Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Jejak La Galigo di Jerman

Sobat Lontara, selain di Indonesia dan Belanda, naskah-naskah Bugis kuna juga banyak tersimpan di negara Jerman. Berdasarkan hasil riset filologi yang diadakan oleh tim peneliti pernaskahan Nusantara pada tahun 2015, tercatat ada sekitar 45 naskah Bugis dan Makassar berbentuk kodeks di koleksi Staatsbibliothek zu Berlin. Di antara naskah-naskah tersebut, ternyata terdapat pula beberapa naskah La Galigo. Bagaimana kisahnya sehingga naskah-naskah tersebut berakhir di ibukota Jerman? Mari kita telusuri!

Kisah ini bermula dari seorang pria bernama Karl Schoemann. Ia lahir pada tahun 1806 di kota Trier, negara bagian Rheinland-Pfalz. Tidak banyak yang kita ketahui tentang masa muda Karl. Namun, jelas Karl adalah seorang yang terpelajar dan berdedikasi di bidang pendidikan. Karl hijrah ke Hindia Belanda pada tahun 1845 untuk memulai karirnya sebagai seorang tutor pribadi bagi anak-anak Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Selama di Hindia Belanda, Karl tinggal di kota Batavia dan Buitenzorg (Bogor) agar dapat berdekatan dengan keluarga sang gubernur jenderal. 

Mengapa Rochussen jauh-jauh mendatangkan Karl sebagai guru privat bagi anak-anaknya? Nah, background sang gubernur jenderal ini menarik untuk kita ketahui terlebih dahulu. Rochussen terbilang ‘tajir melintir’ untuk ukuran zaman itu. Sebelum ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, Rochussen pernah ditugaskan sebagai Menteri Keuangan Belanda pada tahun 1840-1843. Ketika menjabat di Hindia Belanda, ia mengerahkan ekspedisi militer ke berbagai pelosok tanah air (seperti Pulau Sulawesi, Bali, Sumatera dan Bangka). Ia juga pejabat tinggi yang meresmikan pembukaan tambang “Oranje Nassau”, tambang batu bara pertama di Hindia Belanda (daerah Pengaron, Kesultanan Banjar). Tambang tersebut menghasilkan kurang lebih 15.000-18.000 ton per tahun hingga 1859. Singkat kata, Gubernur Jenderal Rochussen adalah seseorang yang amat berkuasa baik sebelum, saat maupun setelah ia mengampu jabatan di Hindia Belanda.

Tidak heran jika kemudian ia memilih untuk mendidik anak-anaknya dengan seorang tutor terpelajar dari Jerman. Pada masa itu, Jerman adalah pemimpin dunia dalam bidang pendidikan bergengsi (der angesehenen Bildung). Sistem pendidikan Jerman dianggap paling sukses dan layak menjadi percontohan oleh negara-negara Eropa lainnya, termasuk bagi orang-orang Eropa yang tinggal di koloni. Salah seorang putra Rochuseen yang bernama Willem Frederik baru berusia 13 tahun ketika Karl Schoemann tiba di Buitenzorg sebagai tutor. Kelak, lewat prestasi dan koneksi ayahnya, Willem Frederik menjadi Menteri Urusan Luar Negeri Kerajaan Belanda (1881-1883). 

Di Batavia, Karl berkawan dengan sesama warga Jerman, Dr. R. H. Th. Friederich, seorang filolog dan arkeolog yang bekerja untuk Bataviaasch Genootschap van Künsten en Wetenschappen. Penelitian Friederich berfokus di kawasan Jawa dan Bali dari tahun 1844 hingga 1869. Salah satu karyanya adalah sebuah analisa terkait penemuan Prasasti Jambu di kawasan Bogor yang ditengarai sebagai peninggalan kerajaan Tarumanegara. Hubungannya yang dekat dengan Friederich membuat Karl tertarik terhadap sejarah dan kebudayaan Nusantara. Ssst… mungkin dulu Si Friderich sering curhat dan berdiskusi soal penelitiannya kepada Karl kali ya!

Selama tinggal di Hindia Belanda, Karl banyak mengumpulkan salinan naskah-naskah dari berbagai daerah di tanah air. Naskah-naskah ini ada yang berbentuk kodeks, namun banyak pula yang masih berbahan lontar, kulit kayu, bambu dan bahkan logam. Tercatat, Karl mengoleksi lebih dari 350 naskah dalam Bahasa Kawi, Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Bima dan Minangkabau. Jumlah ini tergolong amat besar untuk koleksi naskah Nusantara lho. Koneksinya dengan Friederich memudahkan Karl untuk membeli dan mendapatkan beragam naskah lokal tersebut. Tidak hanya itu, Friederich pun juga membantu membuat klasifikasi bahasa untuk naskah-naskah koleksi Schoemann. Nah, di antara naskah-naskah Bugis tersebut ternyata terdapat beberapa sureq La Galigo juga lho!

Pada tahun 1851, Gubernur Jenderal Rochessen telah menyelesaikan masa tugasnya di Hindia Belanda dan hendak kembali ke Eropa. Perkembangan tersebut kemudian membuat Karl memutuskan untuk pulang ke Jerman sambil membawa koleksi naskah-naskah Nusantaranya. Karl tinggal di kota kelahirannya, Trier, hingga ia meninggal dunia pada tahun 1877. Setelah ia wafat, koleksi naskah-naskah Nusantara miliknya dihibahkan kepada Königliche Bibliothek, perpustakaan kerajaan Prussia di Berlin yang telah berdiri sejak tahun 1661.

Selanjutnya, oleh pustakawan Königliche Bibliothek naskah-naskah Schoemann diberikan kode Schoem I-XIII untuk mempermudah proses penyusunan katalog dan pengarsipan. Pada tahun 1939, seorang filolog Belanda bernama R.A. Kern pernah menelusuri naskah-naskah Bugis dalam koleksi Schoemann. Kern sedang mengerjakan sebuah proyek ambisius untuk menyusun katalog dari naskah-naskah La Galigo yang pernah tercatat dan diketahui keberadaannya. Dalam penemuannya, ia berhasil membuat deskripsi dari 19 naskah La Galigo pada koleksi Königliche Bibliothek yang telah berganti nama menjadi Staatsbibliothek zu Berlin sejak tahun 1992 itu. Nah, berdasarkan temuan terbaru di tahun 2022 ini, ternyata jumlah naskah La Galigo di Staatsbibliothek zu Berlin ada 22 manuskrip! Wah, jumlah yang mencengangkan!

Koleksi Schoemann bagaikan kepingan puzzle yang melengkapi pengetahuan kita tentang epos La Galigo. Perlu dicatat bahwa keseluruhan naskah La Galigo di koleksi Schoemann tersebut merupakan salinan dari abad ke-19, didapatkan melalui pembelian ataupun sebagai pemberian. Meskipun tujuan awal dari pengoleksian naskah-naskah Nusantara oleh Karl Schoemann tidak terlepas dari semangat orientalisme bangsa Eropa di abad ke-19, dokumentasi serta pemeliharaan naskah-naskah tersebut terbukti penting bagi peradaban umat manusia di masa depan. 

Selama ini, narasi yang muncul di pemberitaan media cetak maupun daring sering mengasosiasikan La Galigo dengan kedua belas jilid NBG 188 di koleksi Perpustakaan Leiden University. Keberadaan naskah La Galigo di Berlin atau pelosok dunia lainnya kerap kali terlupakan. Amat disayangkan jika kekayaan budaya Indonesia warisan leluhur di perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak dikaji dan diolah dengan baik. Pemerintah Indonesia dan Jerman perlu bekerjasama untuk menciptakan peluang-peluang bagi kalangan akademisi, seniman maupun industri kreatif dari tanah air agar dapat memanfaatkan arsip-arsip tersebut lewat beragam media. Sudah saatnya bagi kita untuk berpikir secara out of the box dan inovatif dalam hal pelestarian fisik serta konten yang terekam di dalam naskah kuno.

Mari bergerak dari segala penjuru!

Referensi

Titik Pudjiastuti, Katalog Naskah Indonesia Koleksi Staatsbibliotheek zu Berlin dalam Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Barend ter Haar, Ritual and Mythology of the Chinese Triads: Creating an Identity, Leiden: Brill, 2021.

Muhlis Hadrawi, Basiah, Gusnawaty Taqdir, Sastra Klasik Bugis La Padoma: Tinjauan Kodikoligis dan Ciri Naratif Tekshttps://adoc.pub/sastra-klasik-bugis-la-padoma-tinjauan-kodikoligis-dan-ciri-.html

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Marvel ‘Eternals’, La Galigo dan Mitos Tomanurung

Sobat Lontara, Marvel Studio yang terkenal dengan film-film bergenre superhero kembali mempersembahkan sebuah karya terbarunya: ‘Eternals’. Film yang disutradarai oleh Chloé Zhao dan bertaburkan bintang-bintang terkenal Hollywood seperti Angelina Jolie, Salma Hayek, Gemma Chan, Kit Harington serta Richard Madden ini diadaptasi dari komik Marvel berjudul “The Eternals” karangan Jack Kirby yang pertama kali rilis pada tahun 1976. Eternals mengambil latar tempat dan waktu di dunia yang sama dengan para Avengers, tepatnya pasca Thanos menghilangkan setengah populasi umat manusia dengan kekuatan Infinity Stones. Film ini berkisah tentang para Eternal, yaitu sekelompok manusia abadi dengan kekuatan superior (Homo immortalis) yang turun dari ruang angkasa sejak era Mesopotamia kuno (3000 tahun sebelum Masehi) untuk membantu umat manusia di planet bumi membangun peradaban. Lewat artikel kali ini, kita akan membedah kemiripan plot dalam kisah Eternals dengan mitos mengenai sosok ‘Tomanurung’ atau manusia-manusia yang turun dari langit ke Dunia Tengah dalam epos La Galigo. Selamat membaca!

Eternals dan Tomanurung: Utusan Celestials dan Utusan Dewata

Alkisah, para Eternal diciptakan oleh mahluk-mahluk kosmik adikuasa misterius yang dikenal dengan sebutan Celestials. Sesosok Celestial bernama Arishem mengutus para Eternal ke bumi dengan misi utama melindungi manusia dari serangan mahluk predator jahat bernama Deviant. Seperti halnya dengan para Eternal, Deviant adalah mahluk ciptaan Celestials. Sejatinya, mereka diutus sebagai mahluk pemangsa predator alami planet bumi yang membahayakan umat manusia, namun pada tahapan selanjutnya Deviant mengalami penyimpangan dan justru memangsa manusia itu sendiri. 

Para Eternal yang berjumlah sepuluh orang diturunkan Arishem dengan kekuatan-kekuatan super sebagai bekal mereka dalam berhadapan dengan Deviant. Gilgamesh memiliki kekuatan tinjuan super; Thena dapat menciptakan senjata apapun dari energi kosmik; Ajak dapat berkomunikasi dengan para Celestials di dimensi lain;  Makkari adalah manusia paling cepat di jagad raya; Sprite dapat menciptakan ilusi visual; Ikaris dapat terbang serta mengeluarkan sinar laser dari matanya; Sersi memiliki kemampuan transmutasi materi; Kingo dapat menembakkan energi dari kedua tangannya; Phastos dapat merancang teknologi paling mutakhir di dunia serta Druig mempunyai kekuatan untuk mengendalikan pikiran. Kemampuan yang beraneka ragam ini ditujukan untuk menjaga manusia agar mereka dapat berkembang secara alamiah serta membangun peradaban di muka bumi.

Di dalam epos La Galigo, Tomanurung berarti penghuni kahyangan (Torilangiq) yang turun ke Ale Lino(Dunia Tengah). Tomanurung ditugaskan oleh Dewata yang diketuai oleh Datu Patotoé dan Datu Palinge selaku duo penguasa negeri Boting Langiq (Dunia Atas) dan Opu Samudda bersama Guru ri Selleng penguasa Toddang Toja (Dunia Bawah) untuk membina kehidupan di Ale Lino. Misi utama para Tomanurung ini adalah untuk menumbuh-kembangkan umat manusia, mengajarkan mereka untuk menyembah Dewata, termasuk menjadi pemimpin yang adil serta membangun peradaban. Epos La Galigo menyebutkan Batara Guru La Toge Langiq sebagai Tomanurung pertama yang diturunkan oleh Dewata ke negeri Ale Luwu. Selanjutnya, diturunkan pula Tomanurung di negeri Tompoq Tikkaq yaitu We Pada Uleng dan La Urung Mpessi, sedangkan di negeri Wewang Nriwuq muncul pula Tejjoq Risompa dari Toddang Toja dan istrinya, Polalengé Tojang Mpulaweng. 

Para Tomanurung tersebut dibekali oleh pusaka yang mengandung kekuatan supranatural serta kekuatan gaib di luar nalar manusia biasa. Melalui pusaka dan kekuatan dari Dewata tersebut, para Tomanurung dapat mengendalikan berbagai elemen alam, memanggil mahluk-mahluk dari dimensi lain termasuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati! Akan tetapi, berbeda dengan para Eternal yang tidak dapat berkembang biak, para Tomanurung justru diperintahkan untuk membentuk dinasti manusia keturunan Dewata di Dunia Tengah. Keturunan dari para Tomanurung ini konon darahnya berwarna putih (maddara takkuq) serta menjadi cikal-bakal generasi para penguasa yang memerintah di Pulau Sulawesi. Wah, baik Eternal maupun Tomanurung sama-sama diutus dari dimensi atas (ruang angkasa/langit) untuk umat manusia ya!

Eternals dan Tomanurung Generasi Kedua: Mahluk Superior yang merubah sejarah

Di film Eternals, kita dijelaskan bahwa tokoh-tokoh Eternal menjadi inspirasi umat manusia dalam menciptakan beragam mitologi dan legenda. Sosok Thena yang lincah dan kuat menjadi inspirasi dari Dewi Athena dalam kepercayaan masyarakat Yunani kuno. Ikaris adalah tokoh yang menjadi sumber cerita Ikarus, seorang pemuda yang dapat terbang dengan sepasang sayap buatan ciptaan ayahnya, namun mengalami kecelakaan karena mengabaikan instruksi untuk tidak melayang terlalu dekat dengan matahari. Demikian pula halnya dengan Gilgamesh nan perkasa yang menginspirasi sosok bernama sama dalam mitologi Mesopotamia kuno. Aksi-aksi para Eternal tersebut diromantisasi menjadi cerita-cerita yang mempengaruhi umat manusia dalam perkembangan peradaban mereka. 

Ikaris, salah satu Eternal terkuat. Credit: Marvel Studios.

Tomanurung pada periode setelah era La Galigo pun dipercaya merubah sejarah lewat kehadiran mereka. Setelah berlalunya zaman La Galigo, yaitu ketika tujuh keturunan para Tomanurung dari angkatan Batara Guru naik kembali ke langit, maka umat manusia memasuki zaman kegelapan yang dikenal sebagai “Sianre Bale Tauwe” (yang kuat memangsa yang lemah). Selama zaman kegelapan itu, manusia bagaikan kehilangan arah. Tidak ada pemimpin yang dapat mempersatukan rakyatnya, semua orang bertindak sekehendak hatinya sehingga kekacauan pun muncul dimana-mana. Setelah mengalami masa zaman kegelapan itu selama Pitu Pariyama (tujuh masa) lamanya, kemudian bermunculan lah para Tomanurung generasi kedua di berbagai kawasan di Sulawesi Selatan. 

Di daerah Luwu misalnya, muncul Tomanurung bernama Simpurusiang. Di Toraja, sesosok Tomanurung bernama Puang Tamboro Langiq turun dari Dunia Atas melalui pelangi di puncak Gunung Kandora. Di daerah Gowa turun seorang dewi yang disebut dengan nama Tumanurunga ri Tamalaté. Di daerah Mamuju ada seorang ratu dari langit bernama Tonisseseq ri Tingalor yang keluar dari perut ikan merah raksasa. Di daerah Bone muncul Mata Silompoé Manurungé ri Matajang, sedangkan di Soppeng, seekor burung kakatua mengantarkan para tetua adat kepada sosok La Temmamala Manurungé ri Sekkanyiliq. Para Tomanurung ini berperan sebagai pembentuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang kita kenal hingga hari ini. Kehadiran mereka mengakhiri periode panjang era kegelapan, dimana kemudian masyarakat mulai membangun negara sesuai ketentuan adat dan berasaskan kepada keadilan. Selain mengajarkan bagaimana caranya menjalankan negara serta hidup berdampingan, para Tomanurung ini juga memiliki kekuatan supranatural. Sebagian dari Tomanurung ini dapat terlihat di beberapa tempat pada saat yang bersamaan. Ada yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan cuaca. Ada pula yang mampu melihat masa depan serta dapat menyembuhkan penyakit. Lewat kekuatan supranatural mereka, para Tomanurung dihormati dan dipuja oleh masyarakat. 

Eternals dan Tomanurung: Manusia-Manusia Abadi

Para Eternal menyatukan kekuatan untuk membentuk ‘Uni-Mind’. Credit: Marvel Studios.

Setelah berhasil mendirikan kerajaan di daerah masing-masing, para Tomanurung ini akan menghilang. Seperti halnya Eternal yang abadi, para Tomanurung dipercaya tidak mengalami kematian melainkan raib kembali ke dimensi langit. Bedanya, apabila Eternal dapat kembali muncul ke tengah masyarakat untuk menolong manusia pada saat-saat tertentu, maka Tomanurung tidak mungkin turun kembali ke Dunia Tengah. Manusia telah diserahkan amanat untuk mengelola dunianya sendiri, termasuk menyelesaikan dan menghadapi segala permasalahannya. 

Sebagai ganti kehadiran mereka, Tomanurung meninggalkan pusaka berupa artefak-artefak bernama arajang atau kalompoang yang dipercaya memiliki kekuatan gaib. Artefak-artefak tersebut lah yang kemudian menjadi wakil dari kuasa Tomanurung di muka bumi. Melalui artefak-artefak ini, kekuatan Tomanurung dari Dunia Atas terpancar untuk umat manusia. Konon, siapa yang diwarisi arajang, maka dialah yang memiliki hak sebagai penguasa di daerah tersebut.

Demikianlah tadi beberapa persamaan dan perbedaan antara tokoh-tokoh Eternal dalam film Marvel dan sosok-sosok Tomanurung dalam epos La Galigo serta legenda di Sulawesi Selatan. Ternyata, ada banyak elemen-elemen cerita rakyat yang dapat dikembangkan sebagai hiburan untuk menarik minat generasi muda agar lebih peduli kepada budayanya sendiri. Kira-kira inspirasi seperti apakah yang Sobat Lontara dapatkan setelah melihat perbandingan ini? Yuk, berkarya sambil melestarikan budaya!

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Raya and The Last Dragon dan Epos La Galigo

Sobat Lontara, beberapa bulan yang lalu Disney merilis sebuah film animasi berjudul “Raya and The Last Dragon”. Film animasi ini amat mengundang rasa penasaran karena untuk pertama kalinya Disney mengambil kawasan Asia Tenggara sebagai inspirasi cerita petualangan mereka. Spoiler warning! Raya, sang tokoh utama dalam film tersebut adalah gadis pemberani yang berupaya untuk menyelamatkan Kumandra, negeri fantasi yang menjadi latar cerita, dari mahluk-mahluk jahat bernama Druun. Demi mengalahkan Druun dan mengembalikan warga Kumandra yang terkena kutuk menjadi batu, Raya harus membangkitkan kembali Sisudatu, satu-satunya naga dalam legenda yang masih ada dan konon dapat mematahkan sihir Drun. 

Tahu kah teman-teman bahwa ada beberapa elemen dalam film Raya and The Last Dragon yang dapat pula kita temukan pada epos La Galigo? Sebagai sebuah karya sastra kuno masyarakat di Sulawesi Selatan, La Galigo menyimpan elemen-elemen kebudayaan Asia Tenggara yang unik dan khas. Artikel kali ini akan membahas beberapa kesamaan-kesamaan yang dapat kita jumpai pada film Raya and The Last Dragon dan epos La Galigo. Yuk, mari kita simak!

Sisudatu dan Naga

“Narirumpu na raung tangkiling

Nassirakkasi wéroni lakko

Ripalariang bajéq ri mangkeq to Senrijawa

Ripapasangeng sampuq patola kéteng ri naga.”


(Diasapilah dengan dupa kemenyan

Dikerubuti kipas keemasan

Dihembusi angin buatan orang Senrijawa

Dipakaikan kain sutera bersulamkan bulan naga)

-Volume I Naskah La Galigo NBG 188 koleksi Leiden University

Di Kumandra, naga adalah mahluk gaib yang memiliki hubungan erat dengan kekuatan alam, terutama air. Naga dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi manusia. Sisudatu alias Sisu adalah naga yang jago berenang serta dapat terbang di angkasa. Ia merupakan satu-satunya naga yang masih tersisa di Kumandra setelah bangsa naga berhasil mengalahkan mahluk gaib jahat bernama Druun.

Nah, sosok naga juga dikenal dalam kebudayaan Bugis lho. Dalam astronomi Bugis, naga adalah hewan mistis yang tinggal di langit sekaligus lambang dari galaksi Bima Sakti (Milky Way). Pada beberapa cerita rakyat, seperti halnya buaya, naga juga dianggap sebagai perwakilan dari Dunia Bawah. Epos La Galigo menyebutkan bahwa panji pangeran Sawerigading dari Ale Luwu bergambar seekor naga dan bulan (Kéteng ri Naga) sebagai simbol Boting Langiq (Dunia Atas) dan Toddang Toja (Dunia Bawah).

Pada rumah-rumah panggung milik golongan bangsawan Bugis, hiasan anjong atau pucuk bubungan atap dibikin berbentuk seperti naga sebagai simbol kekuasaan sang empunya rumah dan juga bermakna sebagai pelindung gaib. La Galigo menyebutkan bahwa hiasan naga terdapat pula pada kain-kain yang biasanya dipakai oleh keturunan dewata yang maddara takkuq (berdarah putih). Selain itu ada juga mitos di tengah masyarakat Sulawesi Selatan yang mempercayai bahwa gerhana terjadi akibat matahari/bulan ditelan oleh naga. Konon, sang naga menelan matahari/bulan karena ia marah dan kelaparan. Jika peristiwa tersebut terjadi, manusia di bumi harus mengadakan ritual Songka Bala (tolak bala) supaya sang naga cepat-cepat melepaskan kembali matahari/bulan. Apabila ritual Songka Bala tersebut tidak dilakukan, maka sang naga tidak akan mengeluarkan matahari/bulan dari perutnya sehingga akan terjadi kondisi pattang alias alam semesta ditelan kegelapan selama-lamanya!

Kekuatan gaib naga yang mahadahsyat tersebut juga sering dimanfaatkan untuk mantra-mantra yang berhubungan dengan perdagangan dan percintaan. Naga Sikoi’ adalah jimat pengasihan dan penglaris dalam tradisi Bugis yang bergambar dua ekor naga dengan ekor yang saling membelit. Apabila sudah terkena mantra dari jimat ini, dijamin si doi bakal mabuk kepayang dan semakin sayang. Barang dagangan juga bakal selalu laris. Wah, naga dalam mitologi Bugis ternyata tidak hanya dapat menyebabkan gerhana namun juga bisa menjadi Mak Comblang!

Pedang Raya dan Gajang

“Nagiling mua Patotoqé napamoléi 

Gajang pareppaq sésumangeqna

Pakkaluri wi lé pattikaseng

Mpelluq-welluqna sebbu katinna

(Patotoqé pun menoleh sambil membuka

Ikatan keris agung taruhan jiwanya

Melilitkannya ke pinggang

langsing, anak sibiran tulangnya)

-Volume I Naskah La Galigo NBG 188 koleksi Leiden University

Senjata khas Raya dalam petualangannya di Kumandra adalah sebilah pedang dengan bentuk yang melekuk-lekuk mirip seperti keris. Selidik punya selidik, ternyata memang animator film Raya terinspirasi dari bentuk keris dalam kebudayaan di Nusantara. Keris punya kekhasan dari segi bentuk: semakin ke ujung maka bentuknya akan semakin kecil dan akhirnya meruncing.

Senjata keris di Sulawesi Selatan dikenal dengan nama “gajang” atau “tappi’”. Seperti halnya keris dalam kebudayaan Jawa yang dianggap bertuah, gajang pun dianggap memancarkan aura keistimewaan. Ornamen hiasan pada gajang juga menandakan status sosial pemiliknya. Seorang laki-laki konon tidak berpakaian dengan lengkap apabila tidak menyandang gajang. Pada masa lalu, saat bepergian tanpa ditemani oleh sanak-saudaranya, seorang perempuan biasanya akan membawa sebilah “cobbo” atau keris kecil di balik sarungnya sebagai alat untuk melindungi diri. Beberapa tokoh ratu atau penguasa perempuan dalam kebudayaan Bugis digambarkan pula menyandang keris, contohnya seperti ratu We Tenriawaru dari kerajaan Luwu.

La Galigo menyebutkan gajang sebagai senjata pertama yang diwariskan oleh Datu Patotoqé, dewa tertinggi di alam semesta, kepada Batara Guru yang akan turun ke Dunia Tengah sebagai manusia. Keris bernama La Ulabalu tersebut konon memiliki bentuk seperti ular yang meliuk-liuk. Menurut legenda yang beredar di tengah masyarakat Bone, senjata keris tercipta dari sehelai daun bambu kering yang digunakan Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu untuk menghukum seorang pelaku kejahatan. Daun tersebut ia mantrai sehingga menjadi keras dan tajam, prototipe senjata tusuk yang dikemudian hari disebut gajang.  

Druun v. Pérésola

“Temmagangka ni allalatunna

Lé rumpu dapoq wara-waraé

Allalatunna lé pappaniniq

Puajo dengngeng Pérésolaé.”

(Tak henti-hentinya mengepul

Asap pedupaan yang gemerlapan

Asap tolak bala

Terhadap gangguan setan dan Pérésola)

-Volume I Naskah La Galigo NBG 188 koleksi Leiden University

Druun adalah mahluk gaib berbentuk seperti gumpalan awan hitam dan cahaya keunguan yang amat ditakuti di seantero Kumandra. Mahluk ini tidak jelas asal-usulnya dari mana. Ia tiba-tiba muncul dan menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat Kumandra dengan sihirnya. Setiap mahluk yang “dilahap” oleh Druun akan berubah menjadi patung batu dalam sekejap mata. Tanpa pandang bulu, Druun bergerak cepat dan menyerang siapa pun yang ada di hadapannya.

Epos La Galigo juga memiliki mahluk dengan sifat yang mirip seperti Druun. Pérésola adalah mahluk gaib dengan kekuatan dahsyat yang menjadi pasukan dari dewata. Pérésola berbentuk seperti titik-titik cahaya yang makin lama makin membesar serta dapat “menelan” (membakar) segala macam mahluk yang ada di hadapannya, seperti halnya Druun. Habitat asli Pérésola adalah Perettiwi (Dunia Bawah) namun dari cerita-cerita di dalam La Galigo kita mengetahui bahwa ia dapat pula melakukan perjalanan melintasi luar angkasa apabila diperintahkan oleh para dewa.

Masyarakat Bugis meyakini sejenis burung yang dikenal dengan nama lokal Kulu-Kulu (Burung Tuwu, Eudynamys scolopaceus) konon dianggap sebagai pembawa sial karena kicauannya dapat memanggil kehadiran Pérésola. Nah, seperti halnya Druun yang takut oleh Dragon Gem, Pérésola juga memiliki kelemahan berupa benda pusaka dewata. Salah satu tokoh dalam epos La Galigo yang bernama Guttuq Sibali berhasil menundukkan Pérésola dengan keris yang turun dari langit. Tokoh lain bernama Aji Laide juga dapat mengendalikan Pérésola dengan pusaka saktinya dan bahkan menjadikan mahluk gaib tersebut sebagai pelayan yang membawa kotak sirihnya! Di kalangan masyarakat biasa, Pérésola dapat diusir lewat ritual appasiliq (tolak bala) dengan menggunakan medium air yang telah dimantrai dan asap kemenyan. 

Demikian lah tadi tiga elemen dalam film Raya and The Last Dragon yang dapat kita temukan padanannya di epos La Galigo. Meskipun perlu menjadi catatan bersama bahwa film animasi ini bukanlah “film Asia Tenggara” dan banyak mendapatkan kritik karena kurangnya representasi Asia Tenggara pada proses di balik layarnya, Raya and The Last Dragon membangkitkan kembali ruang-ruang diskusi kreatif oleh generasi muda dari berbagai negara ASEAN maupun diaspora untuk menggali kembali kebudayaannya. Semoga suatu saat nanti, Sobat Lontara juga dapat mengembangkan film-film animasi maupun game-game petualangan yang terinspirasi dari epos La Galigo. Terus berkarya sambil melestarikan budaya!

*Untuk artikel serupa dengan judul La Galigo, The Lord of The Rings-nya Indonesia bisa dibaca di sini.

Referensi:

I La Galigo Cerita Bugis Kuno, R. A. Kern, Gadjah Mada University Press.
La Galigo Menurut Naskah NBG 188, Nurhayati Rahman, Yayasan Obor Indonesia.