliknya.

Berdasarkan wawancara singkat yang kami lakukan dengan para kolektor, keris-keris tersebut kebanyakan mereka dapat sebagai warisan (turun-temurun), pemberian, melalui jual-beli, hingga tukar-menukar. Harga keris yang mereka jual berkisar antara satu juta hingga milyaran rupiah. Masing-masing keris memiliki ceritanya sendiri; ada yang berharga karena bahan pembuatannya dan ada pula yang begitu mahal karena kesejarahan yang tersimpan bersamanya. Kalangan kolektor keris sendiri terbagi menjadi dua golongan: para pribadi penikmat estetika dan nilai historis keris secara rasional, dan mereka yang mengultuskan keris karena mempercayai nilai-nilai mistis di dalamnya. Kedua golongan sama-sama menghormati budaya adiluhung warisan leluhur bangsa kita ini dengan caranya masing-masing.

ritual bissu maggiri’

Setelah puas melihat-lihat dan berbincang-bincang dengan para kolektor keris, kami pun masuk ke galeri utama, tempat pameran Keris Bugis yang sebenarnya diselenggarakan. Sebuah miniatur perahu pinisi dipamerkan di dekat pintu masuk. Jantung kami berdesir, bangga sekaligus kagum menyaksikan tulisan Pinisi Nusantara pada miniatur milik Kompas yang digarap megah itu. Gantungan ornamen berwarna keemasan yang biasanya muncul pada pernikahan etnis Bugis-Makassar digantung menghiasi tembok ruang pameran. Alunan musik khas Sulawesi Selatan yang diputar lirih mengalun-ngalun merdu, mengantar imajinasi para pengunjung berlayar ke provinsi penghasil coklat terbesar di Indonesia itu. Beberapa foto berukuran poster yang mengambarkan pamor-pamor khas suku Bugis dipajang di berbagai penjuru ruangan.

Selama ini keris identik dengan senjata tradisional Jawa yang bertuah. Keris berbeda dengan pedang, dari ukurannya saja keris jauh lebih kecil. Keris juga memiliki luk (lekukan-lekukan berjumlah tertentu) yang menjadi identifier senjata ini. Alangkah mengejutkannya ketika stereotipe “budaya keris = budaya Jawa” itu patah melalui pameran ini. Berpuluh-puluh keris Bugis, alameng, dan badik berjejer rapi di dalam kotak-kotak kac. Kami disambut oleh sebuah poster besar yang menggambarkan bissu (pendeta transgender Bugis kuno) di tengah prosesi maggiri’Maggiri’ merupakan ritual ketika bissu dipercaya sedang mengalami kontak dengan arwah leluhur atau Dewata di kahyangan. Pada saat seperti itu para bissu tidak sadarkan diri dan tubuh mereka menjadi kebal terhadap senjata tajam. Meskipun mereka menusuk-nusuk diri dengan gajang (keris) tidak ada setetes darah pun yang menetes atau segaris kulit pun yang tersobek!

Berdasarkan pengamatan kami selama berkeliling, kebanyakan keris yang dipamerkan merupakan koleksi-koleksi dari orang perorangan atau dari Polo Bessi Club. Polo Bessi Club merupakan sebuah klub pecinta Keris Bugis yang banyak melakukan diskusi mengenai sejarah maupun perkembangan senjata berseni ini. Ada beberapa perbedaan fisik antara Keris Bugis dan Keris Jawa yang kami catat. Pertama, dari jenis warangkanya. Keris Jawa memiliki model warangka sendiri, sedangkan warangka Keris Bugis mirip dengan warangka Keris Melayu. Keris Melayu dan Sumbawa banyak dipengaruhi oleh unsur Bugis dikarenakan kuatnya budaya yang dibawa oleh para pedagang asal Sulawesi Selatan ke wilayah-wilayah tersebut pada abad ke-18. Kami bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang pria asal Malaysia yang sengaja datang jauh-jauh hanya untuk melihat-lihat pameran ini. Kedua, pada bagian hulu Keris Bugis, garis pangkalnya sedikit miring. Ini berbeda dengan hulu Keris Jawa yang pada umumnya bergaris pangkal lurus. Ketiga, gandik atau pegangan pada keris Bugis jauh lebih bengkok daripada keris Jawa. Gandik keris Bugis hampir membentuk huruf “L”. Perbedaan yang terakhir, Keris Bugis memiliki beberapa pamor-pamor khusus yang tidak terdapat pada keris-keris Jawa.

Perbedaan Keris Bugis dan Keris Jawa

Pada dasarnya Keris Bugis dan Keris Jawa amatlah mirip. Hanya saja pada beberapa keris Bugis,luk-nya tidak begitu kentara (malah ada gajang yang bentuknya lurus, hampir mirip badik). Beda lagi dengan alameng. Alameng Luwu terkenal sebagai senjata yang secara fisik mirip pedang panjang berwarna hitam. Sepintas ada kesan seram ketika melihat bentuknya yang lurus, tajam, dan berkilat-kilat itu. Sedangkan untuk badik (di Luwu disebut dengan nama kawali), senjata yang satu ini masih populer di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Bentuk pegangan badik mempunyai ciri tersendiri, demikian pula dengan alur besinya yang berpangkal ramping (Makassar: bilah), “menggendut” di tengah (battang), lalu kembali meruncing di ujungnya (cappaq). Di daerah-daerah tertentu  ketiga senjata tersebut terkadang berbeda dari bentuk umumnya. Hal ini disebabkan karena adanya proses interaksi yang menimbulkan akulturasi dan asimilasi kebudayaan Sulawesi Selatan dengan kebudayaan suku bangsa lain di nusantara selama berabad-abad.

pamor langka pada bilah keris

Iwan Sumantri, seorang arkeolog Universitas Hasanuddin yang menulis buku berjudul “Kedatuan Luwu” mengungkap sebuah fakta yang mencengangkan perihal Keris Bugis. Luwu ternyata sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Terbukti dari penyebutan nama “kota Luwu” dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca (Pupuh 14/4). Terlepas dari kontroversi mengenai keabsahan kekaisaran Majapahit dalam memancangkan kedaulatannya di bumi Sulawesi, Luwu dikenal sebagai pemasok besi pamor berkualitas tinggi ke Tanah Jawa. Seorang tokoh bernama Mpu Luwuk tercatat dalam sejarah Majapahit sebagai pembuat keris terbaik di seantero Wilwatikta. Berdasarkan penelitian, daerah di sekitar Danau Matano, kabupaten Luwu mengandung bijih besi dan nikel dengan jumlah yang sangat besar.

Di sekitar lokasi danau tersebut kini banyak ditemukan titik-titik bekas pembakaran dan peleburan besi yang menyisakan tanah-tanah gosong. Kala itu, bahan baku besi yang mengandung nikel di bawa ke Ussu (ibukota Kedatuan Luwu) untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam peralatan. Salah satunya yang paling terkenal dan menjadi komoditas perdagangan utama orang Luwu dengan Majapahit adalah keris. Menurut cerita, keris-keris yang berpamor besi dari Luwu ini memiliki ketajaman yang luarbiasa. Lambang Daerah Luwu hingga hari ini pun masih menyertakan sebilah keris yang dipercaya oleh penduduk sebagai Keris Bungawari. Keris Bungawari merupakan arayang atau benda pusaka yang turun dari langit untuk raja-raja Luwu. Sayangnya, sekarang keris tersebut telah hilang. Menurut cerita yang beredar, keris tersebut diambil oleh kompeni dan dibawa ke negri Belanda.

Bagaimana kaitan senjata keris dengan La Galigo? Sureq Galigo menceritakan episode kelahiran Sawerigading dan saudari kembarnya We Tanri Abeng dari rahim We Datu Sengngeng dengan amat menakjubkan. Setelah tujuh hari lamanya We Datu Sengngeng mengejan rahim untuk mengeluarkan kedua bayi kembar itu, Sawerigading muncul dengan berpakaian perang lengkap dan bermahkota. Sawerigading terlahir sambil membawa sebilah keris emas pusaka dari Datu PatotoE, Sang Penguasa Langit. Keris emas tersebut merupakan simbol legitimasi atas darah Tomanurung yang Ia warisi dari Batara Guru. Penggunaan keris sebagai senjata juga tergambar di berbagai adegan pertempuran La Galigo. Istilah Bessi to Ussu yang disebut berulang kali dalam teks kuno tersebut turut menjadi saksi atas kemashyuran lokasi geografis pembuatannya.

Keris Bugis memiliki tempat tersendiri di khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Senjata ini berevolusi bersama dengan perkembangan zaman. Senjata ini juga mempengaruhi perkembangan alat tempur sejenis di Jawa, Malaysia, Thailand Selatan, Riau, Bali dan Sumbawa. Keris Bugis yang menyimpan makna historis dan filosofis ini adalah warisan yang perlu digali lebih dalam lagi. Sebagai sebuah adikarya masyarakat Bugis, keris-keris tersebut memberikan sumbangsih yang memperkaya keragaman persenjataan di nusantara kuna. Sebagai sebuah artefak, keris-keris Bugis di pameran itu telah sukses menjayakan kembali masa lampau di tengah bisingnya kehidupan kota Jakarta.