Berawal dari ide-ide besar yang dimiliki oleh remaja-remaja liar Makassar di perantauan, proyek ini lahir. Tidak muluk-muluk, yang diinginkan keempat remaja ini hanya ambisi untuk membuat dunia sekali lagi menoleh kepada Sulawesi Selatan, tempat yang dapat kami sebut sebagai “rumah”. Tanah yang dulu pernah menjadi sarang pengarung samudera yang menguasai lautan nusantara. Orang-orang yang disegani sebagai keturunan para pelaut ulung serta penerus budaya petualang Austronesia.
Aksi yang kami lakukan ini bukanlah suatu bentuk chauvinisme gaya baru. Bukan pula bentuk kesombongan “Sulawesi-sentris” berbalut busana modern. Apa yang kami lakukan ini adalah suatu bentuk tuntutan, sebuah somasi kepada nusantara atas ketidakpedulian generasi muda masa kini terhadap harta karun yang tersembunyi di pelosok daerah-daerahnya. Budaya Nasional yang kita saksikan di TV adalah sebuah budaya yang telah dibentuk sedemikian rupa sehingga kita kehilangan identitas pribadi.
Mengutip perkataan Amri Pitoyo (seorang sarjana HI UI sekaligus senior di AFS Bina Antarbudaya); “Indonesia yang kamu bawa ini bukanlah wayang, keindahan Bali, atau batik yang kamu pakai”. Ya, Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau dan 520 lebih suku bangsa ini terlalu sempit jika hanya dimaknai dengan rupa-rupa budaya yang sudah terkenal saja sebagai identitas nasional. Seakan tertidur panjang selama 1.000 tahun, kita lupa bahwa nenek moyang kita yang hobi bercerita itu telah mewariskan sebuah tradisi lisan (yang lalu ditulis ke dalam 12 naskah oleh penginjil Belanda) tentang asal-muasal alam semesta dan mula kehidupan manusia. Mitos yang murni, bebas dari pengaruh signifikan unsur-unsur asing. Nanti, baru ketika seorang Amerika bernama Robert Wilson memaksa untuk meniupkan ruh cerita La Galigo ke atas pentas di mancanegara, kita kalang kabut berbangga hati.
Kota Makassar yang kami cintai punya sebuah motto yang indah, “Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai”. Kami, yang minum air dari tanah para pelaut ulung memegang janji suci, Toddopuli, seperti itu. Layar sudah terkembang, samudera luas yang penuh bahaya dan godaan telah menanti. Misi kami untuk mempromosikan La Galigo (khususnya) dan budaya Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Mandar, Toraja) kepada generasi muda di Indonesia tidak akan surut ke pantai sebelum pelayaran ini selesai. Karena niat kami suci, karena tekad kami kuat, semoga Karaeng Allah Ta’ala mempermudah serta memegang kami dengan tangan kanan-Nya. Amin!
Kuru’ sumange’!
Yogyakarta, 23 September 2011