Ahlul in action dihadapan civitas akademika Akademi Pengkajian Melayu University of Malaya
Hari Senin tanggal 28 Mei 2012 adalah hari terpenting dalam agenda LONTARA PROJECT di Malaysia. Hal ini dikarenakan, saat ini adalah momen dimana kami akan menjalankan diplomasi kebudayaan. Dimana kami akan mengadakan presentasi dan diskusi dengan mahasiswa serta para pensyarah atau dosen di University of Malaya. Berangkat penuh semangat dari apartement Bunda Nurhayati selaku pembimbing LONTARA PROJECT, kami menuju Akademi Pengkajian Melayu (APM) di University of Malaya.
Setibanya di sana, kami langsung diarahkan menuju ruang kantor Bunda Nurhayati untuk melakukan persiapan sebelum masuk ke ruangan presentasi. Saat itu, ada beberapa orang yang mendampingi kami selain Bunda Nurhayati; ada Bapak Muhammadiyah Yunus dan Bapak Adi Sadi yang sedang melanjutkan sekolah di Malaysia. Sekitar jam 09.00 waktu lokal, kami diarahkan menuju ruang pertemuan. Di sana kami disambut oleh wakil dekan bidang kemahasiswaan dan para pensyarah Akademi Pengkajian Melayu (APM) University of Malaya. Sebelum memulai presentasi, mereka sempat bertanya-tanya tentang LONTARA PROJECT, tujuannya, dan kegiatannya. Ternyata para pengajar dan wakil dekan APM terkagum-kagum dengan kegiatan-kegiatan yang telah kami laksanakan.
Ulil, Rahmat dan Fitria pun juga beraksi memaparkan program-program LONTARA PROJECT
Kami berdiskusi sebentar sambil menunggu dekan APM dan beberapa mahasiswa datang. Tidak berselang lama setelah kami duduk, kami disajikan makanan. Waktunya pas sekali, karena kebetulan perut kami sedari tadi telah menyanyikan lagu-lagu keroncong. Akhirnya sekitar jam 09.30, diskusi antara LONTARA PROJECT dengan pihak University of Malaya pun dimulai.
Kesempatan untuk presentasi pertama diberikan kepada LONTARA PROJECT, dalam kesempatan ini, yang mempresentasikannya adalah Ahlul, Fitria, Ulil dan Rahmat. Kami berempat membawakan materi yang berbeda. Ahlul menjelaskan tentang konservasi kreatif La Galigo dan budaya-budaya nusantara yang terancam punah sebagai garis besar misi yang dibawa oleh LONTARA PROJECT, sementara Fitria menjelaskan tentang seluk beluk program kami. Ulil dan Rahmat mempunyai peran untuk menjelaskan La Galigo Music Project sebagai bagian dari kegiatan nyata LONTARA PROJECT dalam melestarikan budaya. Rahmat khusus membahas tentang makna lagu-lagu dan personilnya, sementara Ulil membahas La Galigo Music Project secara garis besar.
Pada kesempatan tersebut, kami mengkampanyekan tentang fakta bahwa Indonesia dan Malaysia adalah satu nusantara, satu bangsa, yaitu bangsa melayu. Segala hal tentang perselisihan budaya yang pernah terjadi biarkan saja terjadi kemarin, tetapi tidak untuk hari ini dan yang akan datang. Generasi muda nusantara harus bisa memperbaiki kondisi budaya nusantara yng semakin lama semakin tergerus oleh budaya-budaya asing. Kami pun mengajak mahasiswa Malaysia untuk ikut membantu melestarikan budaya nusantara dan mengumandangkan ke seluruh dunia tentang budaya Alam Melayu yang bersinonim dengan istilah “nusantara”.
Kami percaya apabila usaha ini dilakukan dengan bersama-sama, maka tujuan LONTARA PROJECT akan segera tercapai. Mahasiswa dan pensyarah di APM menyambut niat dan kampanye kami dengan sangat baik dan antusias. Mereka sangat mendukung kegiatan kami dan ingin berpartisipasi lebih di setiap kegiatan LONTARA PROJECT. Bahkan, ada wacana untuk mengadakan Cultural Exchange (Pertukaran Budaya) di masa mendatang. Mari kita bersama-sama mendoakan agar niat ini dapat diwujudkan secepatnya! [END]
Membina persahabatan serumpun…
Selepas kami mempresentasikan materi yang kami bawa, dua orang mahasiswa University of Malaya juga melakukan hal yang sama. Adam dan Yunus menceritakan tentang kondisi university of Malaya, baik kegiatan akademisnya dan non-akademisnya. Kedua mahasiswa jurusan linguistik APM ini juga mengungkapkan beberapa permasalahan budaya yang ada di lingkungan sekitar.
Acara kemudian dilanjutkan dengan berjalan-jalan disekitar kampus atau pengembaraan, begitu kata Adam. Kami diajak melihat-lihat museum kecil yang terdapat di dalam Akademi Pengkajian Melayu. Sebagai orang awam, akan ada banyak hal yang mengejutkan kita disana. Hampir 80% isi dari museum itu merupakan artefak-artefak yang juga ada di Indonesia juga. Hal ini dikarenakan, Malaysia dan Indonesia adalah satu nusantara, serumpun, yaitu rumpun Melayu yang punya budaya luhur nan beraneka. Jadi, ketika ada persamaan dalam benda-benda peninggalan dan kebuayaan, harusnya disikapi dengan wajar. Inilah uniknya hubungan Indonesia dengan Malaysia, dimana kultur budayanya hampir sama tetapi dibedakan oleh garis geografis politik.
Dengan perjalanan LONTARA PROJECT di sana, kami belajar banyak mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang jarang diberitakan di TV. Kami optimis, dengan dirintisnya cultural diplomacy informal oleh LONTARA PROJECT dan APM, hubungan antarnegara ini pasti dapat disatukan dengan penuh kerukunan, karena kita semua berasal dari satu rumpun, satu nusantara dan satu bangsa, yaitu Melayu.
Rahmat Dwi Putranto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alumni Boarding School Dwi Warna ini kini menjabat sebagai ketua Divisi Musik di Sanggar APAKAH. Aktif di berbagai kegiatan seperti basketball dan International Moot Court Competition tidak membuat penggebuk jimbe dan cajon di La Galigo Music Project ini kehilangan semangatnya untuk membuat berbagai macam event seni. Follow twitternya @rahmatdepe untuk kenal lebih jauh.
Gambaran Robert Wilson akan Putri We Cudai pada pementasan teater I La Galigo. Sumber: http://sriqadariatin.wordpress.com/
Sobat Lontara yang pernah membaca cuplikan epos besar La Galigo pasti kenal dengan tokoh yang satu ini. I We Cudai alias Daeng Risompa, putri bungsu dari raja Ale Cina adalah seorang wanita yang amat cantik namun tinggi hati. Ulahnya menolak lamaran Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu menimbulkan banyak sekali masalah, bahkan Ia tega membiarkan kerajaan Cina terbakar oleh api. Dimanakah sebenarnya letak negri Cina tempat Putri We Cudail? Apakah Cina yang dimaksud merupakan nama sebuah daerah di Sulawesi Selatan atau justru –sesuai kepercayaan awam– merujuk kepada negri Tiongkok di Asia Daratan?
Gambaran Robert Wilson terhadap Putri We Cudai pada pementasan teater I La Galigo. Sumber: http://sriqadariatin.wordpress.com/
Para penulis dan peneliti sejarah lokal mayoritas sepakat untuk ‘meletakkan’ Ale Cina pada sebuah wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Selatan. Menurut tradisi setempat, kerajaan Ale Cina yang terbagi dua itu berada di sebelah timur Teluk Bone dan di sebelah barat lembah Cenrana. Istana La Tanete tempat Putri We Cudai bersemayam terletak di situs bukit Allangkanangnge ri La Tanete (Pammana, Wajo Selatan). Dataran rendah yang subur ini diyakini sebagai tanah air Suku Bugis (Tana Ugiq), yang namanya diambil dari Opunna Cina (ayah We Cudai), La Sattumpugiq. Penemuan-penemuan benda-benda bersejarah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mulai dihuni dan berperadaban sekitar tahun 1200-1400 Masehi. Setelah itu, tingkat kepentingan wilayah ini mulai menurun dan akhirnya ditinggalkan sama sekali pada abad ke-17.
Peristiwa-peristiwa dalam kisah La Galigo, oleh Christian Pelras, dianggap terjadi pada periode peralihan antara “zaman perunggu-besi” (bronze-iron age), waktu penduduk mungkin masih berpuak-puak, hingga zaman sejarah yang kita kenal berdasarkan naskah lontaraq attorioloang. Rentang waktu yang entah kapan dimulainya tersebut berakhir ketika Sulawesi Selatan memasuki zaman kerajaan. Pelras mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah hingga abad ke-15 dan meyakini bahwa sumber-sumber cerita lisan maupun tulisan La Galigo terjadi pada kurun waktu tersebut. Umur temuan arkeologis di Allangkanangnge ri La Tanete dianggap sesuai dengan kronologis sejarah, karena tepat setelah tahun 1400-an kerajaan-kerajaan yang disebut di dalam La Galigo (ex: Luwu, Cina) kehilangan pengaruh seiring bermunculannya kerajaan-kerajaan Bugis yang lebih muda (Bone, Soppeng, Wajo). Bukti berupa nama, penyebutannya di dalam lontaraq, serta artefak-artefak kuno dianggap cukup membuat Pammana sebagai lokasi kerajaan Ale Cina.
Menariknya, ada sebagian penggemar konspirasi yang ‘meletakkan’ negri Ale Cina di Asia Daratan. Tak puas dengan teori “Cina = Pammana”, mereka menghubung-hubungkannya dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan logam (nekara, kapak corong) dan jalur perdagangan laut. Fakta bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat penemuan keramik Cina kuno terbesar di Indonesia tentunya menarik; hubungan seperti apakah yang terjalin antara daerah ini dengan negri Sang Putra Langit nun jauh di sana? Hmmm… membuat penasaran ya? Katanya, kebudayaan logam bangsa Indonesia dibawa oleh orang-orang Austronesia dari Cina Bawah (Yunnan) kemudian menyebar ke kepulauan nusantara. Adakah kaitannya dengan We Cudai dan asal-usul penghuni Sulawesi Selatan?
Team kami menghimpun beberapa alasan mengapa “Cina”-nya Putri We Cudai seharusnya terletak di Asia Daratan, bukan di semenanjung Sulawesi Selatan. Tidak berarti kemudian kami melawan teori Cina = Pammana lho, kami hanya sekedar bertujuan untuk memberikan balancing opinion. Yuk, simak satu per satu!
Riwayat Kelantan tentang Suwira Gading dan Negri Annam
Riwayat Kelantan memegang kunci penting sebagai patokan kita dalam menentukan lokasi geografis Ale Cina serta prakiraan zaman berlangsungnya “Abad La Galigo”. Data yang kami dapat ini bersumber dari tulisan Abdullah Nakula, seorang sejarawan Melayu yang membedah riwayat Kelantan. Riwayat Kelantan mengisahkan seorang panglima bernama Suwira Gading yang bersama dengan Raja Dewa Muda Anak Tok Raja Jawa (Raja Sanjaya) berlayar menuju Giao Chi (ibukota Annam, sekarang menjadi kota Hanoi) untuk memerangi orang-orang Cina. Bangsa Yuwana mendiami Annam, negara yang kini bernama Vietnam. Selama berabad-abad Annam menjadi bagian dari provinsi sebelah selatan kekaisaran Tang dan mengalami Cinaisasi dari segi kebudayaan. Bangsa Yuwana sengaja memanggil bantuan Suwira Gading dan Sanjaya untuk membebaskan mereka dari bayang-bayang Kekaisaran Tang.
Koleksi Keramik Cina Kuno yang tersimpan di Museum Balla Lompoa, Gowa
Sekitar tahun 760 dan 762 Masehi, dua kali Ngo Sri Voung Ngan duta dari Annam datang menghadap ke Medang Bhumi (Kelantan). Dihadapan Sri Vijayandraraja Ia memohon bantuan tentara untuk membebaskan negri mereka. Menurut Abdullah Nakula negri Annam inilah yang kemudian dilambangkan dengan Putri We Cudai. Selama lima tahun diatur siasat untuk membebaskan Putri We Cudai dari penjajahan Cina, hingga kemudian pada tahun 767 berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Sanjaya dari Jawa, Sang Satiaki Satirta dan Suwira Gading. Beberapa bulan sebelum keberangkatan, sejumlah pasukan dari Laos dan berbagai wilayah di Kepulauan Melayu lainnya turut pula menggabungkan diri dalam barisan.
Kemudian dikisahkan pula bagaimana 3.000 orang tentara menyamar sebagai pedagang dan berlayar menggunakan perahu perdagangan ke kota Giao Chi. Pada malam hari mereka keluar dari tempat persembunyian dan bersama dengan bangsa Yuwana menyerang tentara Cina. Prajurit lainnya menyusul dengan berlayar di atas 5.700 kapal, mereka diibaratkan berlayar dalam formasi yang bentuknya bagaikan deretan pulau yang bergerak menuju ke Timur. Rombongan kapal tersebut menyeberangi Teluk Serendah Sekebun Bunga (Teluk Siam) terus menuju ke kota Giao Chi. Disebutkan pula kehadiran prajurit bergajah dan berkuda yang muncul dari arah pegunungan menuju ke ibukota. Pertempuran berlangsung dengan dahsyat, hingga pada akhirnya ibukota Gioa Chi jatuh setelah berperang selama enam bulan.
Riwayat Kelantan merupakan salah satu tradisi yang menyebutkan nama tokoh Sawerigading dan lokasi Ale Cina dengan pasti. Berita penyerangan ini pun dimuat di dalam beberapa kronik penjelajah, seperti yang dicatat oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 774 dan 787 Masehi. Jika pendapat di atas benar, maka Ale Cina pastilah berada di negri Annam, dan pelayaran Sawerigading terjadi sekitar abad ke-8 ketika Annam masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Tang.
Periode sejarah tersebut bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Sriwijaya (Senrijawa dalam La Galigo) di Sumatera Selatan. Prasasti Ligor di Semenanjung Melayu menjadi bukti bahwa Sriwijaya berkuasa atas wilayah itu hingga tahun 775 Masehi. Ligor dijadikan pangkalan untuk menyerang Kamboja dan Campa. Kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung Melayu kelak dipatahkan oleh tentara Mataram Kuno dari Bhumi Jawa, yang diisyaratkan dengan kehadiran Raja Sanjaya oleh riwayat Kelantan. Penaklukkan Melayu dan Campa oleh Raja Sanjaya dengan bantuan Suwira Gading diabadikan pula dalam Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuno dari abad ke-16.
Rute Pelayaran Sawerigading ke Negri Cina
Mari sama-sama kita perhatikan rute pelayaran Sawerigading ke Ale Cina! Sumber rekonstruksi rute ini diambil dari buku Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo karya Prof. Nurhayati Rahman.
Rekonstruksi Perjalanan Sawerigading ke Negri Cina. Gambar oleh Maria Yohana Kristyadewi
Sawerigading yang bergelar Opunna Wareq sudah terbiasa berlayar, menjelajahi berbagai macam negri dan pulau di nusantara, bahkan hingga ke Majeng (negri kematian). Sawerigading berangkat dari Ale Luwuq dengan perahu raksasa Welenrenge beserta banyak perahu pengiring lainnya. Kurang lebih lima belas malam setelah meninggalkan Ale Luwuq, rombongan Sawerigading bertemu dengan perompak Banynyaq Paguling dari Maccapaiq (Majapahit?). Tujuh hari kemudian rombongan mereka bertemu dengan La Tupu Soloq To Apunge, sembilan malam kemudian dengan La Tuppu Gellang (berperang selama 3 malam), tiga hari kemudian bertemu La Togeq Tana, sembilan malam kemudian bertemu La Tenripula, sembilan malam kemudian bertemu La Tenrinyiwiq To Malaka, dan puluhan malam kemudian bertemu dengan Settia Bonga Lompeng Ri Jawa Wolio (Buton).
Setelah berhasil mengalahkan seluruh musuhnya, tujuh malam kemudian Sawerigading dan rombongannya mendarat di negri Wewang Nriwuq, yang lokasinya berada di Teluk Mandar/Selat Makassar. Wewang Nriwuq merupakan salah satu dari trio kerajaan Manurung di muka bumi, dengan Tejjoq Risompa sebagai pemegang kedatuannya. Secara geografis kerajaan ini berada di sebuah teluk besar sebelah barat Ale Luwu, sebagaimana Tompoq Tikkaq berkuasa atas sebelah timurnya. Tejjoq Risompa yang tiada lain ialah paman Sawerigading menyambut kemenakannya tersebut dengan senang hati. Sawerigading kemudian melanjutkan pelayaran hingga Ia bertemu dengan I La Pewajoq yang baik hati, sang penguasa Pao (Davao, Filipina Selatan).
Letak Aleluwu dan Alecina Menurut Teori Pammana
Berdasarkan deskripsi I La Pewajoq, Ale Cina ternyata masih nun jauh di sana letaknya! Kerajaan tersebut diapit oleh negri Sabbang Mparu dan Baebunta. Sawerigading masih harus berlayar berpuluh malam lagi hingga bertemu samudera, berhadapan dengan “perempatan” yang terbentuk oleh belahan arus sungai di laut, hingga Ia menemukan sungai yang banyak ditumbuhi oleh pohon asana. Itulah Ale Cina.
Perjalanan ke Ale Cina memakan waktu yang lama karena luarbiasa jauh jaraknya. Dapat dibayangkan, jika kita berpegang teguh dengan teori yang mengatakan bahwa Cina terletak di Pammana, Kab. Wajo sekarang ini, maka pelayaran Sawerigading di atas hanya perjalanan fiktif belaka mengingat jarak pelayaran dari Luwu ke Pammana tidaklah sejauh gambaran tersebut. Meskipun cerita La Galigo memiliki beragam versi, namun perjalanan panjang dari Ale Luwu menuju ke Ale Cina sudah mengendap dalam imajinasi masyarakat Bugis klasik. Episode ini merupakan peristiwa sentral karena menggambarkan kesengsaraan Sawerigading menggapai cintanya yang jauh di ujung samudera.
Tahta Kerajaan Annam. Sumber: http://www.royalark.net/Vietnam/annam.htm
Ada beberapa hal menarik yang terungkap melalui pelayaran Sawerigading. Pertama; dari Luwu Ia berlayar ke selatan, lalu merubah haluannya (setelah melalui Selat Selayar) ke utara hingga akhirnya mendarat di Wewang Nriwuq (Teluk Mandar). Sebelum sampai di Barat (baca: Wewang Nriwuq) Ia sudah mengalahkan tujuh penguasa laut dari berbagai daerah yang berlayar di Teluk Bone (di antaranya bajak laut Jawa, Malaka, dan Buton). Dari sana Ia mengarungi Selat Makassar menuju utara, sampai bertemu dengan kapal penguasa Davao di Laut Sulawesi. Perjumpaan dengan penguasa Davao yang letaknya di pulau Mindanao ini mengindikasikan bahwa Sawerigading melanjutkan pelayaranannya ke arah utara.
Kedua; setelah mendapatkan arahan mengenai lokasi Ale Cina, Sawerigading terus berlayar sampai menemukan daerah berbukit-bukit namun subur serta di dalamnya mengalir sungai-sungai dengan banyak pohon asana. Asana (Pterocarpus indicus) alias kayu narra merupakan sejenis pohon kayu yang endemik di kawasan hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat ditemukan mulai dari Burma selatan, Kamboja, kepulauan Asia Tenggara, Pasifik barat, bahkan hingga Cina selatan. Daerah Annam (Indocina) sampai hari ini pun masih kaya dengan kayu yang kuat dan awet sebagai bahan furnitur ini. Kayu narra banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat alat musik dan konstruksi bangunan. Kerajaan Cina yang terkenal dengan ukiran-ukiran serta kemampuan mereka di bidang arsitektur menjadikan provinsi Annam sebagai gudang alam yang berlimpah kayu narra.
Ketiga, perihal kondisi alam Annam. Berdasarkan data terbaru (2011) dari Index Mundi terkait geografi Vietnam, 40% wilayah negara ini terdiri atas perbukitan, 42% terdiri atas hutan tropis, dan sisanya adalah dataran rendah. Bagian utara negri ini (yang berbatasan dengan Cina) terdiri dari dataran tinggi dan delta Sungai Merah (Song Hong). Sungai Mekong yang terkenal itupun juga mengaliri bumi Vietnam, dari utara ke selatan. Ale Cina yang dialiri oleh tujuh sungai dan daratannya terdiri atas negri berbukit-bukit indah sempurna sekali untuk diletakkan di Annam. Lebar Sungai Merah di Vietnam amat sangat memungkinkan digunakan sebagai tempat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh berbagai macam pedagang dari mancanegara.
Logika arah pelayaran Sawerigading menuju barat-utara serta informasi mengenai spesies tumbuhan dan bentang alam Annam ternyata 90% cocok dengan deskripsi tentang Ale Cina di dalam naskah La Galigo!
Pelaut-pelaut Sulawesi Selatan ternyata tidak hanya jago merambah nusantara! Kemampuan lintas-budaya mereka bukan hanya mitos, melainkan sudah teruji sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Baca pengalaman penulis yang menyaksikan langsung jejak para pasompeq ini di tiga negara…
Patung Bunda Maria (Nossa Senhora de Fatima) di Pante Macassar. Sumber: Wikipedia
Negara yang dulunya merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia ini tidak familiar sebagai destinasi turisme internasional. Padahal, ada banyak hal menarik lho dari Timor Leste. Teman-teman tidak perlu jauh-jauh pergi ke Brazil untuk mandi sinar matahari di Rio de Janeiro atau menziarahi patung raksasa Yesus. Pantai pasir putih yang indah dan patung Christo Rei di Timor Leste tidak kalah cantiknya, bahkan cuma dua jam saja via pesawat dari wilayah NKRI. Eksotisme budaya dan Bahasa Tetun yang banyak dipengaruhi oleh unsur Portugis pun selintas mengingatkan kita akan Pidgin atau Bahasa Inggris campuran yang banyak digunakan penduduk keturunan Afrika (mullato) di Kepulauan Karibia dan Jamaica. Bagi penulis yang lahir dan menghabiskan enam tahun pertama dalam kehidupannya di Timor Leste, yang paling menarik ialah keberadaan daerah bernama Pante Macassar di pesisir sebelah barat negara ini.
Saudara-saudara penulis di depan kantor gubernur Dili, Timor-Timur (1995)
Pante Macassar terletak di distrik Ambeno. Lokasinya tidak begitu jauh dari Dili, ibukota Timor Leste. Daerahnya tergolong subur untuk pertanian dibanding wilayah lain di Timor-Timur yang kering. Namanya pasti mengundang tanda tanya; kok bisa sih sebuah pulau nan jauh di timur nusantara mencatut nama daerah di Sulawesi Selatan? Rupanya pendatang dari Makassar sudah akrab dengan pesisir Timor sebagai jalur transit mereka menuju Marege. Marege adalah julukan orang Makassar untuk Australia Utara yang merupakan pusat perburuan teripang. Laut Timor menjadi gerbang mereka menuju perairan Marege. Para pemburu teripang dari Makassar ini kemudian membangun pemukiman-pemukiman sementara di pesisir pulau, menunggu angin dan musim yang cocok untuk menangkap hewan laut itu.
Kehadiran mereka sudah tercatat sejak zaman Portugis berkuasa atas Timor –Makassar memiliki hubungan yang jauh lebih akrab dengan pedagang Portugis ketimbang terhadap orang-orang Belanda– dan terus berlanjut hingga proses integrasi Timor-Timur ke dalam Republik Indonesia (1976-1999). Di periode kedua, kebanyakan para pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar, Bugis, dan Mandar) bekerja sebagai pegawai negri maupun pedagang.
Para pendatang ini sejak abad ke-17 telah berasimilasi dengan penduduk lokal. Beberapa kata dalam Bahasa Tetun dapat dijadikan bukti linguistik akan simbiosis para pasompeq (perantau) Sulawesi Selatan dengan masyarakat lokal di Bumi Lorosae. Ambil contoh, lipaq dalam Bahasa Tetun yang berarti sarung konon diambil dari Bahasa Bugis. Pisang Raja yang manis rasanya disebut dengan nama Pisang Mandar, bisa jadi karena dulu komoditas ini banyak diperdagangkan oleh para pelaut Mandar. Tidak hanya itu, secara kultural orang Timor dan orang Makassar pun terikat. Sebuah cerita rakyat lokal menyebutkan bahwa Pulau Timor muncul dari seekor buaya dan manusia pertama yang meninggalinya ialah seorang pemuda dari Makassar.
Alkisah, zaman dahulu Makassar mengalami kekeringan yang luarbiasa selama bertahun-tahun. Bencana alam ini diikuti pula oleh bencana sosial, dimana norma-norma adat mulai dilanggar oleh masyarakatnya sendiri. Suatu ketika, seorang pemuda di tengah perjalanannya mengambil air ke sungai yang nyaris kering melihat seekor buaya kecil tergelepar. Dengan penuh rasa kasihan, pemuda Makassar itu pelan-pelan mengangkat buaya malang tersebut menuju sungai.
Sebagai balas jasa atas kebaikan hati pemuda itu, sang buaya berjanji untuk mengantarnya ke sebuah tempat baru yang lebih baik untuk keturunannya. Sang pemuda Makassar setuju, Ia lalu naik ke atas buaya dan diantar menuju laut.
Di tengah-tengah lautan, sang buaya mendadak merubah dirinya sendiri menjadi sebuah pulau besar. Seorang gadis muncul dari dalam pulau tersebut, dan atas petunjuk gaib sang pemuda Makassar lalu menikahinya. Tempat si pemuda tadi pertama kali mendarat disebut dengan nama Pante Macassar. Pemuda tersebut dipercaya sebagai leluhur orang Timor. Hingga hari ini, masyarakat Timor juga masih menghormati buaya dan memanggil binatang tersebut dengan sebutan “abo feto” alias nenek. Pengultusan terhadap buaya ini mungkin memiliki hubungan dengan kebudayaan serupa di Sulawesi Selatan. Epos La Galigo sebagai tradisi lisan dan tulis tertua masyarakat Bugis mengisahkan, apabila para penghuni dunia bawah (Buriq Liu) hendak menampakkan diri ke dunia tengah (Alelino) mereka akan mengenakan larukkodo-nya (topeng gaib untuk penyamaran) dan mengambil bentuk sebagai buaya. Buaya disebut sebagai Punnae Wae alias pemilik air yang berkuasa atas sungai, ombak dan gelombang di lautan. Buaya dihormati sebagai penjaga alam dan penyeimbang kehidupan antara lingkungan dan manusia.
Peta Pante Macassar. Sumber: Wikipedia
Sekarang, Pante Macassar tidak ramai dihuni orang. Perantau dari Sulawesi Selatan pun mungkin sudah tak ada lagi. Penggunaan listrik di wilayah tersebut dibatasi hanya 5 jam setiap malamnya, plus tidak ada siaran televisi maupun bank. Meski demikian, jejak para pasompeq Sulawesi Selatan tetap abadi bersama namanya. Mungkin suatu hari nanti Sulawesi Selatan dan Timor Leste dapat menciptakan kerjasama “twin beach” antara Losari dan Pante Macassar seperti proyek twin city yang sedang marak. Sejarah dan budaya terbukti dapat melintasi batas-batas geografi politik yang diciptakan oleh manusia. Jika dulu nenek moyang kita menorehkan harmonisasi lewat budaya, kenapa kita tidak?